1.
Lafazh
yang biasa digunakan untuk menyatakan seorang perawi diterima haditsnya
(al-ta’dil) berdasarkan tertib di bawah ini :
1. ثبت حجة, ثبت
حافط, ثقة متقن, ثقة ثقة
2. ثقة
3. صدوق, ولا بأس
به, ليس به بأس
2.
Lafazh
yang biasa digunakan untuk menyatakan seorang perawi ditolak haditsnya (al-jarh)
berdasarkan tertib di bawah ini :
1. دجال, كذاب,
وضاع, يضع الحديث,
2. متهم بالكذاب,
متفق على تركه
3. متروك, ليس
بالثقة, سكتوا عنه, ذاهب الحديث, فيه نظر, هالك, ساقط
4. واه بمرة, وليس
بشيئ, ضعيف جدا, ضعفوه, ضعيف, واه, منكر الحديث,
5. يضعف, فيه ضعف,
قد ضعف, ليس بالقوي, غير حجة, ليس بحجة, ليس بذاك, تعرف و تنكر, فيه مقال, تكلم
فيه, لين, سيئ الحفظ, لا يحتج به, اختلف فيه, صدوق لكنه مبتدع.[2]
3.
Hadits
riwayat Abu Daud dalam Sunan Abu Daud, apabila beliau tidak menyatakan dhaif
haditsnya, maka menurut beliau, hadits tersebut shahih atau hasan. Penjelasan
ini dikemukan oleh al-Nawawi berdasarkan kutipan dari
pernyataan Abu Daud sendiri, yakni sebagai berikut :
ذكرت في كتابي الصحيح وما يشبهه ويقاربه
وما كان فيه ضعف شديد بينته وما لم اذكر فيه شيئا فهو صالح وبعضها اصح من بعض.
Aku menyebut
dalam kitabku ini hadits shahih dan yang serupa serta mendekatinya. Adapun yang
sangat dhaif aku menjelaskannya dan yang tidak aku sebut sesuatupun tentangnya,
maka haditd itu shalih (maqbul), sebagiannya ada yang lebih shahih dibanding
yang lain.[3]
4.
Berpegang
semata-mata kepada kitab al-Maudhu’aat Ibnu al-Jauzi dalam menetapkan hadits
maudhu’
Kita tidak boleh menetapkan sebuah hadits
sebagai hadits maudhu’ hanya semata-mata
merujuk kepada penilaian Ibnu al-Jauzi dalam kitab beliau, al-Maudhu’aat. Hal
ini karena berdasarkan peneletian banyak ahli hadits yang hidup setelah zaman
beliau, banyak hadits-hadits yang divonis maudhu’ dalam kitab tersebut ternyata
hadits tersebut disepakati shahih atau hanya dalam derajad dhaif. Bahkan dalam
kitab tersebut terdapat hadits shahih Muslim yang dinyatakan maudhu’. Ini dapat
menggambarkan kepada kita betapa ketidakhati-hatian dan keliru Ibnu al-Jauzi
dalam menilai hadits dalam kitab beliau ini. Muhammad al-Zarqani mengatakan :
وقد صنف ابن الجوزي في بيان الموزضوعات
كتابا نحو مجلدين لكنه خرج عن موضوعه بحيث اودع فيه كثيرا من الاحاديث الضعيفة
التي لا دليل له على وضعه بل ربما اودع فيه الحسن و الصحيخ وخطْؤه في ذالك وشنعوا
عليه فيه. قال السيوطي وفي كتاب ولد الجوزي ما * ليس من الموضوع حتى وهما * من
الصحيح و الضعيف والحسن * ضمنته كتابي القول الحسن * ومن الغريب ما تراه فاعلم * . فيه حديث من صحيح
مسلم حتى قال شيخ الاسلام الحافط بن حجر العسقلاني هذا غفلة شديدة من ابن الجوزي
حيث حكم على هذا الحديث بالوضع وهو في احد الصحيحين.
Sesungguhnya Ibnu al-Jauzi telah
mengarang sebuah kitab yang menjelaskan hadits maudhu’ sekitar dua jilid, akan
tetapi kitab tersebut melenceng dari mauhu’ hadits karena di dalamnya terdapat
banyak hadits dhaif yang tidak ada dalil atas maudhu’nya. Bahkan kadang
dimasukkan dalamnya hadits hasan dan shahih. Karenanya, para ahli hadits telah
mempersalahkan dan mencelanya. Al-Suyuthi mengatakan : “Dalam kitab Ibnu
al-Jauzi ada hadits yang bukan maudhu’ sehingga disangkakannya kepada hadits
shahih, dhaif dan hasan. Telah aku masukannya dalam kitabku, al-Qaul al-Hasan, Ketahuilah termasuk yang aneh sebagaimana kamu lihat di dalam kitab Ibnu al-Jauzi tersebut ada
hadits Shahih Muslim, sehingga Syeikh Islam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany
mengatakan, Ini kelalaian berat dari Ibnu al-Jauzi karena telah menilai hadits
ini dengan maudhu’, padahal hadits ini terdapat dalam salah satu kitab
al-Shahihaini.[4]
5.
Pengertian
munkar menurut Ahmad bin Hanbal
Umumnya hadits munkar dalam ilmu hadits
dipahami sebagai hadits yang diriwayat oleh perawi majhul keadaannya atau perawi
dhaif yang bertentangan dengan hadits dari perawi terpercaya.[5] Namun
demikian, sebagian ulama hadits seperti Ahmad bin Hanbal menggunakan istilah
munkar dengan makna hadits al-fard al-mutlaq. Padahal antara hadits munkar dan
hadits al-fard merupakan dua istilah yang berbeda. Karena hadits al-fard al-mutlaq
adalah hadits yang diriwayat hanya oleh satu jalur sanad,[6]
baik sanad itu maqbul atau pun dhaif.[7]
Adapun hadits munkar adalah hadits dhaif. Dengan demikian, perkataan Ahmad bin
Hanbal sebuah hadits munkar tidak berarti hadits tersebut dhaif. Karena maksud
beliau adalah hadits al-fard. Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan :
وَقَالَ أَحْمد روى مَنَاكِير قلت احْتج بِهِ الْأَئِمَّة كلهم
وَأحمد وَغَيره يطلقون الْمَنَاكِير على الْأَفْرَاد الْمُطلقَة
Ahmad mengatakan, dia (Buraid bin
Abdullah bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy’ari) meriwayat hadits munkar. Aku
(al-Asqalani) mengatakan, dia itu telah dijadikan hujjah oleh semua imam-imam.
Ahmad dan lainnya menyebut lafazh munkar untuk hadits al-fard al-mutlaq.[8]
Sebagian
umat Islam, sengaja atau tidak sengaja kadang-kadang hanya dengan perkataan
Ahmad bin Hanbal ini menjadikannya sebagai argumentasi untuk menghukum sebuah hadits
sebagai sebuah hadits dha’if. Ini tentu sebuah kesalahan fatal, apalagi kalau
dilakukan secara sengaja hanya demi ta’asub kepada aliran kelompoknya.
[1] Ibnu Hajar
al-Asqalani, Lisanul Mizan, Maktab al-Mathbu’aat al-Islamiyah,
Juz. I, Hal. 199
[2]
Ibnu Hajar
al-Asqalani, Lisanul Mizan, Maktab al-Mathbu’aat al-Islamiyah,
Juz. I, Hal. 199-200.
[3]
Al-Nawawi, al-Azkar,
al-Haramain, Hal. 15
[4]. Al-Zarqani, Syarah
Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits, al-Haramain, Singapura, Hal. 83-84
[5]
Al-Zarqani, Syarah
Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits, al-Haramain, Singapura, Hal. 80-81
[6]
Al-Zarqani, Syarah
Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits, al-Haramain, Singapura, Hal. 67
[7]
Al-Zarqani, Syarah
Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits, al-Haramain, Singapura, Hal. 64.
[8] Ibnu Hajar
al-Asqalani, al-Hadyu al-Saari Muqaddimah Fathul Bari, al-Maktabah
al-Salafiyah, Hal. 392
Tidak ada komentar:
Posting Komentar