Rasulullah SAW
bersabda :
وَعَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذَا كَانُوا ثَلَاثَةً فَلَا يَتَنَاجَى اثْنَانِ
دُونَ وَاحِدٍ
Hadits yang ketujuh, Dari Naafi’ dari Ibnu Umar,
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kalian tiga orang, maka jangan
berbisik-bisik dua orang tanpa ikut serta seorang.
Hadits ini sepakat dua
Syeikh (al-Bukhari dan Muslim) meriwayatnya dari jalur Malik. Imam Muslim telah
mentakrij dari jalur ‘Ubaidillah bin Umar, al-Laits bin Sa’ad, Ayyub
al-Sakhtiyani dan ayyub bin Musa, semua mereka dari Naafi’ dari Ibn Umar. Abu
Daud telah mentakhrij dari jalur Abi Shalih dari Ibn Umar.[1]
Dalam riwayat lain dari
Imam Muslim disebutkan :
إِذَا كُنْتُمْ ثَلَاثَةً فَلَا
يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ الْآخَرِ، حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ مِنْ أَجْلِ
أَنْ يُحْزِنَهُ
Apabila kalian bertiga, maka jangan berbisik-bisik dua orang
tanpa ikut serta seorang sehingga kalian berbaur dengan manusia, karena hal itu
menyebabkan perasaan gelisah orang itu.(H.R. Muslim)[2]
Imam
Muslim telah menempatkan dua hadits di atas dalam bab haram berbisik-bisik dua
orang tanpa pihak ketiga dengan tanpa ridhanya.[3]
Dalam mengomentari dua
hadits di atas, al-Nawawi menjelaskan, larangan dalam dua hadits tersebut
bermakna haram. Dengan demikian, haram berbisik-bisik dua orang dengan
kehadiran orang ketiga dalam satu majelis, demikian juga berbisik-bisik tiga
orang atau lebih dengan kehadiran orang lain. Kemudian beliau menyimpulkan
haram atas jama’ah berbisik-bisik tanpa satu orang kecuali dengan ridha satu
orang tersebut. Selanjutnya al-Nawawi menjelaskan mazhab Ibnu Umar r.a., Malik,
Ashhabinaa (pengikut-pengikut Mazhab Syafi’i) dan jumhur ulama berpendapat
larangan tersebut berlaku pada setiap zaman, pada ketika bermukim dan musafir.
Sebagian ulama berpendapat larangan tersebut hanya berlaku pada waktu musafir,
tidak pada waktu bermukim, karena pada waktu musafir ada madhinnah al-khauf
(diduga ada kekuatiran yang ditakuti). Sebagian ulama lain mendakwa hadits
ini sudah mansukh dan hukumnya berlaku pada awal Islam. Orang-orang munafiq
melakukannya untuk membuat orang Islam merasa gelisah. Maka manakala Islam
sudah banyak tersebar dan orang-orang Islam merasa aman, maka gugurlah larangan
tersebut.[4]
Di
atas, al-Nawawi sudah menjelaskan bahwa berbisik-bisik dalam majelis dibolehkan
apabila ridha pihak ketiga. Demikian juga Imam Muslim sebagaimana judul bab
hadits dalam Shahih Muslim. Ridha ini menurut al-Iraqi bisa dimaklum dengan
qarinah (keadaan), meskipun tidak ada izin yang sharih.[5]
Hukum berbisik bisik, sedangkan yang tidak ikut dua
orang atau lebih
Al-Iraqi menjelaskan kepada kita bahwa mafhum qaid “dua orang tanpa ikut serta seorang” seandainya mereka
berempat, maka tidak terlarang berbisik-bisik dua orang dari mereka itu. Hal
ini karena dua orang yang tidak ikut berbisik masih bisa teguh hatinya dari
pengaruh berbisik-bisik tersebut. Tidak terlarang ini menjadi ijma’ ulama
berdasarkan hikayah al-Nawawi.[6]
Kesimpulan ini juga sesuai dengan pemahaman Ibnu Umar dalam riwayat dari
Abdullah bin Dinar, beliau berkata :
كُنْتُ أَنَا وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ عِنْدَ دَارِ خَالِدِ بْنِ عُقْبَةَ الَّتِي بِالسُّوقِ،
فَجَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يُنَاجِيَهُ، وَلَيْسَ مَعَ عَبْدُ اللَّهِ بن عمر
أَحَدٌ غَيْرِي وَغَيْرُ الرَّجُلِ الَّذِي يُرِيدُ أَنْ يُنَاجِيَهُ، فَدَعَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَجُلًا حَتَّى كُنَّا أَرْبَعَةً، فَقَالَ لِي
وَلِلرَّجُلِ الَّذِي دَعَا: اسْتَأْخِرَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلى الله عَلَيه وَسَلم يَقُولُ: لا يَتَنَاجَى اثْنَانِ دُونَ وَاحِدٍ.
Aku dan
Abdullah bin Umar berada di sisi rumah
Khalid bin ‘Uqbah yang ada di pasar (pasar kota Madinah), tiba-tiba datang
seorang laki-laki yang ingin membisik sesuatu kepada Abdullah bin Umar. Tidak
ada bersama Abdullah bin Umar selain aku dan laki-laki yang ingin membisik
kepadanya. Kemudian Abdullah bin Umar memanggil seorang laki-laki lain sehingga
kami jadi berempat. Beliau mengatakan kepadaku dan laki-laki yang dipanggilnya
itu : “Mundurlah kalian berdua, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda : “Tidak berbisik-bisik dua orang tanpa satu orang (pihak ketiga).”
(H.R. Malik).[7]
Beberapa penjelasan lain yang dikemukakan oleh al-Hafizh
al-Iraqi
1.
Berdasarkan hadits kedua dari riwayat Muslim di atas, ‘illat haram
berbisik-berbisik ini adalah menyebabkan datang kegelisahan kepada pihak
ketiga. Kegelisahan ini menurut al-Khuthabi karena salah satu dua makna, yakni mendatangkan
waham bahwa bisikan dua orang tersebut sedang menetapkan suatu pendapat atau menetapkan
tipu daya jahat bagi pihak ketiga. Menetapkan suatu pendapat menjadi
kegelisahan bagi pihak ketiga karena mewahamkan ada pengkhususan kemuliaan bagi
kawan yang dibisiknya, tidak pihak ketiga. Al-Qurthubi menerangkan makna ihzan
(mendatangkan gelisah) adalah terjadi dalam jiwanya yang menjadikannya gelisah,
yakni muncul dalam pikirannya bahwa pembicaraan tersebut adalah tentang hal-hal
yang dibencinya atau yang berbisik-bisik itu tidak menganggapnya sebagai orang
yang ahli dalam tema pembicaraan dan bisikan-bisikan syaithan lainnya.
2.
Al-Mawardi menjelaskan haram juga berbisik-bisik sekumpulan orang
tanpa ikut serta satu orang, karena wujud juga ‘illat haramnya. Dibolehkan
apabila satu orang tersebut ditemani oleh yang lain.
3.
Kedudukan haram berbisik-bisik apabila pihak ketiga sudah berada
dalam majelis pada permulaan berbisik. Adapun apabila dua orang sedang
berbisik-bisik, kemudian datang pihak ketiga ketika sedang ada bisik-bisik itu,
maka tidak wajib atas orang berbisik-bisik memutuskan bisikannya. Bahkan telah
datang hadits Nabi SAW yang melarang masuk dalam majelis tersebut sehingga dia
minta izin terlebih dahulu.
[1] al-Hafizh
al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut,
Juz. VIII, Hal. 141
[2] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1718, No. 2184
[3]
Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 1717.
[4]
Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. XIV, Hal. 240
[5]
al-Hafizh al-Iraqi, Tharh
al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 142
[6]
al-Hafizh al-Iraqi, Tharh
al-Tatsrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VIII, Hal. 142
[7] Imam Malik, al-Muwatha’,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 167, No. 2081
Assalamualaikum. Bapa yg mudah2an dirahmati allah, izinkan saya bertanya, namun sebelumnya saya ingin bercerita terlebih dahulu. Kurang lebih beberapa tahun lalu saya pernah mengalami waswas aqidah, setiap hari saya selalu bersyahadat. Saya juga salah, saya mencari2 ilmu dalam internet, seperti saya mencari "apa yg membuat seseorang keluar islam" tanpa adanya seorang guru yg membimbing. Saya berjuang keras agar sembuh dari waswas tersebut.
BalasHapuslalu akhir2 ini saya teringat lagi, entah mengapa saya berfikir "apakah saya dahulu benar2 telah kafir ataukah sering bersyahadat karena khawatir dan takut" Lalu saya pun ingin mengingat kembali masa lalu, tapi masa lalu tetaplah masa lalu dan saya tidak bisa menggapainya. Bagaimana jika dalam pikiran saya ada pikiran seperti itu bapa? "apakah saya dahulu benar2 telah kafir ataukah sering bersyahadat karena khawatir dan takut" Terimakasih semoga bapa berkenan menjawab pertanyaan saya.
1. Seringlah bertanya dan konsultasi langsung dgn ustadz di tempat domisili sdr. Jgn belajar agama tanpa guru
Hapus2. Ini link mungkin bermanfaat
https://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2017/01/obat-was-was-dalam-ibadah-menurut-al_21.html?m=0
Assalamualaikum wr wb Ustad!
BalasHapusCoba tolong bantah ttg orangtua Rasulullah yg menurut paham Wahabi (terkutuklah mereka!), keduanya ada di neraka. Saya kira ini penting dibahas, karna kalangan Wahabi massif sekali menyebarkannya melalui youtube. Syukron Ustad.
Zamak dari Payakumbuh
http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2012/03/keimanan-ayah-dan-ibu-nabi-muhammadsaw.html?m=1
BalasHapusCoba buka link di atas
Saya menjadi imam shalat magrib namun saya niat dengan isya,ktika rakaat kdua baru tringat,langsung dbatalkan atau slesaikan baru iadah?
BalasHapus