Senin, 25 Maret 2013

kitab-kuneng: Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat

kitab-kuneng: Penggunaan Sayyidina dalam Tasyahud Shalat: Shalawat kepada Nabi SAW dalam tasyahhud akhir hukumnya wajib. Sedangkan shalawat kepada keluarga beliau, hukumnya adalah sunnah menurut u...

Minggu, 24 Maret 2013

Kata-Kata Bijak


Ibnu Ruslan mengatakan :


وكل من بغير علم يعمل * اعماله مردودة لا تقبل
Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, tertolak tidak diterima amalannya itu.


(Sumber : Zubad Ibnu Ruslan, dicetak dalam Ghayah al-Bayan Syarh Zubab, Dar al-Kutub Ilmiyah, Beirut, Hal. 6)



Senin, 18 Maret 2013

Pengertian ta'alluq shuluhi qadim, tanjizi qadim dan tanjizi hadits


Asslm...
Di dalam tauhid ada istilah yang di sebut dengan ta'luq shuluhi qadim, tanjizi qadim dan tanjizi hadis... Apa arti tiap2 istilah tersebut dan apa perbedaannya tgk

Jawaban dengan merujuk kepada kitab-kitab akidah seperti kifayatul awam, karya  Syaikh Muhammad al-Fazhaali :

Istilah-istilah ini merupakan istilah-istilah yang digunakan dalam kajian sifat dua puluh yang wajib bagi Allah Ta’ala. Adapun pengertiannya adalah sebagi berikut :
1.      Ta’alluq secara bahasa berarti hubungan, kalau dikatakan Allah menciptakan alam dari tiada kepada ada, maka itu artinya antara qudrah Allah dan alam ada ta’alluq (hubungan), yaitu hubungan penciptaan : Allah dengan sifat qudrahnya sebagai pencipta dan alam sebagai ciptaan.
2.      Sedangkan shuluhi qadim (shuluhi secara bahasa bermakna patut) berarti Allah patut pada azali mengadakan atau meniadakan  sesuatu, meskipun belum wujud sesuatu yang diadakan atau ditiadakan pada kenyataannya. Contohnya si umar sebelum dijadikan Allah pada alam kenyataan, maka si Umar itu pada azali patut dijadikan atau tidak dijadikan Allah. Ta’alluq ini sifatnya qadim, karena masih pada azali belum wujud pada kenyataan yang bersifat dengan waktu dan tempat (baharu). Ini shuluhi qadim pada sifat qudrah Allah Ta’ala. Adapun shuluhi qadim pada sifat iradah Allah Ta’ala berarti Allah Ta’ala pada azali patut menentukan sesuatu dengan mengadakan atau meniadakannya, memendekkan atau memanjangkan atau keadaan lain-lainnya.
3.      Tanjizi qadim bermakna terjadi pada kenyataannya dan keadaannya adalah qadim, seperti Allah menentukan sesuatu dengan mengadakan atau meniadakan atau menentukan sesuatu dengan keadaan pendek atau panjang dan lain-lain. Disebut dengan tanjizi karena ta’alluqnya berlaku pada kenyataan (tidak bersifat patut lagi) dan disebut qadim, karena penentuan sesuatu ada, tidak ada atau panjang dan lain-lain adalah sudah ada pada azali yang sifatnya qadim. Tanjizi qadim ini tidak ada pada qudrah Allah Ta’ala.
4.      Tanjizi hadits pada qudrah bermakna Allah Ta’ala menciptakan sesuatu atau meniadakannya dengan qudrahnya pada waktu dan tempat tertentu. Penciptaan atau meniadakan sesuatu itu adalah baharu, karena bersifat dengan waktu atau tempat, misalnya Allah menciptakan si Umar pada hari senin yang lahir di Indonesia. Tanjizi hadits ini didahului oleh shuluhi qadim pada qudrah Allah Ta’ala. Berdasarkan ini, maka sifat menciptakan, mematikan (sifat-sifat af’al) adalah baharu, tidak qadim, karena itu sifat menciptakan atau mematikan (sebagai contoh) adalah sifat baharu bagi Allah Ta’ala dan karenanya tidak berdiri pada zat Allah yang qadim. Yang qadim yang berdiri pada zat Allah Ta’ala adalah sifat qudrah.
5.      Wassalam, mudah2an bermanfaat



Jumat, 15 Maret 2013

Menjawab pertanyaan masalah gala (gadai) tanah dan jamak shalat karena hujan.


asslm... kiban menurut tgk.. tentang praktek gala tanoh yg terjadi bak masyarakat aceh??
dan tgk kiban maksud jih seseorang di bolehkan untuk menjamak shalat karna hujan? dan apa2 saja kriteria2nya???
makasih tgk...
Jawab :
1.        Pengertian gadai dan hukumnya dapat tgk ikuti tulisan kami dalam blog ini, yaitu :
Praktek gala (gadai) tanah di Aceh adalah dimana pihak pemilik uang diberikan wewenang oleh yang berhutang untuk memanfaatkan tanah tersebut. Berdasarkan keterangan dalam tulisan kami tersebut, maka pada dasarnya hukum mengambil manfaat tersebut adalah haram, karena itu termasuk riba, kecuali apabila perjanjian mengambil manfaat itu tidak disebut dalam akad gadai, tetapi hanya merupakan kesepakatan diluar akad atau karena sudah menjadi kebiasaan saja. Maka dalam hal ini menjadi tidak haram.
Dalam al-Asybah wal Nadhair disebutkan :
لو عم في الناس اعتياد اباحة منافع الرهن للمرتهن فهل ينزل منزلة شرطه حتى يفسد الرهن قال الجمهور لا. وقال القفال نعم
Artinya : Seandainya sudah umum di masyarakat kebiasaan kebolehan memanfaatkan barang gadai bagi pemberi pinjaman, apakah kebiasaan itu dianggap sama pada kedudukan syarat sehingga akad gadainya rusak ? Jumhur ulama berpendapat, tidak diposisikan sebagai syarat, sedangkan al-Qaffal berpendapat, “ya”[1]

Pengarang I’anah al-Thalibin dalam mengomentari pernyataan Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in “Pinjaman dengan syarat berlaku manfa’at bagi sipemberi pinjaman adalah fasid”, menjelaskan :
قال ع ش ومعلوم ان محل  الفساد حيث وقع الشرط في صلب العقد اما لو توافقا على ذالك ولم يقع الشرط في العقد فلا فساد
Artinya : Ali Syibran al-Malusy mengatakan, yang dimaklumi bahwa kedudukan fasid itu adalah apabila terjadi syarat tersebut pada sulbi akad, adapun apabila terjadi kesepakatan hal itu diluar akad, maka tidak fasid.[2]

2.        Kriteria jamak shalat karena hujan, yaitu :
Dalam I’anah al-Thalibin dijelaskan syarat-syarat jamak shalat ketika hujan sebagai berikut :
a.       Boleh jamak shalat jamak taqdim saja
b.      Syarat2nya seperti syarat jamak taqdim dalam musafir (musafir tentu tidak menjadi syarat)
c.       Wujud hujan pada ketika takbiratul ihram shalat pertama, ketika tahallul (sudah melakukan salam) shalat pertama dan sampai melakukan takbiratul ihram shalat kedua.
d.      Orang yang merencanakan melakukan jamak tersebut melakukan shalat secara berjama’ah di mesjid atau tempat lain yang jauh dari rumahnya. Ukuran jauh itu apabila orang tersebut pulang kerumahnya dapat menyebabkan basah bajunya.[3]


[1] Al-Suyuthi, al-Asybah wan Nadhair, al-Haramain, Singapura, hal. 67
[2] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, hal. 53
[3] Lihat Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, hal. 105

Senin, 11 Maret 2013

Hadits “Aku kenal tuhanku dengan tuhanku”

Sebagian masyarakat Aceh dan Indonesia,  perkataan ini sering disebut sebagai hadits NAbi SAW, bahkan dalam beberapa kitab tasauf berbahasa jawi karya ulama nusantara, ucapan ini disebut sebagai hadits Nabi SAW, namun sayang dalam kitab-kitab tersebut disebut tanpa sanad dan perawinya.

Ucapan tersebut adalah :

عرفت ربي بربي

Aku kenal tuhanku dengan sebab tuhanku

Di antara kitab-kitab jawi yang menyebutnya sebagai hadits Nabi SAW, namun tanpa sanad dan perawinya adalah :

1.      Kitab al-Durar al-Nafis, karya Syaikh Muhammad Nafis Ibn Idris al-Banjari, Cet. Sulaiman Mar’i wa Sirkah-Surabaya, Hal. 24.

2.      Kasyf al-Asrar, karya Muhammad Saleh bin Abdullah al-Minangkabawi (dicetak bersama syarahnya, Tanwir al-Anwar fi Izhhar al-Khalal Maa fi Kasyf al-Asrar, karya Syaikh Muhammad Wali al-Khalidy), Hal. 15

 

Namun menurut bahan bacaan lainnya, ucapan ini tidak disebut sebagai hadits Nabi SAW melainkan hanyalah ucapan Zinnun al-Mishri, di antaranya sebagai berikut :

1.    Kitab tasauf yang terkenal dengan nama al-Risalah al-Quraisyiah karya al-Qusyairi, dalam kitab tersebut, pengarangnya mengatakan, Aku mendengar Syaikh Abu Abdurrahman al-Salmi berkata, aku mendengan Muhammad bin Abdullah bin Syazan berkata, aku mendengar Yusuf bin Husain berkata :

قيل لذي النون المصري بم عرفت ربك ؟ قال عرفت ربي بربي ولولا ربي لما عرفت ربي

Ditanya kepada Zinnun al-Mishry, dengan apa engkau mengenai tuhanmu?, beliau menjawab : “Aku mengenal tuhanku dengan sebab tuhanku dan seandainya tidak ada tuhanku, maka sungguh aku tidak akan mengenal tuhanku.[1]

 

2.    K.H Haderanie H.N. (seorang ulama dari Indonesia) dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Ketuhanan” menyebut ucapan tersebut sebagai ucapan Zinnun al-Mishry.[2]

3.    Imam al-Ghazali telah menisbahkan perkataan di atas kepada ba’zhuhum (sebagian ulama)[3]

 

 

 

 

 



[1] Abu Qasim Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi, al-Risalah al-Quraisyiah, Hal. 167

[2] K.H Haderanie H.N, Ilmu Ketuhanan, Cet. Nur Ilmu, Surabaya, Hal. 11

[3] Al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Maktabah Thaha Putra, Semarang, JUz. IV, Hal. 251

Jumat, 08 Maret 2013

Masalah-masalah dha’if dalam Matan al-Ghayah wa al-Taqrib (bag. 6 : Kitab Nikah, Hudud, Qudha’ dan Kesaksian )


1.        Dalam kitab Nikah, pada masalah nusyuz disebutkan :
وإذا خاف نشوز المرأة وعظها، فإن أبت إلا النشوز هجرها فإن أقامت عليه هجرها وضربها
 Artinya : Dan apabila dikuatirkan nusyuz isterinya, maka hendaknya menasehatinya, kemudian jika dia enggan kecuali nusyuz, maka memisahkan tempat tidur, kemudian apabila isterinya itu tetap atas nusyuz, maka memisahkan tempat tidur dan memukulinya.[1]

Pernyataan pengarang bahwa memisahkan tempat tidur sekaligus memukuli isteri yang nusyuz disyaratkan dengan berulang-ulang nusyuz adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Ibrahim al-Bajuri dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut dan Ibnu Qasim al-Ghazi, pensyarahnya, mengatakan :
)قوله بتكرره منها  (أي بسبب تكرره منها، وهذا ما قاله الشارح تبعا لظاهر كلام المصنف حيث قال ) فإن قامت عليه ( وهذا ما رجحه جمهور العراقيين وغيرهم، ورجحه الرافعي، والذي صححه النووي جواز الضرب وإن لم يتكرر النشوز لظاهر الآية، وهو المعتمد.
Artinya : Pernyataan pensyarah : “dengan berulang-ulang nusyuz dari si isteri” artinya dengan sebab berulang-ulang nusyuz dari si isteri. Ini merupakan pendapat pensyarah karena mengikuti dhahir kalam pengarang yang mengatakan : “kemudian jika isteri tetap nusyuz”. Ini pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama Iraq dan lainnya dan juga yang dikuatkan oleh al-Rafi’i. Adapun pendapat yang dishahihkan oleh al-Nawawi boleh memukulinya, meskipun tidak berulang-ulang nusyuz karena zhahir ayat, pendapat ini adalah yang mu’tamad.[2]

b.      Dalam Minhaj al-Thalibin disebutkan :
فان تحقق نشوزا ولم يتكرر وعظ وهجر في المضجع ولا يضرب في الاظهر قلت الاظهر يضرب والله اعلم
Artinya : Apabila pasti nusyuz dan tidak berulang-ulang, maka dinasehati dan dipisahkan tempat tidurnya dan tidak dipukuli menurut pendapat yang lebih zhahir. Aku (al-Nawawi) katakan : Menurut pendapat yang lebih zhahir dipukulinya, wallahua’lam.[3]

2.    Dalam kitab Nikah, pada masalah nafkah kerabat disebutkan :
فأما الوالِدونَ فتجب نفقتهم بشرطين: الفقر والزمانة أو الفقر والجنون
Artinya : Adapun para orangtua wajib memberi nafkah mereka dengan dua syarat, yaitu fakir dan sudah tua renta atau fakir dan gila. [4]


Pernyataan pengarang bahwa disyaratkan adanya tua renta atau gila pada kewajiban memberi nafkah orangtua yang fakir atas anak-anaknya adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Ibrahim al-Bajuri dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
والمراد بالشرط مجموع الأمرين: الفقر مع الزمانة أو الفقر مع الجنون على ما قاله المصنف وهوضعيف، والمعتمد أنه لا يشترط انضمام الزمانة أو الجنون إلى الفقر
Artinya : Yang dimaksud dengan syarat adalah kumpulan dua perkara, yaitu fakir serta tua renta atau fakir serta gila berdasarkan pendapat pengarang. Ini adalah dha’if. Sedangkan yang mu’tamad tidak disyaratkan digabungkan tua renta atau gila kepada fakir.[5]

b.      Dalam Minhaj al-Thalibin disebutkan :
وتجب لفقير غير مكتسب ان كان زمنا او صغيرا او مجنونا والا فاقوال احسنها تجب والثالث لاصل لا فرع قلت الثالث الاظهر والله اعلم
Artinya : Wajib nafkah bagi fakir yang tidak ada usaha, apabila dia itu tua renta, masih anak-anak atau gila. Apabila tidak, maka ada beberapa qaul, qaul yang lebih bagus adalah wajib. Qaul ketiga mengatakan, wajib bagi asal, tidak wajib bagi furu’. Saya (al-Nawawi) mengatakan, qaul yang ketiga lebih zhahir, wallahua’lam.[6]


3.    Dalam kitab Hudud disebutkan :
وحكم اللواط وإتيان البهائم كحكم الزنا
Artinya : Hukum liwath dan menyetubuhi binatang adalah seperti hukum zina.[7]

Pernyataan pengarang bahwa hukum menyetubuhi binatang seperti hukum zina adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :

ومن أتى بهيمة حدّ كما قال المصنف ولكن الراجح أنه يعزر
Artinya : Barangsiapa yang menyetubuhi binatang, maka dihukum hudud sebagaimana telah dikatakan pengarang, tetapi pendapat yang kuat sesungguhnya dia itu dita’zir.[8]

b.      Dalam Syarah al-Mahalli disebutkan :
(ولا) بوطء (بهيمة في الاظهر) لما تقدم لكن يعزر فيهما
Artinya : Dan tidak dihukum hudud dengan sebab menyetubuhi binatang menurut pendapat yang lebih zhahir karena alasan yang terdahulu, tetapi dita’zir pada masalah keduanya (masalah menyetubuhi mayat dan binatang).[9]

4.        Dalam kitab Hudud, pada masalah murtad disebutkan :
ومن ارتد عن الإسلام استتيب ثلاثا فان تاب والا قتل
Artinya : Barangsiapa yang murtad dari Islam, maka dituntut taubat dalam tempo tiga hari. Kemudian apabila taubat dan jika tidak, maka dibunuh.[10]

Pernyataan pengarang bahwa orang murtad sebelum dihukum bunuh harus diminta supaya taubat dulu dalam Tempo tiga hari, kalau tidak mau taubat, baru dihukum bunuh adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
استتيب وجوبا في الحال في الأصح فيهما، ومقابل الأصح في الأولى أنه يسن الاستتابة وفي الثانية أنه يمهل ثلاثا  أي إلى ثلاثة أيام
Artinya : Dituntut tobat pada ketika itu juga menurut pendapat yang shahih pada kedua masalah (masalah wajib tuntut taubat dan dilakukan seketika itu juga). Lawan pendapat yang lebih shahih, pada masalah pertama disunnatkan taubat dan pada masalah kedua, ditempo sampai tiga hari.[11]

b.      Al-Nawawi dalam Minhaj al-Thalibin mengatakan :
وتجب استتابة المرتد والمرتدة وفي قول تستحب وهي في الحال وفي قول ثلاثة ايام
Artinya : Wajib menuntut taubat si murtad, baik laki-laki maupun perempuan, pada ketika itu juga. Menurut satu qaul disunnatkan dan menurut qaul lain ditempo tiga hari. [12]

5.        Dalam kitab Qudha’ dan Kesaksian, pada persyaratan qadhi disebutkan :
وأن يكون كاتبا
Artinya : Keadaan qadhi itu pandai menulis.[13]

Pernyataan pengarang pandai menulis menjadi syarat menjadi qadhi adalah dha’if, berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a.       Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujib dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut, mengatakan :
وما ذكره المصنف من اشتراط كون القاضي كاتبا وجه مرجوح والأصح خلافه
Artinya : Dan apa yang disebut pengarang, yakni mensyaratkan keadaan qadhi pandai menulis adalah pendapat lemah, sedangkan pendapat yang lebih shahih adalah sebaliknya.[14]

b.      Khatib Syarbaini dalam al-Iqna’ mengatakan :
واصحهما كما في الروضة وغيرها عدم اشتراط كونه كاتبا لانه صلعم كان اميا لا يقرء ولا يكتب
Artinya : Menurut pendapat yang lebih shahih sebagaimana dalam al-Raudhah dan lainnya tidak disyaratkan keadaan qadhi pandai menulis, karena Nabi SAW adalah seorang ummi yang tidak dapat membaca dan menulis.[15]

 ===selesai====
Tgk Alizar Usman



[1] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 32
[2] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian, Singapura, Juz. II, Hal. 135
[3] Imam al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. III, Hal. 305
[4] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 36
[5] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian, Singapura, Juz. II, Hal. 186
[6] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak dalam al-Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. III, Hal. 587
[7] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 39
[8] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 56
[9] Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 180
[10] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 40
[11] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 58
[12] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak dalam al-Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. IV, Hal. 177
[13] Abu Syuja’, al-Ghayah wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 45
[14] Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 65-66
[15] Khatib Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. V, Hal. 313