Senin, 19 Desember 2022

Hukum shalat jenazah ghaib orang hilang yang belum ada kepastian meninggal dunia

 

hukum shalat jenazah ghaib orang hilang yang belum ada kepastian meninggal dunia, baik di laut maupun di darat. Jawabannya adalah tidak sah. Karena tidak boleh shalat jenazah yang belum dipastikan kematiannya. Ini dapat dipahami dari penjelasan Imam al-Ghazali berikut ini :

لَو صادفنا عُضْو آدَمِيّ وَاحْتمل كَون صَاحبه حَيا لم نصل عَلَيْهِ وَإِن قطع بِمَوْت صَاحبه غسلناه وصلينا عَلَيْهِ

Seandai kita mendapati satu anggota tubuh manusia dimana masih ada kemungkinan pemiliknya masih hidup, maka kita tidak menshalatinya. Adapun seandainya dipastikan mati pemiliknya, maka kita mandikan dan kita menshalatinya. (al-Wasith : II/375)

Tidak sah shalat jenazah ini juga dapat dipahami dari penjelasan kitab Bughyatul Mustarsyidiin berikut ini :

ﻻ ﺗﺼﺢ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺃﺳﺮ ﺃﻭ ﻓﻘﺪ ﺃﻭ ﺍﻧﻜﺴﺮﺕ ﺑﻪ ﺳﻔﻴﻨﺔ ، ﻭﺇﻥ ﺗﺤﻘﻖ ﻣﻮﺗﻪ ﺃﻭ ﺣﻜﻢ ﺑﻪ ﺣﺎﻛﻢ ، ﺇﻻ ﺇﻥ ﻋﻠﻢ ﻏﺴﻠﻪ ﺃﻭ ﻋﻠﻖ ﺍﻟﻨﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﻏﺴﻠﻪ ، ﺇﺫ ﺍﻷﺻﺢ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﻜﻔﻲ ﻏﺮﻗﻪ

Tidak sah shalat atas orang yang ditahan, yang hilang atau yang hancur kapal tumpangannya, meskipun sudah dipastikan matinya atau matinya sudah ditetap oleh hakim kecuali apabila dimaklum sudah dimandikan ataupun dengan cara dikaidkan niatnya dengan sudah dimandikan. Karena menurut pendapat yang lebih shahih tidak memadai tenggelamnya untuk mandi. (Bughyatul Mustarsyidiin : 94)

 

Juga keterangan Syeikh Nawawi al-Bantaniy berikut ini :

ﻭَﻟَﺎ ﺗﺠﻮﺯ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓ ﻋﻠﻰ ﺍﻟْﻐَﺎﺋِﺐ ﺣَﺘَّﻰ ﻳﻌﻠﻢ ﺃَﻭ ﻳﻈﻦّ ﺃَﻧﻪ ﻗﺪ ﻏﺴﻞ ﺃَﻭ ﻳﻤﻢ ﻧﻌﻢ ﺇِﻥ ﻋﻠﻖ ﺍﻟﻨِّﻴَّﺔ ﻋﻠﻰ ﻃﻬﺮﻩ ﺑِﺄَﻥ ﻧﻮﻯ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓ ﺇِﻥ ﻛَﺎﻥَ ﻗﺪ ﻃﻬﺮ ﺻﺤﺖ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓ ﻋَﻠَﻴْﻪ

Tidak boleh shalat atas jenazah yang ghaib sehingga diyakini atau diduga bahwa jenazah sudah dimandikan atau ditayamum. Namun demikian, seandainya di kaidkan niat dengan sudah suci, yakni seseorang niat shalat seandainya jenazah sungguh sudah suci, maka shalat shalat atasnya.(Nihayah al-Zain : I/185)

 

Point penting dari dua keterangan di atas ini adalah kebolehan shalat atas jenazah yang ghaib didasarkan kepada keyakinan atau dugaan bahwa jenazah sudah dimandikan. Kalau tidak ada keyakinan atau dugaan jenazah sudah dimandikan maka tidak sah shalatnya, baik sudah dipastikan kematiannya maupun belum. Orang yang tidak dapat dipastikan kematiannya tentu juga tidak dapat dipastikan sudah dimandikannya. Berdasarkan ini, maka dapat simpulkan bahwa hukum shalat atas jenazah yang belum jelas kematiannya adalah tidak sah. Namun demikian, apabila shalatnya dengan niat yang dikaidkan dengan jenazahnya sudah suci, maka sah. Contoh niatnya : “Sengaja saya shalat atas jenazah si pulan yang ghaib fardhu kifayah seandainya sudah dimandikan/sudah suci, dengan empat kali takbir”, maka sah shalatnya.

Minggu, 18 Desember 2022

Mandi jenazah yang meninggal dunia karena tenggelam

 

Diantara kewajiban orang muslim yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah memandikan, mengkafani, menshalatinya dan mengebumikannya. Hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah dengan keluarga mendapat prioritas utama. Fardhu kifayah adalah apabila satu orang sudah melaksanakannya maka kewajiban yang lain gugur. Salah satu dalil kewajiban memandikan jenazah adalah hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

بينَا رجلٌ واقفٌ مع النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بعَرَفَةَ ، إذْ وَقَعَ عن راحلتِهِ فَوَقَصَتْهُ ، أو قال فأَقْعَصَتْهُ ، فقالَ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ : اغْسِلوهُ بماءٍ وسِدْرٍ ، وكَفِّنُوهُ في ثَوْبَيْنِ ، أو قالَ : ثَوْبَيْهِ

Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, (H.R. Bukhari)

 

Namun dalam kenyataannya, kadang-kadang ada saudara kita yang menemui ajalnya dalam keadaan tenggelam, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah keadaan jenazah yang sudah tenggelam dalam air dapat dihukum memadai sebagai ganti mandi sebagaimana pertanyaan yang disampaikan oleh Sdr Ferri Husda di atas. Dikarenakan tidak ada nash syara’ yang sharih terkaid masalah ini, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Pendapat yang shahih dalam mazhab Syafi’i tidak memadai, arrtinya atas orang muslim yang masih hidup masih tetap wajib memandikannya jenazah tersebut kembali sebagaimana halnya jenazah pada umumnya, meskipun atas jenazah tersebut sudah mengalir air pada saat berada dalam air. Pendapat ini dapat diperhatikan dalam keterangan ulama Syafi’iyah berikut ini :

1.  Dalam kitab al-Mahalli dijelaskan :

(فَيَكْفِي) عَلَى الْأَصَحِّ (غَرَقُهُ) عَنْ الْغُسْلِ (أَوْ غُسْلُ كَافِرٍ) لَهُ (قُلْت:) كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ فِي الشَّرْحِ (الصَّحِيحُ الْمَنْصُوصُ وُجُوبُ غُسْلِ الْغَرِيقِ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) لِأَنَّا مَأْمُورُونَ بِغُسْلِ الْمَيِّتِ فَلَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنَّا إلَّا بِفِعْلِنَا

Berdasarkan pendapat yang lebih shahih memadai tenggelamnya jenazah dari mandi atau memandikannya oleh sikafir. Aku (Imam al-Nawawi) mengatakan sebagaimana perkataan Imam al-Rafi’i dalam Syarah bahwa pendapat yang shahih yang ada nash, wajib dimandikan orang tenggelam, wallahua’lam. Karena kita diperintahkan memandikan mayat, maka tidak gugur kewajiban dari kita kecuali dengan perbuatan kita.(Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah ‘ala al-Mahalli : I/376)

 

2.  Zakariya al-Anshariy mengatakan,

وَبِمَا ذُكِرَ عُلِمَ أَنَّهُ لَا تَجِبُ نِيَّةُ الْغَاسِلِ لِأَنَّ الْقَصْدَ بِغُسْلِ الْمَيِّتِ النَّظَافَةُ وَهِيَ لَا تَتَوَقَّفُ عَلَى نِيَّةٍ (فَيَكْفِي غُسْلُ كَافِرٍ) بِنَاءً عَلَى عَدَمِ وُجُوبِهَا (لَا غَرَقٍ) لِأَنَّا مَأْمُورُونَ بِغُسْلِهِ فَلَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنَّا إلَّا بِفِعْلِنَا

Dari hal tersebut dimaklumi bahwa niat tidak wajib atas yang memandikan jenazah, karena yang diqashad dalam memandikan jenazah adalah bersih. Sedangkan bersih tidak tergantung kepada niat. Karena itu, berdasarkan tidak wajib niat, memadai memandikan yang dilakukan oleh kafir. Tetapi tidak memadai karena tenggelam, karena kita diperintah memandikannya, maka tidak gugur kewajibannya dari kita kecuali dengan perbuatan kita. (Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj : II/143)




Kamis, 15 Desember 2022

Tayamum dan Jamak shalat untuk pengantin

Hukum tayamum dan Jamak shalat untuk pengantin dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.  Kebolehan tayamum dalam fiqh berdasarkan firman Allah berbunyi :

فَلَمۡ تَجِدُواْ مَآءٗ فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا طَيِّبٗا فَٱمۡسَحُواْ بِوُجُوهِكُمۡ وَأَيۡدِيكُم مِّنۡهُۚ

Lalu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang suci, usaplah wajah dan tanganmu dengan debu itu (Q.S. al-Maidah : 6)

 

Dalam ayat di atas, dijelaskan bahwa kebolehan tayamum dikaitkan dengan sebab tidak ada air. Para ahli fiqh menafsirkan tidak ada air di sini mencakup tidak ada air dalam kenyataan (hissi) dan tidak ada air pada syara’. Yang dimaksud tidak ada air pada syara’ adalah ada air pada hissi, namun tidak boleh digunakan pada syara’. Kedua jenis sebab ini, oleh Imam al-Nawawi menjabarkannya dalam sebab-sebab boleh tayamum berikut ini :

a.    Tidak ada air

b.    Ada air, namun diperlukan untuk minuman manusia atau hewan yang dihormati syara’

c.    Sakit, dimana apabila menggunakan air dikuatirkan hilang anggota tubuh atau lambat sembuh ataupun menimbulkan cacat yang memalukan pada dhahir anggota tubuh

d.    Sangat dingin. (Minhaj al-Talibin : 16-17)

Memperhatikan sebab-sebab kebolehan tayamum atas, terutama sebab tayamum huruf “b” s/d “d” merupakan ‘uzur yang wajib diperhatikan. Sehingga berlaku qaidah fiqh :

الواجب لا يترك الا بالواجب

Sebuah kewajiban tidak boleh ditinggalkan kecuali dengan sebab yang wajib juga.

 

Adapun mempertahankan tetap utuh rias pengantin pada acara pesta pernikahan bukanlah merupakan kewajiban pada syara’. Sehingga tidak boleh dijadikan alasan membolehkan tayamum untuk melaksanakan shalat. Apalagi apabila rias pengantin tersebut sudah masuk dalam katagori tabarruj (memperlihatkan kecantikan atau perhiasan yang dapat menarik perhatian laki-laki yang bukan mahram) yang diharamkan sebagaimana biasanya terjadi pada pesta pernikahan zaman sekarang, maka dapat dipastikan tidak boleh tayamum. Karena tayamum merupakan rukhsah (keringanan) dalam agama, sedangkan rukhsah tidak boleh karena faktor maksiat. Qaidah fiqh mengatakan :

الرخصة لا تناط بالمعصية

Rukhsah tidak dikaitkan dengan maksiat.

 

Perlu menjadi catatan bahwa masih banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menghormati tamu dalam pesta pernikahan apabila waktu shalat sudah tiba sebagaimana akan kami sebutkan pada akhir tulisan ini

2.  Adapun masalah jamak shalat, mari kita simak penjelasan Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab berikut :

(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً

Masalah mazhab ulama tentang jamak shalat pada waktu hazhir (tidak musafir) tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit, yakni mazhab kita (Mazhab Syafi’i), Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur ulama berpendapat tidak boleh. Namun Ibnu al-Munzir menceritakan pendapat dari sekelompok ulama yang mengatakan boleh dengan tanpa sebab apapun. Ibnu Siriin membolehkannya karena kebutuhan atau selama tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab IV/264)

 

Juga penjelasan Imam al-Nawawi  dalam Raudhah al-Thalibin :

وَقَدْ حَكَى الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ مِنْ أَصْحَابِنَا

Al-Khathabiy sungguh telah menceritakan dari al-Qafal al-Kabiir al-Syaasyii dari Abu Ishaq al-Marwaziy boleh jamak pada waktu hazhir (tidak musafir) karena ada kebutuhan tanpa disyaratkan ada ketakutan, hujan dan sakit. Pendapat ini merupakan pendapat Ibnu al-Munzir dari pengikut Syafi’i. (Raudhah al-Thalibin I/401)

 

Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi di atas, bahwa jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam mazhab yang empat berpendapat jamak shalat shalat tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit tidak dibolehkan. Dengan demikian pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan bertentangan dengan mazhab yang empat dan jumhur ulama. Al-Ruyaaniy telah menyebut pendapat ini sebagai pendapat ghalzun (tersalah) (Bahr al-Mazhab II/350). Pendapat ini juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW berbunyi :

من جمع بين صلاتين من غير عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر

Barangsiapa yang melakukan jamak antara dua shalat dengan tanpa ‘uzur, maka dia telah mendatangkan pintu dari pintu-pintu dosa besar. (H.R. al-Turmidzi, al-Baihaqi dan lainnya)

 

Setelah menolak pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan dengan mengemukakan dalil-dalilnya, Ismail al-Zain (W. 1382 H), seorang ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin, menyimpulkan :

إذا علم هذا فما عليه أئمة المذاهب الأربعة هو المعتمد وهو الذي يدين الله به من يريد الاستبراء للدين وما سوى ذلك لا يعول عليه ولا يجوز اعتماده ولا تقليد قائله

Apabila ini sudah dimaklumi, maka apa yang menjadi pegangan mazhab yang empat adalah mu’tamad (menjadi pegangan) dan dengannya orang-orang yang mau menjagakan diri bagi  agamanya menundukkan diri kepada Allah. Tidak bersandar kepada selain itu (selain pendapat mazhab empat) dan tidak boleh berpegang dengannya dan juga tidak boleh taqlid kepada yang mengatakan pendapat tersebut. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)

 

Adapun hadits Nabi SAW berbunyi :

أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر

Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat secara jamak di Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan hujan (H.R. Muslim)

 

Diantara takwil hadits ini yang dikemukakan jumhur ulama, yang dimaksud jamak dalam hadits ini adalah al-jam’u al-shuuri (seperti bentuk jamak), yakni melaksanakan shalat waktu pertama pada akhir waktunya dan melaksanakan shalat waktu kedua pada awal waktunya, sehingga kedua shalat tersebut berhampiran waktu pelaksanaannya, seolah-olah seperti shalat jamak. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa Isma’il al-Zain :82)

Dengan demikian, untuk pertanyaan bolehkah jama' shalat karena sangat sukar meninggalkan pelaminan ketika puncak tamu, terutama shalat dhuhur ? jawabannya tidak boleh. Karena hanya sekedar menerima tamu dalam acara pesta pernikahan tidak termasuk dalam katagori ‘uzur pada syara’ yang membolehkan jamak shalat .

Solusi untuk kasus dalam pertanyaan Sdri Dara al-Khairi di atas

1.  Setelah shalat dilaksanakan, pengantin tampil saja secara sederhana tanpa perlu make up lagi (di Aceh dan Indonesia pada umumnya pesta pernikahan dilakukan siang hari). Kami yakin para tamu bisa memahaminya. Bahkan tamu yang baik pasti bertambah menghormatinya karena melihat pengantin meskipun sedang dalam acara pesta pernikahannya, masih tetap melaksanakan shalat sebagai kewajibannya kepada Allah Ta’ala.

2.  Shalat tidak wajib dilakukan pada awal waktu, boleh dilakukan pada ujung waktu asal masih dalam waktunya. Dengan demikian, pengantin dapat melakukan shalat pada ujung waktu dhuhur, dimana biasanya pada saat itu tamu sudah mulai kosong. Perlu dicatat bahwa waktu shalat dhuhur mulai tergelincir matahari sampai dengan ukuran panjang bayang suatu benda sebanding dengan ukuran panjang benda itu sendiri. Apabila bayangannya sudah melebihi dari ukuran benda, maka sudah masuk waktu asar. Dengan demikian, selama belum masuk waktu asar, maka masih ada waktu dhuhur. Di Banda Aceh apabila pengantin merencanakan shalat dhuhur pada pukul 15.00 Wib, Insya Allah masih mempunyai waktu cukup untuk shalat. Dan biasanya pada pukul 15.00, Wib tamu sudah mulai kosong.

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

Selasa, 13 Desember 2022

Taubat dari dosa ghibah

 

Dalam kitabnya, Badayah al-Hidayah, Imam al-Ghazali mengatakan :

ومعنى الغيبة أن تذكر إنسانا بما يكرهه لو سمعه، فأنت مغتاب ظالم وإن كنت صادقا

Pengertian al-ghiibah adalah bergunjing dengan apa yang dibenci oleh seseorang seandainya dia mendengarnya. Maka kamu adalah orang yang berghibah serta berbuat dhalim, meskipun kamu benar. (Badayah al-Hidayah/53)

 

Devinisi ghibah ini menjelaskan kepada kita ada beberapa point yang penting dicatat dalam memahami makna ghibah, yakni :

1.  Ghibah merupakan tindakan seseorang menceritakan aib orang lain di belakangnya

2.  Yang diceritakan adalah sesuatu yang benar. Kalau yang diceritakannya merupakan yang tidak benar, maka itu dinamakan fitnah

3.  Orang yang dighibah merasa tidak senang apabila dia mendengar sendiri

4.  Perbuatan ghibah termasuk perbuatan dhalim atau menganiaya orang lain.

Ghibah atau menggunjing adalah salah satu perbuatan tercela yang menimbulkan dosa besar. Allah mengibaratkan orang yang berghibah seperti memakan bangkai daging saudara sendiri, dalam Al-Qur’an Allah berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَلَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjing (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Hujurat: 12)

 

Perilaku menyebarkan aib orang lain sangat berpotensi membawa kemudharatan yang lebih besar, seperti pertikaian, perpecahan, dan permusuhan. Ghibah timbul karena adanya iri, dengki, hasud, dan perasaan lebih unggul dari manusia lainnya.

Cara taubat dari dosa ghibah

Sebagaimana dikemukakan di atas, ghibah adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Ghibah mengandung daya rusak sosial luar biasa. Oleh karena itu, dosa ghibah mesti ditebus agar tidak menjadi tanggungan kelak di akhirat yang dapat menguras perbendaharaan pahala kita. Imam Al-Ghazali menyebutkan sejumlah cara atau langkah yang harus ditempuh bagi orang yang terlanjur melakukan dosa ghibah.

اعلم أن الواجب على المغتاب أن يندم ويتوب ويتأسف على ما فعله ليخرج به من حق الله سبحانه ثم يستحل المغتاب ليحله فيخرج من مظلمته وينبغي أن يستحله وهو حزين متأسف نادم على فعله

Ketahuilah, orang yang melakukan ghibah wajib menyesal, bertobat, dan bersedih atas perbuatan ghibahnya agar ia dapat keluar dari hak Allah, kemudian ia meminta maaf kepada orang yang dighibahkan agar korban merelakannya sehingga ia dapat keluar dari dosa kezalimannya. Ia seyogianya meminta maaf kepada orang yang dighibahkan untuk merelakannya dengan keadaan bersedih dan menyesal atas perbuatannya,” (Ihya’ Ulumiddin, III/153).

Nabi SAW bersabda :

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ ‌وَلَا ‌دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلِمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukuran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudian dibebankan kepadanya.(H.R. Bukhari)

 

Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan,

فإذن لا بد من الاستحلال إن قدر عليه فإن كان غائبا أو ميتا فينبغي أن يكثر له الاستغفار والدعاء ويكثر من الحسنات

Kalau begitu, permintaan maaf pelaku (agar korban sudi merelakan ghibah terhadapnya) harus dilakukan jika mampu. Tetapi jika posisi korban entah di mana atau sudah meninggal, maka pelaku seharusnya memperbanyak istighfar, doa, dan kebaikan (yang pahalanya dimaksudkan) untuk korban ghibah. (Ihya’ Ulumiddin, III/154).

Sesuai dengan uraian di atas, maka jawaban untuk pertanyaan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.  Ghibah merupakan dosa besar dan mengandung daya rusak sosial luar biasa

2.  Wajib dengan segera melakukan taubatan nashuha dari dosa ghibah, dengan melakukan :

a.    Minta ampun kepada Allah Ta’ala

b.    Menyesali perbuatannya

c.    Bercita-cita untuk tidak melakukan lagi perbuatan yang sama

d.    Minta maaf kepada orang atau kelompok ataupun bangsa yang dighibahnya

e.    Apabila tidak memungkinkan lagi minta maaf kepada orang yang dighibah, misalnya yang bersangkutan sudah meninggal dunia, atau tidak diketahui alamatnya, maka perbanyaklah istighfar, berdoa dan melakukan kebajikan dengan niat pahalanya kepada orang yang dighibah.

3.  Apabila yang dighibah merupakan kelompok orang yang jumlahnya terlalu banyak, tidak memungkinkan didatangi satu persatu seperti sebuah bangsa atau suku atau tidak diketahui lagi orang-orang yang menjadi korban ghibahnya, maka hendaknya meminta maaf dengan cara-cara yang memungkinkan. Misalnya dengan minta maaf di media cetak atau electronik seraya memperbanyak istighfar, berdoa dan melakukan kebajikan dengan niat pahalanya kepada orang yang dighibah.

 

Wallhua’lam bisshawab

 

 

 

Hukum perempuan mengantar jenazah dan berziarah ke kuburan

 

Hukum perempuan mengantar jenazah dan ziarah kubur dapat dirincikan sebagai berikut :

1.  Perempuan tidak diharamkan keluar mengantar/mengiringi jenazah, akan tetapi makruh. Pendapat jumhur ulama ini didukung oleh hadits diriwayat dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata :

‌نُهِينَا ‌عَنِ ‌اتِّبَاعِ ‌الْجَنَائِزِ، وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا

Dari Ummu ‘Athiyah beliau berkata, Kami (para wanita) dilarang mengiringi jenazah. Namun larangannya tidak terlalu keras bagi kami. (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Imam al-Nawawi mengatakan :

وَأَمَّا ‌النِّسَاءُ ‌فَيُكْرَهُ ‌لَهُنَّ ‌اتِّبَاعُهَا وَلَا يَحْرُمُ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ أَصْحَابُنَا

Adapun perempuan, maka dimakruhkan bagi mereka untuk ikut mengantar jenazah (ke kuburan), dan tidak haram. Pendapat ini yang benar, sebagaimana telah ditegaskan oleh ulama Syafiiyah.(Majmu’ Syarah al-Muhazzab V/277)

Kemudian pada halaman yang sama, Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa pendapat ini merupakan mazhab Syafi’i dan mazhab jumhur ulama. Ibnu Mundzir menceritakan ini juga pendapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Abu Umaamah, Aisyah, Masruuq, al-Hasan, al-Nakh’i, al-Auza’i, Ahmad, Ishaq dan al-Tsuri.

Syeikh Zakariya al-Anshari mengatakan :

وَقَدْ مَرَّ (مَكْرُوهٌ لِلنِّسَاءِ) إنْ لَمْ يَتَضَمَّنْ حَرَامًا كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ ‌نُهِينَا ‌عَنْ ‌اتِّبَاعِ ‌الْجَنَائِزِ وَلَمْ يَعْزِمْ عَلَيْنَا أَيْ نَهْيًا غَيْرَ مُحَتَّمٍ فَهُوَ نَهْيُ تَنْزِيهٍ، وَأَمَّا مَا رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَغَيْرُهُ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى التَّحْرِيمِ فَضَعِيفٌ وَلَوْ صَحَّ حُمِلَ عَلَى مَا يَتَضَمَّنُ حَرَامًا

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa makruh bagi perempuan apabila tidak mengandung unsur haram sebagaimana diterangkan dalam Kitab al-Raudhah, karena hadits Shahihaini dari Ummu ‘Athiyah beliau berkata, “Kami (para wanita) dilarang mengiringi jenazah. Namun larangannya tidak terlalu keras bagi kami”. Maksudnya larangan bukan larangan haram. karena itu, larangan tersebut hanyalah larangan makruh tanzih. Adapun yang diriwayat oleh Ibnu Majah dan lainnya yang menunjukkan kepada haram, haditsnya dhaif. Seandainya shahih, maka dipertempatkan pada kasus yang mengandung unsur haram.(Asnaa al-Mathalib I/312)

 

2.  Demikian juga makruh ziarah kubur bagi perempuan sebagaimana halnya mengiringi jenazah kecuali ziarah kubur Nabi Muhammad SAW. Sebagian ulama mengecualikan juga ziarah nabi-nabi lain, para ulama dan auliya Allah. Dalam Fathul Mu’in, Zainuddin al-Malibarri menegaskan :

)و) يندب (زيارة قبور لرجل) لا لانثى، فتكره لها. نعم، يسن لها زيارة قبر النبي قال بعضهم: وكذا سائر الانبياء والعلماء، والاولياء

Dianjurkan ziarah kubur bagi laki-laki, tidak bagi perempuan. Maka makruh baginya ziarah kubur. Namun demikian, dianjurkan bagi perempuan ziarah kubur Nabi. Sebagian ulama mengatakan, demikian juga nabi-nabi lain, para ulama dan aulia. (Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in : II/142)

Alasan kemakruhan ziarah kubur bagi perempuan sebagaimana dijelaskan pengarang I’anah al-Thalibin karena perempuan berpotensi menangis dan meratap dengan suara keras karena lembut hati mereka dan sering bersedih serta sedikit sanggup menanggung musibah. Adapun dalil tidak diharamkan, karena Nabi SAW pernah melihat seorang perempuan menangis di kuburan anak bayinya dan beliau hanya bersabda :

اتقي الله واصبري

Bertaqwalah kepada Allah dan bersabar (Muttafaqun ‘alaih)

 

Seandainya ziarah kubur diharamkan, maka pasti Nabi SAW melarangnya. (Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in : II/142)

3.  Hukum makruh pada point 1 dan 2 di atas dapat saja berubah menjadi haram apabila dalam ziarah tersebut mengandung unsur-unsur haram sebagaimana ditegaskan oleh Syeikh Zakariya al-Anshari di atas. Seperti kalau wanita tidak dapat menjaga diri dari fitnah dengan menutup aurat secara sempurna atau tidak dapat membatasi bercampur (ikhtilazh) dengan lawan jenis serta tidak dapat menahan kesedihan dari ratapan yang keterlaluan. Menurut pengarang kitab I’anah al-Thalibin dalam kondisi dan situasi inilah dipertempatkan maksud hadits shahih berbunyi :

لعن الله زوارات القبور

Allah melaknat perempuan-perempuan peziarah kubur (H.R. Turmidzi)

(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in : II/142)

Wallahua’lam bisshawab