Sebuah hadits apabila
dijadikan hujjah oleh seorang ahli hadits, maka itu menjadi petunjuk bahwa
hadits tersebut maqbul (shahih atau hasan) di sisinya. Dibawah ini keterangan
para ulama mengenai ini :
1.
Ibnu Hajar al-Asqalany dalam
mengomentari hadits Ali dan Asmaa bin ‘Amiis yang memandikan jenazah Fatimah
binti Rasulullah SAW mengatakan :
وَقَدْ
احْتَجَّ بِهَذَا الْحَدِيثِ أَحْمَدُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَفِي جَزْمِهِمَا
بِذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى صِحَّتِهِ عِنْدَهُمَا
Hadits ini
telah dijadikan hujjah oleh Ahmad dan Ibnu al-Munzir. Dengan sebab jazam kedua
beliau ini, maka ini menjadi dalil shahih hadits tersebut di sisi keduanya.[1]
2.
Al-Khatib al-Baghdadi mengatakan :
فَأَمَّا
إِذَا عَمِلَ الْعَالِمُ بِخَبَرِ مَنْ رَوَى عَنْهُ لِأَجْلِهِ , فَإِنَّ ذَلِكَ
يَكُونُ تَعْدِيلًا لَهُ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ بِخَبَرِهِ إِلَّا
وَهُوَ رِضًا عِنْدَهُ عَدْلٌ , فَقَامَ عَمَلُهُ بِخَبَرِهِ مَقَامَ قَوْلِهِ:
هُوَ عَدْلٌ مَقْبُولُ الْخَبَرِ
Adapun apabila
seorang alim mengamalkan sebuah khabar dari seorang yang diriwayat berita
tersebut darinya, dimana pengamalannya itu karena khabar tersebut, maka itu
sebagai ta’dil baginya dan dii’timad atasnya. Karena tidak mengamalkan khabar
perawi itu kecuali dia ridha dan di
sisinya perawi tersebut adil. Karena itu,
mengamalkan khabar perawi itu di posisikan pada perkataannya “Dia adil maqbul
khabar.”[2]
kang ijin ambil keterangannya... buat save di buku
BalasHapus