Tidak setiap yang ditinggalkan Nabi SAW secara
mutlaq dipahami sebagai suatu yang tercela atau diharamkan. Karena Nabi SAW meninggalkan
suatu perbuatan kadang-kadang ada motivasi-motivasi tertentu yang
melatarbelakanginya, artinya bukan karena perbuatan tersebut dianggap haram
atau tercela.
Motivasi-motivasi lain yang bukan karena faktor tercela atau haram yang menjadi alasan
Rasulullah SAW meninggalkan suatu perbuatan, antara lain :
1.
Meninggalkannya
karena tidak ada motivasi yang menggerakkan beliau
melakukannya, seperti meninggalkan memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Rasulullah SAW
tidak melakukannya karena tidak wujud orang yang enggan membayar zakat pada
zamannya dan sebaliknya, Abu Bakar r.a. melakukannya, karena wujud orang yang
enggan membayar zakat pada zamannya.[1] Contoh lain, Rasulullah SAW meninggalkan menghimpun al-Qur’an
dalam mashaf, karena tidak muncul kekuatiran pada zamannya bahwa al-Qur’an akan
bercampur dengan lainnya dan dapat hilang dari hafalan-hafalan manusia.
Kekuatiran tersebut muncul pada zaman sahabat Nabi karena penghafal-penghafal
al-Qur’an banyak yang sudah wafat, maka para Khulafaurrasyidin sesudah
Rasulullah SAW membukukan al-Qur’an
dalam bentuk suatu mashaf sebagaimana Mashaf Usmany yang ada sekarang.[2] Ketajaman pemahaman Umar r.a. dapat memahami
bahwa Rasulullah SAW tidak mengumpulkan al-Qur’’an tidak menunjukkan bahwa hal
itu terlarang sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani :
وقد فهِم عمرُ أن ترك النبي صلى الله عليه
وسلم جمعه للقرآن-لا دلالة فيه على المنع،وقد رجع إليه أبوبكر لما رأى وجه الإصابة
في ذلك،وأنه ليس في المنقول ولا في المعقول ما ينُافيه
Sungguh
Umar r.a. memahami bahwa meninggalkan mengumpulkan al-Qur’an oleh Nabi SAW tidak
ada petunjuk bahwa itu terlarang. Abu Bakar r.a. merujuk kembali kepada
pendapat Umar r.a. manakala melihat
jalan pembenarannya dan tidak ada dalam nash yang dinaqalkan dan logika hal-hal yang menafikannya.[3]
2.
Meninggalkannya karena ada penghalangnya, padahal ada motivasi yang menggerakkan untuk
melakukannya. Hal yang menghalanginya
itu antara lain :
a.
Kuatir difardhukan kepada
umatnya, seperti Rasulullah SAW meninggalkan keluar berjama’ah shalat Tarawih
ke mesjid sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut
:أن
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي
الْمَسْجِدِ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثُمَّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثُرَ
النَّاسُ ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي
مِنْ الْخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ
وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Sesungguhnya Rasulullah SAW pada suatu malam
shalat dalam mesjid dengan diikuti oleh manusia. Kemudian beliau keluar untuk shalat pada malam berikutnya,
maka makin banyak manusia shalat bersamanya. Pada malam ketiga atau keempat
manusia keluar berkumpul, Rasulullah SAW tidak keluar-keluar kepada mereka.
Manakala Subuh bersabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya aku telah melihat apa
yang kalian kerjakan dan tidak ada yang mencegahku keluar kepada kalian
kecuali kekuatiranku difardhukan shalat
itu atasmu. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan. (H. R.
Bukhari,[4] Muslim [5] dan Malik) [6]
Kekuatiran ini hilang dengan sebab terputusnya turun
wahyu sesudah wafat Rasulullah SAW. Oleh karena itu, Umar bin Khatab
memerintahkan Ka’ab shalat Tarawih dengan cara berjama’ah dalam satu imam.
Beliau berkata :
إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ
أَمْثَلَ
Sesungguhnya aku berpendapat kalau mereka ini dikumpulkan pada satu qarii,
maka sungguh suatu yang lebih baik.(H.R. Bukhari)[7]
b.
Mafsadah (kerusakan) yang
lebih besar, seperti Rasulullah SAW meninggalkan memugar ka’bah karena kuatir
tersinggung kaum Quraisy sebagaimana digambarkan dalam hadits di bawah ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ
لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ
فَهُدِمَ فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ
Bahwasanya Nabi SAW
Bersabda : " Seandainnya tidak karena kaummu baru saja dari masa
jahiliyah, niscaya aku perintahkan untuk roboh
Baitullah (untuk dipugar kembali), lalu aku masukkan apa yang telah
mereka keluarkan dari padanya” (H.R. Bukhari)[8]
Jadi, seandainya mafsadah ini tidak ada
lagi, maka keharusan meninggalkannya itu tidak berlaku lagi.
3.
Meninggalkannya, karena
tabi’at Rasulullah SAW tidak menyukainya, seperti beliau tidak makan binatang dhabb
(sejenis biawak) karena tabi’at beliau tidak menyukainya sebagaimana dikisahkan
dalam hadits di bawah ini :
عَنْ
خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِضَبٍّ
مَشْوِيٍّ فَأَهْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأَمْسَكَ
يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لاَ وَلَكِنَّهُ لاَ يَكُونُ
بِأَرْضِ قَوْمِي فَأَجِدُنِي أَعَافُهُ فَأَكَلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم يَنْظُرُ.
Dari Khalid bin AI Walid, beliau berkata:
"Satu hari Nabi SAW disuguhi daging panggang dhabb (sejenis biawak) ketika Nabi SAW hendak memakannya,
tiba-tiba ada yang bilang kepada beliau bahwa itu adalah daging dhabb. Seketika
itu beliau menarik kembali tangannya. Maka Khalid bertanya: "Haramkah
daging binatang itu?". Beliau menjawab: "Tidak, hanya saja ia tidak
terdapat di tanah kaumku. Maka aku berusaha menjaga darinya". Khalid lalu
memakannya, sementara Rasululiah SAW hanya memandangi saja.(H.R. Bukhari)[9]
Ini tidak menjadi syari’at bagi umatnya dan tidak dapat
menunjukkan kepada haram makan dhabb, tetapi hanya masalah
tabi’at saja.
4.
Meninggalkannya
karena tidak tergerak pikiran untuk melakukannya. Misalnya Rasulullah SAW tidak
berkhutbah atas mimbar sebelum muncul ide dari salah seorang sahabatnya
sebagaimana dikisahkan dalam riwayat berikut :
عَنِ الطُّفَيْلِ بْنِ أُبَيِّ بْنِ
كَعْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُصَلِّي إِلَى جِذْعٍ وَيَخْطُبُ إِلَيْهِ إِذْ كَانَ الْمَسْجِدُ عَرِيشًا،
فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: أَلَا نَجْعَلُ لَكَ عَرِيشًا تَقُومُ
عَلَيْهِ يَرَاكَ النَّاسُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَتُسْمِعُ مِنْ خُطْبَتِكَ؟
قَالَ: نَعَمْ فَصُنِعَ لَهُ الثَّلَاثُ دَرَجَاتٍ، هُنَّ اللَّوَاتِي عَلَى
الْمِنْبَرِ،
Dari Ath Thufail bin Ubay bin Ka'ab dari
ayahnya r.a. ia berkata; Dahulu Rasulullah SAW shalat bersandar pada batang
kurma dan begitu juga ketika berkhutbah saat masjid masih belum memiliki mimbar.
Lalu seorang laki-laki dari sahabat beliau berkata kepadanya; "Sudikah
baginda kami buatkan mimbar dan diletakkanlah mimbar itu di tempat baginda bisa
berdiri di atasnya dan orang-orang dapat melihat baginda pada (khutbah) hari
jum`at dan mereka dapat mendengarkan khutbah baginda. Beliau menjawab:
"Ya, boleh". Maka dibuatkanlah untuk beliau tiga anak tangga yang
berada pada mimbar (H.R. al-Darimiy [10]dan
Ahmad dalam Musnadnya[11])
5.
Meninggalkannya
karena lupa. Misalnya Rasulullah SAW pernah shalat berjama’ah bersama
sahabatnya dimana Rasulullah kurang raka’at shalatnya karena lupa sebagaimana
dikisahkan oleh Abu Hurairah r.a dalam haditsnya :
صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، فَقِيلَ
صَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ
سَلَّمَ، ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ
Nabi SAW
pernah shalat dhuhur dua raka’at, maka salah seorang shabat berkata : “Engkau
shalat dua raka’at”. Lalu Rasulullah SAW menambah dua raka’at lagi, kemudian
melakukan salam, kemudian sujud dua kali sujud. (H.R. Bukhari)[12]
6.
Meninggalkannya karena perbuatan
itu haram atau makruh yang khusus berlaku atas Nabi SAW. Misalnya Nabi SAW
meninggalkan makan bawang dan sayuran lainnya yang mempunyai bau yang keji sebagaimana
disebut dalam kitab Shahihaini dari Jabir :
وَأَنّهُ أُتِيَ بِقِدْرٍ فِيهِ خَضِرَاتٌ مِنْ بُقُولٍ،
فَوَجَدَ لَهَا رِيحاً، فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ بِمَا فِيهَا مِنَ الْبُقُولِ.
فَقَالَ: قَرّبُوهَا إِلَىَ بَعْضِ أَصْحَابِهِ. فَلَمّا رَآهُ كَرِهَ أَكْلَهَا،
قَالَ: كُلْ، فَإِنّي أُنَاجِي مَنْ لاَ تُنَاجِي
Sesungguhnya Rasulullah
SAW pernah disuguhi panci berisi biji-bijian hijau lantas mencium bau darinya,
lalu beliau diberitahu mengenai biji-bijian apa itu. Lantas beliau bersabda
kepada sebagian para shahabat yang bersamanya, “Dekatkanlah kemari”. Tatkala
melihatnya, beliau tidak suka untuk memakannya seraya bersabda, “Makan
saja, sesungguhnya aku sedang bermunajat kepada Yang tidak kalian munajat.”(H.R.
Bukhari dan Muslim)[13]
Ibnu Mulaqqin telah
memasukkan makan bawang dan sejenisnya ini dalam katagori yang diharamkan
secara khusus kepada Nabi SAW. Kemudian Ibnu Mulaqqin mengutip pendapat al-Mawardi yang memastikan
diharamkannya atas Nabi SAW.[14]
7.
Meninggalkannya karena dalam
rangka memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan perbuatan
tercela sebagaimana halnya yang dilakukan seseorang. Misalnya Rasulullah SAW tidak
menshalati mayat yang masih tersangkut hutang pada orang lain, sebagaimana
dikisahkan dalam hadits Abu Hurairah r.a. berikut :
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُؤْتَى بِالرَّجُلِ المُتَوَفَّى عَلَيْهِ
الدَّيْنُ، فَيَسْأَلُ
هَلْ تَرَكَ لِدَيْنِهِ فَضْلًا؟ فَإِنْ حُدِّثَ أَنَّهُ
تَرَكَ وَفَاءً صَلَّى، وَإِلَّا قَالَ لِلْمُسْلِمِينَ: صَلُّوا عَلَى
صَاحِبِكُمْ
Sesungguhnya dibawakan kepada Rasulullah SAW
jenazah seorang laki-laki yang mempunyai (tanggungan) hutang. Maka beliau
bertanya, “Apakah ia meninggalkan (harta) untuk (melunasi)
hutangnya?” Jika dikatakan bahwa ia meninggalkan (harta) untuk melunasi
hutangnya, maka beliau menshalatkannya. Jika tidak, maka beliau mengatakan
kepada kaum muslimin, “Shalatkanlah jenazah sahabat kalian (ini).(H.R.
Bukhari)[15]
Contoh lain, Rasulullah SAW tidak menshalati mayat yang mati
karena bunuh diri sebagaimana diriwayatkan
pula dari Jabir bin Samurah r.a., ia berkata :
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ، فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ
Pernah dibawa kepada Nabi Shalallahu ’alaihi wa
Sallam seorang laki-laki yang mati bunuh diri dengan tombak, maka beliau
tidak menshalatkannya.(H.R. Muslim)[16]
Tujuan Rasulullah SAW tidak menshalatkan kedua jenazah tersebut
adalah sebagai peringatan bagi yang masih hidup agar tidak mudah berhutang serta
lalai dalam membayarnya dan jangan sampai melakukan bunuh diri. Karena itu, Imam
An-Nawawi mengatakan, al-Nakh’i, Qatadah, Malik, Abu Hanifah, Syafi’i dan
Jumhur ulama berpendapat tetap dishalatkan orang yang mati karena bunuh diri.
Adapun Rasulullah SAW tidak menshalatkannya hanyalah untuk memotivasi
manusia agar menjauhi perbuatan serupa yang dilakukan si mayat pada waktu hidupnya dan
adapun shalat atas mayat dilakukan hanya oleh sahabatnya saja. Demikian Rasulullah SAW meninggalkan shalat
atas mayat yang masih meninggalkan hutang untuk menjadi peringatan bagi umatnya
agar menjauhi menyepelekan hutang dan lalai dalam membayarnya. Namun beliau
memerintahkan sahabatnya menshalatinya.[17]
8.
Nabi SAW meninggalkan
sesuatu yang mubah atau yang utama, karena mengutamakan waktunya digunakan
untuk melakukan amalan yang lebih utama. Misalnya Nabi SAW meninggalkan shalat
hari raya ketika berada di Mina, karena beliau disibukkan dengan manasik dan
mengajarkan manusia hukum-hukumnya. Sedangkan ini lebih penting dari shalat
hari raya. Ini berdasarkan pendapat yang dikuatkan al-Nawawi bahwa shalat hari raya tidak gugur anjurannya
dengan sebab musafir. Adapun hadits yang menerangkan bahwa Nabi SAW
meninggalkan shalat hari raya saat berada di Mina, menurut al-Nawawi shahih dan
ma’ruf.[18] Contoh lain, ulama yang
berpendapat azan lebih utama dari imamah, mengatakan Nabi SAW meninggalkan
melakukan azan tidak berarti azan tidak lebih utama dari imamah. Nabi SAW meninggalkan azan, karena kesibukan beliau
menyampaikan risalah dan mengurus urusan kaum muslimin, sehingga tidak ada kesempatan
untuk azan. Berdasarkan ini, Umar bin Khathab r.a. mengatakan, “Seandainya
tidak ada khilafah, maka sungguh aku melakukan azan.”[19]
Ini
menunjukkan bahwa tidak setiap yang ditinggalkan Nabi SAW merupakan bukan
perbuatan yang utama.
9.
Nabi SAW meninggalkannya
karena pada ‘adat tidak mampu melakukannya pada zamannya, meskipun ada motivasi
untuk melakukannya, sedangkan pada zaman
sesudahnya mungkin dilakukannya, seperti menggunakan pengeras suara (micropon)
pada azan, takbir imam shalat, khutbah dan lain-lain.
Kriteria suatu
perbuatan yang ditinggal oleh Nabi SAW adalah bid’ah tercela
Sebagaimana
sebelum ini sudah dijelaskan bahwa tidak semua perbuatan yang ditinggalkan oleh
Nabi SAW merupakan perbuatan tercela atau suatu yang diharamkan, karena
kadang-kadang Nabi SAW meninggalkan suatu perbuatan bukan karena perbuatan itu
tercela, akan tetapi karena ada motivasi lain.
Karena itu ada kriteria-kriteria tertentu suatu perbuatan yang ditinggal
oleh Nabi SAW dianggap bid’ah tercela.
Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah :
Perbuatan itu ditinggalkan oleh Rasulullah, tetapi
perbuatan tersebut ada motivasinya untuk dilakukannya dan tidak ada penghalang (maani’) melakukannya.
Kriteria di atas merupakan rangkuman dari pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami
dalam al-Fatawa al-Kubra beliau berikut ini :
وَكَذَا
مَا تَركه - صلى الله عليه وسلم - مَعَ قيام الْمُقْتَضى فَيكون تَركه سنة وَفعله
بِدعَة مذمومة وَخرج بقولنَا مَعَ قيام الْمُقْتَضى فِي حَيَاته تَركه إِخْرَاج
الْيَهُود من جَزِيرَة الْعَرَب وَجمع الْمُصحف وَمَا تَركه لوُجُود الْمَانِع
كالاجتماع للتراويح فَإِن الْمُقْتَضى التَّام يدْخل فِيهِ الْمَانِع
Demikian
pula perkara yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, padahal motivasi untuk
melakukannya sudah ada ketika itu. Maka meninggalkannya adalah sunnah dan
melaksanakannya adalah bid’ah yang tercela. Dan dengan ucapan kami
“Motivasi untuk melakukannya telah ada pada masa hidup beliau”, dikecualikan dari bid’ah perbuatan beliau tidak mengusir
kaum Yahudi dari Jazirah Arab dan tidak menghimpun mushaf. Dan juga
dikecualikan perbuatan yang beliau tinggalkan karena ada
penghalang seperti mengadakan jamaah shalat tarawih, maka adanya motivasi
yang sempurna untuk mengadakan shalat jamaah tarawih masuk penghalang
padanya.[20]
Juga penjelasan al-Zahabi berikut :
ما أمسك عن
فعله، أو الأمر به والنَّدْب, مع قيام المقتضي دَلَّ على أنه
ليس بَحَسَن ولا بِرٍّ.
Perkara-perkara yang mana Rasulullah SAW menahan diri
dari melakukannya, menahan diri dari memerintahkan atau
menganjurkannya, padahal motivasi untuk melakukannya sudah tegak, maka ini
menunjukkan bahwa perkara tersebut bukanlah kebaikan.[21]
Kriteria di
atas merupakan qarinah yang menunjukkan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi SAW
merupakan perbuatan tercela. Adapun apabila kriteria tersebut tidak ada,
alias bersifat mutlaq tanpa qarinah, maka tidak ada petunjuk kepada hukum
taklifi tertentu, apalagi kalau dikatakan menjadi petunjuk kepada haram suatu
perbuatan. Bahkan apabila perbuatan itu tidak termasuk dalam katagori dua
kriteria di atas, kemudian didukung oleh dalil-dalil syara’ dan qawaid agama secara
umum untuk mengamalkannya, maka termasuk dalam amalan yang maqbul di sisi
Allah. Ini sesuai dengan mafhum mukhalafah dari hadits Nabi SAW berbunyi :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan)
dalam urusan (agama) kami yang bukan
dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari [22] dan Muslim [23])
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu”
(sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan
agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang
bersifat umum. Karena itu, dalam mengurai kandungan
hadits ini,
beliau berkata :
واما لا ينافي
ذالك بان شهد له شيء من ادلة الشرع او قواعده فليس يرد على فاعله بل هو مقبول منه
وذالك كبناء نحو الرباط وخانات السبل وساْئر الانواع التي لم تعهد في الصدر الاول
Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung
oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan
amalannya diterima. Demikian itu seperti membangun ribath, pondok singgahan
musafir dan jenis-jenis lainnya yang tidak dimaklum pada zaman pertama.[24]
[1] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain,
Singapura, Hal. 24
[2] Al-Khuzhari Bek, Itmaam al-Wafa’, al-Haramain,
Singapura, Hal. 154
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fahul
Barri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. IX, Hal. 14
[4] Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II,
Hal. 50, No. hadits 1129
[6] Imam Malik, al-Muwatha’,
Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 113,
No. Hadits : 248
[7] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz.
III, Hal. 58, No. Hadits : 2010
[8] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz.
II, Hal. 180, No. Hadits : 1586
[9] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz.
VII, Hal. 93, No. Hadits : 5400
[13]Ibnu Mulaqqin, Ghayah al-Saul fi Khasais
al-Rasul, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Hal. 128
[18] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. V, Hal. 31-32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar