Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/cat yang menempel, sehingga tidak boleh dipakai bila hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air kepada anggota wudhu tidak boleh dipakai oleh orang yang berwudhu atau orang yang mandi wajib. Zainuddin Al-Malibary dalam Fathul Muin mengatakan :
“Syarat wudhu’ keempat adalah tidak ada sesuatu yang menghalangi antara air dan anggota yang dibasuh seperti kafur, lilin, minyak yang sudah membeku, zat dawat dan zat inai, berbeda halnya (tidak mengapa) minyak yang mengalir meskipun air tidak tetap atasnya,dan berbeda juga halnya (tidak mengapa) bekas dawat dan bekas inai”.1
Sedangkan tangan termasuk anggota yang wajib dibasuh pada wudhu’ dan mandi wajib. Sesuai dengan firman Allah SWT :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub, maka bersucilah (Q.S. al Maidah:6)
Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid tidak mengapa memakai kuteks ini. Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir atau orang-orang biasa berbuat fasid. Karena alasan ini, maka tidak boleh memakainya, agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir atau pakaian orang-orang biasa berbuat fasid, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW :
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum itu. (H.R. Abu Dawud)2
Al-Sakhawy mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu Daud dan al-Thabrany dalam al-Kabir dari hadits Muniib al-Jarsyi dari Ibnu Umar secara marfu’ dengan sanad dha’if, namun hadits ini telah disokong oleh hadits Huzaifah dan Abu Hurairah di sisi al-Bazar, di sisi Abu Na’im dalam Tarikh Ashbahan dari Anas dan di sisi al-Qadha’i dari hadits Thawus secara mursal. 3 Dengan demikian, hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik menjadi hasan karena ada sokongan dari jalur-jalur lain sebagaimana terlihat dari uraian di atas. Kesimpulan ini sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani berikut :
”Hadits ini dikeluarkan Abu Daud dengan sanad hasan." 4
DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 35
2.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 441, Nomor hadits : 4031
3.Al-Sakhawy, al-Maqashid al-Hasanah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 639
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 271
Jumat, 17 Juni 2011
Kamis, 16 Juni 2011
KH Abdullah Syafii
Orang Jakarte, siapa yang tak kenal nama KH Abdullah Syafii (alm) dan Perguruan Assyafi’iyah. Sedangkan bagi penduduk Jakarta, setidaknya mengenal nama ulama kharismatis ini sebagai nama jalan terusan Casablanca-Tebet Jakarta Selatan. Syahdan, dengan kapal layar, pada pertengahan abad ke-19 (1834), Syaikh Junaid, seorang ulama Betawi, menuju Mekah. Di sana ia bermukm dengan menggunakan nama al-Betawi. Kefasihannya amat termashur karena beliau dipercaya menjadi imam Masjidil Haram.
Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.
Syaikh Junaid mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syaikh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.
Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syaikh Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan ini menurunkan Guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.
Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia. Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan dan mengembangkan Perguruan Assyafiiyah dengan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.
KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, merupakan masjid yang megah hingga sekarang. Semuanya berawal dari mushola bekas kandang sapi, yang dijadikan cikal bakal Perguruan Asyafiiyah.
Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie perguruannya menghasilkan ribuan orang diantara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia. KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Di bidang politik, beliau pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi.
Nama Pesantren
Ajaran birulwalidain dari Guru Marzuki, juga diwariskan KH Abdullah Syafi’ie kepada putranya, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii. Salah satu tanda baktinya kepada ayahanda, KH Abdul Rasyid memberi nama pesantren yang didirikannya di Pulo Air, Sukabumi, sebagai Pesantren KH Abdullah Syafi’ie. Dirintis pada 1990-an, Pesantren al Qur’an tersebut berdiri di atas tanah wakaf pengusaha restauran Sunda, Haji Soekarno (alm). Tanah itu awalnya berupa taman rekreasi Pulo Air seluas 3,3 hektar. Pertama kali dibuka, jumlah santrinya hanya 13 murid SD. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perkembangannya kini sungguh amat pesat.
Sekarang saja Pesantren KH. Abdullah Syafii telah menempati tanah seluas 27 ha dengan sarana bangunan yang dimiliki terbilang lengkap. Santrinya lebih dari 650 orang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan pernah ada yang berasal dari Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, maupun dari Jeddah, Saudi Arabia.
Selain belajar dan Menghafal al Quran mereka pun belajar pengetahuan umum yang diajarkan mulai dari TK, SD, SMP, SMU. Demikianlah warna pesantren KH. Abdullah Syafi’i, ia memadukan gaya pesantren hafidz Qur,an dengan sekolah umum.
Selintas Macan Betawi
KH Abdullah Syafi’ie, yang populer sebagai ”Macan Betawi”, lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan pada 16 Sya’ban 1329 H./10 Agustus 1910 hari Sabtu. Nama ayahnya H. Syafi’ie Bin Sairan dan ibundanya Nona Binti Asy’ari. Mempunyai dua orang adik perempuan yang bernama H. Siti Rogayah dan H. Siti Aminah.
Kedua orangtuanya cinta kepada orang-orang alim dan soleh sehingga dari sejak kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama.
Sambil belajar, menuntut ilmu terus mengajar. Pada umur 17 tahun sudah memperoleh surat pemberian tahoe: boleh mengajar di langgar partikulir.
Ketika berumur 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali Matraman. Di situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-ummat mengajak mereka ke jalan Allah.
Sekitar tahun 30-an, da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar Jakarta dan almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir Alhaddad).
Sekitar tahun 40-an, membangun tempat pendidikan yaitu madrasah tingkat Ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari keluarga.
Pada tahun 1957 membangun AULA AS-SYAFI’IYAH yang diperuntukkan bagi madrasah tingkat Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin. Tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI As-Syafi’iyah). Tahun 1967 mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan menjadi UIA.
Tahun 1968 merintis tempat pendidikan disuatu desa pinggiran Jakarta, yaitu Jatiwaringin Kecamatan Pondokgede Bekasi sebagai pengembangan dari pendidikan yang telah ada. Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin. Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk Yataama dan Masaakin.
Pengembangan sarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke sekitar Jakarta seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp. Jakasampurna-Bekasi dll. Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk kampus Universitas Islam As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua I Majlis Ulama Indonesia pada periode pertama dan juga sebagai Ketua Umum Majlis Ulama DKI periode pertama dan kedua.
Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan ulama untuk masa yang akan datang dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu Ma’had Aly DAARUL ARQOM As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum berhati lembut : merasa pedih hatinya dengan penderitaan ummat terutama jika ummat mendapat musibah dalam urusan agama. Almarhum segera berusaha memberikan petunjuk dan pengarahan serta mencarikan jalan-jalan keluarnya.
Selalu mengajak ummat kepada Tauhidullah dan AQIDAH ala thoriqoh Alissunnah wal jama’ah. Dimana-mana beliau berdakwah dan berceramah selalu mengajak jama’ah untuk beristighfar dan mengumandangkan kalimatuttauhid: La ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah. Jiwa dan semangatnya membangun ummat untuk menghidupkan syi’arnya agama Islam. Mendirikan masjid-masjid, musholla dan madrasah serta pesantren-pesantren. Menggalakkan ummat untuk berani dan suka beramal jariah, infak dan shodaqoh serta berwakaf. Mengajak Ulama dan Asatidzah untuk bersatu. Memberikan kesempatan kepada Asatidzah dan Ulama-ulama muda untuk tampil ditengah masyarakat. Menyelenggarakan Majlis Muzakarah Ulama dan Asatidzah.
Menyantuni para dhu’afaa (kaum yang lemah) dengan bantuan berupa beras, pakaian, uang dll.
Pada Selasa dinihari jam 00.30 KH Abdullah Syafi’ie berpulang ke rahmatullah saat menuju rumah sakit Islam. Dishalatkan di masjid Al Barkah Bali Matraman oleh puluhan ribu ummat Islam secara bergelombang dipimpin oleh para Alim Ulama. Turut serta tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Dimakamkan pada hari selasa tgl. 18 Dzulhijjah 1405 H./ 3 September 1985 di Komplek Pesantren Putra As-Syafi’iyah Jatiwaringin Pondokgede dengan dihantarkan oleh ratusan ribu ummat Islam
(sumber : http://alkisah.web.id/2010/04/kh-abdullah-syafii.html)
Syaikh Junaid al Betawi, yang diakui sebagai syaikhul masyaikh para ulama mashab Syafi’ie, juga mengajar agama di serambi Masjidil Haram. Muridnya banyak sekali. Bukan hanya para mukiman dari Indonesia, juga mancanegara. Nama Betawi menjadi termashur di tanah suci berkat Syaikh kelahiran Pekojan, Jakarta Barat, ini.
Syaikh Junaid mempunyai dua putera dan puteri. Salah satu puterinya menikah dengan Abdullah al Misri, seorang ulama dari Mesir, yang makamnya terdapat di Jatipetamburan, Jakarta Pusat. Seorang puteri lainnya menikah dengan Imam Mujitaba. Sedangkan kedua puteranya, Syaikh Junaid As’ad dan Arsyad, menjadi pelanjut ayahnya mengajar di Masjidil Haram. Syeh Junaid wafat di Mekah pada 1840 dalam usia 100 tahun.
Di antara murid Syeh Junaid yang sampai kini kitab-kitabnya masih tersebar di dunia Islam adalah Syaikh Nawawi al Bantani, keturunan pendiri kerajaan Islam Banten, Maulana Hasanuddin (putera Syarif Hidayatullah). Karenanya, setiap haul Syaikh Nawawi, selalu dibacakan fatihah untuk arwah Syaikh Junaid.
Imam Mujitaba, yang menetap di Mekah, menikah dengan putri Syaikh Junaid. Pasangan ini menurunkan Guru Marzuki, tokoh ulama Betawi dari Cipinang Muara, Jakarta Timur. Karena alimnya, guru Mujitaba diberi gelar waliyullah oleh masyarakat Islam di tanah suci. Menurut budayawan Betawi, Ridwan Saidi, Guru Mujitaba satu angkatan dengan mukimin Indonesia lainnya seperti Syaikh Nawawi al Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi. Sedangkan putera almarhum guru Marzuki, yang hingga kini memiliki perguruan di Rawabunga, Jakarta Timur, mendapat gelar birulwalidain karena begitu berhidmatnya kepada kedua orang tuanya.
Guru Marzuki memiliki sejumlah murid yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Indonesia. Salah satunya adalah KH Abdullah Syafi’ie, yang mendirikan dan mengembangkan Perguruan Assyafiiyah dengan sekolah mulai dari TK sampai perguruan tinggi.
KH Abdullah Sjafi’ie (wafat 3/9-1985) bersama putera-puterinuya menangani 63 lembaga pendidikan Islam. Sedangkan masjid Al-Barkah di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan, yang dibangun pada 1933 saat kyai berusia 23 tahun, merupakan masjid yang megah hingga sekarang. Semuanya berawal dari mushola bekas kandang sapi, yang dijadikan cikal bakal Perguruan Asyafiiyah.
Kini pengajian Ahad pagi di Masjid Ak-Barkah selalu yang diikuti ribuan jamaah. KH Abdullah Syafi’ie perguruannya menghasilkan ribuan orang diantara mereka kini menjadi tokoh agama dan pimpinan majelis taklim di berbagai tempat di Indonesia. KH Abdullah Syafi’ie adalah figur yang mampu mengkombinasikan dua arus besar pemikiran yang berkembang di lingkungan masyarakat Islam. Di bidang politik, beliau pada Pemilu 1955 berkampanye untuk partai Masyumi.
Nama Pesantren
Ajaran birulwalidain dari Guru Marzuki, juga diwariskan KH Abdullah Syafi’ie kepada putranya, KH Abdul Rasyid Abdullah Syafii. Salah satu tanda baktinya kepada ayahanda, KH Abdul Rasyid memberi nama pesantren yang didirikannya di Pulo Air, Sukabumi, sebagai Pesantren KH Abdullah Syafi’ie. Dirintis pada 1990-an, Pesantren al Qur’an tersebut berdiri di atas tanah wakaf pengusaha restauran Sunda, Haji Soekarno (alm). Tanah itu awalnya berupa taman rekreasi Pulo Air seluas 3,3 hektar. Pertama kali dibuka, jumlah santrinya hanya 13 murid SD. Namun seiring dengan berjalannya waktu, perkembangannya kini sungguh amat pesat.
Sekarang saja Pesantren KH. Abdullah Syafii telah menempati tanah seluas 27 ha dengan sarana bangunan yang dimiliki terbilang lengkap. Santrinya lebih dari 650 orang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan pernah ada yang berasal dari Malaysia, Brunai Darussalam, Singapura, maupun dari Jeddah, Saudi Arabia.
Selain belajar dan Menghafal al Quran mereka pun belajar pengetahuan umum yang diajarkan mulai dari TK, SD, SMP, SMU. Demikianlah warna pesantren KH. Abdullah Syafi’i, ia memadukan gaya pesantren hafidz Qur,an dengan sekolah umum.
Selintas Macan Betawi
KH Abdullah Syafi’ie, yang populer sebagai ”Macan Betawi”, lahir di Kampung Bali Matraman, Jakarta Selatan pada 16 Sya’ban 1329 H./10 Agustus 1910 hari Sabtu. Nama ayahnya H. Syafi’ie Bin Sairan dan ibundanya Nona Binti Asy’ari. Mempunyai dua orang adik perempuan yang bernama H. Siti Rogayah dan H. Siti Aminah.
Kedua orangtuanya cinta kepada orang-orang alim dan soleh sehingga dari sejak kecil sudah diarahkan untuk belajar ilmu agama.
Sambil belajar, menuntut ilmu terus mengajar. Pada umur 17 tahun sudah memperoleh surat pemberian tahoe: boleh mengajar di langgar partikulir.
Ketika berumur 23 tahun mulai membangun Masjid Al Barakah di Kampung Bali Matraman. Di situlah Almarhum lebih menekuni pembinaan masyarakat-ummat mengajak mereka ke jalan Allah.
Sekitar tahun 30-an, da’wahnya lebih meluas lagi mencapai daerah sekitar Jakarta dan almarhum menuntut ilmu ke Bogor (Habib Alawy Bin Tohir Alhaddad).
Sekitar tahun 40-an, membangun tempat pendidikan yaitu madrasah tingkat Ibtidaiyah, dan secara sederhana mulai menampung pelajar-pelajar yang mukim (tinggal) terutama dari keluarga.
Pada tahun 1957 membangun AULA AS-SYAFI’IYAH yang diperuntukkan bagi madrasah tingkat Tsanawiyah Lilmuballighin wal Muallimin. Tahun 1965 mendirikan Akademi Pendidikan Islam As-Syafi’iyah (AKPI As-Syafi’iyah). Tahun 1967 mendirikan Stasiun Radio As-Syafi’iyah, tahun 1969 AKPI ditingkatkan menjadi UIA.
Tahun 1968 merintis tempat pendidikan disuatu desa pinggiran Jakarta, yaitu Jatiwaringin Kecamatan Pondokgede Bekasi sebagai pengembangan dari pendidikan yang telah ada. Pada tahun 1974-1975 membangun pesantren putra dan pesantren putri di Jatiwaringin. Pada tahun 1978 membangun pesantren khusus untuk Yataama dan Masaakin.
Pengembangan sarana untuk pendidikan dan pesantren terus dikembangkan ke sekitar Jakarta seperti Cilangkap-Pasar Rebo, di Payangan-Bekasi, Kp. Jakasampurna-Bekasi dll. Tahun 1980 mulai menyiapkan lokasi untuk kampus Universitas Islam As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum pernah menjabat sebagai Ketua I Majlis Ulama Indonesia pada periode pertama dan juga sebagai Ketua Umum Majlis Ulama DKI periode pertama dan kedua.
Almarhum banyak memikirkan tentang pendidikan untuk menghadirkan ulama untuk masa yang akan datang dengan mendirikan Pesantren Tinggi yaitu Ma’had Aly DAARUL ARQOM As-Syafi’iyah di Jatiwaringin.
Almarhum berhati lembut : merasa pedih hatinya dengan penderitaan ummat terutama jika ummat mendapat musibah dalam urusan agama. Almarhum segera berusaha memberikan petunjuk dan pengarahan serta mencarikan jalan-jalan keluarnya.
Selalu mengajak ummat kepada Tauhidullah dan AQIDAH ala thoriqoh Alissunnah wal jama’ah. Dimana-mana beliau berdakwah dan berceramah selalu mengajak jama’ah untuk beristighfar dan mengumandangkan kalimatuttauhid: La ilaaha illallaah Muhammadurrasulullah. Jiwa dan semangatnya membangun ummat untuk menghidupkan syi’arnya agama Islam. Mendirikan masjid-masjid, musholla dan madrasah serta pesantren-pesantren. Menggalakkan ummat untuk berani dan suka beramal jariah, infak dan shodaqoh serta berwakaf. Mengajak Ulama dan Asatidzah untuk bersatu. Memberikan kesempatan kepada Asatidzah dan Ulama-ulama muda untuk tampil ditengah masyarakat. Menyelenggarakan Majlis Muzakarah Ulama dan Asatidzah.
Menyantuni para dhu’afaa (kaum yang lemah) dengan bantuan berupa beras, pakaian, uang dll.
Pada Selasa dinihari jam 00.30 KH Abdullah Syafi’ie berpulang ke rahmatullah saat menuju rumah sakit Islam. Dishalatkan di masjid Al Barkah Bali Matraman oleh puluhan ribu ummat Islam secara bergelombang dipimpin oleh para Alim Ulama. Turut serta tokoh-tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah. Dimakamkan pada hari selasa tgl. 18 Dzulhijjah 1405 H./ 3 September 1985 di Komplek Pesantren Putra As-Syafi’iyah Jatiwaringin Pondokgede dengan dihantarkan oleh ratusan ribu ummat Islam
(sumber : http://alkisah.web.id/2010/04/kh-abdullah-syafii.html)
KH. IHSAN MUHAMMAD DAHLAN ( Ulama Penulis kitab Sirajul Thalibin, Asal Jampes Kediri )
Yang saya tahu Kh.Ihsan Muhammad yang masyhur dengan nama Syech Ihsan jampes satu satunya Ulama yang mengarang dan menulis Kitab tentang kopi dan rokok . Kitab Asli yang berjudul “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” mengupas tentang kopi dan rokok dari mulai sejarah munculnya Kopi dan rokok sampai hukum mengkomsumsi keduanya.
Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut ,karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan (ulama timur tengah ).
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??
KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.
Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”
Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.
Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari. Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.
Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
(Sumber : http://sachrony.wordpress.com/2009/)
Ulama asal kediri yang buah karyanya diakui ulama – ulama internasional sebut saja kitab yang saat ini di bajak oleh penerbit Darul Imayah Beirut berjudul” Sirajut Thalibin” , Kitab tersebut kini banyak beredar di Indonesia namun entah salah cetak atau sengaja dicantumkan pengarang tersebut Syech Zaini dahlan padahal harusnya adalah Syech Ihsan Muhammad Dahlan dari Jempes kediri. Saya tidak habis pikir Penerbit t Darul Imayah di Beirut merupakan perusahaan penerbitan yang telah masyhur bisa salah cetak dan menurut saya ada unsur kesengajaan untuk membajak buah karya ulama Kediri tersebut ,karena kata pengantar /Taqridah dari KH.Hasyim Asy’ari dalam kitab asli tersebut di buang dan di ganti dengan Biografi Syech Zaini Dahlan (ulama timur tengah ).
Kitab Sirajut Thalibin adalah syarah atau penjabaran dari kitab Minhajul Abidin karya Imam Ghazali. Sirajut Thalibin ini sempat mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah dan kini menjadi referensi utama para mahasiswa di Mesir dan negara-negara Timur Tengah yang lain , kitab ini juga dikaji di beberapa majelis taklim kaum muslimin di Afrika dan Amerika. Siapa sebetulnya Syech Ihsan Jampes tersebut??
KH.Ihsan Dahlan Jampes adalah Putra dari seorang ulama yang sejak kecil tinggal dilingkungan Pesantren terkenal nakal, orang memanggil dengan sebutan “Bakri” lahir sekitar tahun 1901 di desa Jampes Kediri jawa timur. Ayahnya bernama Kh.Dahlan . Kegeramaran Syech Ihsan remaja adalah nonton wayang sambil ditemani kopi dan rokok dan yang membuat khawatir keluarganya adalah kegemaran bermain judi. Bakri julukan Syech ihsan kecil sangat mahir bermain judi , sudah beberapa kali ayahnya menasehatinya agar berhenti melakukan perbuatan buruk tersebut , namun kebiasaan putranya tersebut belum juga berubah masih saja gemar bermain Judi . hingga suatu hari Ayahnya Bakri Kh.Dahlan mengajaknya berziarah ke makam seorang ulama bernama Kh Yahuda yang juga masih ada hubungan kerabat dengan ayahnya, disana ayahnya bermunajat kepada Alloh agar putranya sadar dan insyaf dan memohon kepada alloh kalau saja putranya masih saja seperti itu agar di beri umur pendek agar tidak membawa mudharat bagi umat. Selepas ziarah tersebut suatu malam Syech Ihsan bermimpi di datangi oleh seorang berwujud kakek sedang membawa sebuah batu yang sangat besar yang siap di lemparkan ke kepala Syech Ihsan sambil berkata ” Hai cucu ku kalau engkau tidak menghentikan kebiasaan burukmu yang suka berjudi, aku akan lemparkan Batu besar ini ke pala mu” kata Kakek tersebut. ” Apa hubungannya kakek dengan ku..? mau berhenti atau terus bukan urusan kakek ” Timpal Syech Ihsan. Tiba tiba Sang kakek tersebut melempar batu besar tersebut ke kepala Syech Ihsan….hingga pecah kepalanya…Saat itu Syech Ihsan terbangun dari tidurnnya sambil mulutnya mengucapkan istighfar”‘ Astaghfirlulloh…..apa yang sedang terjadi kepadaku….Ya Alloh….ampuni dosaku….. Sejak saat itu Syech Ihsan menghentikan kebiasaannya bermain judi dan mulai gemar menimba ilmu dari satu pesantren ke pesantren lainnya di pulau Jawa . Mengambil berkah dan restu dari para ulama ulama di jawa seperti Kh.Saleh darat, Kh.Hasyim Asyari dan Kh Muhammad Kholil Madura.
Setelah sekian lama merlakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu sekitah tahun 1932 Syech Ihsan mulai menetap dan mengajar . Hari hari beliau gunakan untuk mengajar dan menulis Kitab sambil di temani Kopi dan rokok yang menjadi ciri khasnya, begitu banyak karya karya beliau yang di akui oleh para ulama ulama nusantara dan internasional, KItab Siraj al-Thalibin, yang ditulis sekitar 1932-33 sebagai syarah atas karya Al-Ghazali, yang sangat dalam membahas persoalan-persoalan tasawuf dan kitab tersebut dibuat kata pengantar langsung dari Kh.Hasyim Asyari tebuireng Jombang . Model thasawuf yang di bahas dalam kitab tersebut menawarkan Konsep Thawasuf masa kini Misalnya ajaran tentang konsep uzlah yang secara umum diartikan sebagai pengasingan diri dalam kesunyian duniawi, oleh Syekh Ihsan dalam kitab tersebut dimaknai sebagai pengasingan diri dalam kehidupan bersama masyarakat yang majemuk. Uzlah bukan lagi menyepi, tapi bagaimana hidup dalam masyarakat majemuk. Inilah yang disebut sebagai tasawuf hadzaz zaman (tasawuf zaman ini) . KOnsef zuhud diartikan sebagai tapa dunia atau menghindari harta benda. Syekh Ihsan mengajarkan bahwa orang yang zuhud sebenarnya adalah mereka yang dikejar harta, namun tak merasa memiliki harta itu sama sekali.
”Jadi zuhud adalah tapa dunia tapi malah kaya. Nah kalau sudah kaya lantas mencari jalan yang terbaik dalam menafkahkan hartanya itu. Inilah ajaran Sirajut Thalibin. Bahkan Syech Ihsan sendiri adalah Ulama yang kaya raya,”
Satu lagi pelajaran dari Sirajut Thalibin adalah soal syukur, atau berterimakasih atas semua karunia dari Allah SWT. Kata Syekh Ihsan dalam juz dua kitab Sirajut Thalibin, doa yang paling tinggi adalah kalimat Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah. Tebalnya Kitab tersebut nyaris seribu halaman, dibagi dalam dua juz.
Sebelumnya, pada 1930 Syech Ihsan sudah menulis sebuah kitab di bidang Ilmu Falak berjudul Tashrih al-Ibarat yang merupakan syarah atas Natijat al-Miqat karya KH Ahmad Dahlan Semarang. Karya lainnya yang unik adalah Kitab “Irsyadu Al ikhwan Fi bayani al hukmu Al Qohwa wad Dukhon ” terinspirasi karena kegeramarannya Syech Ihsan yang suka Kopi dengan Rokok. Walaupun Syech Ihsan tidak pernah belajar di Mekkah namun kemampuan bahasa Arab dan keterampilannya dalam menulis kitab berbahasa Arab sangat luar biasa dan ada sebuah karya Syech Ihsan yang menjadi manuskrip yang tersimpan di Perpustakaan Kairoh selama bertahun tahun berjudul ” Manahijul Imdad” merupakan syarah (komentar) dari kitab Irsyadul Ibad (petunjuk bagi para hamba) karya Syekh Zainuddin Malibari. Kitab setebal 118 halaman itu diulas kembali oleh Syech Ihsan dalam kitab setebal 1050 halaman yang terdiri dari dua juz. Kitab ini berada dalam jalur kajian fikih namun berbeda dengan kitab fikih formal lainnya sebab lebih condong ke ajaran tasawuf dan pada bab-bab tertentu banyak menunjukkan fadhilah-fadhilah (keutamaan) melakukan ibadah. Manuskrip kitab yang tersimpan di perpustakaan Kairo akhirnya di minta oleh pihak keluarga dan diterbitkan oleh salah seorang murid beliau yang tinggal di semarang.
Pada tanggal 15 September 1952 Syech Ihsan Dahlan dipanggil oleh Alloh swt dengan meninggalkan karya karya tulis dan kitab yang saat ini menjadi rujukan para ulama ulama baik nusantara maupun internasional.
(Sumber : http://sachrony.wordpress.com/2009/)
Rabu, 15 Juni 2011
Istilah –istilah yang digunakan dalam Minhaj al-Thalibin (bag. 2)
5.Al-Mazhab, istilah ini mengisyaratkan terjadi khilaf sahabat Syafi’i dalam meriwayatkan pendapat yang menjadi mazhab, baik khilaf tersebut terdiri dari dua jalur riwayat (thariq) atau lebih dan baik itu dalam meriwayat qaul Syafi’i maupun pendapat sahabat Syafi’i sebelumnya (wajh), misalnya sebagian sahabat Syafi’i meriwayatkan bahwa ada dua qaul Syafi’i atau dua pendapat sahabat Syafi’i dalam suatu masalah (thariq/jalur riwayat pertama), sedangkan yang lain meriwayatkan hanya salah satunya dalam masalah tersebut (thariq/jalur riwayat kedua). Kemudian thariq/jalur riwayat yang rajih disebutlah sebagai al-Mazhab, yaitu adakalanya berupa jalur riwayat yang hanya meriwayatkan salah satu qaul Syafi’i atau salah satu pendapat sahabat Syafi’i (al-thariq al-qatha’) atau adakalanya jalur riwayat yang meriwayatkan dua qaul Syafi’i atau dua pendapat sahabat Syafi’i (al-thariq al-khilaf). Dari al-thariq al-khilaf ini yang menjadi al-mazhab adakalanya qaul Syafi’i atau pendapat sahabat Syafi’i yang sepakat dengan al-thariq al-qatha’ atau adakalanya qaul Syafi’i atau pendapat sahabat Syafi’i yang berbeda dengan al-thariq al-qatha’ 1
Contoh yang menjadi al-mazhab adalah al-thariq al-qatha’ adalah mengenai hukum membaca al-ta’awuz (a’uzu billah) dalam setiap raka’at shalat sebelum Fatihah. Terjadi khilaf dalam meriwayat qaul Syafi’i mengenai ini, sebagian meriwayatkan bahwa Syafi’i hanya mengatakan satu qaul, yaitu sunnat membaca al-ta’awuz, sedangkan yang lain meriwayatkan bahwa Syafi’i pernah mengatakan dua qaul, yaitu sunnat dan kali lain mengatakan tidak sunat. Yang rajih adalah riwayat yang mengatakan, Syafi’i hanya mengatakan satu qaul (al-thariq al-qatha’) yaitu sunnat membaca al-ta’awuz. Al-thariq al-qatha’ inilah yang menjadi al-mazhab. Alasan qaul ini adalah karena dalam setiap raka’at shalat ada dibaca Fatihah, oleh karena itu, sunnat dibaca al-ta’awuz sebelum membaca Fatihah tersebut, karena sunnat membaca al-ta’awuz pada setiap membaca Fatihah. 2
Contoh yang menjadi al-mazhab adalah al-thariq al-khilaf yaitu kasus orang sakit atau musafir yang hilang ke’uzurannya pada siang hari Ramadhan sebelum sempat makan, sedangkan malamnya tidak melakukan niat puasa. Terjadi khilaf dalam meriwayat pendapat sahabat Syafi’i mengenai ini. Sebagian ulama meriwayatkan dua pendapat, yakni tidak wajib imsak dan wajib imsak (al-thariq al-khilaf ), sebagian lain meriwayatkan hanya satu pendapat, yaitu wajib imsak saja (al-thariq al-qatha’). Riwayat yang rajih adalah al-thariq al-khilaf dan yang menjadi al-mazhab adalah pendapat yang mengatakan tidak wajib imsak yang terdapat dalam al-thariq al-khilaf yang sesuai dengan al-thariq al-qatha’ (al-thariq al-khilaf al-muwaafiq bil--thariq al-qatha’). Alsan pendapat rajih ini, karena orang yang meninggalkan niat pada malam harinya sudah terbuka puasanya pada paginya, tidak ada bedanya, baik sudah makan atau belum sebagaimana halnya orang sakit dan musafir apabila sudah makan, maka keduanya itu tidak wajib imsak 3
6. Al-Nash, yang dimaksud dengan al-Nash dalam al-Minhaj adalah nash Imam Syafi’i. Disebut al-nash karena ada wajh (pendapat sahabat Syafi’i) atau qaul mukharraj yang keduanya bertentangan dengan nash Imam Syafi’i sendiri. Karena itu, dianggap dha’if ditinjau dari sisi sebagai mazhab. Wajh dha’if ini, meskipun kadang-kadang disebut dengan istilah al-ashah atau al-shahih. 4
Contoh yang menjadi al-nash adalah masalah seseorang yang sudah melakukan salam dan lupa mengerjakan sujud sahwi, sedangkan senggang waktu teringat perlu sujud sahwi dengan waktu salam masih pendek ada ’uruf, maka sunnat sujud sahwi tersebut tidak hilang. Artinya, sujud sahwi tersebut, hukumnya masih sunnat dilakukan menurut al-nash, berdasarkan hadits muttafaqun ’alaihi, berbunyi :
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ بَعْدَ السَّلَامِ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah shalat dhuhur lima raka’at, kemudian beliau sujud sahwi sesudah salam (H.R. al-Syaikhaini) 5
Ada wajh dhaif yang mengatakan sudah hilang sunnatnya, karena memelihara dari ilgha (sia-sia) salam dengan kembali kepada shalat 6
(Bersambung...........)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
2.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 148
3.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 65
4.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
5.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 198
6.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 205
Contoh yang menjadi al-mazhab adalah al-thariq al-qatha’ adalah mengenai hukum membaca al-ta’awuz (a’uzu billah) dalam setiap raka’at shalat sebelum Fatihah. Terjadi khilaf dalam meriwayat qaul Syafi’i mengenai ini, sebagian meriwayatkan bahwa Syafi’i hanya mengatakan satu qaul, yaitu sunnat membaca al-ta’awuz, sedangkan yang lain meriwayatkan bahwa Syafi’i pernah mengatakan dua qaul, yaitu sunnat dan kali lain mengatakan tidak sunat. Yang rajih adalah riwayat yang mengatakan, Syafi’i hanya mengatakan satu qaul (al-thariq al-qatha’) yaitu sunnat membaca al-ta’awuz. Al-thariq al-qatha’ inilah yang menjadi al-mazhab. Alasan qaul ini adalah karena dalam setiap raka’at shalat ada dibaca Fatihah, oleh karena itu, sunnat dibaca al-ta’awuz sebelum membaca Fatihah tersebut, karena sunnat membaca al-ta’awuz pada setiap membaca Fatihah. 2
Contoh yang menjadi al-mazhab adalah al-thariq al-khilaf yaitu kasus orang sakit atau musafir yang hilang ke’uzurannya pada siang hari Ramadhan sebelum sempat makan, sedangkan malamnya tidak melakukan niat puasa. Terjadi khilaf dalam meriwayat pendapat sahabat Syafi’i mengenai ini. Sebagian ulama meriwayatkan dua pendapat, yakni tidak wajib imsak dan wajib imsak (al-thariq al-khilaf ), sebagian lain meriwayatkan hanya satu pendapat, yaitu wajib imsak saja (al-thariq al-qatha’). Riwayat yang rajih adalah al-thariq al-khilaf dan yang menjadi al-mazhab adalah pendapat yang mengatakan tidak wajib imsak yang terdapat dalam al-thariq al-khilaf yang sesuai dengan al-thariq al-qatha’ (al-thariq al-khilaf al-muwaafiq bil--thariq al-qatha’). Alsan pendapat rajih ini, karena orang yang meninggalkan niat pada malam harinya sudah terbuka puasanya pada paginya, tidak ada bedanya, baik sudah makan atau belum sebagaimana halnya orang sakit dan musafir apabila sudah makan, maka keduanya itu tidak wajib imsak 3
6. Al-Nash, yang dimaksud dengan al-Nash dalam al-Minhaj adalah nash Imam Syafi’i. Disebut al-nash karena ada wajh (pendapat sahabat Syafi’i) atau qaul mukharraj yang keduanya bertentangan dengan nash Imam Syafi’i sendiri. Karena itu, dianggap dha’if ditinjau dari sisi sebagai mazhab. Wajh dha’if ini, meskipun kadang-kadang disebut dengan istilah al-ashah atau al-shahih. 4
Contoh yang menjadi al-nash adalah masalah seseorang yang sudah melakukan salam dan lupa mengerjakan sujud sahwi, sedangkan senggang waktu teringat perlu sujud sahwi dengan waktu salam masih pendek ada ’uruf, maka sunnat sujud sahwi tersebut tidak hilang. Artinya, sujud sahwi tersebut, hukumnya masih sunnat dilakukan menurut al-nash, berdasarkan hadits muttafaqun ’alaihi, berbunyi :
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى الظُّهْرَ خَمْسًا وَسَجَدَ لِلسَّهْوِ بَعْدَ السَّلَامِ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah shalat dhuhur lima raka’at, kemudian beliau sujud sahwi sesudah salam (H.R. al-Syaikhaini) 5
Ada wajh dhaif yang mengatakan sudah hilang sunnatnya, karena memelihara dari ilgha (sia-sia) salam dengan kembali kepada shalat 6
(Bersambung...........)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
2.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 148
3.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 65
4.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
5.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 198
6.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 205
Sabtu, 11 Juni 2011
Anak kafir dan hukumnya
Yang dimaksud dengan Anak kafir di sini adalah anak-anak yang belum baligh dimana orangtuanya adalah kafir. Adapun statusnya adalah kafir di dunia dan mukmin di akhirat. Berikut keterangan ulama mengenai kedudukan anak kafir, antara lain :
1.Berkata Sayyed Abdurahman bin Muhamaad Ba’lawy :
“ Anak-anak dari orang kafir adalah kafir pada hukum dunia dan muslim pada hukum akhirat. Demikian ‘Ubab.” 1
2.Berkata Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi wa Umairah :
“ Anak kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk syurga menurut pendapat yang lebih shahih dan menjadi khadam bagi penghuni syurga.” 2
3.Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan :
“Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan anak kafir apabila mati, kebanyakan ulama menyebutkan mereka dalam neraka. Sekelompok ulama mengatakan tidak kami ketahui hukumnya dan ulama yang tahqiq mengatakan mereka itu dalam syurga. Pendapat terakhir ini yang sahih dan terpilih, karena mereka tidak mukallaf dan dilahirkan dalam keadaan fithrah. Timbangan ini sebagaimana berkata Syaikhuna dan lainnya sesungguhnya mereka itu pada hukum dunia adalah kafir, maksudnya mereka itu tidak dishalatkan dan tidak dikebumikan dalam perkuburan muslimin dan dalam negeri akhirat mereka adalah muslim, maka masuk syurga. 3
Dalil fatwa ini adalah hadits diriwayat dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن الصبي حتى يكبر
Artinya : Terangkat (tidak diperhitungkan) kalam dari tiga orang, yaitu orang tertidur sehingga ia terbangun, orang gila sehingga ia sembuh dan anak-anak sehingga ia besar.(H.R. Abu Daud, an-Nisa’i, Ahmad, Darulquthni, al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah) 4
Al-Hakim mengatakan, hadits ini shahih dengan syarat Muslim 5
Bersabda Rasulullah SAW :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang mengyahudikannya atau menashranikannya ataupun memajusikannya (H.R. Bukhari 6 dan Muslim 7)
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed Abdurahman bin Muhamaad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 92
2.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 128
3.Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 323
4.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Mauqa’ al-Ya’sub, Juz. IV, Hal. 46-47, No. Hadits : 4462
5.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 225
6.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 182, No. Hadits : 1296
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 127, No. Hadits : 4803
1.Berkata Sayyed Abdurahman bin Muhamaad Ba’lawy :
“ Anak-anak dari orang kafir adalah kafir pada hukum dunia dan muslim pada hukum akhirat. Demikian ‘Ubab.” 1
2.Berkata Qalyubi dalam Hasyiah Qalyubi wa Umairah :
“ Anak kafir yang meninggal sebelum baligh akan masuk syurga menurut pendapat yang lebih shahih dan menjadi khadam bagi penghuni syurga.” 2
3.Al-Khatib al-Syarbaini mengatakan :
“Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan anak kafir apabila mati, kebanyakan ulama menyebutkan mereka dalam neraka. Sekelompok ulama mengatakan tidak kami ketahui hukumnya dan ulama yang tahqiq mengatakan mereka itu dalam syurga. Pendapat terakhir ini yang sahih dan terpilih, karena mereka tidak mukallaf dan dilahirkan dalam keadaan fithrah. Timbangan ini sebagaimana berkata Syaikhuna dan lainnya sesungguhnya mereka itu pada hukum dunia adalah kafir, maksudnya mereka itu tidak dishalatkan dan tidak dikebumikan dalam perkuburan muslimin dan dalam negeri akhirat mereka adalah muslim, maka masuk syurga. 3
Dalil fatwa ini adalah hadits diriwayat dari Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
رفع القلم عن ثلاثة عن النائم حتى يستيقظ وعن المبتلى حتى يبرأ وعن الصبي حتى يكبر
Artinya : Terangkat (tidak diperhitungkan) kalam dari tiga orang, yaitu orang tertidur sehingga ia terbangun, orang gila sehingga ia sembuh dan anak-anak sehingga ia besar.(H.R. Abu Daud, an-Nisa’i, Ahmad, Darulquthni, al-Hakim, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah) 4
Al-Hakim mengatakan, hadits ini shahih dengan syarat Muslim 5
Bersabda Rasulullah SAW :
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
Artinya : Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanyalah yang mengyahudikannya atau menashranikannya ataupun memajusikannya (H.R. Bukhari 6 dan Muslim 7)
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed Abdurahman bin Muhamaad Ba’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 92
2.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 128
3.Al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 323
4.Al-Manawy, Faidh al-Qadir, Mauqa’ al-Ya’sub, Juz. IV, Hal. 46-47, No. Hadits : 4462
5.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 225
6.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 182, No. Hadits : 1296
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 127, No. Hadits : 4803
Istilah –istilah yang digunakan dalam Minhaj al-Thalibin (bag. 1)
Ada beberapa istilah yang digunakan dalam al-Minhaj yang menunjuki kepada adanya terjadi khilaf dalam Mazhab Syafi’i, yaitu ;
1.Al-Azhhar, istilah ini digunakan untuk menunjuki adanya khilaf antara qaul Syafi’i, dimana qaul yang lebih rajih disebut dengan al-Azhhar apabila muqaabil-nya (lawannya) agak kuat. Artinya, kedua qaul ini sama-sama kuat, namun qaul yang dinamakan dengan al-azhhar lebih kuat dan zhahir. Disebut al-azhhar mengandung makna bahwa kedua qaul tersebut sama-sama zhahir, namun pendapat al-azhhar lebih zhahir.1 Sebagai contohnya dapat diperhatikan pada masalah menyapu sepatu jarmuqaani (sepatu atas sepatu dimana keduanya memenuhi syarat untuk disapu) sebagai pengganti membasuh kaki pada wudhu’. Imam Syafi’i mempunyai dua qaul mengenai ini. Qaul beliau yang mengatakan tidak boleh menyapu atas sepatu yang berada diatas merupakan qaul al-azhhar, karena kebolehan menyapu sepatu merupakan rukhshah (keringanan hukum), sedangkan wujud rukhshah haruslah berdasarkan umum kebutuhan manusia kepadanya. Sementara jarmuqaani tidak umum kebutuhan manusia kepadanya. Oleh karena itu, al-Nawawi mentarjihkan qaul pertama ini. Namun demikian, bukan berarti lawan qaul ini tidak mempunyai argumentasi sama sekali. Qaul yang mengatakan boleh menyapu atas sepatu yang berada di atas berargumentasi bahwa sangat kedinginan kadang-kadang memerlukan memakai jarmuqaani, sedangkan mencabutnya untuk menyapu pada sepatu yang berada di bawah pada setiap berwudhu’ menimbulkan kesukaran. Oleh karena itu, dibolehkan menyapu pada sepatu yang berada di atas. Argumentasi ini dibantah bahwa kesukaran ini dapat ditanggulangi dengan memasukkan tangan di antara dua sepatu, lalu menyapu pada sepatu yang berada di bawah tanpa mencabut sepatu.2 Dari contoh ini terlihat bahwa kedua qaul Syafi’i tersebut sama-sama mempunyai argementasi yang kuat dan zhahir, namun qaul pertama lebih zhahir dan kuat, sehingga disebut dengan al-azhhar.
2.Al-Masyhur, istilah ini juga digunakan untuk menunjuki adanya khilaf antara qaul Syafi’i, qaul yang rajih disebut dengan al-masyhur. Berbeda dengan lawan al-azhhar yang mempunyai argumentasi yang kuat, lawan al-masyhur argumentasinya lemah, bahkan ganjil. Disebut dengan al-masyhur menunjukkan bahwa lawannya ganjil dan gharib.3 Contohnya, masalah kulit yang bernajis dengan sebab mati (kulit bangkai). Tidak terjadi khilaf dalam hal suci zhahir kulit dengan sebab disamak, hanya muncul dua qaul Syafi’i mengenai kesucian bathin kulitnya. Qaul masyhur mengatakan bahwa bathin kulit, hukumnya suci dengan sebab samak, sama halnya dengan zhahirnya berdasarkan keumuman hadits Muslim, berbunyi :
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Artinya : Apabila disamak kulit bangkai, maka sucilah ia (H.R. Muslim) 4
Qaul kedua mengatakan tidak suci bathin kulit, dengan alasan alat samak tidak sampai ke bathinnya. Argumentasi ini dibantah bahwa hal itu bisa sampai kepada bathinnya dengan perantaraan air dan basah-basah kulit.5 Qaul kedua, lawan masyhur ini dianggap lemah dan ganjil karena bertentangan dengan zhahir dan keumuman hadits shahih riwayat Muslim di atas dan lagi pula argumentasinya yang dikemukakannya dapat dibantah.
3.Al-Ashah, istilah ini mengisyaratkan terjadi khilaf antara sahabat Syafi’i. Pendapat yang lebih kuat disebut al-ashah apabila lawannya dalilnya agak kuat. Jelasnya, terjadi perbedaan pendapat antara sahabat Syafi’i (ashhab al-wujuh) mengenai suatu hukum yang diistinbathnya berdasarkan qawa’id mazhab Syafi’i (ini menurut kebiasaan, kadang-kadang istinbath tersebut terlepas sama sekali dari qawaid mazhab Syafi’i 6). Kedua pendapat tersebut sama-sama mempunyai argumentasi yang kuat, namun pendapat salah satunya lebih kuat dibanding yang lain. Yang lebih kuat tersebut dinamakan al-ashah.7 Contohnya, disepakati dalam mazhab Syafi’i bahwa darah merupakan najis dan sesuatu najis dapat dimaafkan apabila bersifat umum balaa. Para sahabat Syafi’i terjadi khilaf mengenai darah kutu dan kotoran lalat yang mengenai pakaian. Sebagian mereka hanya memaafkannya kalau sedikit, tidak memaafkan kalau banyak. Pendapat lain mengatakan, dimaafkan, baik sedikit ataupun banyak dengan alasan umum balaa. Padahal umum balaa ini terjadi, baik dalam hal darah sedikit maupun banyak. Pendapat kedua ini merupakan pendapat ashah menurut tarjih al-Nawawi. Pendapat pertama yang ditarjih oleh al-Rafi’i berargumentasi darah kutu dan kotoran lalat yang banyak tidak dimaafkan, karena ia bersifat dengan banyak, meskipun bersifat umum balaa.8 Syara’, biasanya memaafkan yang sedikit, tidak yang banyak.
4.Al-Shahih, istilah ini juga mengisyaratkan terjadi khilaf antara sahabat Syafi’i. Yang rajih diantaranya merupakan pendapat al-shahih. Istilah al-shahih mengisyaratkan sangat lemah dan fasid lawannya, karena sangat lemah argumentasinya. Karena itu, istilah al-shahih tidak digunakan kepada khilaf antara qaul Syafi’i sendiri, karena untuk adab kepada beliau.9 Contoh pendapat al-shahih, masalah shalat sunnat Rawatib sebelum Magrib. Terjadi khilaf sahabat Syafi’i mengenai sunnat shalat Rawatib sebelum Magrib. Pendapat al-shahih mengatakan sunnat,10 karena ada perintah melaksanakannya dalam hadits riwayat Bukhari, yang berbunyi :
صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ
Artinya : Shalatlah kalian sebelum shalat magrib.(H.R. Bukhari)11
Maksud shalat dalam hadits tersebut adalah shalat dua raka’at sebagaimana riwayat Abu Daud.12 dan dalam Shahih Ibnu Hibban :
أَنه عَلَيْهِ السَّلَام صَلَّى قبل الْمغرب رَكْعَتَيْنِ
Artinya:Sesungguhnya Nabi SAW shalat dua raka’at sebelum Magrib(H.R.Ibnu Hibban)13
Pendapat kedua, mengatakan tidak sunnat dengan berargumentasi dengan hadits Ibnu Umar riwayat Abu Daud dengan isnad hasan yang berbunyi :
سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّيهِمَا
Artinya : Ibnu Umar pernah ditanyai mengenai shalat dua raka’at sebelum Magrib. Beliau menjawab, tidak pernah aku melihat seorangpun yang shalat keduanya pada masa Rasulullah SAW. (H.R. Abu Daud)14
Pendalilian dengan hadits ini dibantah, bahwa Ibnu Umar hanya mengatakan tidak pernah melihat. Ini bukanlah berarti shalat tersebut tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Hal ini terbukti bahwa shalat tersebut pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW sebagaimana hadits dari Anas, berkata :
صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ أَرَآكُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ نَعَمْ رَآنَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا.
Artinya : Aku shalat dua raka’at sebelum Magrib pada masa Rasulullah SAW. Berkata perawi : Aku bertanya pada Anas, apakah kalian dilihat oleh Rasulullah SAW?. Beliau menjawab, Ya, beliau melihat kami, beliau tidak memerintah dan tidak melarang kami. (H.R. Abu Daud) 15
Jalaluddin al-Mahalli mengatakan hadits ini diriwayat oleh al-Syaikhaini (Bukhari dan Muslim) 16
(Bersambung----)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
2.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 60
3.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 283, No. Hadits : 547
5.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 72-73
6. Qalyubi, Hasyiah Qayubi, dicetak bersama Hasyiah Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
7. Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
8.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 184
9,Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
10.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 211
11.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 74, No. Hadits : 1183
12.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 293
13.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 457, No. Hadits : 1588
14.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 495, No hadits : 1286
15.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 494, No hadits : 1284
16.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah a-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 211
1.Al-Azhhar, istilah ini digunakan untuk menunjuki adanya khilaf antara qaul Syafi’i, dimana qaul yang lebih rajih disebut dengan al-Azhhar apabila muqaabil-nya (lawannya) agak kuat. Artinya, kedua qaul ini sama-sama kuat, namun qaul yang dinamakan dengan al-azhhar lebih kuat dan zhahir. Disebut al-azhhar mengandung makna bahwa kedua qaul tersebut sama-sama zhahir, namun pendapat al-azhhar lebih zhahir.1 Sebagai contohnya dapat diperhatikan pada masalah menyapu sepatu jarmuqaani (sepatu atas sepatu dimana keduanya memenuhi syarat untuk disapu) sebagai pengganti membasuh kaki pada wudhu’. Imam Syafi’i mempunyai dua qaul mengenai ini. Qaul beliau yang mengatakan tidak boleh menyapu atas sepatu yang berada diatas merupakan qaul al-azhhar, karena kebolehan menyapu sepatu merupakan rukhshah (keringanan hukum), sedangkan wujud rukhshah haruslah berdasarkan umum kebutuhan manusia kepadanya. Sementara jarmuqaani tidak umum kebutuhan manusia kepadanya. Oleh karena itu, al-Nawawi mentarjihkan qaul pertama ini. Namun demikian, bukan berarti lawan qaul ini tidak mempunyai argumentasi sama sekali. Qaul yang mengatakan boleh menyapu atas sepatu yang berada di atas berargumentasi bahwa sangat kedinginan kadang-kadang memerlukan memakai jarmuqaani, sedangkan mencabutnya untuk menyapu pada sepatu yang berada di bawah pada setiap berwudhu’ menimbulkan kesukaran. Oleh karena itu, dibolehkan menyapu pada sepatu yang berada di atas. Argumentasi ini dibantah bahwa kesukaran ini dapat ditanggulangi dengan memasukkan tangan di antara dua sepatu, lalu menyapu pada sepatu yang berada di bawah tanpa mencabut sepatu.2 Dari contoh ini terlihat bahwa kedua qaul Syafi’i tersebut sama-sama mempunyai argementasi yang kuat dan zhahir, namun qaul pertama lebih zhahir dan kuat, sehingga disebut dengan al-azhhar.
2.Al-Masyhur, istilah ini juga digunakan untuk menunjuki adanya khilaf antara qaul Syafi’i, qaul yang rajih disebut dengan al-masyhur. Berbeda dengan lawan al-azhhar yang mempunyai argumentasi yang kuat, lawan al-masyhur argumentasinya lemah, bahkan ganjil. Disebut dengan al-masyhur menunjukkan bahwa lawannya ganjil dan gharib.3 Contohnya, masalah kulit yang bernajis dengan sebab mati (kulit bangkai). Tidak terjadi khilaf dalam hal suci zhahir kulit dengan sebab disamak, hanya muncul dua qaul Syafi’i mengenai kesucian bathin kulitnya. Qaul masyhur mengatakan bahwa bathin kulit, hukumnya suci dengan sebab samak, sama halnya dengan zhahirnya berdasarkan keumuman hadits Muslim, berbunyi :
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
Artinya : Apabila disamak kulit bangkai, maka sucilah ia (H.R. Muslim) 4
Qaul kedua mengatakan tidak suci bathin kulit, dengan alasan alat samak tidak sampai ke bathinnya. Argumentasi ini dibantah bahwa hal itu bisa sampai kepada bathinnya dengan perantaraan air dan basah-basah kulit.5 Qaul kedua, lawan masyhur ini dianggap lemah dan ganjil karena bertentangan dengan zhahir dan keumuman hadits shahih riwayat Muslim di atas dan lagi pula argumentasinya yang dikemukakannya dapat dibantah.
3.Al-Ashah, istilah ini mengisyaratkan terjadi khilaf antara sahabat Syafi’i. Pendapat yang lebih kuat disebut al-ashah apabila lawannya dalilnya agak kuat. Jelasnya, terjadi perbedaan pendapat antara sahabat Syafi’i (ashhab al-wujuh) mengenai suatu hukum yang diistinbathnya berdasarkan qawa’id mazhab Syafi’i (ini menurut kebiasaan, kadang-kadang istinbath tersebut terlepas sama sekali dari qawaid mazhab Syafi’i 6). Kedua pendapat tersebut sama-sama mempunyai argumentasi yang kuat, namun pendapat salah satunya lebih kuat dibanding yang lain. Yang lebih kuat tersebut dinamakan al-ashah.7 Contohnya, disepakati dalam mazhab Syafi’i bahwa darah merupakan najis dan sesuatu najis dapat dimaafkan apabila bersifat umum balaa. Para sahabat Syafi’i terjadi khilaf mengenai darah kutu dan kotoran lalat yang mengenai pakaian. Sebagian mereka hanya memaafkannya kalau sedikit, tidak memaafkan kalau banyak. Pendapat lain mengatakan, dimaafkan, baik sedikit ataupun banyak dengan alasan umum balaa. Padahal umum balaa ini terjadi, baik dalam hal darah sedikit maupun banyak. Pendapat kedua ini merupakan pendapat ashah menurut tarjih al-Nawawi. Pendapat pertama yang ditarjih oleh al-Rafi’i berargumentasi darah kutu dan kotoran lalat yang banyak tidak dimaafkan, karena ia bersifat dengan banyak, meskipun bersifat umum balaa.8 Syara’, biasanya memaafkan yang sedikit, tidak yang banyak.
4.Al-Shahih, istilah ini juga mengisyaratkan terjadi khilaf antara sahabat Syafi’i. Yang rajih diantaranya merupakan pendapat al-shahih. Istilah al-shahih mengisyaratkan sangat lemah dan fasid lawannya, karena sangat lemah argumentasinya. Karena itu, istilah al-shahih tidak digunakan kepada khilaf antara qaul Syafi’i sendiri, karena untuk adab kepada beliau.9 Contoh pendapat al-shahih, masalah shalat sunnat Rawatib sebelum Magrib. Terjadi khilaf sahabat Syafi’i mengenai sunnat shalat Rawatib sebelum Magrib. Pendapat al-shahih mengatakan sunnat,10 karena ada perintah melaksanakannya dalam hadits riwayat Bukhari, yang berbunyi :
صَلُّوا قَبْلَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ
Artinya : Shalatlah kalian sebelum shalat magrib.(H.R. Bukhari)11
Maksud shalat dalam hadits tersebut adalah shalat dua raka’at sebagaimana riwayat Abu Daud.12 dan dalam Shahih Ibnu Hibban :
أَنه عَلَيْهِ السَّلَام صَلَّى قبل الْمغرب رَكْعَتَيْنِ
Artinya:Sesungguhnya Nabi SAW shalat dua raka’at sebelum Magrib(H.R.Ibnu Hibban)13
Pendapat kedua, mengatakan tidak sunnat dengan berargumentasi dengan hadits Ibnu Umar riwayat Abu Daud dengan isnad hasan yang berbunyi :
سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنِ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ فَقَالَ مَا رَأَيْتُ أَحَدًا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّيهِمَا
Artinya : Ibnu Umar pernah ditanyai mengenai shalat dua raka’at sebelum Magrib. Beliau menjawab, tidak pernah aku melihat seorangpun yang shalat keduanya pada masa Rasulullah SAW. (H.R. Abu Daud)14
Pendalilian dengan hadits ini dibantah, bahwa Ibnu Umar hanya mengatakan tidak pernah melihat. Ini bukanlah berarti shalat tersebut tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW. Hal ini terbukti bahwa shalat tersebut pernah dilakukan pada zaman Rasulullah SAW sebagaimana hadits dari Anas, berkata :
صَلَّيْتُ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْمَغْرِبِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-. قَالَ قُلْتُ لأَنَسٍ أَرَآكُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ نَعَمْ رَآنَا فَلَمْ يَأْمُرْنَا وَلَمْ يَنْهَنَا.
Artinya : Aku shalat dua raka’at sebelum Magrib pada masa Rasulullah SAW. Berkata perawi : Aku bertanya pada Anas, apakah kalian dilihat oleh Rasulullah SAW?. Beliau menjawab, Ya, beliau melihat kami, beliau tidak memerintah dan tidak melarang kami. (H.R. Abu Daud) 15
Jalaluddin al-Mahalli mengatakan hadits ini diriwayat oleh al-Syaikhaini (Bukhari dan Muslim) 16
(Bersambung----)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
2.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 60
3.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 12
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 283, No. Hadits : 547
5.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 72-73
6. Qalyubi, Hasyiah Qayubi, dicetak bersama Hasyiah Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
7. Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
8.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 184
9,Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
10.Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 211
11.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 74, No. Hadits : 1183
12.Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 293
13.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 457, No. Hadits : 1588
14.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 495, No hadits : 1286
15.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 494, No hadits : 1284
16.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah a-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 211
Jumat, 10 Juni 2011
Wanita Menjadi Pemimpin Negara
Al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah menyebutkan syarat-syarat pemimpin (ahlu imamah) dengan tujuh syarat, yaitu : adil, berilmu, normal panca indera mendengar, melihat dan berbicara, normal anggota tubuh, mampu berpikir, berani dan dari suku Quraisy.1 Al-Mawardi, salah seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, tidak menyebutkan laki-laki merupakan salah satu persyaratan menjadi pemimpin. Namun ini tidak berarti kita menyimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa wanita boleh menjadi seorang pemimpin sebagai dakwaan seorang ulama Aceh masa kini tentang ini. Hal ini karena banyak sekali nash-nash kitab karangan ulama besar yang mu’tabar dalam mazhab Syafi’i yang secara jelas menyebutkan salah satu persyaratan seorang pemimpin itu adalah laki-laki, antara lain :
1.Berkata Imam an-Nawawi :
“Disyaratkan imam keadaannya muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki,…… dst”2
2.Berkata Zakariya Anshary :
“Disyaratkan keadaan Imam sebagai ahli qudha’, yaitu keadaannya muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki,….dst” 3
3.Berkata Ibrahim al-Bajury :
“Disyaratkan keadaan imam seperti syarat qadhi, yaitu muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki, …….dst”. 4
Adapun dalil fatwa yang mewajibkan persyaratan seorang pemimpin (imam) laki-laki, antara lain :
1.Firman Allah Ta’ala Q. S. An-Nisa’ : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S. An-Nisa’ : 59)
Dalam ayat ini, ada perintah ta’at kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh “ulil amri”. Lafazh ulil amri menunjukkan makna laki-laki, karena untuk perempuan digunakan lafazh ulatil amri. Memang banyak ayat dalam al-Qur’an dalam bentuk jamak muzakar dengan makna mencakup laki-laki dan perempuan, tetapi ini tentunya karena ada qarinah yang memalingkan dari maknanya yang hakiki. Sedangkan lafazh ulil amri dalam ayat di atas, yang kita temui justru dalil-dalil yang mendukung pemaknaan ulil amri dengan makna yang terbatas pada pemimpin laki-laki saja, sebagaimana dalil-dalil berikut ini.
2. Firman Allah, Q.S. an-Nisa’ : 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. an-Nisa’ : 34)
Dalam mentafsirkan ayat di atas, pengarang Tafsir Jalalain berkata :
“Artinya dengan sebab Allah melebihkan laki-laki atas wanita dengan ilmu, akal, kekuasaan dan lain-lain”.
Ahmad Shawy dalam mengomentari tafsir di atas berkata :
“Mufassir mengisyaratkan bagi sebagian urusan yang dilebihkan laki-laki dengannya atas wanita. Termasuk dalam urusan yang dilebihkan laki-laki atas wanita adalah lebih akal, agama, kekuasaan, kesaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, keadaan nabi-nabi dan sulthan dari laki-laki, kebolehan laki-laki kawin empat di dunia dan lebih banyak dari empat di akhirat, wanita tidak dibolehkan demikian dan kekuasaan thalaq dan ruju’ pada tangan laki-laki.”5
Berkata al-Baidhawy dalam mentafsir ayat di atas :
“Dengan sebab Allah Ta’ala melebihkan laki-laki atas wanita dengan sebab sempurna akal, bagus tadbir, kelebihan kemampuan dalam bekerja dan ta’at. Oleh karena itu, kaum laki-laki dikhususkan menjadi nabi, pemimpin,……….dst.” 6
Penafsiran ulama di atas sesuai dengan hadits shahih berbunyi :
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ». فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Artinya : DariRasulullah SAW bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah SAW bersabda: kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah SAW bersabda : maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama.(H.R. Muslim)7
Hadits di atas juga diriwayat dengan redaksi lain oleh Bukhari, 8 Ibnu Khuzaimah, 9 Ibnu Hibban,10 dan Baihaqi .11
Adapun sebab turun ayat ini adalah Habibah bin Zaid bin Abi Zahir nusyuz (durhaka) kepada suaminya, Sa’ad Ibn ar-Rabi’, salah seorang tokoh kaum Anshar. Kemudian Sa’ad menempelengnya. Maka Habibah beserta ayahnya mengadu kepada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah bersabda : “hendaklah kamu tuntut bela” . Kemudian turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
“Aku menghendaki suatu urusan, tetapi Allah menghendaki urusan lain dan yang dihendaki Allah adalah lebih baik” 12 .
Sebab turun ayat ini, sebagaimana terlihat dalam riwayat diatas memang masalah keluarga, namun hukum yang dipahami dari ayat ini tidak hanya terbatas pada masalah keluarga saja sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, tetapi juga mencakup dalam masalah lain seperti masalah kepemimpinan, jama’ah, jum’at dan lain-lain. Karena sebab turun ayat tidak dapat mengkhususkan keumuman pada suatu lafazh. Ini berdasarkan Qaidah Ushul Fiqh yang sudah umum diketahui, yaitu :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Artinya : Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh bukan khusus sebab.
3. Hadits Nabi SAW
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin.(H.R. Bukhari) 13
Umairah telah menjadi hadits ini sebagai dalil laki-laki merupakan salah satu syarat menjadi pemimpin.14 Bujairumy dalam kitabnya, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, juga mengutip hadits ini sebagai dalil salah satu persyaratan pemimpin adalah laki-laki.15
Berikut ketentuan-ketentuan syara’ selain tentang pemimpin Negara yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpinnya, yaitu ;
1.Nabi dan Rasul, semuanya laki-laki
2.Khulafaurrasyidin, semuanya laki-laki
3.Imam Shalat Jum’at, harus laki-laki
4.Imam Jama’ah yang ada laki-laki, atau laki-laki dan perempuan harus laki-laki
5.Hak thalaq dan ruju’ hanya pada laki-laki
6.Pihak yang melakukan ijab qabul dalam pernikahan hanya laki-laki
7.Qadhi harus laki-laki
8.Kewajiban jihad hanya pada laki-laki
9.Kewajiban menafkahkan keluarga adalah laki-laki
10.Kesaksian laki-laki diterima pada semua kasus, tidak demikian halnya wanita. Wanita tidak diterima kesaksiannya dalam kasus qishas dan hudud.
11.dan lain-lain.
Larangan perempuan menjadi pemimpin tidak relefan lagi dengan kondisi zaman sekarang ?
Ada ulama kita di Aceh yang berpendapat hadits “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin” tidak relefan lagi dengan kondisi zaman ini, dengan alasan pemimpin pada zaman munculnya hadits Rasulullah SAW, kekuasaannya sangat tidak terbatas, sehinggga apapun keputusan yang diputuskan oleh seorang pemimpin adalah merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Oleh karena itu, dibutuh seorang pemimpin yang betul-betul mempunyai kemampuan yang baik dan bijaksana dan itu hanya dipunyai oleh seorang laki-laki. Sedangkan zaman sekarang ini keadaan seperti gambaran tersebut sudah jauh berbeda, dimana kekuasaan seorang presiden hanya terbatas pada bidang eksekutif, sedangkan kekuasaan bidang yudikatif dan legislatif, masing-masing ada pada lembaga Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan demikian pada zaman sekarang ini sangat memungkinkan seorang perempuan yang anggap lemah kemampuannya dalam memimpin, menjadi seoarang pemimpin atau presiden atau istilah lainnya.
Pendapat ini kita tolak dengan alasan sebagai berikut :
1.firman Allah Ta’ala Q. S. al-Maidah : 5
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q.S. al-Maidah : 3)
Dengan turun ayat ini lima belas abad yang telah lalu, berarti Islam sudah sempurna sebagai agama. Kita tidak boleh menambah dan mengurangi lagi apa yang telah ditetap oleh Allah dan Rasul-Nya, apalagi mengi’tiqadkan bahwa ada ajaran Islam yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Mengi’tiqad perempuan boleh menjadi pemimpin pada zaman sekarang dengan alasan hadits Rasul “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin” tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang termasuk dalam katagori ini.
2. menurut hemat kami menjadikan ketidakmampuan perempuan sebagai ‘illah (alasan) hukum tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin pada zaman Nabi adalah kurang tepat, karena ketidakmampuan itu suatu washaf yang tidak munzhabith (tidak dapat diukur). Sedang illah itu sebagaimana dipahami dari kitab-kitab Ushul Fiqh, kriterianya adalah washaf yang zhahir, munzhabith (dapat diukur) dan menjadi tanda bagi hukum. Oleh karena itu, menurut pemahaman penulis, yang menjadi ‘illah di sini adalah keperempuanannya seseorang itu sendiri. Sedangkan ketidakmampuan merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada seorang perempuan. Ini sama halnya dengan dengan hukum kebolehan jama’ dan qashar shalat. Menurut Mazhab Syafi’i yang menjadi ‘illah-nya bukan masyaqqah yang timbul karena perjalanan panjang, karena masyaqqah tidak dapat diukur. tetapi yang menjadi ‘illah-nya adalah perjalanan panjang itu sendiri. Sedangkan masyaqqah merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada sebuah perjalanan panjang. Dengan demikian, kapan saja ada perjalanan panjang, maka ada hukum kebolehan qashar dan jama’, baik ada masyaqqah-nya atau tidak. Jadi hukum kebolehan qashar dan jama’ bukan dikaidkan pada masyaqqah, tetapi pada perjalanan panjang. Dalam hal pembahasan kita di atas, maka hukum tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin tidak dikaidkan pada ketidakmampuan, karena ketidakmampuan tidak boleh menjadi ‘illah, tetapi dikaidkan pada keperempuanan itu sendiri. Dengan demikian, kapan saja seseorang itu bersifat perempuan, maka dia tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik dia mampu atau tidak mampu.
3. menganggap memimpin pada zaman sekarang lebih mudah dibanding zaman Nabi SAW, dengan alasan dulu semua kekuasaan tertumpu pada seorang pemimpin, menurut hemat penulis, ini juga kurang tepat. Kita harus mengakui pada zaman sekarang umumnya, memang negara-negara di dunia ini ada terjadi pembagian kekuasaan dalam memimpin suatu negara atau apa yang sering kita dengar dengan istilah trias politica. Tetap bukan berarti tugas seorang presiden misalnya, akan lebih mudah dibanding dengan zaman Rasulullah. Kehidupan hari ini lebih kompleks dan rumit diibanding dengan zaman Rasulullah, dengan kecanggihan ilmu komunikasi saja, memimpin sebuah negara adalah seperti memimpin rakyat di seluruh dunia. Apapun yang terjadi di ujung dunia sana, hari ini juga dapat mempengaruhi keadaan negara yang kita diami. Kesimpulannya kita mengakui dengan adanya pembagian kekuasaan di sebuah negara pada zaman sekarang, tentunya akan mengurangi beban seoarang pemimpin, tetapi bukan berarti memimpin negara pada zaman sekarang akan lebih mudah dibanding dengan zaman Rasulullah SAW, karena pengaruh kemajuan teknologi pada zaman sekarang justru menjadi sebuah beban besar bagi seorang memimpin, sehinggga dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kualiatas andal dan berpikir rasional dan itu menurut syara’ hanya dipunyai oleh laki-laki.
Catatan
Mengatakan bahwa al-Mawardi tidak menyebut laki-laki sebagai syarat imam al-‘udhma dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, lalu berkesimpulan bahwa laki-laki tidak menjadi syarat untuk seorang imam adalah kesimpulan yang tidak tepat. Karena tidak menyebut disyaratkan laki-laki bukan berarti beliau berpendapat tidak disyaratkan laki-laki. Ini terbukti dalam kitab Al-Hawi al-Kabir, juga merupakan karya beliau, dalam pendalilian terhadap keharusan qadhi seorang laki-laki, beliau mengatakan bahwa kekurangan perempuan menyebabkan terhambatnya ter-’akad wilayat (kekuasaan) sama halnya seperti imam umat. Di sini beliau mengkiaskan posisi perempuan mengenai qadhi sama halnya dengan posisi perempuan pada urusan negara , yaitu imam ‘udhma. Lagi pula al-Mawardi merupakan ulama yang berpendapat seorang qadhi harus seorang laki-laki. Kalau qadhi saja harus laki-laki tentunya, tidak mungkin beliau berpendapat seorang imam al-udhma, yang membutuhkan sejumlah kemampuan lebih dibandingkan qadhi, dibolehkan dipegang oleh seorang perempuan.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 6
2. Imam an-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal.173
3. Zakariya Anshary, Fathul Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 204
4. Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 252
5. Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 218
6. Baidhawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Muasasah Sya’ban, Beirut, Juz.II, Hal. 85
7. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 61, No. Hadits : 250
8. Bukhari, Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 83, No. Hadits : 304
9. Ibnu Khuzaimah, Shahih Khuzaimah, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 268, No. Hadits : 2045
10. Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 54, No. Hadits : 5744
11. Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 308, No. Hadits : 1529
12. Baidhawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz.II, Hal. 85
13. Bukhari, Shahih bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VI, Hal. 8, No. Hadits : 4425
14. lihat Kitab Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 173
15. Bujairumy, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 204
16. Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. XVI, Hal.156
1.Berkata Imam an-Nawawi :
“Disyaratkan imam keadaannya muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki,…… dst”2
2.Berkata Zakariya Anshary :
“Disyaratkan keadaan Imam sebagai ahli qudha’, yaitu keadaannya muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki,….dst” 3
3.Berkata Ibrahim al-Bajury :
“Disyaratkan keadaan imam seperti syarat qadhi, yaitu muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki, …….dst”. 4
Adapun dalil fatwa yang mewajibkan persyaratan seorang pemimpin (imam) laki-laki, antara lain :
1.Firman Allah Ta’ala Q. S. An-Nisa’ : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S. An-Nisa’ : 59)
Dalam ayat ini, ada perintah ta’at kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh “ulil amri”. Lafazh ulil amri menunjukkan makna laki-laki, karena untuk perempuan digunakan lafazh ulatil amri. Memang banyak ayat dalam al-Qur’an dalam bentuk jamak muzakar dengan makna mencakup laki-laki dan perempuan, tetapi ini tentunya karena ada qarinah yang memalingkan dari maknanya yang hakiki. Sedangkan lafazh ulil amri dalam ayat di atas, yang kita temui justru dalil-dalil yang mendukung pemaknaan ulil amri dengan makna yang terbatas pada pemimpin laki-laki saja, sebagaimana dalil-dalil berikut ini.
2. Firman Allah, Q.S. an-Nisa’ : 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. an-Nisa’ : 34)
Dalam mentafsirkan ayat di atas, pengarang Tafsir Jalalain berkata :
“Artinya dengan sebab Allah melebihkan laki-laki atas wanita dengan ilmu, akal, kekuasaan dan lain-lain”.
Ahmad Shawy dalam mengomentari tafsir di atas berkata :
“Mufassir mengisyaratkan bagi sebagian urusan yang dilebihkan laki-laki dengannya atas wanita. Termasuk dalam urusan yang dilebihkan laki-laki atas wanita adalah lebih akal, agama, kekuasaan, kesaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, keadaan nabi-nabi dan sulthan dari laki-laki, kebolehan laki-laki kawin empat di dunia dan lebih banyak dari empat di akhirat, wanita tidak dibolehkan demikian dan kekuasaan thalaq dan ruju’ pada tangan laki-laki.”5
Berkata al-Baidhawy dalam mentafsir ayat di atas :
“Dengan sebab Allah Ta’ala melebihkan laki-laki atas wanita dengan sebab sempurna akal, bagus tadbir, kelebihan kemampuan dalam bekerja dan ta’at. Oleh karena itu, kaum laki-laki dikhususkan menjadi nabi, pemimpin,……….dst.” 6
Penafsiran ulama di atas sesuai dengan hadits shahih berbunyi :
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ». فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Artinya : DariRasulullah SAW bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah SAW bersabda: kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah SAW bersabda : maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama.(H.R. Muslim)7
Hadits di atas juga diriwayat dengan redaksi lain oleh Bukhari, 8 Ibnu Khuzaimah, 9 Ibnu Hibban,10 dan Baihaqi .11
Adapun sebab turun ayat ini adalah Habibah bin Zaid bin Abi Zahir nusyuz (durhaka) kepada suaminya, Sa’ad Ibn ar-Rabi’, salah seorang tokoh kaum Anshar. Kemudian Sa’ad menempelengnya. Maka Habibah beserta ayahnya mengadu kepada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah bersabda : “hendaklah kamu tuntut bela” . Kemudian turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
“Aku menghendaki suatu urusan, tetapi Allah menghendaki urusan lain dan yang dihendaki Allah adalah lebih baik” 12 .
Sebab turun ayat ini, sebagaimana terlihat dalam riwayat diatas memang masalah keluarga, namun hukum yang dipahami dari ayat ini tidak hanya terbatas pada masalah keluarga saja sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, tetapi juga mencakup dalam masalah lain seperti masalah kepemimpinan, jama’ah, jum’at dan lain-lain. Karena sebab turun ayat tidak dapat mengkhususkan keumuman pada suatu lafazh. Ini berdasarkan Qaidah Ushul Fiqh yang sudah umum diketahui, yaitu :
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Artinya : Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh bukan khusus sebab.
3. Hadits Nabi SAW
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin.(H.R. Bukhari) 13
Umairah telah menjadi hadits ini sebagai dalil laki-laki merupakan salah satu syarat menjadi pemimpin.14 Bujairumy dalam kitabnya, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, juga mengutip hadits ini sebagai dalil salah satu persyaratan pemimpin adalah laki-laki.15
Berikut ketentuan-ketentuan syara’ selain tentang pemimpin Negara yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpinnya, yaitu ;
1.Nabi dan Rasul, semuanya laki-laki
2.Khulafaurrasyidin, semuanya laki-laki
3.Imam Shalat Jum’at, harus laki-laki
4.Imam Jama’ah yang ada laki-laki, atau laki-laki dan perempuan harus laki-laki
5.Hak thalaq dan ruju’ hanya pada laki-laki
6.Pihak yang melakukan ijab qabul dalam pernikahan hanya laki-laki
7.Qadhi harus laki-laki
8.Kewajiban jihad hanya pada laki-laki
9.Kewajiban menafkahkan keluarga adalah laki-laki
10.Kesaksian laki-laki diterima pada semua kasus, tidak demikian halnya wanita. Wanita tidak diterima kesaksiannya dalam kasus qishas dan hudud.
11.dan lain-lain.
Larangan perempuan menjadi pemimpin tidak relefan lagi dengan kondisi zaman sekarang ?
Ada ulama kita di Aceh yang berpendapat hadits “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin” tidak relefan lagi dengan kondisi zaman ini, dengan alasan pemimpin pada zaman munculnya hadits Rasulullah SAW, kekuasaannya sangat tidak terbatas, sehinggga apapun keputusan yang diputuskan oleh seorang pemimpin adalah merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Oleh karena itu, dibutuh seorang pemimpin yang betul-betul mempunyai kemampuan yang baik dan bijaksana dan itu hanya dipunyai oleh seorang laki-laki. Sedangkan zaman sekarang ini keadaan seperti gambaran tersebut sudah jauh berbeda, dimana kekuasaan seorang presiden hanya terbatas pada bidang eksekutif, sedangkan kekuasaan bidang yudikatif dan legislatif, masing-masing ada pada lembaga Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan demikian pada zaman sekarang ini sangat memungkinkan seorang perempuan yang anggap lemah kemampuannya dalam memimpin, menjadi seoarang pemimpin atau presiden atau istilah lainnya.
Pendapat ini kita tolak dengan alasan sebagai berikut :
1.firman Allah Ta’ala Q. S. al-Maidah : 5
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q.S. al-Maidah : 3)
Dengan turun ayat ini lima belas abad yang telah lalu, berarti Islam sudah sempurna sebagai agama. Kita tidak boleh menambah dan mengurangi lagi apa yang telah ditetap oleh Allah dan Rasul-Nya, apalagi mengi’tiqadkan bahwa ada ajaran Islam yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Mengi’tiqad perempuan boleh menjadi pemimpin pada zaman sekarang dengan alasan hadits Rasul “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin” tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang termasuk dalam katagori ini.
2. menurut hemat kami menjadikan ketidakmampuan perempuan sebagai ‘illah (alasan) hukum tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin pada zaman Nabi adalah kurang tepat, karena ketidakmampuan itu suatu washaf yang tidak munzhabith (tidak dapat diukur). Sedang illah itu sebagaimana dipahami dari kitab-kitab Ushul Fiqh, kriterianya adalah washaf yang zhahir, munzhabith (dapat diukur) dan menjadi tanda bagi hukum. Oleh karena itu, menurut pemahaman penulis, yang menjadi ‘illah di sini adalah keperempuanannya seseorang itu sendiri. Sedangkan ketidakmampuan merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada seorang perempuan. Ini sama halnya dengan dengan hukum kebolehan jama’ dan qashar shalat. Menurut Mazhab Syafi’i yang menjadi ‘illah-nya bukan masyaqqah yang timbul karena perjalanan panjang, karena masyaqqah tidak dapat diukur. tetapi yang menjadi ‘illah-nya adalah perjalanan panjang itu sendiri. Sedangkan masyaqqah merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada sebuah perjalanan panjang. Dengan demikian, kapan saja ada perjalanan panjang, maka ada hukum kebolehan qashar dan jama’, baik ada masyaqqah-nya atau tidak. Jadi hukum kebolehan qashar dan jama’ bukan dikaidkan pada masyaqqah, tetapi pada perjalanan panjang. Dalam hal pembahasan kita di atas, maka hukum tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin tidak dikaidkan pada ketidakmampuan, karena ketidakmampuan tidak boleh menjadi ‘illah, tetapi dikaidkan pada keperempuanan itu sendiri. Dengan demikian, kapan saja seseorang itu bersifat perempuan, maka dia tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik dia mampu atau tidak mampu.
3. menganggap memimpin pada zaman sekarang lebih mudah dibanding zaman Nabi SAW, dengan alasan dulu semua kekuasaan tertumpu pada seorang pemimpin, menurut hemat penulis, ini juga kurang tepat. Kita harus mengakui pada zaman sekarang umumnya, memang negara-negara di dunia ini ada terjadi pembagian kekuasaan dalam memimpin suatu negara atau apa yang sering kita dengar dengan istilah trias politica. Tetap bukan berarti tugas seorang presiden misalnya, akan lebih mudah dibanding dengan zaman Rasulullah. Kehidupan hari ini lebih kompleks dan rumit diibanding dengan zaman Rasulullah, dengan kecanggihan ilmu komunikasi saja, memimpin sebuah negara adalah seperti memimpin rakyat di seluruh dunia. Apapun yang terjadi di ujung dunia sana, hari ini juga dapat mempengaruhi keadaan negara yang kita diami. Kesimpulannya kita mengakui dengan adanya pembagian kekuasaan di sebuah negara pada zaman sekarang, tentunya akan mengurangi beban seoarang pemimpin, tetapi bukan berarti memimpin negara pada zaman sekarang akan lebih mudah dibanding dengan zaman Rasulullah SAW, karena pengaruh kemajuan teknologi pada zaman sekarang justru menjadi sebuah beban besar bagi seorang memimpin, sehinggga dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kualiatas andal dan berpikir rasional dan itu menurut syara’ hanya dipunyai oleh laki-laki.
Catatan
Mengatakan bahwa al-Mawardi tidak menyebut laki-laki sebagai syarat imam al-‘udhma dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, lalu berkesimpulan bahwa laki-laki tidak menjadi syarat untuk seorang imam adalah kesimpulan yang tidak tepat. Karena tidak menyebut disyaratkan laki-laki bukan berarti beliau berpendapat tidak disyaratkan laki-laki. Ini terbukti dalam kitab Al-Hawi al-Kabir, juga merupakan karya beliau, dalam pendalilian terhadap keharusan qadhi seorang laki-laki, beliau mengatakan bahwa kekurangan perempuan menyebabkan terhambatnya ter-’akad wilayat (kekuasaan) sama halnya seperti imam umat. Di sini beliau mengkiaskan posisi perempuan mengenai qadhi sama halnya dengan posisi perempuan pada urusan negara , yaitu imam ‘udhma. Lagi pula al-Mawardi merupakan ulama yang berpendapat seorang qadhi harus seorang laki-laki. Kalau qadhi saja harus laki-laki tentunya, tidak mungkin beliau berpendapat seorang imam al-udhma, yang membutuhkan sejumlah kemampuan lebih dibandingkan qadhi, dibolehkan dipegang oleh seorang perempuan.16
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 6
2. Imam an-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal.173
3. Zakariya Anshary, Fathul Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 204
4. Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 252
5. Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 218
6. Baidhawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Muasasah Sya’ban, Beirut, Juz.II, Hal. 85
7. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 61, No. Hadits : 250
8. Bukhari, Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 83, No. Hadits : 304
9. Ibnu Khuzaimah, Shahih Khuzaimah, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 268, No. Hadits : 2045
10. Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 54, No. Hadits : 5744
11. Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 308, No. Hadits : 1529
12. Baidhawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz.II, Hal. 85
13. Bukhari, Shahih bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VI, Hal. 8, No. Hadits : 4425
14. lihat Kitab Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 173
15. Bujairumy, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 204
16. Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. XVI, Hal.156
Rabu, 08 Juni 2011
Hadits tuntut ilmu meskipun ke negeri China
Salah satu hadits yang populer ditengah masyarakat dan sering dikutip oleh mubaligh kita adalah hadits :
اطلبوا العلم ولو بالصين فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya : Tuntutlah ilmu meskipun ke negeri China. Sesungguhnya menuntut ilmu merupakan fardhu atas setiap muslim
Lalu bagaimana kedudukan hadits ini ? Berikut keterangan ulama, yaitu :
1. Dalam kitab al-Maqashid al-Hasanah karangan al-Sakhawy disebutkan :
1). Hadits diriwayat oleh Baihaqi dalam kitab al-Syu’bi, al-Khatib dalam al-Rihlah dan lainnya, Ibnu Abd al-Bar dalam Jami’ al-Ilmu dan oleh al-Dailamy.
2). Semua perawi di atas diriwayat berujung kepada Abu ‘Atikah Tharif bin Salman. Ibnu Abd al-Bar menyendiri mengambil dari ‘Abid bin Muhammad dari Ibnu ‘Ainiyah dari al-Zuhry. Kedua jalur ini sama-sama dari Anas secara marfu’.
3). Hadits ini dha’if dari masing-masing dua jalur tersebut, bahkan Ibnu Hubban mengatakan hadits ini bathil, tidak ada asal. Ibnu Jauzy menempatkan dalam kelompok hadits maudhu’.
2. Dalam kitab Faidh al-Qadir karangan al-Manawy, disebutkan :
- Al-Naisabury, Ibnu Jauzi dan al-Dzahabi mengatakan : “Tidak sah isnadnya”
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits di atas adalah dha’if.
Seandainya hadits ini shahih, maksudnya adalah Rasulullah SAW menjelaskan bahwa menuntut ilmu adalah fardhu ain, karena merupakan kewajiban atas setiap muslim. Sebagaimana dimaklumi, tentunya tidak semua ilmu menjadi fardhu ain, oleh karena itu, ilmu yang dimaksud di sini hanyalah ilmu-ilmu yang kegunaannya tidak boleh tidak atas setiap muslim yang sebagian ulama menyebutnya sebagai ilmu al-hal, seperti ilmu mengenai akidah, ilmu tata cara shalat wajib, ilmu tata cara puasa wajib dan ilmu mengenai kewajiban-kewajiban lainnya. Ilmu yang hukumnya fardhu kifayah tidak termasuk dalam katagori ilmu dalam hadits di atas, karena ia tidak wajib atas setiap muslim. Disebut negeri China menunjukkan pentingnya ilmu fardhu ain tersebut. Seandainya ilmu fardhu ain tersebut ada di negeri China, kita wajib mencarinya, ini sekali lagi seandainya. Penyebutan negeri China bukanlah berarti hadits ini memerintah mencari ilmu, meskipun ilmu berupa teknolgi dan ilmu kedunian lainnya sebagaimana digambar oleh sebagian da’i-da’i bodoh dari kalangan kita selama ini. Dengan demikian, jika ditinjau dari sisi ilmu balaghah, maka ”al” pada perkataan ”al-ilma” pertama adalah ”al” al-ahdi al-zihni bermakna ilmu tertentu yaitu ilmu fardhu ain, sedangkan ”al” pada ”al-ilma” kedua adalah ”al” al-ahdi al-zikri” bermakna seperti ”al-ilma” pertama.
Berdasarkan pengertian ini, maka hadits ini meskipun sanadnya dha’if, tetapi kandungannya shahih sebagaimana dimaklumi.
DAFTAR PUSTAKA
1.Syamsuddin al-Sakhawy, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 63
2.Al-Manawy, Faidhul al-Qadir, maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 693
اطلبوا العلم ولو بالصين فإن طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya : Tuntutlah ilmu meskipun ke negeri China. Sesungguhnya menuntut ilmu merupakan fardhu atas setiap muslim
Lalu bagaimana kedudukan hadits ini ? Berikut keterangan ulama, yaitu :
1. Dalam kitab al-Maqashid al-Hasanah karangan al-Sakhawy disebutkan :
1). Hadits diriwayat oleh Baihaqi dalam kitab al-Syu’bi, al-Khatib dalam al-Rihlah dan lainnya, Ibnu Abd al-Bar dalam Jami’ al-Ilmu dan oleh al-Dailamy.
2). Semua perawi di atas diriwayat berujung kepada Abu ‘Atikah Tharif bin Salman. Ibnu Abd al-Bar menyendiri mengambil dari ‘Abid bin Muhammad dari Ibnu ‘Ainiyah dari al-Zuhry. Kedua jalur ini sama-sama dari Anas secara marfu’.
3). Hadits ini dha’if dari masing-masing dua jalur tersebut, bahkan Ibnu Hubban mengatakan hadits ini bathil, tidak ada asal. Ibnu Jauzy menempatkan dalam kelompok hadits maudhu’.
2. Dalam kitab Faidh al-Qadir karangan al-Manawy, disebutkan :
- Al-Naisabury, Ibnu Jauzi dan al-Dzahabi mengatakan : “Tidak sah isnadnya”
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hadits di atas adalah dha’if.
Seandainya hadits ini shahih, maksudnya adalah Rasulullah SAW menjelaskan bahwa menuntut ilmu adalah fardhu ain, karena merupakan kewajiban atas setiap muslim. Sebagaimana dimaklumi, tentunya tidak semua ilmu menjadi fardhu ain, oleh karena itu, ilmu yang dimaksud di sini hanyalah ilmu-ilmu yang kegunaannya tidak boleh tidak atas setiap muslim yang sebagian ulama menyebutnya sebagai ilmu al-hal, seperti ilmu mengenai akidah, ilmu tata cara shalat wajib, ilmu tata cara puasa wajib dan ilmu mengenai kewajiban-kewajiban lainnya. Ilmu yang hukumnya fardhu kifayah tidak termasuk dalam katagori ilmu dalam hadits di atas, karena ia tidak wajib atas setiap muslim. Disebut negeri China menunjukkan pentingnya ilmu fardhu ain tersebut. Seandainya ilmu fardhu ain tersebut ada di negeri China, kita wajib mencarinya, ini sekali lagi seandainya. Penyebutan negeri China bukanlah berarti hadits ini memerintah mencari ilmu, meskipun ilmu berupa teknolgi dan ilmu kedunian lainnya sebagaimana digambar oleh sebagian da’i-da’i bodoh dari kalangan kita selama ini. Dengan demikian, jika ditinjau dari sisi ilmu balaghah, maka ”al” pada perkataan ”al-ilma” pertama adalah ”al” al-ahdi al-zihni bermakna ilmu tertentu yaitu ilmu fardhu ain, sedangkan ”al” pada ”al-ilma” kedua adalah ”al” al-ahdi al-zikri” bermakna seperti ”al-ilma” pertama.
Berdasarkan pengertian ini, maka hadits ini meskipun sanadnya dha’if, tetapi kandungannya shahih sebagaimana dimaklumi.
DAFTAR PUSTAKA
1.Syamsuddin al-Sakhawy, al-Maqashid al-Hasanah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 63
2.Al-Manawy, Faidhul al-Qadir, maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 693
Senin, 06 Juni 2011
Abuya Tgk. Syekh H. Muhammad Syam Marfaly
Abuya Tgk. Syekh H. Muhammad Syam Marfaly yang dikenal dengan panggilan Abu Syam atau Abu di Blang adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh yang dikenal dengan ketegasan di hukum fiqih dan Abu juga seorang ulama yang membasmi paham wahabi di Blangpidie, yang sebelumnya merupakan salah satu tempat pusat perkembangan wahabi di wilayah Pantai Barat Selatan Aceh, Abuya di lahirkan di desa Lhung Tarok Kecamatan Blangpidie Kabupaten Aceh Selatan (sekarang Aceh Barat Daya) pada tahun 1937. Ayah beliau bernama Khalifah Makrufen bin Khalifah Ali dan ibu beliau Hj. Aisyah binti Tgk. Muhammad Ali.
Seperti umumnya pada masyarakat Aceh, pendidikan dasar yang diperoleh seorang anak dalam keluarga adalah diberikan dari orang tua mereka, terutama yang berhubungan dengan pendidikan agama dan akhlak. Di samping itu juga,Abu juga belajar di Sekolah Rakyat (SR) di Blangpidie tapi tidak selesai karena terhimpit factor ekonomi keluarga yang tidak mendukung dan juga disebabkan oleh meninggalnya Ayah beliau.
Setelah Abu berhenti sekolah Abu membantu orang tua ,yaitu bertani dan pada tahun 1955 Abu berdagang di Blangpidie. Karena aktifitas Abu di Blangpidie dekat dengan Mesjid Jamik Blangpidie, maka beliau pun menjadi salah seorang jama’ah Mesjid tersebut. Karena rutin mendengar ceramah dan pengajian dari Abuya Tgk. T. Syeh Mahmud bin Tgk. Ahmad (Pendiri/pimpinan Dayah Bustanul Huda) maka beliau tertarik untuk pergi mengaji.
Maka pada tahun 1958 Abu berangkat ke Dayah/Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan pimpinan Abuya Tgk. Syekh Muhammad Muda Waly Al-Khalidy untuk menimba ilmu. Abu belajar dan mengajar di Darussalam selama 17 tahun lamanya.
Setelah selesai Abu di Darussalam maka pada tahun 1975 Abu menikah dengan Hj. Rusnida asal desa Blangporoh Labuhan Haji Aceh Selatan dan dari perkawinan tersebut beliau dikarunai tiga orang anak,yaitu : Nurbaiti Syam Marfaly, Nur Asyqiyati Syam Marfaly dan Tgk. H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly.
Memimpin Dayah dan Perjuangan
Dayah Bustanul Huda merupakan salah satu Dayah tua dipantai Barat Selatan Aceh. Pada mulanya Dayh ini bernama Jami’atul Muslimin yang didirikan oleh Tgk. Syeh Ismail (tidak diketahui tanggal dan tahun yang jelas) yaitu pada masa penjajahan Belanda di Aceh yang lokasinya di Mesjid Jamik Agung Blangpidie sekarang. Setelah Tgk. Syeh Ismail berpulang Kerahmatullah maka Dayah Jami’atul Muslimin dipimpin oleh tgk. Yunus Lhong seorang Ulama dari Lhong Aceh Besar. Pada saat pergolakan Tgk. Peukan di Blangpidie yang disaat itu Tgk. Peukan syahit, maka Tgk. Yunus Lhong mengubur Tgk. Peukan sebagai mana layaknya meninggal seorang syuhada yaitu tanpa dimandikan dan dikafan. Maka pemerintah Hindia Belanda pada saat itu mencap Tgk. Yunus Lhong seorang yang berdiri dipihak pemberontak sehingga Belanda tidak mengizinkan Tgk. Yunus Lhong untuk tinggal di Blangpidie.
Sepeninggal Tgk. Yunus Lhong mak dengan sendirinya aktivitas Dayah terhenti. Maka pada tahun 1926 atas inisiatif tokoh masyarakat pada saat itu mendatangkan seorang Ulama lain yaitu Abuya Tgk. T. syeh Mahmud Bin T. Ahmad (Abu syeikh Mud) lulusan dari Dayah Yan Kedah Malaysia.
Pada saat itu Abu Syehmud mengganati nama Dayah dari Jami’atul Muslimin menjadi Dayah Bustanul Huda dan dibawah kepemimpinan beliau Dayah Bustanul Huda berkmbang dengan pesat santri-santri berdatangan dari seluruh Daerah. Sehingga melahirkan murd-murid yang handadal. Diantaranya Abuya. Tgk. Syeh H Muhammad Wali Al Khalidy (pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji), Tgk. H. Adnan Mahmud Bakongan (nek Abu), Tgk Ja’far Lailon, Tgk. Syekh H. Jailani Musa dan lain-lain.
Pada tahun 1966 Abu Syekh Mud meninggal dunia maka Dayah Bustanul Huda dipimpin oleh menantu beliau yaitu Abuya Tgk. Syekh H. Abdul Hamid Kamal yang dikenla dengan sebutan Abu Hamid. Abu Hamid pada saat itu juga sudah mendirikan Dayah yaitu Dayah Raudhatul Ulum Kuala Batee maka dengan sendirinya Abu Hamid memimpin dua buah dayah. Pada tahun 1980 Abu Hamid meninggal dunia maka ata inisiatif keluarga Abu Hamid dan tokoh masyarakat pada saat itu meminta kesediaan kepada Abuya Tgk. Syekh H. Muhammad Syam Marfaly untuk memimpin Dayah Bustanul Huda.
Pada tahun 1983 karena lokasi tidak memungkinkan untuk mengembangkan pendidikan maka Abu memindahkan lokasi Dayah ke Desa Keude Siblah yaitu di lokasi sekarang (Jl. Cot Seutui).
Di lokasi baru tersebut yang merupakan tanah pribadi Abu, perkembangan Dayah mulai pesat, santri mulai berdatangan untuk menetap di Dayah Bustanul Huda, sntri yang menetap mulai dari wilayah Blangpidie sampai berdatangan merata dari seluruh kabupate yang ada di Aceh. Bahkan ada dari Sumatra Utara, Sumtra Barat, Jambi, dan Riau. Pada tahun 1989 Abu mulai menerima satri putri untuk menetap dan belajar di Dayah Bustanul Huda Blangpidie.
Santri Abu banyak yang telah berhasil bahkan ada yang telah mendirikan Dayah diantarnya: Tgk. Hajad, pimpinan Dayah Nurul Muhsinin Beuruneun kabupaten Pidie , Tgk. Abubakar Yusuf, pempinan Dayah Bustanul Huda kecamatan Mutiara Timur kabupaten Pidie, Tgk. M. Husen Pimpinan Dayah. Tgk. Chik Fadil Diriwat Kembang Tanjung pidie. Tgk. Lukmanul Hakim pimpinan Dayah bustanul Huda Muara Tebo Provinsi Jambi, Tgk. Azhar syam Pimpinan Dayah Dayah Darul Wasi’ah Pekan Baru Riau.Tgk. mahyuddin pimpinan Dayah di Padang sumatera Barat, Tgk. M. tulot pimpinan Dayah Darul Huda kec. Babahrot, Tgk. Marah Hitam pimpinan dayah di Kuala Batee, Tgk. H. Ja’far Amja pimpinan Dayah Sirajul Ibad Meukek Aceh Selatan, Tgk. Junaidi Al Firdaus pimpinan Dayah Bustanul Fhata Aron Kuta Baro,Pidie, Tgk. Ramli pimpinan Dayah Babul Hidayatul Muslim Lhung Baro Nagan Raya, Tgk. Syamsul Bahari pimpinan Dayah Bahrulm ulum Diniyah Islamiyah kecamatan Meuraxa Kota Lhoksumawe dan lain-lain.
Dalam mengembangkan dayah, Abu tidak mau menerima sumbangan Pemerintah walupun pada masa itu yaitu di saat Orde Baru berkuasa pernah menawarkan sumbangan ratusan juta rupiah tapi Abu tetap menolaknya. Alasan Abu tidak mau menerima sumbangan Pemerintah disebabkan karena yang memberikan tersebut ada maunya sehingga apa yang secara tidak langsung mulut kita terbungkam dan tidak berani mengkritik sehingga menjadi corong pemerintah bukan coong masyarakat.
Untuk menjalankan Dayah, Abu hanya menerima sumbangan ikhlas dari masyarakat, selain itu juga ada dari wali murid Santri yang menetap di Dayah Bustanul Huda. Dan selain itu juga hasil dari perkebunan kelapa sawit milik Dayah Bustanul Huda.
Untuk menghidupi keluarga, Abu bertani dan berkebun. Abu turun sendiri kesawah dan kebun, disamping itu juga dibantu oleh santri-santri Abu. Dan Abu menananmkan kepada santri Abu untuk mandiri sehingga tidak tergantung kepada pihak lain, sehingga bila santri tersebut sudah mampu kelak membangun pesantren ada jiwa mandiri seperti yang dikerjakan oleh Abu.
Selain dari memimpin Dayah Abu juga aktif melakukan Majelis Ta’lim yaitu malam jum’at di Mesjid Jamik Kutatinggi Blangpidie untuk Masyarakat umum dan malam sabtu di Mesjid Jamik Blangpidie tapi karena pergolakan konflik Aceh semakin memanas pada masa itu maka pada tahun 2001 pengajian tersebut dihentikan. Dan pada hari jum’at usai shalat jum’at Abu membuka Majelis Ta’lim untuk Jama’ah Ibu-Ibu di Dayah Bustanul Huda dan pada hari Rabu untuk jama’ah Laki-Laki yang sampai sekarang masih aktif.
Abu juga aktif berdakwah yang diundang oleh masyarakat mulai dari sekitar Aceh sampai diluar Aceh. Dalam menyampaikan Da’wah Abu diknal keras suka mengkritik kebijakan pemerintah yang menentang dalam Agama . sehingga Abu dikenal dengan Ulama Keras yang menolak mordenisasi.
Akibat dari ceramah Abu yang keras suka mengkritik pemrintah, maka pada saat itu Abu diboikot atau dilarang oleh rezim pada masa itu untuk berceramah. Kalau ada masyarakat yang mengundang Abu untuk berceramah maka yang mengundang tersebut dapat teguran dari pemerintah yang berkuasa saat itu.
Pemerintah orde baru pada masa itu mengklaim Abu salah seorang Ulama yang ekstrem sehingga pada tanggal 15 Agustus 1992 Dayah/Pesantren Bustanul Huda pernah mau disrang oleh rezimm Soeharto yang berkuasa pada saat itu dengan tujuan ingin menangkap Abu dan santri-santri Beliau, tapi ALLAH SWT melindungi dan tidak mengizinkan hal itu terjadi. Mereka tidak berani masuk kewilaya komplek Dayah, pada tahun itu juga Abu melarang Muspika Kecamatan Blangpidie mengadakan MTQ di Mesjid Jamik Agung Blangpidie, dengan alas an tidak sesuai dengan ajaran Agama, seprti bercampur baur antara laki-laki dan permempuan. Imbas dari hal tersebut Abu dipanggil oleh KODIM 0107 Aceh Selatan pada saat itu, Abu dimintai keterangan selama empat hari empat malam oleh KODIM 0107 Aceh Selatan, tapi ALLAH SWT masih melindungi akhirnya Abu dinyatakan tidak bersalah sebab semua pernyataan Abu sudah digariskan didalam ajaran Agama.
Kiprah Dalam PERTI dan Masyarakat
Sejak Pemilu tahun 1955 Abuya sudah aktif di PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang pada saat itu PERTI termasuk sebagai salah satu Partai Politik peserta Pemilu dan pada awal msa orde baru berkuasa Abuya masih tetap eksis di Partai Islam PERTI, walaupun pada saat itu beliau diajak dengan berbagi macam cara untuk bergabung dengan orsospol GOLKAR (Golongan Karya) bahkan beliau pernah diancam keselamatan jiwa tetapi beliau masih tetap teguh pendirian di PERTI. Disaat kebijakan Pemerintah Orde Baru yang hanya membolehkan 3 Partai (2 Partai dan 1 golkar) akhirnya PI PERTI berfusi dengan empat partai Islam lainnya di dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maka Abu pun ikut aktif dalam PPP,bahkan beliau pernah menjabat posisi penting dalam PPP yaitu Ketua Majelis Pertimbangan Cabang PPP Aceh Selatan pada saat itu. Tapi, walaupun aktif di PPP Abu tidak pernah mau menjadi anggota legislative walaupun pernah ditawar beberapa kali oleh fungsionaris PPP untuk duduk di “kursi rakyat” tersebut dengan alas an sebab jika Abu memilih legislative tersebut,Dayah akan terbengkalai karena sibuk dengan urusan politik.
Dalam organisasi kemasyarakatan, Abu aktif di PERTI dan pada tahun 1997 Abu menjabat sebagai Ketua PERTI Aceh Selatan. Pada saat kepemimpinan beliaulah PERTI kembali berkibar di Aceh Selatan,beliau menghidupkan kembali pengurus PERTI disetiap kecamatan yaitu Pengurus Anak Cabang (PAC) dan di setiap desa yaitu Pengurus Ranting (PR) dan beliau turun langsung ke kecamatan dan desa dlam melantik PAC dan PR PERTI.
Dan pada saat itu, Abuya berencana membuka kembali MTI-MTI PERTI di Aceh Selatan yang sudah lama mati, tetapi akibat konflik di Aceh yang semakin memanas maka hal tersebut tidak terwujud.
Pada tahun 2003, Aceh Barat Daya di memekarkan diri dari Kabupaten Aceh Selatan, maka Abuya mendirikan PERTI di Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA). Sebelum pelaksanaan MUSCAB (Musyawarah Cabang) Abuya terlebih dahulu mengumpulkan para Ulama,Birokrat,pengusaha,politisi dan tokoh masyarakat yang ada di Abdya untuk membicarakan pelaksanaan MUSCAB PERTI yang perdana di Abdya.
Hasil dari pendapat tersebut terlaksananya MUSCAB pada tanggal 8 s/d 10 Mai 2003 di Dayah Bustanul Huda Blangpidie Abdya. Pelaksanaa MUSCAB berlangsung meriah.Sehari sebelum Muscab, di adakan pawai ta’ruf PERTI keliling Kabupaten Aceh Barat Daya. Pada hari pembukaan dihadiri oleh ribuan masyarakat dan juga hadir dari DPP PERTI Bapak. Ir. H. Ibrahim Arif, M. Agr dan juga hadir dari DPD PERTI NAD. Dan pada Muscab tersebut terpilih Abuya Syam Marfaly sebagai Ketua DPC PERTI Aceh Barat Daya secara aklamasi dan juga berhasil membentuk pengurus DPC PERTI yang diisi oleh tokoh-tokoh, seperti Bupati Aceh Barat Daya (Drs. Burhanuddin M. Sampe, MM) sebagai Wakil Ketua DPC PERTI. Pada tahun 2008, Abuya juga mendorong pembentukan Pengurus Cabang Organisasi Pelajar Islam (PC OPI) dan Pengurus Cabang Kesatuan Mahasiswa Islam (PC KMI) Aceh Barat Daya.
Selain di PERTI, Abu juga aktif di dalam Pengurus Besar Dayah Inshafuddin Aceh beliau duduk sebagai salah seorang wakilo ketua Majelis Syura PB Dayah Inshafuddin Aceh , kemudian Abu juga sebagai Wakil Ketua Majelis Syura Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) , di Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) Abu dipercayakan sebagai salah seorang Dewan Syuyukh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan Abu juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Cabang Blangpidie.
Selain dari memimpin dayah, semasa hidup Abu juga sebagai Imam Besar Mesjid Jamik Agung Blangpidie.
Disaat pergolakan Aceh antara RI dan GAM, Abu tidak pernah melibatkan diri ke dalam salah satu yang bertikai tersebut. Abu berdiri di tengah-tengah. Di dalam khutbah jum’at dan ceramah Agama Abu kerap kali mengkritik kebijakan Pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Aceh yang tidak manusiawi,dan pada Tahun 2000 Abu pernah mengundang unsue Muspika enam kecamatan dalam wilayah pembantu Bupati Blangpidie (pada saat itu Blangpidie masih dalam wilayah kabupaten Aceh Selatan) dalam hal menciptakan keamanan dalam wilayah tersebut sehingga yang tidak bersalah janganlah kena imbasnya.
Pada tahun 2001, Abu bersama dengan tokoh lainnya kembali menggelar pertemuan dengan Unsur Muspika dalam wilayah pembantu Bupati Blangpidie dan komandan pasukan yang bertugas di Aceh saat itu. Untuk menciptakan kondisi keamanan yang kondosif saat itu sehingga dikenal dengan Payung Kedamaian.
Hal yang unik dalam konflik Aceh tersebut disaat lebaran/Hari Raya Idul Fitri ditahun 2000, di rumah Abu pernah duduk antara Komandan Kompi Siliwangi dengan Komandan Operasi GAM Wilayah Blangpidie, Abu member nasehat kepada kedua kelompok yang sedang bertika tersebut.
Aktivitas Lainnya
Selain memimpin Dayah, berda’wah dan lainnya Abu juga kerap membantu persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat seperti mendamaikan orang-orang bertikai, merukunkan keluarga yang hampir bercerai dan lainnya, dan disaat konflik Aceh memanas Abu kerap tidak sempat tidur karena banyak masyarakat yang mengadu kepada Abu tentang keluarganya yang ditahan atau ditangkap oleh salah satu pihak bertikai pada saat itu.
Selain dari itu banyak juga masyarakat dating ke Abu untuk meminta keberkahan seperti minta ditawar air untuk keluarganya yang sakit, dan lainnya. Ada juga yang minta bantu berdoa bersama Abu untuk dikembalikan hartanya yang hilang atau dicuri oleh orang lain.
Meninggal Dunia
Pada hari sabtu tanggal 8 Ramadhan 1430 H bertepatan 29 Agustus 2009 tepat pada pukul 08.30 Wib, Abuya berpulang kerahmatullah di rumah pribadi beliau yaitu di Dayah Bustanul Huda JL. Cot Seutui Gampong Keude Siblah Blangpidie Aceh Barat Daya setelah beliau menderita sakit empedu. Beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda Banda Aceh. Menurut keterangan dokter yang merawat Abuya, beliau terkena penyakit penyubatan dipembuluh empedu. Maka pada tanggal 17 Agustus 2009 keluarga Abuya membawa pulang beliau ke Blangpide.
Berita tentang meninggalnya Abuya beredar sangat cepat dikalangan masyarakat sehingga dalam waktu singkat ribuan masyarakat berbondong-bondong ketempat Abuya, lokasi Dayah Bustanul Huda penuh dengan masyarakat yang shalat jenazah. Upacara pelepasan jenazah dan shalat langsung dipimpin oleh putra laki-laki beliau yaitu: Mhd Qudusi Syam Marfaly yang diikuti oleh para Ulama, Pimpinan Dayah dari Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya, dan Aceh Barat, tokoh masyarakat , Pejabat Militer dan Polisi serta ribuan masyarakat. Abuya dikebumikan di komplek Dayah Busatanul Huda Blangpidie Aceh Barat Daya.
Abuya meninggalkan satu orang istri, tiga orang anak dua putri satu putra dan dua orang cucu.
Tambahan Kehidupan Abu
1. Untuk menghidupi keluarga, Abu bertani disawah beliau sendiri yang turun kesawah, disamping itu juga dibantu oleh murid-murid Abu. Abu mempunyai sikap mandiri yang tidak tergantung kepada orang lain.
2. Dalam mengelola Dayah Abu dibantu oleh para Dean Guru, yaitu santri Abu yang senior dan sudah mampu mengajar. Para dewan Guru tersebut tidak digaji oleh Abu tetapi mereka tetap ikhlas dalam membantu Abu untuk mengajar para santri-santri yang belajar di Bustanul Huda.
3. Kalau bertamu ke tempat Abu, Abu membuat beberapa aturan salah satunya yaitu harus menutup aurat (perempuan dilarang memakai celana panjang) serta sopan adapun kalu hal ini dilanggar maka tidak bisa masuk ke dalam komplek Dayah. Aturan ini berlaku bagi siapa saja,apakah itu masyarakat biasa atatupun pejabat. Pernah di tahun 1993 di Dayah Abu dikunjungi oleh Korem 012 TU yaitu Kol. Inf. Rudi Supriatna beliau didampingi oleh istri dan raombongan.Tetapi, istri korem tidak memakai pakaian muslimah maka Abu pun tidak mengizinkan istri Korem masuk ke dalam Komplek Dayah Abu.
4. Dalam bertamu ke rumah Abu, Abu menyediakan dua ruangan, satu untuk tamu laki-laki dan satu lagi untuk tamu perempuan, jadi bila bertamu ke rumah Abu dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
5. Kebijakan Abu dalam memisahkan antara yang hak dan bathil bukan hanya di tempat Abu saja, tapi juga di tempat lainnya. Apabila ada acara yang mengundang Abu di tempat itu tidak dipisahkan antara hak dan yang bathil maka Abu menegurnya dan langsung pulang,termasuk seperti pada saat Musda VII PERTI Aceh yang berlangsung pada 25 Juni 2002 M di Gapang, Sabang yang pada ada saat pembukaan Musda dihadiri oleh usur Muspida tingkat propinsi NAD.Saat meyanyikan lagu Indonesia Raya,yang memimpin lagu adalah kelompok perempuan, melihat hal itu Abu langsung keluar ruangan Musda.
6. Abu merupakan ulama keras, suka mengkritik kebijakan Pemerintah yang salah dengan Agama dan beliau juga disegan oleh lawan maupun kawan. Pada saat konflik berlangsung di Aceh, Abu berdiri di tengah-tengah tidak memihak pada salah satu yang bertikai bakan Abu pernah mejadi mediator antara dua kubu tersebut. Ini dapat dilihat pada saat itu, bila keluarga yang ditangkap oleh aparat masyarakat mengadu kepada Abu, Abu langsung menghubungi komandan mereka agar masyarakat tersebut dilepaskan karena yang ditangkap oleh merea tidka bersalah
7. Jadi tidak heran pada saat konflik , banyak yang mencari perlindungan di tempat Abu seperti Tgk. H. Baihaqi Daud (pimpinan Dayah Darul Istiqamah Kueng Batee/Ketua HUDA Abdya/Anggota DPRD Abdya pada masa itu) beliau diteror oleh pihak GAM, tgk. H. Baihaqi hijrah ke Dayah Abu selama empat hari empat malam sehingga dengan izin Allah SWT beliau aman.
8. Sekitar tahun 1996 Abu pernah diundang oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara tapi beliau tidak mau datang sebab “seburuk-buruk ulama adalah ulama yang bertamu ke rumah sultan, dan sebaik-beik sultan adalah sultan yang bertanu ke rumah Ulama” dan pada tahun yang sama juga Abu termasuk salah seorang dari Ulama aceh yang mendapat quota studi banding keliling dunia tetapi Abu tetap tidak mau.
9. Abu tidak pernah menghadiri undangan dari pejabat baik sipil maupun militer tanpa alasan yang jelas, tapi bila undangan tersebut membicarakan masalah ummat beliau menghadiri, dan jangan heran di rumah Abu banyak dikunjungi oelh pejabat sipil dan militer di waktu konflik setiap pasukan operasi yang masuk ke wilayah Blangpidie tetap bertamu ke rumah Abun dan dalam setiap forum pertemuan baik itu pertemuan seluruh Aceh, dengan pejabatmaupun aparat militer lainnya Abu bicara dengan jelas dan forum diam tidak membantah apa yang Abu ucapkan.
10. Alm. Abu merupakan seoran Ulama kharismatik dan beliau dikenal sebagai seorang Ulama yang keras,berani dan tegas. Bila sudah menentang dengan ajaran Agama beliau tidak segan melawan walaupun itu menantang dengan kebijakan Pemerintah. Abu juga seorang ulama yang membasmi paham wahabi di Blangpidie yang sebelumnya merupakan salah satu pusat tempat perkembangan paham wahabi di wilayah pantai barat selatan. Salah satu contoh kiprah Abu dalam menegakkan Ahlsunnah wal Jama’ah adalah terlaksananya Rukyah tul hilal bila mau masuk Ramadhan dan Hari Raya ‘idhul Fitri. Bila hilal belum nampak umumya masyarakat Abdya tidak berpuasa dan hari raya bahkan Mesjid Jamik Agung pun tetap mengacu pada Rukyah tul Hilal.
(sumber : Catatan dan hasil wawancara dengan Tgk. H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly -Pimpinan Dayah Bustanul sekarang- anak kandung Abu)
tulisan di kutip dari http://ajuncell.blogspot.com/2011/02/abuya-tgk-syekh-h-muhammad-syam-marfaly.html
Seperti umumnya pada masyarakat Aceh, pendidikan dasar yang diperoleh seorang anak dalam keluarga adalah diberikan dari orang tua mereka, terutama yang berhubungan dengan pendidikan agama dan akhlak. Di samping itu juga,Abu juga belajar di Sekolah Rakyat (SR) di Blangpidie tapi tidak selesai karena terhimpit factor ekonomi keluarga yang tidak mendukung dan juga disebabkan oleh meninggalnya Ayah beliau.
Setelah Abu berhenti sekolah Abu membantu orang tua ,yaitu bertani dan pada tahun 1955 Abu berdagang di Blangpidie. Karena aktifitas Abu di Blangpidie dekat dengan Mesjid Jamik Blangpidie, maka beliau pun menjadi salah seorang jama’ah Mesjid tersebut. Karena rutin mendengar ceramah dan pengajian dari Abuya Tgk. T. Syeh Mahmud bin Tgk. Ahmad (Pendiri/pimpinan Dayah Bustanul Huda) maka beliau tertarik untuk pergi mengaji.
Maka pada tahun 1958 Abu berangkat ke Dayah/Pesantren Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan pimpinan Abuya Tgk. Syekh Muhammad Muda Waly Al-Khalidy untuk menimba ilmu. Abu belajar dan mengajar di Darussalam selama 17 tahun lamanya.
Setelah selesai Abu di Darussalam maka pada tahun 1975 Abu menikah dengan Hj. Rusnida asal desa Blangporoh Labuhan Haji Aceh Selatan dan dari perkawinan tersebut beliau dikarunai tiga orang anak,yaitu : Nurbaiti Syam Marfaly, Nur Asyqiyati Syam Marfaly dan Tgk. H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly.
Memimpin Dayah dan Perjuangan
Dayah Bustanul Huda merupakan salah satu Dayah tua dipantai Barat Selatan Aceh. Pada mulanya Dayh ini bernama Jami’atul Muslimin yang didirikan oleh Tgk. Syeh Ismail (tidak diketahui tanggal dan tahun yang jelas) yaitu pada masa penjajahan Belanda di Aceh yang lokasinya di Mesjid Jamik Agung Blangpidie sekarang. Setelah Tgk. Syeh Ismail berpulang Kerahmatullah maka Dayah Jami’atul Muslimin dipimpin oleh tgk. Yunus Lhong seorang Ulama dari Lhong Aceh Besar. Pada saat pergolakan Tgk. Peukan di Blangpidie yang disaat itu Tgk. Peukan syahit, maka Tgk. Yunus Lhong mengubur Tgk. Peukan sebagai mana layaknya meninggal seorang syuhada yaitu tanpa dimandikan dan dikafan. Maka pemerintah Hindia Belanda pada saat itu mencap Tgk. Yunus Lhong seorang yang berdiri dipihak pemberontak sehingga Belanda tidak mengizinkan Tgk. Yunus Lhong untuk tinggal di Blangpidie.
Sepeninggal Tgk. Yunus Lhong mak dengan sendirinya aktivitas Dayah terhenti. Maka pada tahun 1926 atas inisiatif tokoh masyarakat pada saat itu mendatangkan seorang Ulama lain yaitu Abuya Tgk. T. syeh Mahmud Bin T. Ahmad (Abu syeikh Mud) lulusan dari Dayah Yan Kedah Malaysia.
Pada saat itu Abu Syehmud mengganati nama Dayah dari Jami’atul Muslimin menjadi Dayah Bustanul Huda dan dibawah kepemimpinan beliau Dayah Bustanul Huda berkmbang dengan pesat santri-santri berdatangan dari seluruh Daerah. Sehingga melahirkan murd-murid yang handadal. Diantaranya Abuya. Tgk. Syeh H Muhammad Wali Al Khalidy (pendiri Dayah Darussalam Labuhan Haji), Tgk. H. Adnan Mahmud Bakongan (nek Abu), Tgk Ja’far Lailon, Tgk. Syekh H. Jailani Musa dan lain-lain.
Pada tahun 1966 Abu Syekh Mud meninggal dunia maka Dayah Bustanul Huda dipimpin oleh menantu beliau yaitu Abuya Tgk. Syekh H. Abdul Hamid Kamal yang dikenla dengan sebutan Abu Hamid. Abu Hamid pada saat itu juga sudah mendirikan Dayah yaitu Dayah Raudhatul Ulum Kuala Batee maka dengan sendirinya Abu Hamid memimpin dua buah dayah. Pada tahun 1980 Abu Hamid meninggal dunia maka ata inisiatif keluarga Abu Hamid dan tokoh masyarakat pada saat itu meminta kesediaan kepada Abuya Tgk. Syekh H. Muhammad Syam Marfaly untuk memimpin Dayah Bustanul Huda.
Pada tahun 1983 karena lokasi tidak memungkinkan untuk mengembangkan pendidikan maka Abu memindahkan lokasi Dayah ke Desa Keude Siblah yaitu di lokasi sekarang (Jl. Cot Seutui).
Di lokasi baru tersebut yang merupakan tanah pribadi Abu, perkembangan Dayah mulai pesat, santri mulai berdatangan untuk menetap di Dayah Bustanul Huda, sntri yang menetap mulai dari wilayah Blangpidie sampai berdatangan merata dari seluruh kabupate yang ada di Aceh. Bahkan ada dari Sumatra Utara, Sumtra Barat, Jambi, dan Riau. Pada tahun 1989 Abu mulai menerima satri putri untuk menetap dan belajar di Dayah Bustanul Huda Blangpidie.
Santri Abu banyak yang telah berhasil bahkan ada yang telah mendirikan Dayah diantarnya: Tgk. Hajad, pimpinan Dayah Nurul Muhsinin Beuruneun kabupaten Pidie , Tgk. Abubakar Yusuf, pempinan Dayah Bustanul Huda kecamatan Mutiara Timur kabupaten Pidie, Tgk. M. Husen Pimpinan Dayah. Tgk. Chik Fadil Diriwat Kembang Tanjung pidie. Tgk. Lukmanul Hakim pimpinan Dayah bustanul Huda Muara Tebo Provinsi Jambi, Tgk. Azhar syam Pimpinan Dayah Dayah Darul Wasi’ah Pekan Baru Riau.Tgk. mahyuddin pimpinan Dayah di Padang sumatera Barat, Tgk. M. tulot pimpinan Dayah Darul Huda kec. Babahrot, Tgk. Marah Hitam pimpinan dayah di Kuala Batee, Tgk. H. Ja’far Amja pimpinan Dayah Sirajul Ibad Meukek Aceh Selatan, Tgk. Junaidi Al Firdaus pimpinan Dayah Bustanul Fhata Aron Kuta Baro,Pidie, Tgk. Ramli pimpinan Dayah Babul Hidayatul Muslim Lhung Baro Nagan Raya, Tgk. Syamsul Bahari pimpinan Dayah Bahrulm ulum Diniyah Islamiyah kecamatan Meuraxa Kota Lhoksumawe dan lain-lain.
Dalam mengembangkan dayah, Abu tidak mau menerima sumbangan Pemerintah walupun pada masa itu yaitu di saat Orde Baru berkuasa pernah menawarkan sumbangan ratusan juta rupiah tapi Abu tetap menolaknya. Alasan Abu tidak mau menerima sumbangan Pemerintah disebabkan karena yang memberikan tersebut ada maunya sehingga apa yang secara tidak langsung mulut kita terbungkam dan tidak berani mengkritik sehingga menjadi corong pemerintah bukan coong masyarakat.
Untuk menjalankan Dayah, Abu hanya menerima sumbangan ikhlas dari masyarakat, selain itu juga ada dari wali murid Santri yang menetap di Dayah Bustanul Huda. Dan selain itu juga hasil dari perkebunan kelapa sawit milik Dayah Bustanul Huda.
Untuk menghidupi keluarga, Abu bertani dan berkebun. Abu turun sendiri kesawah dan kebun, disamping itu juga dibantu oleh santri-santri Abu. Dan Abu menananmkan kepada santri Abu untuk mandiri sehingga tidak tergantung kepada pihak lain, sehingga bila santri tersebut sudah mampu kelak membangun pesantren ada jiwa mandiri seperti yang dikerjakan oleh Abu.
Selain dari memimpin Dayah Abu juga aktif melakukan Majelis Ta’lim yaitu malam jum’at di Mesjid Jamik Kutatinggi Blangpidie untuk Masyarakat umum dan malam sabtu di Mesjid Jamik Blangpidie tapi karena pergolakan konflik Aceh semakin memanas pada masa itu maka pada tahun 2001 pengajian tersebut dihentikan. Dan pada hari jum’at usai shalat jum’at Abu membuka Majelis Ta’lim untuk Jama’ah Ibu-Ibu di Dayah Bustanul Huda dan pada hari Rabu untuk jama’ah Laki-Laki yang sampai sekarang masih aktif.
Abu juga aktif berdakwah yang diundang oleh masyarakat mulai dari sekitar Aceh sampai diluar Aceh. Dalam menyampaikan Da’wah Abu diknal keras suka mengkritik kebijakan pemerintah yang menentang dalam Agama . sehingga Abu dikenal dengan Ulama Keras yang menolak mordenisasi.
Akibat dari ceramah Abu yang keras suka mengkritik pemrintah, maka pada saat itu Abu diboikot atau dilarang oleh rezim pada masa itu untuk berceramah. Kalau ada masyarakat yang mengundang Abu untuk berceramah maka yang mengundang tersebut dapat teguran dari pemerintah yang berkuasa saat itu.
Pemerintah orde baru pada masa itu mengklaim Abu salah seorang Ulama yang ekstrem sehingga pada tanggal 15 Agustus 1992 Dayah/Pesantren Bustanul Huda pernah mau disrang oleh rezimm Soeharto yang berkuasa pada saat itu dengan tujuan ingin menangkap Abu dan santri-santri Beliau, tapi ALLAH SWT melindungi dan tidak mengizinkan hal itu terjadi. Mereka tidak berani masuk kewilaya komplek Dayah, pada tahun itu juga Abu melarang Muspika Kecamatan Blangpidie mengadakan MTQ di Mesjid Jamik Agung Blangpidie, dengan alas an tidak sesuai dengan ajaran Agama, seprti bercampur baur antara laki-laki dan permempuan. Imbas dari hal tersebut Abu dipanggil oleh KODIM 0107 Aceh Selatan pada saat itu, Abu dimintai keterangan selama empat hari empat malam oleh KODIM 0107 Aceh Selatan, tapi ALLAH SWT masih melindungi akhirnya Abu dinyatakan tidak bersalah sebab semua pernyataan Abu sudah digariskan didalam ajaran Agama.
Kiprah Dalam PERTI dan Masyarakat
Sejak Pemilu tahun 1955 Abuya sudah aktif di PERTI (Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang pada saat itu PERTI termasuk sebagai salah satu Partai Politik peserta Pemilu dan pada awal msa orde baru berkuasa Abuya masih tetap eksis di Partai Islam PERTI, walaupun pada saat itu beliau diajak dengan berbagi macam cara untuk bergabung dengan orsospol GOLKAR (Golongan Karya) bahkan beliau pernah diancam keselamatan jiwa tetapi beliau masih tetap teguh pendirian di PERTI. Disaat kebijakan Pemerintah Orde Baru yang hanya membolehkan 3 Partai (2 Partai dan 1 golkar) akhirnya PI PERTI berfusi dengan empat partai Islam lainnya di dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) maka Abu pun ikut aktif dalam PPP,bahkan beliau pernah menjabat posisi penting dalam PPP yaitu Ketua Majelis Pertimbangan Cabang PPP Aceh Selatan pada saat itu. Tapi, walaupun aktif di PPP Abu tidak pernah mau menjadi anggota legislative walaupun pernah ditawar beberapa kali oleh fungsionaris PPP untuk duduk di “kursi rakyat” tersebut dengan alas an sebab jika Abu memilih legislative tersebut,Dayah akan terbengkalai karena sibuk dengan urusan politik.
Dalam organisasi kemasyarakatan, Abu aktif di PERTI dan pada tahun 1997 Abu menjabat sebagai Ketua PERTI Aceh Selatan. Pada saat kepemimpinan beliaulah PERTI kembali berkibar di Aceh Selatan,beliau menghidupkan kembali pengurus PERTI disetiap kecamatan yaitu Pengurus Anak Cabang (PAC) dan di setiap desa yaitu Pengurus Ranting (PR) dan beliau turun langsung ke kecamatan dan desa dlam melantik PAC dan PR PERTI.
Dan pada saat itu, Abuya berencana membuka kembali MTI-MTI PERTI di Aceh Selatan yang sudah lama mati, tetapi akibat konflik di Aceh yang semakin memanas maka hal tersebut tidak terwujud.
Pada tahun 2003, Aceh Barat Daya di memekarkan diri dari Kabupaten Aceh Selatan, maka Abuya mendirikan PERTI di Kabupaten Aceh Barat Daya (ABDYA). Sebelum pelaksanaan MUSCAB (Musyawarah Cabang) Abuya terlebih dahulu mengumpulkan para Ulama,Birokrat,pengusaha,politisi dan tokoh masyarakat yang ada di Abdya untuk membicarakan pelaksanaan MUSCAB PERTI yang perdana di Abdya.
Hasil dari pendapat tersebut terlaksananya MUSCAB pada tanggal 8 s/d 10 Mai 2003 di Dayah Bustanul Huda Blangpidie Abdya. Pelaksanaa MUSCAB berlangsung meriah.Sehari sebelum Muscab, di adakan pawai ta’ruf PERTI keliling Kabupaten Aceh Barat Daya. Pada hari pembukaan dihadiri oleh ribuan masyarakat dan juga hadir dari DPP PERTI Bapak. Ir. H. Ibrahim Arif, M. Agr dan juga hadir dari DPD PERTI NAD. Dan pada Muscab tersebut terpilih Abuya Syam Marfaly sebagai Ketua DPC PERTI Aceh Barat Daya secara aklamasi dan juga berhasil membentuk pengurus DPC PERTI yang diisi oleh tokoh-tokoh, seperti Bupati Aceh Barat Daya (Drs. Burhanuddin M. Sampe, MM) sebagai Wakil Ketua DPC PERTI. Pada tahun 2008, Abuya juga mendorong pembentukan Pengurus Cabang Organisasi Pelajar Islam (PC OPI) dan Pengurus Cabang Kesatuan Mahasiswa Islam (PC KMI) Aceh Barat Daya.
Selain di PERTI, Abu juga aktif di dalam Pengurus Besar Dayah Inshafuddin Aceh beliau duduk sebagai salah seorang wakilo ketua Majelis Syura PB Dayah Inshafuddin Aceh , kemudian Abu juga sebagai Wakil Ketua Majelis Syura Pengurus Besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) , di Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh (MPU) Abu dipercayakan sebagai salah seorang Dewan Syuyukh Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan Abu juga pernah menjabat sebagai Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Cabang Blangpidie.
Selain dari memimpin dayah, semasa hidup Abu juga sebagai Imam Besar Mesjid Jamik Agung Blangpidie.
Disaat pergolakan Aceh antara RI dan GAM, Abu tidak pernah melibatkan diri ke dalam salah satu yang bertikai tersebut. Abu berdiri di tengah-tengah. Di dalam khutbah jum’at dan ceramah Agama Abu kerap kali mengkritik kebijakan Pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Aceh yang tidak manusiawi,dan pada Tahun 2000 Abu pernah mengundang unsue Muspika enam kecamatan dalam wilayah pembantu Bupati Blangpidie (pada saat itu Blangpidie masih dalam wilayah kabupaten Aceh Selatan) dalam hal menciptakan keamanan dalam wilayah tersebut sehingga yang tidak bersalah janganlah kena imbasnya.
Pada tahun 2001, Abu bersama dengan tokoh lainnya kembali menggelar pertemuan dengan Unsur Muspika dalam wilayah pembantu Bupati Blangpidie dan komandan pasukan yang bertugas di Aceh saat itu. Untuk menciptakan kondisi keamanan yang kondosif saat itu sehingga dikenal dengan Payung Kedamaian.
Hal yang unik dalam konflik Aceh tersebut disaat lebaran/Hari Raya Idul Fitri ditahun 2000, di rumah Abu pernah duduk antara Komandan Kompi Siliwangi dengan Komandan Operasi GAM Wilayah Blangpidie, Abu member nasehat kepada kedua kelompok yang sedang bertika tersebut.
Aktivitas Lainnya
Selain memimpin Dayah, berda’wah dan lainnya Abu juga kerap membantu persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat seperti mendamaikan orang-orang bertikai, merukunkan keluarga yang hampir bercerai dan lainnya, dan disaat konflik Aceh memanas Abu kerap tidak sempat tidur karena banyak masyarakat yang mengadu kepada Abu tentang keluarganya yang ditahan atau ditangkap oleh salah satu pihak bertikai pada saat itu.
Selain dari itu banyak juga masyarakat dating ke Abu untuk meminta keberkahan seperti minta ditawar air untuk keluarganya yang sakit, dan lainnya. Ada juga yang minta bantu berdoa bersama Abu untuk dikembalikan hartanya yang hilang atau dicuri oleh orang lain.
Meninggal Dunia
Pada hari sabtu tanggal 8 Ramadhan 1430 H bertepatan 29 Agustus 2009 tepat pada pukul 08.30 Wib, Abuya berpulang kerahmatullah di rumah pribadi beliau yaitu di Dayah Bustanul Huda JL. Cot Seutui Gampong Keude Siblah Blangpidie Aceh Barat Daya setelah beliau menderita sakit empedu. Beliau sempat dirawat di Rumah Sakit Harapan Bunda Banda Aceh. Menurut keterangan dokter yang merawat Abuya, beliau terkena penyakit penyubatan dipembuluh empedu. Maka pada tanggal 17 Agustus 2009 keluarga Abuya membawa pulang beliau ke Blangpide.
Berita tentang meninggalnya Abuya beredar sangat cepat dikalangan masyarakat sehingga dalam waktu singkat ribuan masyarakat berbondong-bondong ketempat Abuya, lokasi Dayah Bustanul Huda penuh dengan masyarakat yang shalat jenazah. Upacara pelepasan jenazah dan shalat langsung dipimpin oleh putra laki-laki beliau yaitu: Mhd Qudusi Syam Marfaly yang diikuti oleh para Ulama, Pimpinan Dayah dari Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Nagan Raya, dan Aceh Barat, tokoh masyarakat , Pejabat Militer dan Polisi serta ribuan masyarakat. Abuya dikebumikan di komplek Dayah Busatanul Huda Blangpidie Aceh Barat Daya.
Abuya meninggalkan satu orang istri, tiga orang anak dua putri satu putra dan dua orang cucu.
Tambahan Kehidupan Abu
1. Untuk menghidupi keluarga, Abu bertani disawah beliau sendiri yang turun kesawah, disamping itu juga dibantu oleh murid-murid Abu. Abu mempunyai sikap mandiri yang tidak tergantung kepada orang lain.
2. Dalam mengelola Dayah Abu dibantu oleh para Dean Guru, yaitu santri Abu yang senior dan sudah mampu mengajar. Para dewan Guru tersebut tidak digaji oleh Abu tetapi mereka tetap ikhlas dalam membantu Abu untuk mengajar para santri-santri yang belajar di Bustanul Huda.
3. Kalau bertamu ke tempat Abu, Abu membuat beberapa aturan salah satunya yaitu harus menutup aurat (perempuan dilarang memakai celana panjang) serta sopan adapun kalu hal ini dilanggar maka tidak bisa masuk ke dalam komplek Dayah. Aturan ini berlaku bagi siapa saja,apakah itu masyarakat biasa atatupun pejabat. Pernah di tahun 1993 di Dayah Abu dikunjungi oleh Korem 012 TU yaitu Kol. Inf. Rudi Supriatna beliau didampingi oleh istri dan raombongan.Tetapi, istri korem tidak memakai pakaian muslimah maka Abu pun tidak mengizinkan istri Korem masuk ke dalam Komplek Dayah Abu.
4. Dalam bertamu ke rumah Abu, Abu menyediakan dua ruangan, satu untuk tamu laki-laki dan satu lagi untuk tamu perempuan, jadi bila bertamu ke rumah Abu dipisahkan antara laki-laki dan perempuan.
5. Kebijakan Abu dalam memisahkan antara yang hak dan bathil bukan hanya di tempat Abu saja, tapi juga di tempat lainnya. Apabila ada acara yang mengundang Abu di tempat itu tidak dipisahkan antara hak dan yang bathil maka Abu menegurnya dan langsung pulang,termasuk seperti pada saat Musda VII PERTI Aceh yang berlangsung pada 25 Juni 2002 M di Gapang, Sabang yang pada ada saat pembukaan Musda dihadiri oleh usur Muspida tingkat propinsi NAD.Saat meyanyikan lagu Indonesia Raya,yang memimpin lagu adalah kelompok perempuan, melihat hal itu Abu langsung keluar ruangan Musda.
6. Abu merupakan ulama keras, suka mengkritik kebijakan Pemerintah yang salah dengan Agama dan beliau juga disegan oleh lawan maupun kawan. Pada saat konflik berlangsung di Aceh, Abu berdiri di tengah-tengah tidak memihak pada salah satu yang bertikai bakan Abu pernah mejadi mediator antara dua kubu tersebut. Ini dapat dilihat pada saat itu, bila keluarga yang ditangkap oleh aparat masyarakat mengadu kepada Abu, Abu langsung menghubungi komandan mereka agar masyarakat tersebut dilepaskan karena yang ditangkap oleh merea tidka bersalah
7. Jadi tidak heran pada saat konflik , banyak yang mencari perlindungan di tempat Abu seperti Tgk. H. Baihaqi Daud (pimpinan Dayah Darul Istiqamah Kueng Batee/Ketua HUDA Abdya/Anggota DPRD Abdya pada masa itu) beliau diteror oleh pihak GAM, tgk. H. Baihaqi hijrah ke Dayah Abu selama empat hari empat malam sehingga dengan izin Allah SWT beliau aman.
8. Sekitar tahun 1996 Abu pernah diundang oleh Presiden Soeharto ke Istana Negara tapi beliau tidak mau datang sebab “seburuk-buruk ulama adalah ulama yang bertamu ke rumah sultan, dan sebaik-beik sultan adalah sultan yang bertanu ke rumah Ulama” dan pada tahun yang sama juga Abu termasuk salah seorang dari Ulama aceh yang mendapat quota studi banding keliling dunia tetapi Abu tetap tidak mau.
9. Abu tidak pernah menghadiri undangan dari pejabat baik sipil maupun militer tanpa alasan yang jelas, tapi bila undangan tersebut membicarakan masalah ummat beliau menghadiri, dan jangan heran di rumah Abu banyak dikunjungi oelh pejabat sipil dan militer di waktu konflik setiap pasukan operasi yang masuk ke wilayah Blangpidie tetap bertamu ke rumah Abun dan dalam setiap forum pertemuan baik itu pertemuan seluruh Aceh, dengan pejabatmaupun aparat militer lainnya Abu bicara dengan jelas dan forum diam tidak membantah apa yang Abu ucapkan.
10. Alm. Abu merupakan seoran Ulama kharismatik dan beliau dikenal sebagai seorang Ulama yang keras,berani dan tegas. Bila sudah menentang dengan ajaran Agama beliau tidak segan melawan walaupun itu menantang dengan kebijakan Pemerintah. Abu juga seorang ulama yang membasmi paham wahabi di Blangpidie yang sebelumnya merupakan salah satu pusat tempat perkembangan paham wahabi di wilayah pantai barat selatan. Salah satu contoh kiprah Abu dalam menegakkan Ahlsunnah wal Jama’ah adalah terlaksananya Rukyah tul hilal bila mau masuk Ramadhan dan Hari Raya ‘idhul Fitri. Bila hilal belum nampak umumya masyarakat Abdya tidak berpuasa dan hari raya bahkan Mesjid Jamik Agung pun tetap mengacu pada Rukyah tul Hilal.
(sumber : Catatan dan hasil wawancara dengan Tgk. H. Muhammad Qudusi Syam Marfaly -Pimpinan Dayah Bustanul sekarang- anak kandung Abu)
tulisan di kutip dari http://ajuncell.blogspot.com/2011/02/abuya-tgk-syekh-h-muhammad-syam-marfaly.html
Siwak (sikat gigi) pada saat berpuasa
Siwak (sikat gigi) merupakan pekerjaan yang disunatkan dalam setiap waktu, sesuai dengan hadits Nabi SAW sebagaimana berikut :
1. sabda Nabi SAW :
السواك مطهرة للفم مرضاة للرب.
Artinya : Bersiwak itu menjadikan mulut bersih dan diridhai Tuhan.(HR. Baihaqi )1
2. sabda Nabi SAW
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة.
Artinya : Seandainya aku tidak takut memberatkan atas umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap (akan) shalat.” (H.R. at-Turmidzi 2 dan lainnya)
Namun demikian golongan Syafi’iyah mengecualikannya bagi orang berpuasa. Hukum bersiwak pada saat tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, hukumnya adalah makruh. Berkata Imam Nawawi :
“Tidak makruh bersiwak kecuali sesudah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa”.3
Dalil pendapat ini antara lain hadits Nabi SAW :
والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.
Artinya : Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut tidak enak orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak kasturi. (Bukhari 4 dan Musllim 5 )
An-Nawawi mengatakan :
“Ashab kita (ulama Syafi’iyah) telah menjadikan hadits ini sebagai dalil makruh bersiwak sesudah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, karena hal itu dapat menghilangkan bau mulut dengan ini sifat dan keutamaannya. Meskipun bersiwak juga utama, tetapi bau mulut orang berpuasa lebih utama”.6
Khuluf (bau mulut) dalam hadits di atas, maksudnya adalah bau mulut orang berpuasa setelah tergelicir matahari. Kesimpulan ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
أعطيت أمتي في شهر رمضان خمسا ......قال وأما الثانية فإنهم يمسون وخلوف أفواههم أطيب عند الله من ريح المسك
Artinya : Diberikan kepada umatku lima perkara dalam bulan Ramadhan. Seterusnya beliau bersabda : Adapun yang kedua, mereka berada pada saat setelah tergelincir matahari, sedangkan bau mulut mereka di sisi Allah lebih harum dari bau kasturi (H.R. al-Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya dan Abu Bakar al-Sam’any dalam Amaliah, beliau berkata : “ Ini hadits hasan”. Seperti ini juga telah dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarah Muhazzab berdasarkan cerita dari Ibnu Shalah)7
Namun demikian, Imam an-Nawawi, seorang ulama mujtahid tarjih dalam Mazhab Syafi’i telah memilih pendapat yang berbeda dengan Mazhab Syafi,i, mazhab yang dianutnya sendiri, mengenai hukum sikat gigi pada saat tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa. Beliau berpendapat tidak makruh sikat gigi bagi orang orang puasa, baik sebelum atau sesudah tergelincir matahari. 8
DAFTAR PUSTAKA
1.Baihaqi, Sunan Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. I, Hal. 34, No. Hadits 138
2.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 18, No. Hadits : 22
3.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 51
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. III, Hal. 26, No. Hadits : 1904
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 806, No. Hadits : 1151
6.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, beirut, Juz. VIII, Hal. 30
7.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 51
8.Ibnu Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Juz. I, Hal. 44
1. sabda Nabi SAW :
السواك مطهرة للفم مرضاة للرب.
Artinya : Bersiwak itu menjadikan mulut bersih dan diridhai Tuhan.(HR. Baihaqi )1
2. sabda Nabi SAW
لولا أن أشق على أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة.
Artinya : Seandainya aku tidak takut memberatkan atas umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap (akan) shalat.” (H.R. at-Turmidzi 2 dan lainnya)
Namun demikian golongan Syafi’iyah mengecualikannya bagi orang berpuasa. Hukum bersiwak pada saat tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, hukumnya adalah makruh. Berkata Imam Nawawi :
“Tidak makruh bersiwak kecuali sesudah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa”.3
Dalil pendapat ini antara lain hadits Nabi SAW :
والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك.
Artinya : Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut tidak enak orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau minyak kasturi. (Bukhari 4 dan Musllim 5 )
An-Nawawi mengatakan :
“Ashab kita (ulama Syafi’iyah) telah menjadikan hadits ini sebagai dalil makruh bersiwak sesudah tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa, karena hal itu dapat menghilangkan bau mulut dengan ini sifat dan keutamaannya. Meskipun bersiwak juga utama, tetapi bau mulut orang berpuasa lebih utama”.6
Khuluf (bau mulut) dalam hadits di atas, maksudnya adalah bau mulut orang berpuasa setelah tergelicir matahari. Kesimpulan ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
أعطيت أمتي في شهر رمضان خمسا ......قال وأما الثانية فإنهم يمسون وخلوف أفواههم أطيب عند الله من ريح المسك
Artinya : Diberikan kepada umatku lima perkara dalam bulan Ramadhan. Seterusnya beliau bersabda : Adapun yang kedua, mereka berada pada saat setelah tergelincir matahari, sedangkan bau mulut mereka di sisi Allah lebih harum dari bau kasturi (H.R. al-Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya dan Abu Bakar al-Sam’any dalam Amaliah, beliau berkata : “ Ini hadits hasan”. Seperti ini juga telah dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarah Muhazzab berdasarkan cerita dari Ibnu Shalah)7
Namun demikian, Imam an-Nawawi, seorang ulama mujtahid tarjih dalam Mazhab Syafi’i telah memilih pendapat yang berbeda dengan Mazhab Syafi,i, mazhab yang dianutnya sendiri, mengenai hukum sikat gigi pada saat tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa. Beliau berpendapat tidak makruh sikat gigi bagi orang orang puasa, baik sebelum atau sesudah tergelincir matahari. 8
DAFTAR PUSTAKA
1.Baihaqi, Sunan Baihaqi, Maktabah Dar al-Baz, Makkah, Juz. I, Hal. 34, No. Hadits 138
2.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 18, No. Hadits : 22
3.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 51
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. III, Hal. 26, No. Hadits : 1904
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 806, No. Hadits : 1151
6.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, beirut, Juz. VIII, Hal. 30
7.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli, dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 51
8.Ibnu Qasim al-Ghazy, Fath al-Qarib, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Juz. I, Hal. 44
Bersentuhan dengan isteri membatalkan wudhu’
Berikut pendapat ulama mengenai bersentuhan dengan isteri dapat membatalkan wudhu’, antara lain :
1.Berkata Imam Syafi’i :
“Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu’.1
2.Berkata Imam an-Nawawi :
“Yang membatalkan wudhu’ yang ketiga adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mahram ”.
Selanjutnya al-Mahalli dalam mensyarah pernyataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu firman Allah : أو لامستم النساء dan makna dari hukum runtuh wudhu’ dengan sebab bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan adalah bersentuhan itu merupakan madhannah (diduga berpotensi) kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.2
Seorang isteri tentunya berpotensi syahwat bagi seorang suami, karena isteri bukan mahram bagi seorang suami. Kalau seorang isteri menjadi mahram bagi suaminya, tentunya suami tersebut tidak boleh nikah dengannya. Oleh karena itu, bersentuhan tubuh isteri dengan suami dapat membatalkan wadhu’, sama seperti bersentuhan dengan wanita lain.
Ayat di atas, lengkapnya adalah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S. An-Nisa’ : 43)
Penafsiran لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan arti bersentuhan didukung oleh hadits Ibnu Umar, yaitu :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء
Artinya : Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu’(H.R. Malik).3
Al-Nawawi mengatakan tentang hadits di atas :
“Isnad ini sangat shahih sebagaimana kamu perhatikan”. 4
Sebagian umat Islam berpendapat tidak membatalkan wudhu’ karena bersentuhan antara kulit suami dan isteri. Mereka berargumentasi dengan antara lain :
1. Hadits dari Aisyah r.a. ;
ان النبي صلعم قبل بعض نسائه ثم خرج الى الصلاة ولم يتوضأ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya, kemudian keluar melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu’ lagi.(H.R. Ahmad) 5
Hadits ini telah dinyatakan dha’if oleh Bukhari, 6 Sufyan al-Tsury, Yahya bin Sa’id al-Quthan, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Abu Bakar al-Naisabury, Darulquthny, Baihaqi dan lainnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Naisabury dan lainnya mengatakan :
“Hubaib tersalah dari ciuman orang berpuasa kepada ciuman orang berwudhu’.7
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang shahih dari hadits Aisyah hanyalah “Sesungguhnya Nabi SAW mencium isterinya dan beliau dalam keadaan berpuasa”.8
Hal senada juga disampaikan oleh Baihaqi. Beliau mengatakan :
“Hadits yang shahih dari Aisyah hanyalah tentang ciuman orang berpuasa. Perawi-perawi dha’if yang mempertempatkan kepada meninggalkan wudhu’ dari ciuman”.9
Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat dijadikan sebagai hujjah tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
2.Hadits dari Abu Rauq dari Ibrahim al-Taimy dari Aisyah ;
ان النبي صلى الله عليه وسلم كان يقبل بعد الوضوء ثم لا يعيد الوضوء
Artinya : : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya sesudah berwudhu’ , kemudian beliau tidak mengulangi wudhu’ lagi (H.R. Baihaqi 10 dan Darulquthny 11)
Menurut Baihaqi, hadits ini mursal, karena Ibrahim al-Taimy tidak mendengar riwayat dari Aisyah. Lagi pula Abu Rauq dalam sanad tersebut menurut Abu Daud adalah lemah. Yahya bin Mu’in dan lainnya telah melemahkannya. 12
3.Hadits dari Abu Qutadah al-Anshary ;
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي وَهْوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat sambil mengendong Umamah binti Zainab, cucu beliau sendiri.(H.R. Bukhari)13
Imam al-Nawawi menyebut beberapa jawaban terhadap argumentasi dengan hadits ini, yaitu antara lain :
a.mengendong tidak berarti bersentuhan kulit.
b.Umamah pada waktu itu masih anak-anak. Kalaupun bersentuhan kulit, tetap tidak membatalkan wudhu’, karena anak-anak tidak membatalkan wudhu’
c.Umamah adalah cucu Rasulullah sendiri dari anak beliau, Zainab. Dengan demikian masih muhrim Rasulullah SAW. Bersentuhan kulit dengan muhrim tidak membatalkan wudhu’ 14
4.Hadits dari Aisyah ;
لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلَيَّ فَقَبَضْتُهُمَا.
Artinya : Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW melakukan shalat, sedangkan aku berbaring diantara beliau dan qiblat. Apabila beliau ingin sujud, beliau mengisyaratkan kepada dua kakiku, maka aku menarik keduanya (H.R.Bukhari)15
Dalam riwayat al-Nisa’i, hadits ini dengan redaksi :
إن كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ليصلي وأني لمعترضة بين يديه اعتراض الجنازة حتى إذا أراد أن يوتر مسني برجله
Artinya : Jika Rasulullah SAW melakukan shalat, sedangkan aku berbaring di antara hadapannya seperti jenazah sehingga apabila beliau merencanakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya (H.R. al-Nisa’i)16
Menurut al-Nawawi kedua hadits di atas ihtimaal (boleh jadi) mengisyarat dengan menyentuh dengan ada lapiknya. Bahkan dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan lapik, karena Aisyah r.a. pada saat itu dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, biasanya tentu dalam keadaan berselimut 17. Sedangkan dalil yang ihtimal, sebagaimana dimaklumi menggugurkannya sebagai dalil, apalagi apabila diperhatikan konteks hadits ini, maka dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan ada lapik. Maka dengan demikian, kedua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan kulit suami dan isteri.
DAFTAR PUSTAKA
1.Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14
2.Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Juz. I, Hal. 32.
3.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 43
4.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 30-31
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
7.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
8.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
9.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126
10.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
11.Darulquthny, Sunan Darulquthny, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 256, No. Hadits : 501
12.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
13.Bukahri, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 516
14.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
15.Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 138, No. Hadits : 519
16Al-Nisa’i, Sunan al-Nisa’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, No. Hadits : 101, No. Hadits : 166
17.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
1.Berkata Imam Syafi’i :
“Apabila seorang laki-laki memegang isterinya atau bersentuhan sebagian tubuhnya dengan sebagian tubuh isterinya, tanpa dinding kain, dengan syahwat atau tidak dengan syahwat, maka wajib atasnya dan isterinya berwudhu’.1
2.Berkata Imam an-Nawawi :
“Yang membatalkan wudhu’ yang ketiga adalah bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mahram ”.
Selanjutnya al-Mahalli dalam mensyarah pernyataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu firman Allah : أو لامستم النساء dan makna dari hukum runtuh wudhu’ dengan sebab bersentuhan kulit laki-laki dengan perempuan adalah bersentuhan itu merupakan madhannah (diduga berpotensi) kelezatan yang dapat mengarah kepada syahwat.2
Seorang isteri tentunya berpotensi syahwat bagi seorang suami, karena isteri bukan mahram bagi seorang suami. Kalau seorang isteri menjadi mahram bagi suaminya, tentunya suami tersebut tidak boleh nikah dengannya. Oleh karena itu, bersentuhan tubuh isteri dengan suami dapat membatalkan wadhu’, sama seperti bersentuhan dengan wanita lain.
Ayat di atas, lengkapnya adalah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. (Q.S. An-Nisa’ : 43)
Penafsiran لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ dengan arti bersentuhan didukung oleh hadits Ibnu Umar, yaitu :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عبد الله بن عمر أنه كان يقول قبلة الرجل امرأته وجسها بيده من الملامسة فمن قبل امرأته أو جسها بيده فعليه الوضوء
Artinya : Dari Salim bin Abdullah, dari bapaknya, Abdullah bin Umar, beliau berkata, Ciuman laki-laki atas isterinya dan memenyentuh dengan tangannya adalah termasuk “mulamasah”. Maka barangsiapa mencium isterinya atau menyentuh dengan tangannya, maka wajib ia berwudhu’(H.R. Malik).3
Al-Nawawi mengatakan tentang hadits di atas :
“Isnad ini sangat shahih sebagaimana kamu perhatikan”. 4
Sebagian umat Islam berpendapat tidak membatalkan wudhu’ karena bersentuhan antara kulit suami dan isteri. Mereka berargumentasi dengan antara lain :
1. Hadits dari Aisyah r.a. ;
ان النبي صلعم قبل بعض نسائه ثم خرج الى الصلاة ولم يتوضأ
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya, kemudian keluar melaksanakan shalat dan beliau tidak berwudhu’ lagi.(H.R. Ahmad) 5
Hadits ini telah dinyatakan dha’if oleh Bukhari, 6 Sufyan al-Tsury, Yahya bin Sa’id al-Quthan, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Abu Bakar al-Naisabury, Darulquthny, Baihaqi dan lainnya. Ahmad bin Hanbal, Abu Bakar al-Naisabury dan lainnya mengatakan :
“Hubaib tersalah dari ciuman orang berpuasa kepada ciuman orang berwudhu’.7
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Yang shahih dari hadits Aisyah hanyalah “Sesungguhnya Nabi SAW mencium isterinya dan beliau dalam keadaan berpuasa”.8
Hal senada juga disampaikan oleh Baihaqi. Beliau mengatakan :
“Hadits yang shahih dari Aisyah hanyalah tentang ciuman orang berpuasa. Perawi-perawi dha’if yang mempertempatkan kepada meninggalkan wudhu’ dari ciuman”.9
Dengan demikian, maka hadits ini tidak tepat dijadikan sebagai hujjah tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan antara kulit suami dan isteri.
2.Hadits dari Abu Rauq dari Ibrahim al-Taimy dari Aisyah ;
ان النبي صلى الله عليه وسلم كان يقبل بعد الوضوء ثم لا يعيد الوضوء
Artinya : : Sesungguhnya Nabi SAW pernah mencium isterinya sesudah berwudhu’ , kemudian beliau tidak mengulangi wudhu’ lagi (H.R. Baihaqi 10 dan Darulquthny 11)
Menurut Baihaqi, hadits ini mursal, karena Ibrahim al-Taimy tidak mendengar riwayat dari Aisyah. Lagi pula Abu Rauq dalam sanad tersebut menurut Abu Daud adalah lemah. Yahya bin Mu’in dan lainnya telah melemahkannya. 12
3.Hadits dari Abu Qutadah al-Anshary ;
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصَلِّي وَهْوَ حَامِلٌ أُمَامَةَ بِنْتَ زَيْنَبَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW shalat sambil mengendong Umamah binti Zainab, cucu beliau sendiri.(H.R. Bukhari)13
Imam al-Nawawi menyebut beberapa jawaban terhadap argumentasi dengan hadits ini, yaitu antara lain :
a.mengendong tidak berarti bersentuhan kulit.
b.Umamah pada waktu itu masih anak-anak. Kalaupun bersentuhan kulit, tetap tidak membatalkan wudhu’, karena anak-anak tidak membatalkan wudhu’
c.Umamah adalah cucu Rasulullah sendiri dari anak beliau, Zainab. Dengan demikian masih muhrim Rasulullah SAW. Bersentuhan kulit dengan muhrim tidak membatalkan wudhu’ 14
4.Hadits dari Aisyah ;
لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُصَلِّي وَأَنَا مُضْطَجِعَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْجُدَ غَمَزَ رِجْلَيَّ فَقَبَضْتُهُمَا.
Artinya : Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW melakukan shalat, sedangkan aku berbaring diantara beliau dan qiblat. Apabila beliau ingin sujud, beliau mengisyaratkan kepada dua kakiku, maka aku menarik keduanya (H.R.Bukhari)15
Dalam riwayat al-Nisa’i, hadits ini dengan redaksi :
إن كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ليصلي وأني لمعترضة بين يديه اعتراض الجنازة حتى إذا أراد أن يوتر مسني برجله
Artinya : Jika Rasulullah SAW melakukan shalat, sedangkan aku berbaring di antara hadapannya seperti jenazah sehingga apabila beliau merencanakan witir, beliau menyentuhku dengan kakinya (H.R. al-Nisa’i)16
Menurut al-Nawawi kedua hadits di atas ihtimaal (boleh jadi) mengisyarat dengan menyentuh dengan ada lapiknya. Bahkan dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan lapik, karena Aisyah r.a. pada saat itu dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur, biasanya tentu dalam keadaan berselimut 17. Sedangkan dalil yang ihtimal, sebagaimana dimaklumi menggugurkannya sebagai dalil, apalagi apabila diperhatikan konteks hadits ini, maka dhahirnya, bersentuhan tersebut adalah dengan ada lapik. Maka dengan demikian, kedua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil tidak membatalkan wudhu’ bersentuhan kulit suami dan isteri.
DAFTAR PUSTAKA
1.Syafi’i, Al-Umm, Juz I, Hal 14
2.Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Juz. I, Hal. 32.
3.Imam Malik, al-Muwatha’, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Mesir, Juz. I, Hal. 43
4.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 30-31
5.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, B ulughul Maram, al-Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 37
7.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
8.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 32
9.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126
10.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
11.Darulquthny, Sunan Darulquthny, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 256, No. Hadits : 501
12.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz I, Hal. 126, No. Hadits : 624
13.Bukahri, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 137, No. Hadits : 516
14.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
15.Bukhari, Shahih Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 138, No. Hadits : 519
16Al-Nisa’i, Sunan al-Nisa’i, Maktabah Syamilah, Juz. I, No. Hadits : 101, No. Hadits : 166
17.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 33
Mandi telanjang
Berkata Imam an-Nawawi :
“Adapun membuka aurat pada ketika sunyi dengan makna tidak dilihat oleh seseorangpun, jika karena hajad, maka dibolehkan dan jika bukan karena hajad, maka tentang makruh dan haramnya khilaf ulama. Pendapat yang lebih sahih menurut kami adalah haram”.1
Kebolehan membuka aurat ketika mandi pada saat sunyi adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
كانت بنو إسرائيل يغتسلون عراة. ينظر بعضهم إلى سوأة بعض. وكان موسى عليه السلام يغتسل وحده. فقالوا: والله! ما يمنع موسى أن يغتسل معنا إلا أنه آدر. قال فذهب مرة يغتسل. فوضع ثوبه على حجر. ففر الحجر بثوبه. قال فجمح موسى بإثره يقول: ثوبي حجر! حتى نظرت بنو إسرائيل إلى سوأة موسى. قالوا: والله! ما بموسى من بأس. فقام الحجر حتى نظر إليه. قال فأخذ ثوبه فطفق بالحجر ضربا". قال أبو هريرة: والله! إنه بالحجر ندب ستة أو سبعة. ضرب موسى بالحجر.
Artinya : Bani Israil mandi dengan telanjang, sebagian melihat kepada yang lain. Sementara Musa mandi sendiri. Mereka berkata : Tidak mencegah Musa mandi bersama kita kecuali karena dia itu memiliki buah pelir yang besar. Suatu hari Musa mandi dan dia meletakkan bajunya di atas batu. Tapi kemudian batu itu berlari membawa bajunya. Musa memburunya sambil berkata : “Bajuku wahai batu”. Bani Israil pun melihat aurat Musa. Mereka berkata, “Demi Allah, Musa tidak apa-apa”. Lalu berhenti batu itu dan Musa melihatnya dan kemudian mengambil bajunya dan memukuli batu itu.'" Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, pukulan Musa membekas di batu itu enam atau tujuh kali pukulan. (H. R. Muslim) 2
Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam bab boleh mandi dengan telanjang pada ketika hajad. Menurut Imam Nawawi hadits ini dapat menjadi dalil apabila didasarkan kepada pendapat yang mengatakan syara’ man qablana (syari’at sebelum kita) menjadi syara’ bagi kita.3
Dan hadits Nabi SAW riwayat Bukhari :
بينا أيوب يغتسل عريانا فخر عليه جراد من ذهب فجعل أيوب يحتثي في ثوبه فنداه ربه يا أيوب الم تكن أغنيتك عما ترى قال بلى وعزتك ولكن لاغنى بي عن بركتك
ِArtinya : Pada ketika Nabi Aiyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuh atasnya seekor belalang dari emas, Aiyub membungkusnya. Allah, tuhan Aiyub menyerunya : “Apakah Aku tidak memperkaya engkau, Aiyub dari apa yang engkau lihat ?.” “Benar” jawab Aiyub. “Demi kemulian-Mu, tetapi aku tidak terkaya dari keberkatan-Mu. (H.R. Bukhari)4
Mushtafa Muhammad Imarah dalam mengomentari hadits ini berkata :
“Dalam hadits ini menunjukkan kepada kebolehan mandi dengan telanjang”.5
Kesimpulan
1.mandi dalam keadaan membuka aurat boleh apabila dalam tempat tertutup, namun demikian menutupinya lebih afdhal
2.kebolehan membuka aurat dalam situasi tersebut adalah menurut kadar yang dibutuhkan, melebihinya adalah haram.
DAFTAR PUSTAKA
1.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 32
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 267, No. Hadits 339
3.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, beirut, Juz. IV, Hal. 32
4.Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhari, Al-Haramain, Singapura, Hal. 82
5.Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhari, Al-Haramain, Singapura, Hal. 83
“Adapun membuka aurat pada ketika sunyi dengan makna tidak dilihat oleh seseorangpun, jika karena hajad, maka dibolehkan dan jika bukan karena hajad, maka tentang makruh dan haramnya khilaf ulama. Pendapat yang lebih sahih menurut kami adalah haram”.1
Kebolehan membuka aurat ketika mandi pada saat sunyi adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW :
كانت بنو إسرائيل يغتسلون عراة. ينظر بعضهم إلى سوأة بعض. وكان موسى عليه السلام يغتسل وحده. فقالوا: والله! ما يمنع موسى أن يغتسل معنا إلا أنه آدر. قال فذهب مرة يغتسل. فوضع ثوبه على حجر. ففر الحجر بثوبه. قال فجمح موسى بإثره يقول: ثوبي حجر! حتى نظرت بنو إسرائيل إلى سوأة موسى. قالوا: والله! ما بموسى من بأس. فقام الحجر حتى نظر إليه. قال فأخذ ثوبه فطفق بالحجر ضربا". قال أبو هريرة: والله! إنه بالحجر ندب ستة أو سبعة. ضرب موسى بالحجر.
Artinya : Bani Israil mandi dengan telanjang, sebagian melihat kepada yang lain. Sementara Musa mandi sendiri. Mereka berkata : Tidak mencegah Musa mandi bersama kita kecuali karena dia itu memiliki buah pelir yang besar. Suatu hari Musa mandi dan dia meletakkan bajunya di atas batu. Tapi kemudian batu itu berlari membawa bajunya. Musa memburunya sambil berkata : “Bajuku wahai batu”. Bani Israil pun melihat aurat Musa. Mereka berkata, “Demi Allah, Musa tidak apa-apa”. Lalu berhenti batu itu dan Musa melihatnya dan kemudian mengambil bajunya dan memukuli batu itu.'" Abu Hurairah berkata, "Demi Allah, pukulan Musa membekas di batu itu enam atau tujuh kali pukulan. (H. R. Muslim) 2
Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam bab boleh mandi dengan telanjang pada ketika hajad. Menurut Imam Nawawi hadits ini dapat menjadi dalil apabila didasarkan kepada pendapat yang mengatakan syara’ man qablana (syari’at sebelum kita) menjadi syara’ bagi kita.3
Dan hadits Nabi SAW riwayat Bukhari :
بينا أيوب يغتسل عريانا فخر عليه جراد من ذهب فجعل أيوب يحتثي في ثوبه فنداه ربه يا أيوب الم تكن أغنيتك عما ترى قال بلى وعزتك ولكن لاغنى بي عن بركتك
ِArtinya : Pada ketika Nabi Aiyub sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuh atasnya seekor belalang dari emas, Aiyub membungkusnya. Allah, tuhan Aiyub menyerunya : “Apakah Aku tidak memperkaya engkau, Aiyub dari apa yang engkau lihat ?.” “Benar” jawab Aiyub. “Demi kemulian-Mu, tetapi aku tidak terkaya dari keberkatan-Mu. (H.R. Bukhari)4
Mushtafa Muhammad Imarah dalam mengomentari hadits ini berkata :
“Dalam hadits ini menunjukkan kepada kebolehan mandi dengan telanjang”.5
Kesimpulan
1.mandi dalam keadaan membuka aurat boleh apabila dalam tempat tertutup, namun demikian menutupinya lebih afdhal
2.kebolehan membuka aurat dalam situasi tersebut adalah menurut kadar yang dibutuhkan, melebihinya adalah haram.
DAFTAR PUSTAKA
1.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 32
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 267, No. Hadits 339
3.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, beirut, Juz. IV, Hal. 32
4.Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhari, Al-Haramain, Singapura, Hal. 82
5.Mushtafa Muhammad Imarah, Jawahir Bukhari, Al-Haramain, Singapura, Hal. 83
Minggu, 05 Juni 2011
Hadits dha’if dan pengamalannya
Hadits dha’if adalah hadits yang tidak ada syarat shahih dan hasan padanya. Syarat itu seperti bersambung sanad, ‘adalah, zhabith, tidak ada syaz, tidak ada ‘illat qaadih dan tidak ‘azhid pada ketika memerlukannya.1
Al-Baihaqi melakukan pembagian hadits dha’if secara garis besar kepada dua pembagian, yaitu :
1.Hadits yang diriwayat oleh orang-orang yang sudah dikenal sebagai pemalsu dan pendusta hadits. Pembagian pertama ini disepakati tidak boleh digunakan sebagai dalil dalam semua urusan agama. Kalaupun diriwayatkannya itu hanyalah untuk menjelaskan kepalsuannya.
2.Hadits yang diriwayat oleh orang-orang yang tidak dituduh sebagai pemalsu hadits, tetapi ia dikenal buruk hafalannya, banyak salah pada hafalannya atau ia tidak dikenal, sehingga keadaannya tidak memenuhi persyaratan diterima sebuah hadits darinya. Pembagian kedua ini tidak dapat digunakan sebagai dalil dalam penetapan hukum. Namun kadang-kadang dapat saja digunakan untuk dakwah, targhib, tarhib, tafsir dan mengenai suatu peperangan.2
Pendapat ulama lain mengenai pengamalan hadits dha’if, antara lain :
1. Qalyubi menerangkan bahwa beramal dengan hadits dha’if dibenarkan dengan tiga syarat, yaitu sebagai berikut :
1.tidak terlalu lemah
2.termasuk dibawah asal yang umum
3.yang mengamalkannya tidak mengi’tiqadkan sunnah perbuatan itu diitsbat dengan sebab hadits tersebut.3
2.Berkata Imam ar-Ramli :
“An-Nawawi telah menceritakan dalam beberapa buah karangannya, ijmak ahlu hadits terhadap beramal dengan hadits dha’if khusus pada fadhailul amal dan yang seumpama dengannya”.
Kemudian setelah mengutip beberapa buah pendapat ulama, Imam ar-Ramli menyimpulkan :
“dimaklumi pula bahwa yang dimaksud dengan fadhailul amal adalah targhib (menggemarkan amalan yang baik) dan tarhib (nasehat menjauhi suatu larangan). Yang semakna dengannya adalah kisah-kisah dan seumpamanya”. 4
3.Imam Nawawi dalam kitab al-Azkaar berkata :
“Ulama ahli hadits, para fuqaha dan lainnya berkata : “boleh dan disunatkan mengamalkan hadits dha’if pada fadhailul amal, targhib dan tarhib selama hadits itu tidak mauzhu’. Adapun pada hukum seperti halal dan haram, jual beli, nikah, thalaq dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali dengan hadits shahih atau hasan kecuali untuk ihtiyath (hati-hati) dalam hal sesuatu, seperti terdapat hadits dha’if yang memakruhkan sebagian akad jual beli atau pernikahan, maka yg disukai bahwa menjauhinya tetapi tidak wajib.”5
Kesimpulan
1. Hadits dha’if boleh diamalkan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.tidak terlalu lemah dan bukan diriwayat oleh orang-orang sudah dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadits
b.termasuk dibawah asal yang umum
c.berkenaan dengan fadhailul amal
d.tidak dii’tiqad itsbat hukum dengannya
2.Dalam bidang hukum tidak boleh ditetapkan dengan hadits dha’if kecuali untuk ikhtiyath (hati-hati)
3.Fadhailul amal adalah adalah targhib (menggemarkan amalan yang baik) dan tarhib (nasehat menjauhi suatu larangan). Semakna dengannya adalah kisah-kisah dan seumpamanya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad al-Zarqany, Syarah al-Baiquniyah, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Athiyah al-Ajhury, al-Haramain, Hal. 30
2.Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz I, Hal. 32-33
3.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia, Juz. I, Hal.56)
4.Imam ar-Ramli, Fatawa Imam ar-Ramli, dicetak pada hamisy Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 383.
5.An-Nawawi, Al-Azkar, al-Haramain, Indonesia, Hal. 7-8
Al-Baihaqi melakukan pembagian hadits dha’if secara garis besar kepada dua pembagian, yaitu :
1.Hadits yang diriwayat oleh orang-orang yang sudah dikenal sebagai pemalsu dan pendusta hadits. Pembagian pertama ini disepakati tidak boleh digunakan sebagai dalil dalam semua urusan agama. Kalaupun diriwayatkannya itu hanyalah untuk menjelaskan kepalsuannya.
2.Hadits yang diriwayat oleh orang-orang yang tidak dituduh sebagai pemalsu hadits, tetapi ia dikenal buruk hafalannya, banyak salah pada hafalannya atau ia tidak dikenal, sehingga keadaannya tidak memenuhi persyaratan diterima sebuah hadits darinya. Pembagian kedua ini tidak dapat digunakan sebagai dalil dalam penetapan hukum. Namun kadang-kadang dapat saja digunakan untuk dakwah, targhib, tarhib, tafsir dan mengenai suatu peperangan.2
Pendapat ulama lain mengenai pengamalan hadits dha’if, antara lain :
1. Qalyubi menerangkan bahwa beramal dengan hadits dha’if dibenarkan dengan tiga syarat, yaitu sebagai berikut :
1.tidak terlalu lemah
2.termasuk dibawah asal yang umum
3.yang mengamalkannya tidak mengi’tiqadkan sunnah perbuatan itu diitsbat dengan sebab hadits tersebut.3
2.Berkata Imam ar-Ramli :
“An-Nawawi telah menceritakan dalam beberapa buah karangannya, ijmak ahlu hadits terhadap beramal dengan hadits dha’if khusus pada fadhailul amal dan yang seumpama dengannya”.
Kemudian setelah mengutip beberapa buah pendapat ulama, Imam ar-Ramli menyimpulkan :
“dimaklumi pula bahwa yang dimaksud dengan fadhailul amal adalah targhib (menggemarkan amalan yang baik) dan tarhib (nasehat menjauhi suatu larangan). Yang semakna dengannya adalah kisah-kisah dan seumpamanya”. 4
3.Imam Nawawi dalam kitab al-Azkaar berkata :
“Ulama ahli hadits, para fuqaha dan lainnya berkata : “boleh dan disunatkan mengamalkan hadits dha’if pada fadhailul amal, targhib dan tarhib selama hadits itu tidak mauzhu’. Adapun pada hukum seperti halal dan haram, jual beli, nikah, thalaq dan lainnya, maka tidak boleh diamalkan kecuali dengan hadits shahih atau hasan kecuali untuk ihtiyath (hati-hati) dalam hal sesuatu, seperti terdapat hadits dha’if yang memakruhkan sebagian akad jual beli atau pernikahan, maka yg disukai bahwa menjauhinya tetapi tidak wajib.”5
Kesimpulan
1. Hadits dha’if boleh diamalkan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a.tidak terlalu lemah dan bukan diriwayat oleh orang-orang sudah dikenal sebagai pendusta dan pemalsu hadits
b.termasuk dibawah asal yang umum
c.berkenaan dengan fadhailul amal
d.tidak dii’tiqad itsbat hukum dengannya
2.Dalam bidang hukum tidak boleh ditetapkan dengan hadits dha’if kecuali untuk ikhtiyath (hati-hati)
3.Fadhailul amal adalah adalah targhib (menggemarkan amalan yang baik) dan tarhib (nasehat menjauhi suatu larangan). Semakna dengannya adalah kisah-kisah dan seumpamanya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Muhammad al-Zarqany, Syarah al-Baiquniyah, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Athiyah al-Ajhury, al-Haramain, Hal. 30
2.Al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz I, Hal. 32-33
3.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia, Juz. I, Hal.56)
4.Imam ar-Ramli, Fatawa Imam ar-Ramli, dicetak pada hamisy Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 383.
5.An-Nawawi, Al-Azkar, al-Haramain, Indonesia, Hal. 7-8
Hukum memakai kain di bawah mata kaki (isbal)
Isbal adalah menurunkan ujung kain ke bawah mata kaki. Hukumnya adalah makruh jika tidak dengan maksud sombong dan haram jika dengan maksud sombong. Berikut pendapat ulama mengenai hukum isbal, yaitu antara lain :
1.Berkata Qalyubi :
“Disunatkan pada lengan baju memanjangnya sampai kepada pergelangan tangan dan pada ujung kain sampai kepada separuh betis. Makruh melebihi atas mata kaki dan haram dengan niat sombong”.1
2.Berkata An-Nawawi :
“Dhahir hadits yang membatasi menurun kain dengan adanya sifat sombong, menunjukkan bahwa hukum haram itu khusus dengan adanya sifat sombong”.2
3.Berkata an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin :
“Haram memanjang pakaian melewati dua mata kaki dengan kesombongan dan makruh dengan tanpa kesombongan. Tidak beda yang demikian pada shalat atau lainnya. Celana dan kain sarung pada hukum pakaian.”3
Berdasarkan keterangan di atas, menurunkan ujung kain kepada bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah makruh apabila tidak dengan sombong dan haram apabila dengan sikap sombong. Dalil kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
1. firman Allah :
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Artinya : Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al A'raf -26)
2. firman Allah :
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya : Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah SWT tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.(Q.S. Luqman: 18 )
3. sabda Nabi SAW :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah SWT tidak akan melihatnya di hari kiamat. ( HR Bukhari) 4
4. sabda Nabi SAW :
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya : Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong (H.R. Bukhari).5
5. sabda Nabi SAW : :
مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Artinya : Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.(H.R. Bukhari)6
Setelah menyebut beberapa hadits yang senada dengan di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Ithlaq ini dimaknai sesuai dengan hadits-hadits yang datang yang membatasi dengan sifat sombong” 7
6. Rasullullah SِAW bersabda :
ثلاث لايكلمهم الله يوم القيامة المنان الذي لا يعطى شيأ إلا منه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر والمسبل إزاره
Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di hari kiamat, yaitu: pengungkit pemberian yang tidak memberi sesuatu kecuali mengungkit-ungkitnya, orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu dan seseorang yang melakukan isbal (menurunkan) kain sarungnya (H.R. Muslim)8
Imam Nawawi dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :
“ Adapun sabda Nabi SAW almusbil izaarahu, maknanya adalah yang menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana datang tafsirannya pada hadits lain, yaitu :
لا ينظر الله إلى من يجر ثوبه خيلاء
Artinya : Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong
Khuyala’ adalah sombong. Menurunkan kain yang dihubungkan dengan sikap sombong ini mengkhususkan keumuman perkataan musbil izarahu dan menunjukkan bahwa orang yang dimaksudkan dengan ancaman itu adalah orang-orang yang menurunkan ujung kain sarungnya dengan sikap sombong”.9
7. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Artinya : Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkara Abu Bakar : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari)10
Menurut hemat kami, kemakruhan isbal dengan sikap tidak sombong adalah karena dengan isbal dikuatirkan sulit terpelihara dari bersentuhan dengan najis atau adanya isbal dikuatirkan terjadi sikap sombong dan keluar dari khilaf ulama yang emngharamkannya secara mutlaq.
DAFTAR PUSTAKA
1.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 303
2.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 259
3.An-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 170
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 142, No. Hadits : 5791
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5788
6.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5787
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 257
8.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz, I, Hal. 102, No. Hadits : 106
9.Imam Muslim, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 116
10.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. V, Hal. 6, No. Hadits : 3665
1.Berkata Qalyubi :
“Disunatkan pada lengan baju memanjangnya sampai kepada pergelangan tangan dan pada ujung kain sampai kepada separuh betis. Makruh melebihi atas mata kaki dan haram dengan niat sombong”.1
2.Berkata An-Nawawi :
“Dhahir hadits yang membatasi menurun kain dengan adanya sifat sombong, menunjukkan bahwa hukum haram itu khusus dengan adanya sifat sombong”.2
3.Berkata an-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin :
“Haram memanjang pakaian melewati dua mata kaki dengan kesombongan dan makruh dengan tanpa kesombongan. Tidak beda yang demikian pada shalat atau lainnya. Celana dan kain sarung pada hukum pakaian.”3
Berdasarkan keterangan di atas, menurunkan ujung kain kepada bawah mata kaki (isbal), hukumnya adalah makruh apabila tidak dengan sombong dan haram apabila dengan sikap sombong. Dalil kesimpulan ini adalah sebagai berikut :
1. firman Allah :
يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Artinya : Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah. Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (QS Al A'raf -26)
2. firman Allah :
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya : Dan janganlah engkau berjalan diatas muka bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah SWT tidak suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.(Q.S. Luqman: 18 )
3. sabda Nabi SAW :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya : Siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah SWT tidak akan melihatnya di hari kiamat. ( HR Bukhari) 4
4. sabda Nabi SAW :
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
Artinya : Allah tidak akan melihat pada hari kiamat nanti orang-orang yang menurunkan kain sarungnya karena sombong (H.R. Bukhari).5
5. sabda Nabi SAW : :
مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
Artinya : Apa saja yang berada di bawah mata kaki berupa sarung, maka tempatnya di neraka.(H.R. Bukhari)6
Setelah menyebut beberapa hadits yang senada dengan di atas, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“ Ithlaq ini dimaknai sesuai dengan hadits-hadits yang datang yang membatasi dengan sifat sombong” 7
6. Rasullullah SِAW bersabda :
ثلاث لايكلمهم الله يوم القيامة المنان الذي لا يعطى شيأ إلا منه والمنفق سلعته بالحلف الفاجر والمسبل إزاره
Artinya : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah SWT di hari kiamat, yaitu: pengungkit pemberian yang tidak memberi sesuatu kecuali mengungkit-ungkitnya, orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu dan seseorang yang melakukan isbal (menurunkan) kain sarungnya (H.R. Muslim)8
Imam Nawawi dalam mensyarah hadits di atas, mengatakan :
“ Adapun sabda Nabi SAW almusbil izaarahu, maknanya adalah yang menurun ujung sarungnya karena sombong sebagaimana datang tafsirannya pada hadits lain, yaitu :
لا ينظر الله إلى من يجر ثوبه خيلاء
Artinya : Allah tidak akan melihat kepada orang yang menurunkan kainnya karena sombong
Khuyala’ adalah sombong. Menurunkan kain yang dihubungkan dengan sikap sombong ini mengkhususkan keumuman perkataan musbil izarahu dan menunjukkan bahwa orang yang dimaksudkan dengan ancaman itu adalah orang-orang yang menurunkan ujung kain sarungnya dengan sikap sombong”.9
7. Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ
Artinya : Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. Lalu berkara Abu Bakar : “Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda :"Engkau tidak melakukannya karena sombong”.(H.R. bukhari)10
Menurut hemat kami, kemakruhan isbal dengan sikap tidak sombong adalah karena dengan isbal dikuatirkan sulit terpelihara dari bersentuhan dengan najis atau adanya isbal dikuatirkan terjadi sikap sombong dan keluar dari khilaf ulama yang emngharamkannya secara mutlaq.
DAFTAR PUSTAKA
1.Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 303
2.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 259
3.An-Nawawi, Raudhah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 170
4.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 142, No. Hadits : 5791
5.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5788
6.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VII, Hal. 141, No. Hadits : 5787
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathulbarri, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 257
8.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz, I, Hal. 102, No. Hadits : 106
9.Imam Muslim, Syarah Muslim, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. II, Hal. 116
10.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. V, Hal. 6, No. Hadits : 3665
Sabtu, 04 Juni 2011
Perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki
Umat Islam sepakat bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki. Berikut pendapat ulama mengenai menjadikan perempuan sebagai imam dalam shalat, yaitu antara lain :
1.Berkata Ibnu Hazm :
“Para ulama sepakat bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki. Jika seseorang mengikuti perempuan dalam berjama’ah, sedangkan dia mengetahui bahwa imam itu seorang perempuan, maka shalatnya fasid (batal).”1
2.Abdurrahman al-Jaziry, pengarang Kitab Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah mengatakan dalam kitab beliau tersebut :
“Maka tidak sah menjadi imam perempuan dan khuntsa musykil apabila yang mengikutinya adalah laki-laki.”2
3.Imam Syafi’i berkata :
“Seorang laki-laki tidak boleh berimam kepada seorang perempuan dan khuntsa. Kalau sempat dilakukan, maka diulangi shalatnya itu.”3
Al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir, setelah mengutip perkataan Syafi’i di atas, mengatakan bahwa pendapat syafi’i tersebut merupakan pendapat seluruh fuqaha kecuali Abu Tsur yang berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh mengikuti perempuan dalam berjama’ah. Pendapat Abu Tsur ini merupakan pendapat syaz (ganjil) dari jama’ah.4 Oleh karena itu, khilaf Abu Tsur ini dianggap tidak ada, alias tidak dihormati. Selanjutnya al-Mawardi menyebut beberapa dalil yang menerangkan bahwa pendapat bolehnya seorang laki-laki mengikuti perempuan dalam berjama’ah adalah salah, antara lain :
1.Q.S an-Nisa’ : 34, berbunyi :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)(Q.S. an-Nisa’ : 34)
2. sabda Rasulullah SAW
أخروهن من حيث أخرهن الله سبحانه
Artinya : Posisikan mereka (perempuan) di belakang sebagaimana Allah memposisikan mereka di belakang.
Dalam komentarnya terhadap hadits di atas, Imam Syafi’i mengatakan :
“Apabila wajib memposisikan perempuan dibelakang, maka haram mendahulukan mereka.”5
Hadits ini diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Abdurrazaq dalam Musannafnya dengan cara mauquf hanya sampai pada Ibnu Mas’ud.6
3. Sabda Nabi SAW :
ما أفلح قوم اسندوا أمرهم الى امرأة
Artinya : Tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka menyandarkan urusan mereka kepada perempuan
Dalam Shahih Bukhari, hadits ini berbunyi dengan redaksi :
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : Tidak akan suskses suatu kaum, dimana mereka mengangkat perempuan menjadi pemimpin.(H.R. Bukhari)7
4.Perempuan adalah aurat. Menjadikannya sebagai imam bagi laki-laki banyak kemungkinan menimbulkan fitnah. Karena itu, Nabi SAW menjadikan tepuk tangan bagi perempuan sebagai teguran kepada imam dalam shalat, berbeda halnya dengan laki-laki, dimana laki-laki disyari’atkan dengan tasbih. Maka demikian juga dalam halnya shalat berjama’ah, karena suara perempuan dikuatirkan dapat menimbulkan fitnah.
5. Imamah (menjadi imam) adalah wilayat dan posisi kelebihan. Padahal perempuan tidak termasuk yang mempunyai hal itu. Buktinya perempuan tidak dapat menjadi pemimpin besar, qadhi dan wali nikah. Maka demikian juga dalam hal menjadi imam shalat.
Dalil lain yang mendukung pendapat bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat berjama’ah adalah hadits Baihaqi dari Ibnu Abbas, berkata :
تؤم المرأة النساء تقوم وسطهن
Artinya : Perempuan mengimami para perempuan dan berdiri di tengah-tengah mereka (H.R. Baihaqi 8 dan Abdurrazaq 9)
Mafhum mukhalafah dari hadits ini adalah perempuan tidak mengimami laki-laki.
Berikut ini dalil-dali yang digunakan oleh golongan yang membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki, antara lain :
1.Hadits Rasulullah SAW, berbunyi :
يؤم القوم أقرؤهم
Artinya : Yang menjadi imam dalam suatu kaum adalah yang paling qari di antara mereka.)H.R. Muslim)10
Perkataan kaum pada hadits ini adalah mutlaq, sebagaimana mencakup laki-laki, juga mencakup perempuan. Pendalilian dengan hadits ini telah dibantah oleh al-Mawardi. Beliau mengatakan bahwa perkataan “qaum” secara mutlaq hanya tertuju kepada laki-laki saja, tidak termasuk perempuan. Buktinya firman Allah Q.S. al-Hajarat : 11, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik (Q.S. al-Hujuraat : 11)
Kalau perempuan masuk dalam makna perkataan “qaum”, maka sungguh tidak perlu lagi diulangi perkataan nisa’ (perempuan) dalam ayat di atas. Berdasarkan keterangan ini dapat disimpulkan perkataan “qaum” secara mutlaq hanya mencakup laki-laki saja.
2. Laki-laki merdeka boleh mengikuti hamba sahaya dalam berjama’ah. Kalau mengikuti hamba sahaya dibolehkan, tentu laki-laki mengikuti perempuan lebih patut untuk dibolehkan, karena perempuan, derajatnya melebihi hamba sahaya. Buktinya hamba sahaya dapat dibunuh sebagai hukuman qishas dengan sebab membunuh perempuan merdeka. Tetapi sebaliknya, perempuan merdeka tidak dapat dibunuh (hukuman qishas) dengan sebab membunuh hamba sahaya.
Pendalilian ini dibantah oleh al-Mawardi dengan penjelasan berikut :
1). Kekurangan pada perempuan tidak dapat disamakan dengan kekurangan pada hamba sahaya. Karena kekurangan pada perempuan adalah zati, yaitu suatu sifat yang tidak dapat terlepas dari seorang perempuan. Sebaliknya hamba sahaya, kekurangannya bersifat ‘arizhi (sifat yang datang kemudian) yang dapat hilang dari seseorang dengan mendapat kemerdekaan.
2). Hamba sahaya tidak termasuk dalam katagori orang yang dikuatirkan dapat menimbul fitnah sebagaimana halnya perempuan.11
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Hazm, Maratib al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 27
2.Abdurrahman al-Jaziry, Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Maktabah Hakikat, Istanbul-Turki, Juz. II, Hal. 90
3.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 327
4.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 327
5.Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 738
6.Thabrany, Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 234, No. hadits : 9372 dan Abdurrazaq, Musannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 149, No. Hadits : 5115
7.Bukhari, Shahih bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VI, Hal. 8, No. Hadits : 4425
8.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 131, No. Hadits : 5141
9.Abdurrazaq, Musannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 140, No. Hadits : 5083
10.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan Indonesia, Juz. I, Hal. 465, No. Hadits : 673
11.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 328
1.Berkata Ibnu Hazm :
“Para ulama sepakat bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki. Jika seseorang mengikuti perempuan dalam berjama’ah, sedangkan dia mengetahui bahwa imam itu seorang perempuan, maka shalatnya fasid (batal).”1
2.Abdurrahman al-Jaziry, pengarang Kitab Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah mengatakan dalam kitab beliau tersebut :
“Maka tidak sah menjadi imam perempuan dan khuntsa musykil apabila yang mengikutinya adalah laki-laki.”2
3.Imam Syafi’i berkata :
“Seorang laki-laki tidak boleh berimam kepada seorang perempuan dan khuntsa. Kalau sempat dilakukan, maka diulangi shalatnya itu.”3
Al-Mawardi dalam al-Hawi al-Kabir, setelah mengutip perkataan Syafi’i di atas, mengatakan bahwa pendapat syafi’i tersebut merupakan pendapat seluruh fuqaha kecuali Abu Tsur yang berpendapat bahwa seorang laki-laki boleh mengikuti perempuan dalam berjama’ah. Pendapat Abu Tsur ini merupakan pendapat syaz (ganjil) dari jama’ah.4 Oleh karena itu, khilaf Abu Tsur ini dianggap tidak ada, alias tidak dihormati. Selanjutnya al-Mawardi menyebut beberapa dalil yang menerangkan bahwa pendapat bolehnya seorang laki-laki mengikuti perempuan dalam berjama’ah adalah salah, antara lain :
1.Q.S an-Nisa’ : 34, berbunyi :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita)(Q.S. an-Nisa’ : 34)
2. sabda Rasulullah SAW
أخروهن من حيث أخرهن الله سبحانه
Artinya : Posisikan mereka (perempuan) di belakang sebagaimana Allah memposisikan mereka di belakang.
Dalam komentarnya terhadap hadits di atas, Imam Syafi’i mengatakan :
“Apabila wajib memposisikan perempuan dibelakang, maka haram mendahulukan mereka.”5
Hadits ini diriwayat oleh al-Thabrany dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Abdurrazaq dalam Musannafnya dengan cara mauquf hanya sampai pada Ibnu Mas’ud.6
3. Sabda Nabi SAW :
ما أفلح قوم اسندوا أمرهم الى امرأة
Artinya : Tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka menyandarkan urusan mereka kepada perempuan
Dalam Shahih Bukhari, hadits ini berbunyi dengan redaksi :
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : Tidak akan suskses suatu kaum, dimana mereka mengangkat perempuan menjadi pemimpin.(H.R. Bukhari)7
4.Perempuan adalah aurat. Menjadikannya sebagai imam bagi laki-laki banyak kemungkinan menimbulkan fitnah. Karena itu, Nabi SAW menjadikan tepuk tangan bagi perempuan sebagai teguran kepada imam dalam shalat, berbeda halnya dengan laki-laki, dimana laki-laki disyari’atkan dengan tasbih. Maka demikian juga dalam halnya shalat berjama’ah, karena suara perempuan dikuatirkan dapat menimbulkan fitnah.
5. Imamah (menjadi imam) adalah wilayat dan posisi kelebihan. Padahal perempuan tidak termasuk yang mempunyai hal itu. Buktinya perempuan tidak dapat menjadi pemimpin besar, qadhi dan wali nikah. Maka demikian juga dalam hal menjadi imam shalat.
Dalil lain yang mendukung pendapat bahwa perempuan tidak dapat menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat berjama’ah adalah hadits Baihaqi dari Ibnu Abbas, berkata :
تؤم المرأة النساء تقوم وسطهن
Artinya : Perempuan mengimami para perempuan dan berdiri di tengah-tengah mereka (H.R. Baihaqi 8 dan Abdurrazaq 9)
Mafhum mukhalafah dari hadits ini adalah perempuan tidak mengimami laki-laki.
Berikut ini dalil-dali yang digunakan oleh golongan yang membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki, antara lain :
1.Hadits Rasulullah SAW, berbunyi :
يؤم القوم أقرؤهم
Artinya : Yang menjadi imam dalam suatu kaum adalah yang paling qari di antara mereka.)H.R. Muslim)10
Perkataan kaum pada hadits ini adalah mutlaq, sebagaimana mencakup laki-laki, juga mencakup perempuan. Pendalilian dengan hadits ini telah dibantah oleh al-Mawardi. Beliau mengatakan bahwa perkataan “qaum” secara mutlaq hanya tertuju kepada laki-laki saja, tidak termasuk perempuan. Buktinya firman Allah Q.S. al-Hajarat : 11, berbunyi :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik (Q.S. al-Hujuraat : 11)
Kalau perempuan masuk dalam makna perkataan “qaum”, maka sungguh tidak perlu lagi diulangi perkataan nisa’ (perempuan) dalam ayat di atas. Berdasarkan keterangan ini dapat disimpulkan perkataan “qaum” secara mutlaq hanya mencakup laki-laki saja.
2. Laki-laki merdeka boleh mengikuti hamba sahaya dalam berjama’ah. Kalau mengikuti hamba sahaya dibolehkan, tentu laki-laki mengikuti perempuan lebih patut untuk dibolehkan, karena perempuan, derajatnya melebihi hamba sahaya. Buktinya hamba sahaya dapat dibunuh sebagai hukuman qishas dengan sebab membunuh perempuan merdeka. Tetapi sebaliknya, perempuan merdeka tidak dapat dibunuh (hukuman qishas) dengan sebab membunuh hamba sahaya.
Pendalilian ini dibantah oleh al-Mawardi dengan penjelasan berikut :
1). Kekurangan pada perempuan tidak dapat disamakan dengan kekurangan pada hamba sahaya. Karena kekurangan pada perempuan adalah zati, yaitu suatu sifat yang tidak dapat terlepas dari seorang perempuan. Sebaliknya hamba sahaya, kekurangannya bersifat ‘arizhi (sifat yang datang kemudian) yang dapat hilang dari seseorang dengan mendapat kemerdekaan.
2). Hamba sahaya tidak termasuk dalam katagori orang yang dikuatirkan dapat menimbul fitnah sebagaimana halnya perempuan.11
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Hazm, Maratib al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 27
2.Abdurrahman al-Jaziry, Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Maktabah Hakikat, Istanbul-Turki, Juz. II, Hal. 90
3.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 327
4.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 327
5.Al-Mawardi, al-Hawy al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 738
6.Thabrany, Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 234, No. hadits : 9372 dan Abdurrazaq, Musannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 149, No. Hadits : 5115
7.Bukhari, Shahih bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VI, Hal. 8, No. Hadits : 4425
8.Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Darul Baz, Makkah, Juz. III, Hal. 131, No. Hadits : 5141
9.Abdurrazaq, Musannaf Abdurrazaq, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 140, No. Hadits : 5083
10.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan Indonesia, Juz. I, Hal. 465, No. Hadits : 673
11.Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 328
Langganan:
Postingan (Atom)