A.
Pembagian sifat dari aspek dalilnya.
Dari
sisi pendaliliannya, para ulama membagi sifat-sifat Allah kepada tiga
pembagian, yakni :
1.
Sifat-sifat
yang tidak sah pendaliliannya kecuali dengan dalil akal, yakni sifat-sifat yang
tawaqquf mu’jizat kepadanya (tidak ada mu’jizat kecuali dengannya), seperti
wujud, qidam, baqaa, qiyamuhu binafsihi, mukhalafatuhu lil hawadits, qudrah,
iradah, ilmu dan hayah.
2.
Sifat-sifat
yang tidak sah pendaliliannya kecuali dengan dalil sima’i (dalil naqli), yakni
yang sifat-sifat yang tidak tawaqquf mu’jizat kepadanya seperti sama’, bashar
dan kalam.
3.
Sifat
yang terjadi khilafiyah padanya. Namun menurut pendapat yang lebih shahih,
dalilnya adalah ‘aqli.[1]
Pendalilian dengan dalil naqli juga berlaku bagi sifat keadaan zat
yang mendengar, keadaan zat yang melihat dan keadaan zat yang berkalam. Karena tiga
sifat ini merupakan konsekwensi logis dari sifat sama’, bashar dan kalam. Al-Dusuqi
mengatakan sifat dua puluh yang telah disebutkan, sebagiannya dalilnya adalah ‘aqli,
yakni selain sama’, bashar, kalam, keadaan zat yang mendengar, keadaan zat yang
melihat dan keadaan zat yang berkalam. Sedangkan sebagian lainnya adalah naqli,
yakni enam yang telah disebutkan.[2]
Kewajiban
pendalilian sifat-sifat pembagian pertama dan ketiga dengan dalil ‘aqli adalah
karena seandainya pendaliliannya dengan dalil naqli, maka penetapan sifat-sifat
tersebut tawaqquf kepada dalil naqli. Sedangkan dalil naqli, penetapannya tawaqquf
kepada ketetapan risalah kerasulan nabi, kemudian ketetapan risalah kerasulan
nabi ini tawaqquf kepada adanya mu’jizat. Padahal adanya mu’jizat itu sendiri
tawaqquf kepada sifat-sifat pembagian pertama dan ketiga ini. Yakni konsekwensi
logis dari pendalilian dengan dalil naqli adalah tawaqquf sifat kepada mu’jizat
dimana mu’jizat itu sendiri juga tawaqquf kepada sifat tersebut. Ini mustahil,
karena mengakibatkan daur. Dalam ilmu kalam, daur adalah suatu pendalilian yang
yang berujung kepada ketergantungan kepada dalil lainnya, sedangkan dalil lain
ini juga tergantung kepada dalil pertama. Pendalilian seperti ini disepakati
mustahil.
Apabila
ada kritikan dengan mengatakan dalil dalam i’tikad harus bersifat qath’i matan
dan dalalah, sedangkan nash syara’ hanya qath’i matan (riwayat mutawatir),
adapun dalalah nash-nash tentang sifat sama’ dan bashar adalah dhanni, karena
dhahir makna. Karena sama’ dan bashar kadang-kadang dimaknai dengan makna ilmu
dengan jalan majaz. Menjawab ini, al-Dusuqi mengatakan, asal sebuah lafazh
menempatkannya kepada makna hakikat. Menempatkannya kepada makna majazi harus
dengan syarat ada qarinah, sedangkan di sini tidak wujud qarinah. Dan juga
dhahir pada makna tersebut banyak, sedangkan dhahir apabila banyak berfaedah qath’i.[3]
B.
Pembagian sifat-sifat Allah dari sisi pengelompokan pengertiannya
Syeikh Ibrahim al-Bajuri menjelaskan kepada kita bahwa syai’
(sesuatu) ada empat katagori, yakni
1.
Maujud,
yakni sesuatu yang memungkin atau sah dilihat. Ini martabat yang tertinggi.
2.
Ma’dum,
yakni yang tidak tsubut baginya. Ini martabat yang paling rendah.
3.
Hal,
yakni yang berada antara maujud dan ma’dum, martabatnya lebih rendah dari
maujud dan lebih tinggi dari amrun i’tibari dan dari ma’dum.
4.
Amrun
i’tibari. Amrun i’tibari ini terbagi kepada dua, yaitu ikhtira’i dan intiza’i.
Ikhtira’i adalah sesuatu yang tidak ada sama sekali pada kenyataan (tidak
tahaqquq), namun ditaqdirkan ada dalam alam pikiran seseorang, seperti dermawan
orang yang kikir dan kikir orang yang dermawan. Adapun intiza’i adalah yang
tahaqquq pada kenyataan, seperti dermawan orang dermawan dan kikir orang yang
kikir.
Pembagian empat ini berdasarkan pendapat ahli kalam yang menyatakan
adanya hal. Adapun berdasarkan pendapat yang menafikan hal, maka pembagiannya
adalah tiga. Menurut Ibrahim al-Bajuri pendapat terakhir ini yang benar.[4] Dalam pembahasan devinisi wujud, al-Dusuqi
mengatakan telah terjadi perbedaan pendapat para ulama dalam menjelaskan
devinisinya. Imam al-Asyari menyebutkan wujud adalah ‘ain zat. Al-Razi
mengatakan amrun i’tibari, artinya tidak tsubut kecuali pada ‘i’tibar orang
yang mengi’tibar, sedangkan Imam al-Haramain dan Qadhi Abu Bakar al-Baqilani
mengatakan wujud adalah hal, maka wujud tsubut pada dirinya, tetapi tidak
sampai kepada martabat al-wujud al-kariji.[5] Berdasarkan
penjelasan al-Dusuqi ini, maka Imam al-Asy’ari dan al-Razi termasuk ulama yang menafikan
adanya hal, sedangkan yang menetapkan adanya hal antara lain Imam al-Haramain
dan Qadhi Abu Bakar al-Baqilani.
Berdasarkan pembagian di atas, maka sifat yang wajib bagi Allah
dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1.
Sifat
yang qadim dan maujud yang selain dari zat (zaa-id ‘ala al-zat) dan qaaim pada
zat Allah Ta’ala. Dalam kajian sifat dua puluh, biasa disebut dengan sifat ma’ani.
Termasuk dalam kelompok ini adalah qudrah, iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar
dan kalam. Imam al-Sanusi dalam kitab Syarah Umm al-Barahin menyebutkan
devinisi sifat ma’ani sebagai sifat yang maujud pada dirinya, baik sifat itu baharu
seperti putih atau hitam bagi benda maupun qadim seperti ilmu dan qudrah Allah
Ta’ala.[6]
Karena sifat ini maujud, maka pada akal, sah dan memungkinkan dilihat
seandainya terbuka hijab sebagaimana dijelaskan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam
point pembagian syai’ di atas.
2.
Sifat
yang ma’dum, yakni sifat yang tidak maujud. Penisbatannya kepada Allah Ta’ala
hanya untuk menafikan sifat-sifat yang kurang dan tidak patut atas Allah
Ta’ala. Dalam kajian sifat dua puluh, biasa disebut dengan sifat salbiyah.
Termasuk dalam kelompok ini adalah qidam, baqaa, mukhalatuhu lil hawadits,
qiyamuhu binafsihi dan wahdaniat. Al-Dusuqi mengatakan alasan sifat qidam
termasuk sifat salbiyah karena salbiyah bermakna menafikan yang tidak patut
atas Allah Ta’ala, yakni tidak ada (‘adam) yang terdahulu dari wujud.[7]
3.
Sifat
hal, yakni sifat yang qaaim pada zat dan tetapi sifat ini tidak maujud dan juga
tidak ma’dum, tetapi antara maujud dan ma’dum. Ulama yang berpendapat ada sifat
hal, mereka memasukkan dalam kelompok ini sifat hal nafsiyah (sifat yang tidak
maujud pada dirinya dan wajib bagi zat selama ada zat serta wujudnya bukan
karena ada ‘illat[8]).
Sifat ini hanya satu, yakni wujud dan sifat hal ma’nawiyah (sifat yang tidak
maujud pada dirinya, akan tetapi wujudnya karena ada ‘illat. Sifat ini wajib
bagi zat selama ‘illatnya tetap pada zat[9]). Sifat
ini adalah keadaan zat yang berkuasa, keadaan zat yang berkehendak, keadaan zat
yang mengetahui, keadaan zat yang hidup, keadaan zat yang mendengar, keadaan
zat yang melihat dan keadaan zat yang berkalam. Menurut Imam al-Asy’ari wujud
adalah ‘ain maujud. Pemahaman ini dibangun atas dasar tidak ada sifat hal,
karena menurut beliau, tidak ada perantara antara wujud dan ‘adam.
4.
Ulama
yang menafikan sifat hal, mereka memasukkan sifat nafsiyah dan ma’nawiyah dalam
kelompok sifat amrun i’tibari. Dengan demikian, pengertian sifat ma’nawiyah
berdasarkan pendapat ini adalah qiyam (tetap) sifat ma’ani pada zat. Qiyam
tersebut adalah amrun i’tibari. Sehingga makna keadaan Allah Ta’ala yang
berilmu adalah qiyam ilmu pada zat, sedangkan qiyam ilmu pada zat itu tidak
wujud pada kharij dan hanyalah i’tibar saja.[10] Syeikh
al-Shawi memberikan ilustarasi kepada kita, apabila seseorang mengeluarkan
pakaian dari lemari, maka pakaian tersebut disifati dengan dhuhur (nyata, tidak
tersembunyi). Sifat dhuhur pada pakaian ini hanyalah amrun i’tibari yang tidak
tsubut pada kharij (kenyataan) sehingga memungkinkan dan sah dilihat.[11] Namun
bagi ulama yang berpendapat adanya sifat hal, mereka ini mengatakan sifat
dhuhur pada contoh yang dikemukakan oleh al-Shawi tersebut di atas merupakan
hal, yakni keadaan baju yang dhahir (tidak tersembunyi). Keadaan baju yang
dhahir ini tidak naik dalam martabat maujud sehingga memungkinkan dan sah
dilihat dan juga tidak turun ke martabat ma’dum sehingga dikatakan tidak ada
sama sekali, akan tetapi hanya maujud dalam zihin (alam pikir seseorang). Inilah
yang disebut dengan sifat hal.
C.
Kenapa yang wajib diketahui hanya dua puluh sifat
Sebagaimana
yang telah dirumus oleh ulama kita dan juga penjelasan di atas bahwa sifat yang
wajib bagi Allah dan yang wajib diketahui adalah dua puluh sifat yang
dikelompokkan dalam empat kelompok, yaitu :
1.
Sifat
nafsiyah, yakni wujud
Sifat ini
merupakan esensi dari kajian ketauhidan, karena ketauhidan seseorang pertama
sekali dilihat dari sisi keimanannya kepada wujud Allah. Syahadat tauhid
sendiri yang menjadi syarat keimanan seseorang bermakna pengakuan wujud Allah
dan menafikan selain-Nya. Maka bagaimana kita dapat mengatakan sifat ini tidak
wajib diketahui ?
2.
Sifat
salbiyah.
Sifat salbiyah ini mencakup qidam,
baqaa, mukhalatuhu lil hawadits, qiyamuhu binafsihi, wahdaniat. Sifat yang
menafikan kekurangan dan dan penisbatan yang tidak patut bagi Allah Ta’ala
banyak sekali, namun para ulama membatasi kewajiban mengetahuinya hanya pada
enam sifat saja. Alasannya antara lain :
a.
Konsekwensi
logis dari menafikan lawan-lawan dari sifat yang lima ini tanzih Allah Ta’ala
dari semua kekurangan dan yang tidak patut bagi-Nya. Karena itu, lima sifat
salbiyah ini memadai untuk menafikan semua kekurangan dan yang tidak patut bagi
Allah Ta’ala. Karenanya, dinamakan muhimmah al-ummahat (sifat-sifat induk yang
sangat penting) sebagaimana dikemukan al-Shawi.[12]
b.
Semua
sifat salbiyah selain yang lima kembali kepada lima sifat ini. Misalnya nafi ayah, teman, penolong dan sifat-sifat
kekurangan lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam Tuhfah
al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid [13]
c.
Hanya
lima sifat salbiyah ini yang dapat diketahui dengan dalil qath’i dan secara tafshili.
Dengan demikian, hanya lima sifat salbiyah ini yang wajib diketahui secara tafshili.
Penjelasan ini dikemukakan oleh Ibrahim al-Bajuri dalam kitab Tahqiq al-Maqam
‘ala Kifayah al-‘Awam.[14] Perlu dicatat, dalam
masalah akidah yang bersifat qath’i tidak memadai menetapkan sesuatu hanya
dengan dalil dhanni (wajib dengan dalil qath’i, baik matan maupun dalalah).
3.
Sifat
ma’ani
Sifat ma’ani ini mencakup qudrah,
iradah, ilmu, hayah, sama’, bashar dan kalam. Sifat yang maujud dan qadim yang
qaaim pada zat Allah Ta’ala juga banyak dan tidak terhingga, namun para ulama membatasi kewajiban mengetahuinya
hanya pada tujuh sifat saja. Alasannya antara lain :
a.
Hanya
tujuh sifat ma’ani ini yang dapat diketahui dengan dalil qath’i dan secara
tafshili. Dengan demikian, hanya tujuh sifat ma’ani ini yang wajib diketahui
secara tafshili. Dalam konteks menjelaskan kenapa sifat Allah Ta’ala yang wajib
diketahui hanya terbatas dua puluh sifat, dimana di dalamnya termasuk sifat
ma’ani yang tujuh, Imam al-Sanusi mengatakan, sifat yang wajib bagi Allah Taala
tidak terbatasi kepada dua puluh sifat saja, karena sifat kesempurnaan Allah
Ta’ala tidak terbatas dan terhingga. Namun ketidakmampuan kita mengenal
sifat-sifat yang tidak mampu ditegaskan dengan dalil ‘aqli dan naqli, kita
tidak dihukum dengan sebabnya dengan kemurahan Allah Ta’ala.[15]
b.
Adapun
sifat-sifat Allah seperti menciptakan, mematikan, menghidupkan dan lain-lain,
maka ini merupakan sifat baharu, bukan sifat qadim yang qaaim pada zat. Sifat
ini biasa disebut dalam kajian akidah sebagai sifat af’al yang dibatasi dengan
ruang dan waktu. Karena itu, sifat af’’al ini termasuk sifat baharu. Mengenai tidak
ada kewajiban mengetahuinya, ini karena sifat af’al ini kembali kepada tujuh
sifat ma’ani. Contohnya menciptakan, mematikan dan menghidupkan, ketiga sifat
ini kembali kepada sifat qudrah Allah Ta’ala, dimana dengan sifat qudrah ini
Allah Ta’ala menciptakan, mematikan dan menghidupkan sesuatu.
c.
Adapun
Asmaul Husna Allah Ta’ala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1). Ibrahim al-Bajuri mengatakan, asmaa adalah yang menunjukkan
kepada zat semata-mata seperti Allah atau i’tibar sifat seperti al-Aalim (Yang
Mengetahui) dan al-al-Qaadir (Yang Berkuasa).[16]
2). Apabila asmaa Allah hanya menunjukkan kepada zat semata-mata,
maka ini jelas tidak menunjukkan kepada sifat, akan tetapi hanya kepada zat
semata-mata dan apabila menunjukkan
kepada sifat, maka ini kembali kepada salah satu sifat dua puluh di atas. Contohnya
al-Muhyii (Yang menghidupkan), al-Mumiit (Yang Mematikan). Kedua asmaa ini
kembali kepada sifat qudrah dan iradah Allah. Contoh lain al-‘Aziiz (Yang
perkasa) yang kembali kepada sifat qiyamuhu binafsihi, al-Awwal dan al-Aakhir
yang kembali kepada sifat qidam dan baqaa. Sesuai dengan penjelasan ini, Dr. Sa’id
Fudah mengatakan, hitungan sifat ma’ani adalah tujuh, tidak banyak dari itu,
karena dalil qath’i hanya menunjukkan kepada tujuh ini, tidak menunjukkan
kepada selain tujuh yang berbeda dengannya. Sebagai contoh apabila kita
mengatakan Allah al-Mushawwir (Yang memberi bentuk), sungguh kita tidak dapat
memahami dari asmaa al-Mushawwir kecuali Allah menciptakan bentuk dan keadaan
Allah yang menciptakan bentuk. Ini tentu didasarkan kepada keadaan Allah yang berkuasa,
berkehendak dan mengetahui dan seterusnya. Maka al-khaliq (yang menciptakan) tidak
boleh tidak mesti keadaannya yang berkuasa, berkehendak dan mengetahui. Demikian
juga al-Muntaqim (Yang Mengancam). Seandainya kita dalami makna kebanyakan
asmaa al-husna, sungguh kita mengatakan ia kembali kepada apa yang telah kami
sebutkan.[17]
d.
Adapun
sifat-sifat yang diriwayatkan berdasarkan hadits ahad, maka ini tidak dapat
menjadi akidah, karena nilainya adalah dhanni. Sedangkan dalil dhanni tidak
berfaedah kepada ilmu dan i’tikad sebagaimana dipahami dalam ilmu ushul. Imam
al-Haramain mengatakan, ahad adalah berita yang mewajibkan amal dan tidak
mewajibkan ilmu, karena memungkin tersalah padanya.[18]
4.
Sifat
ma’nawiyah
Sifat ma’nawiyah ini merupakan
konsekwensi logis dari bersifat Allah Ta’ala dengan sifat ma’ani. Karena itu,
kewajiban mengetahui sifat ma’nawiyah ini sesuai dengan kewajiban mengetahui
sifat ma’ani. Apabila kita menetapkan kewajiban mengetahui sifat ma’ani denga
tujuh sifat sebagaimana dalam penjelasan sifat ma’ani di atas, maka kewajiban
mengetahui sifat ma’nawiyah ini juga tujuh sifat saja.
Catatan
1. Sifat yang wajib bagi Allah Ta’ala tidak terbatasi kepada dua puluh
sifat saja, karena sifat kesempurnaan Allah Ta’ala tidak terbatas dan terhingga.
Namun ketidakmampuan mengenal sifat-sifat kesempurnaan yang tidak terhingga itu
secara tafshil dengan dalil-dalil qath’i menjadi alasan tidak ada kewajiban mengetahuinya
sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Sanusi di atas.
2. Namun demikian, diwajibkan mengi’tiqad bahwa Allah mempunyai
sifat-sifat yang sempurna secara ijmali, karena ada kemampuan bagi kita
mengenalnya secara ijmali.
[1].Ibrahin al-Bajuri,
Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid, Darussalam, Kairo, Hal.
72
[2] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala
Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 73
[3]
Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala
Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 169
[4]
Ibrahin al-Bajuri, Tahqiq
al-Maqam ‘ala Kifayah al-‘Awam, Maktabah DarAhmad bin Sa’id bin Nubhan wa
Auladuhu, Surabaya, Hal. 26
[5]
Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala
Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 74
[6] Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin,
dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra,
Semarang, Hal. 97
[7] Al-Dusuqi, Hasyiah al-Dusuqi 'ala
Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 76
[8]
Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin,
dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra,
Semarang, Hal. 97
[9] Al-Sanusi, Syarah
Umm al-Barahin, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm
al-Barahin, Thaha Putra, Semarang, Hal. 97
[10] Al-Syarqawi, Hasyiah
al-Syarqawi ‘ala al-Hud Hudiy, Syirkah al-Ma’arif, bandung, Hal. 47
[11] Al-Shawi,
Syarah al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, Hal. 144
[12] Al-Shawi,
Syarah al-Shawi ‘ala Jauharah al-Tauhid, Hal. 148
[13] Ibrahin
al-Bajuri, Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid, Darussalam,
Kairo, Hal. 107
[14] Ibrahin al-Bajuri,
Tahqiq al-Maqam ‘ala Kifayah al-‘Awam, Maktabah DarAhmad bin
Sa’id bin Nubhan wa Auladuhu, Surabaya, Hal. 32
[15]
Al-Sanusi, Syarah Umm al-Barahin,
dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarah Umm al-Barahin, Thaha Putra,
Semarang, Hal. 73
[16]
Ibrahin
al-Bajuri, Tuhfah al-Murid Syarah Jauharah al-Tauhid, Darussalam,
Kairo, Hal. 152
[17]
Dr. Sa’id
Fudah, Tahzib Syarah al-Sanusiyah, Hal. 30
[18].Imam
al-Haramain, al-Warqaat, dicetak bersama syarahnya pada Hamisy
Hasyiah al-Damyaathiy ‘ala Syarah al-Warqaat, Maktabah Raja Murah, Pekalongan,
Hal. 19
Asalamu'alaikum tgk. Saya mau tanya,mengapa ta'aluq sifat ilmu hanya ta'aluq tanjizi qodim tidak ta'aluq suluhi qodim?
BalasHapuskarena ilmu Allah Ta'ala tanjiz bil fi'l (mengetahui langsung) dari azali. berbeda dengan qudrah, karena qudrah ta'alluqnya ditentukan zamannya sesuai dengan kapan makhluq itu tercipta. jadi makna ta'aluq suluhi qodim pada qudrah Allah patut untuk menciptakan, akan tetapi belum menciptakan. sedangkan ilmu, allah mengetahui segala yg akan ada dengan ilmu-Nya dari azal.
HapusAssalamualaikum..saya ingin bertanya, boleh kah ustaz contohkan antara amrun iktibari dengan Hal...saya masih belum dapat gambaran kefahaman nya...terima kasih ustaz.
BalasHapusAssalamualaikum..saya ingin bertanya, boleh kah ustaz contohkan antara amrun iktibari dengan Hal...saya masih belum dapat gambaran kefahaman nya...terima kasih ustaz.
BalasHapusAssalamualaikum..saya ingin bertanya, boleh kah ustaz contohkan antara amrun iktibari dengan Hal...saya masih belum dapat gambaran kefahaman nya...terima kasih ustaz.
BalasHapusGhgh
Hapusdalam tulisan di atas, kan ada contohnya coba baca yg habis
HapusAssalamualaikum tgk...bolehkah contohkan beza antara amrun iktibari dgn Hal...kerana saya masih tak dapat gambaran contoh nya..
BalasHapusTeungku saya mau bertanya masalah zhan tersalah, menurut kaidah, zhan apabila nyata tersalah maka batal. kasusnya, sebelum salat subuh kita zhan masih dlm waktu, setelah salat, nyatalah salah zhan tadi. apakah salat subuh itu batal krn salah zhan sehingga harus diqadha, atau shalat itu dihitung qadha tdk perlu qadha lagi?
BalasHapusAsalamu alaikum.. mau tnya ustadz..jadi pembagian sifat 20 menurut derajatnya adalah sifat nafsiah dan manawiyah adalah Kategori Hal. Sifat ma'ani kategori Maujud dan sifat salbiyah ini kategori Madum apa amrun I'tibari??? Syukron ustadz
BalasHapusAsalamu alaikum.. mau tnya ustadz..jadi pembagian sifat 20 menurut derajatnya adalah sifat nafsiah dan manawiyah adalah Kategori Hal. Sifat ma'ani kategori Maujud dan sifat salbiyah ini kategori Madum apa amrun I'tibari??? Syukron ustadz
BalasHapusAssalamualaikum..
BalasHapusSemoga berkah ilmee droeneh tungku..sehat...panyang umu..murah rasiki...Sabe lam lindungan Allah...
Terimakasih ilmunya Tengku..