Selasa, 25 Juli 2023

Antara tawakal dan iktisaab (berusaha) menurut Syeikh Zakariya al-Anshari (Ghayatul Wushul, Hal. 166-167)

 

Syeikh Zakariya al-Anshari pada penutup dari kitab beliau, Ghayatul Wushul mengatakan,

)و) الأصح (أن التفضيل بين التوكل والاكتساب يختلف باختلاف الناس)

Yang lebih shahih, sesungguhnya yang lebih utama antara tawakal dan berusaha adalah terjadi perbedaan sesuai dengan perbedaan manusia.

 

Al-Banaaniy menerangkan, yang dimaksudnya dengan tawakal di sini adalah tark al-ihtisaab (meninggalkan usaha) sebagaimana penjelasan pensyarah, bukan bermakna al-i’timaad ‘alallahi ta’ala (berpegang dan bersandar kepada Allah Ta’ala). Karena hal itu tidak dalam posisi khilafiyah para ulama. Karena itu, berusaha tidaklah menafikan tawakal dengan makna yang kedua. Bahkan tawakal dengan makna kedua ini merupakan perbuatan yang dituntut syara’ tanpa khilaf. (Hasyiah al-Banaaniy ‘ala Syarh al-Jam’u al-Jawami’ : II/436).

Berdasarkan makna tawakal yang pertama yang dikemukakan oleh al-Banaaniy di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan mana lebih utama antara tawakal dan berusaha. Menurut pendapat yang shahih yang dikemukakan Zakariya al-Anshari di atas, jawabannya adalah tidak bersifat mutlaq, akan tetapi tergantung keadaan dan posisi seseorang. Karena keadaan dan posisinya, kadang-kadang tawakal lebih utama bagi seseorang dan karena keadaan dan posisinya juga, kadang-kadang berusaha lebih utama baginya. Karena itu, Zakariya al-Anshari selanjutnya menegaskan,

 فمن يكون في توكله لا يتسخط عند ضيق الرزق عليه، ولا يتطلع لسؤال أحد من الخلق، فالتوكل في حقه أفضل لما فيه من الصبر والمجاهدة للنفس، ومن يكون في توكله بخلاف ما ذكر، فالاكتساب في حقه أفضل حذرا من التسخط والتطلع،

Karena itu, barangsiapa dalam tawakalnya, keadaannya tidak mengeluh pada saat sempit rezekinya dan tidak muncul keinginan meminta-minta kepada seorang makhluq, maka ketika itu, tawakal pada dirinya lebih utama, karena di sini ada kesabaran dan mujahadah bagi jiwa. Adapun bagi orang-orang pada tawakalnya, keadaannya sebalik dari tersebut, maka berusaha pada dirinya lebih utama, karena menghindari dari mengeluh dan muncul keinginan meminta-minta.

 

Kemudian beliau melanjutkan,

 وإذا اختلف التفضيل بينهما باختلاف الناس، (فإرادة التجريد) عما يشغل عن الله تعالى. (مع داعية الأسباب) من الله في مريد ذلك (شهوة خفية) من المريد، (وسلوك الأسباب) الشاغلة عن الله (مع داعية التجريد) من الله في سالك ذلك. (انحطاط) له (عن الرتبة العلية) إلى الرتبة الدنية،

Apabila terjadi perbedaan keutamaan antara tawakal dan berusaha sesuai dengan perbedaan manusia, maka keinginan tajrid dari kesibukan-kesibukan yang menjauhkannya dari Allah Ta’ala, sementara ia berada pada maqam asbab (maqam sebab akibat) yang datang dari Allah yang berkehendak demikian, ini merupakan syahwat yang tersembunyi darinya. Demikian juga, menjalani maqam asbab yang dapat menyibukkan dirinya menjauh dari Allah, sementara ia berada pada maqam tajrid yang datang dari Allah, ini merupakan penurunan dari martabat yang tinggi kepada martabat rendah.

 

Al-Asbab adalah :

ما يتوصل به الى ما ينال في الدنيا

Sesuatu yang sampai dengannya kepada maksud yang dicapai di dalam dunia

 

Sedangkan al-Tajrid adalah :

عدم تشاغله بتلك الاسباب

Melepaskan diri dari asbab.

(al-Hikam Pada Menyatakan Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasauf, karangan Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly : I/ 21)

Maka yang lebih tepat adalah sesuai dengan penjelasan Zakariya al-Anshari berikut ini :

فالأصلح لمن قدر الله فيه داعية الأسباب سلوكها دون التجريد ولمن قدر الله فيه داعية التجريد سلوكه دون الأسباب.

Maka yang lebih tepat bagi seseorang yang ditaqdirkan Allah atasnya berada pada maqam al-asbab adalah menjalani asbab tersebut, bukan tajrid dan yang lebih tepat bagi seseorang yang ditaqdirkan Allah atasnya berada pada maqam al-tajrid adalah menjalani tajrid itu, bukan asbab

Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly mengatakan, manusia dalam penghidupan terbagi kepada dua macam :

1.  Manusia yang ditentukan Allah dalam status al-asbab.

Manusia dalam status ini, untuk menghasilkan penghidupan dalam dunia adalah dengan jalan bekerja. Apabila tidak bekerja maka tidak boleh (tidak dapat) hidup. Sebagaimana dimaklumi, pekerjaan manusia dalam mengatasi hidup banyak sekali corak sifatnya, adakalanya sebagai pedagang, pegawai, supir, guru, petani dan lain-lain sebagainya. Apabila hidup kita selamat tenteram atau dapat diatasi dengan pekerjaan kita yang kita kerjakan itu, maka menurut akhlaq ilmu tasauf tidak diperbolehkan kita meninggalkan pekerjaan tersebut untuk kita pindah pada status yang lain, yakni meninggalkan pekerjaan yang sudah berkah itu karena tujuannya semata-mata melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

2.  Manusia yang ditentukan Allah dalam status al-tajrid

Manusia dalam tingkatan status ini sudah tinggi nilainya pada sisi Allah. Penghidupannya telah dimudahkan Allah sehingga ia tidak sulit lagi dalam mengatasi hidup dan kehidupannya, dia tidak perlu bekerja dan berusaha untuk menghasilkan rezeki, tetapi rezekilah yang datang kepadanya.

Kemudian beliau mengatakan, hamba-hamba Allah yang telah diangkat martabatnya oleh Allah ke maqam tajrid seperti dalam dua bagian di atas, maka akhlaq tasauf menganjurkan kepadanya supaya jangan turun ke maqam asbab. Apabila ia turun ke maqam asbab berarti ia menurunkan nilai dirinya dari himmah (tekat) yang bermutu tinggi.

(al-Hikam Pada Menyatakan Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasauf, karangan Abuya Prof. Dr. Tgk H. Muhibbuddin Waly : I/ 22-24)

Namun patut menjadi catatan, kadang-kadang manusia tertipu dengan godaan syaithan yang membisik agar manusia membuang aspek qudrah dan iradah Allah Ta’ala dalam bentuk asbab  dan bermalasan dalam bentuk tawakal. Karena itu, Zakariya al-Anshari mengatakan,

 (وقد يأتي الشيطان) للإنسان (باطراح جانب الله تعالى في صورة الأسباب أو بالكسل في صورة التوكل) ، كيدا منه، كأن يقول لسالك التجريد الذي سلوكه له أصلح من تركه له إلى متى تترك الأسباب، ألم تعلم أن تركها يطمع القلوب لما في أيدي الناس، فاسلكها لتسلم من ذلك، وينتظر غيرك منك ما كنت تنتظره من غيرك ويقول لسالك الأسباب الذي سلوكه لها أصلح من تركه لها لو تركتها وسلكت التجريد، فتوكلت على الله لصفا قلبك، وأتاك ما يكفيك من عند الله فاتركها ليحصل لك ذلك. فيؤدّي تركها الذي هوغير أصلح له إلى الطلب من الخلق والاهتمام بالرزق

Kadang-kadang syaithan datang menghampiri manusia dengan jalan membuang aspek Allah Ta’ala dalam bentuk asbab dan bermalasan dalam bentuk tawakal karena tipuan darinya. Misalnya, syaithan berkata kepada orang yang menjalani tajrid (saalik al-tajriid) dimana menjalaninya lebih tepat dari pada meninggalkannya, “Sampai kapan kamu tinggalkan asbab ?. Apakah kamu tidak mengetahuinya, meninggalkan asbab akan membuat tamak hati kepada nikmat yang ada ditangan manusia. Maka jalanilah asbab tersebut supaya kamu selamat dari hal itu dan ingatlah, selainmu akan melihat darimu apa yang kamu lihat dari selainmu”. Dan syaithan berkata kepada orang yang menjalani asbab (saalik al-asbab) dimana menjalani asbab  lebih tepat baginya dari pada meninggalkannya, “Seandainya kamu meninggalkan asbab dan menjalani tajrid dan  bertawakal kepada Allah, maka sungguh akan bersih hatimu dan akan tiba kecukupanmu dari sisi Allah. Karena itu, tinggalkanlah asbab itu agar yang demikian berhasil untukmu. Maka yang terjadi kemudian adalah meninggalkan asbab yang tidak tepat baginya mengakibatkan meminta-minta kepada makhluq dan mementingkan rezeki.

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Kamis, 20 Juli 2023

Asal dari segala sesuatu adalah mubah

 

Ungkapan di atas merupakan terjemahan dari qaidah fiqh berbunyi :

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ

 Asal dari segala sesuatu adalah mubah kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. 

 

Qaidah di atas merupakan qaidah fiqh menurut mazhab Syafi’i. Adapun menurut mazhab Abu Hanifah berbunyi sebaliknya :

الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ التَّحْرِيمُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيلُ عَلَى الْإِبَاحَةِ

Asal dari segala sesuatu adalah haram kecuali ada dalil yang menunjukkan kepada mubah. (Al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 69)

 

Dalil qaidah pertama menurut mazhab Syafi’i, antara lain :

1.  Sabda Nabi SAW berbunyi :

ومَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا

Apa yang telah dihalalkan oleh Allah, maka hukumnya adalah halal dan apa yang diharamkan-Nya, maka hukumnya adalah haram. Adapun yang didiamkan oleh Allah, maka itu adalah pemaafan. Maka terimalah pemaafan dari Allah. Sungguhnya Allah tidak pelupa.

 

Hadits ini ditakrij oleh al-Bazar dan al-Thabraaniy dari hadits Abu al-Darda’ dengan sanad hasan. (Al-Asybah wa al-Nadhair karangan al-Suyuthi : 69)

2.  Sabda Nabi SAW berbunyi :

إنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا

Sesungguhnya Allah telah menetapkan berbagai kewajiban, maka janganlah kalian menyia-nyiakan kewajiban itu. Dia telah melarang beberapa hal maka janganlah kalian melanggarnya. . Dia telah menetapkan batasan-batasan hukum maka janganlah kalian melampauinya. Dan Allah juga mendiamkan beberapa perkara, bukan karena lupa, maka janganlah kalian membahasnya.(H.R. al-Thabraniy)

Sesuai dengan khilafiyah antara Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah di atas, maka yang dimaksud dengan halal menurut Imam Syafi’i adalah :

مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ

Sesuatu yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya

 

Sedangkan halal menurut Imam Abu Hanifah adalah :

مَا دَلَّ الدَّلِيلُ عَلَى حِلِّهِ

Sesuatu yang ada dalil yang menunjukkan kehalalannya.

 

Berdasarkan ini, maka yang maskuut ‘anhu (yang tidak ada dalil syara’), hukumnya halal menurut mazhab Syafi’i dan haram menurut mazhab Abu Hanifah. (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah II/70)

Karena itu, hewan yang sulit pemecahan status hukumnya. Dalam mazhab Syafi’i terdapat dua pendapat. Pendapat yang kuat, halal sebagaimana pendapat Imam al-Rafi’i. Demikian juga tumbuh-tumbuhan yang tidak dikenal namanya. Menurut al-Mutawalliy haram memakannya, akan tetapi Imam al-Nawawi berpendapat halal. Pendapat halal lebih mendekati dan sesuai dengan yang dihikayah dari Imam Syafi’i dan pendapat haram lebih mendekati dan sesuai dengan yang dihikayah dari Imam Abu Hanifah. (al-Mantsur fi al-Qawaid al-Fiqhiyah II/71)

 

 

Selasa, 18 Juli 2023

Hukum berpergian (musafir) pada hari Jumat

 

Sebagaimana telah ditetapkan oleh Islam bahwa hari Jum’at adalah hari yang paling istimewa dibandingkn hari-hari yang lain. Hari itu adalah hari berkumpulnya umat Muhammad SAW di masjid-masjid mereka untuk menjalankan shalat jum’at.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat dihari Jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.(Q.S. al-Jumu’ah : 9)

 

Pada ayat ini Allah telah mengingatkan kita untuk menghormati hari Jum’at dengan meninggalkan jual beli ketika telah mendengar seruan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Barulah setelah selesai menjalankan shalat Jum’at kita kembali beraktivitas seperti biasanya.

Lalu bagaimanakah hukum bepergian di hari Jum’at?  Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’in mengatakan:

(وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ وَإِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَا يُدْرِكُهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصِدِهِ وَلَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا أَوْ وَاجِبًا (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ إِلَّا خَشِيَ مِنْ عَدَمِ سَفَرِهِ ضَرَرًا كَانْقِطَاعِهِ عَنِ الرُّفْقَةِ فَلَا يَحْرُمُ إِنْ كَانَ غَيْرَ سَفَرِ مَعْصِيَّةٍ وَلَوْ بَعْدَ الزَّوَالِ

Haram bagi orang yang berkewajiban Jumat melakukan musafir setelah terbitnya fajar pada hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan shalat Jum’at, meskipun ia bukan tergolong yang mengesahkan Jumat, misalnya ia menduga tidak dapat melaksanakan Jum’at di perjalanan atau tempat tujuan, baik bepergian yang wajib atau sunah, kecuali ia khawatir tertimpa mudharat bila tidak bepergian seperti tertinggal dari rekan rombongan, maka tidak haram dalam kondisi tersebut, bahkan meskipun dilakukan setelah masuk waktu zhuhur selama bukan bepergian maksiat.(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in : II/96)

 

Mengomentari penjelasan al-Malibari di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

)قَوْلُهُ تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ) أَيْ بِحَسَبِ ظَنِّهِ وَخَرَجَ بِهِ مَا إِذَا لَمْ تَفُتْ بِهِ بِأَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ إِدْرَاكُهَا فِيْ مَقْصِدِهِ أَوْ طَرِيْقِهِ فَلَا يَحْرُمُ لِحُصُوْلِ الْمَقْصُوْدِ وَهُوَ إِدْرَاكُهَا

Perkataan pengarang, yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, maksudnya sesuai dengan dugaan musafir. Karenanya, tidak termasuk di dalamnya apabila Jumat tidak tertinggal disebabkan melakukan musafir, dengan sekira musafir memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya, maka tidak haram bepergian dalam kondisi tersebut karena tujuan syariat yang berupa menemui Jumatan telah tercapai”. (I’anah al-Thalibin : II/96)


Terkait melakukan musafir sebelum tergelincir matahari pada hari Jumat, dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj disebutkan :  

)وَقَبْلَ الزَّوْلِ كَبَعْدِهِ) فِي التَّفْصِيلِ الْمَذْكُورِ (فِي الْجَدِيدِ إنْ كَانَ سَفَرًا مُبَاحًا) لِأَنَّ الْجُمُعَةَ مُضَافَةٌ إلَى الْيَوْمِ وَلِهَذَا يَجِبُ السَّعْيُ عَلَى بَعِيدِ الدَّارِ مِنْ حِينِ الْفَجْرِ كَذَا قَالُوهُ

Sebelum tergelincir matahari sama dengan sesudahnya dalam perkara yang sudah disebutkan menurut pendapat jadid Imam Syafi’i, jika musafir itu mubah. Karena kewajiban shalat Jum’at di sandarkan kepada hari. Berdasarkan ini, wajib berangkat mulai terbit fajar menuju masjid Jum’at atas orang yang jauh rumahnya sebagaimana para ulama mengatakannya.(Tuhfah al-Muhtaj : II/417)

 

Namun demikian, kebolehan melakukan musafir apabila memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya ada rincian lebih lanjut sebagaimana dikemukakan dalam kitab TUhfah al-Muhtaj berikut ini :

وَقَيَّدَهُ صَاحِبُ التَّعْجِيزِ بَحْثًا بِمَا إذَا لَمْ تَبْطُلْ بِسَفَرِهِ جُمُعَةُ بَلَدِهِ بِأَنْ كَانَ تَمَامَ الْأَرْبَعِينَ وَكَأَنَّهُ أَخَذَهُ مِمَّا مَرَّ آنِفًا مِنْ حُرْمَةِ تَعْطِيلِ بَلَدِهِمْ عَنْهَا لَكِنَّ الْفَرْقَ وَاضِحٌ فَإِنَّ هَؤُلَاءِ مُعَطَّلُونَ بِغَيْرِ حَاجَةٍ بِخِلَافِ الْمُسَافِرِ، فَإِنْ فُرِضَ أَنَّ سَفَرَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ اتَّجَهَ مَا قَالَهُ، وَإِنْ تَمَكَّنَ مِنْهَا فِي طَرِيقِهِ ُ

Pengarang kitab al-Ta’jiz mengkaidkannya dengan satu pembahasan, yaitu apabila tidak batal jumat baladnya dengan sebab musafirnya, karena dia bagian dari kesempurnaan empat puluh bilangan Jum’at. Dan seolah-olahnya, beliau ini memahaminya dari penjelasan sebelumnya barusan, bahwa haram mengosongkan balad mereka dari Jumat. Akan tetapi perbedaannya terang. Karena mereka mengosongkan Jumat dengan tanpa hajat (kebutuhan), ini berbeda dengan musafir. Karena itu, jika seandainya musafirnya itu bukan karena hajat, maka dapat diterima apa yang dikatakan oleh pengarang al-Ta’jiz tersebut, meskipun memungkinkan melakukan Jumat di perjalanannya..(Tuhfah al-Muhtaj : II/416)

 

Kesimpulan

1.  Haram bagi orang yang berkewajiban melaksanakan shalat Jumat melakukan musafir setelah terbitnya fajar pada hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan shalat Jum’at, baik musafir yang wajib atau sunah, meskipun ia bukan tergolong yang mengesahkan Jumat (bukan ahli Jumat yang empat puluh) kecuali ia khawatir tertimpa mudharat bila tidak melakukan musafir,

2.  Adapun apabila ia menduga dapat melaksanakan Jum’at di perjalanan atau tempat tujuan, maka tidak haram (boleh).

3.  Kebolehan melakukan musafir apabila memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya, ini dibatasi apabila musafir tersebut tidak termasuk dalam bagian kesempurnaan empat puluh bilangan Jumat. Adapun apabila termasuk dalam empat puluh bilangan Jumat, maka haram melakukan musafir apabila musafirnya tidak ada hajat, meskipun memungkinkan melakukan Jumat di perjalanannya. Hal ini karena dapat mengakibatkan tidak cukup bilangan balad jumatnya sendiri.

Wallahua’lam bisshawab

 

 

 

 

 

 

 

 

Rabu, 12 Juli 2023

Pengertian makruh di sisi ulama fiqh

 

Makruh lazim di maknai dengan :

ما يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله.

Sesuatu yang diberikan pahala karena meninggalkannya dan tidak ada siksaan karena melakukannya.

 

Devinisi makruh seperti ini antara lain di temui dalam kitab ushul, al-Warqaat karangan Imam al-Haramain. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4). Makruh dengan makna ini mencakup larangan dengan nahi yang khusus dan larangan dengan nahi yang bukan khusus. Yang dimaksud dengan nahi khusus adalah larangan yang dipahami secara langsung dari keterangan syara’. Sedangkan nahi yang bukan khusus adalah larangan yang dipahami dari perintah syara’ atas suatu perbuatan. Konsekwensinya, syara’ melarang meninggalkannya sesuai dengan qaidah :

الأمر بشيء يفيد ‌النهي ‌عن تركه

Perintah kepada sesuatu, memberi petunjuk kepada larangan meninggalkannya.

 

Syeikh Ahmad al-Dimyaathiy menjelaskan bahwa devinisi makruh yang mencakup kedua jenis larangan di atas merupakan devinisi berasal dari istilah para ulama ushul. Akan tetapi sebagian mutaakhiriin fuqaha, diantaranya Imam Haramain membedakan antara keduanya. Larangan dengan nahi yang khusus dinamakan dengan makruh, sedangkan larangan dengan nahi yang bukan khusus dinamakan dengan khilaful aula. (Hasyiah al-Dimyaathiy ‘ala Syarh al-Warqaat : 4). Penjelasan yang sama juga dikemukakan dalam kitab Lathaif al-Isyaraat. (Lathaif al-Isyaraat lil Syeikh Abd al-Hamiid : 10)

Sesuai dengan pendapat Imam Haramain di atas, Zakariya al-Anshari dalam kitab ushulnya mengatakan,

فإن اقتضى فعلاً غير كف اقتضاء جازما فإيجاب أوغير جازم فندب أو كفا جازما فتحريم أوغير جازم بنهي مقصود فكراهة أو بغير مقصود فخلاف الأولى

Dengan demikian, jika titah tersebut menuntut perbuatan yang bukan meninggalkan sebagai tuntutan yang mesti dilakukan, maka adalah ijab atau yang tidak mesti dilakukan, maka adalah nadab atau menuntut meninggalkannya dengan tuntutan yang mesti ditinggalkan maka adalah tahrim atau yang tidak mesti ditinggalkan dengan larangan yang diqashadkan maka adalah karahah atau dengan larangan yang bukan diqashadkan maka adalah khilaful aula.(Ghayah al-Wushul : 10)

 

Zakariya al-Anshari menyebut contoh makruh, antara lain makruh duduk dalam masjid sebelum  melakukan shalat dua rakaat berdasarkan larangan langsung pada hadits Shahihaini berikut :

 اذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتى يصلى ركعتين

Apabila salah seorang kamu memasuki masjid, maka jangan duduk sehingga melakukan shalat dua raka’at. (Muttafaquun ‘alaihi)

 

Adapun contoh khilaful aula adalah  berbuka puasa musafir yang tidak mudharat dengan sebab puasa dan meninggalkan shalat dhuha.(Ghayah al-Wushul : 10). Banyak keterangan syara’ yang menerangkan bahwa berpuasa lebih utama bagi musafir. Demikian juga keutamaan shalat dhuha. Dengan demikian, meninggalkan puasa bagi musafir dan meninggalkan shalat dhuha, hukumnya adalah khilaful aula.


Patut menjadi catatan, dalam pembedaan antara makruh dan khilaful aula, sebagian ulama menyebutnya dengan larangan khusus dan sebagian ulama lainnya menyebutnya dengan larangan yang diqashadkan. Kedua perkataan ini, maksudnya sama. Karena larangan yang diqashadkan mempunyai arti larangan tersebut dipahami langsung dari larangan khusus, bukan dipahami dari perintah syara’ atas sesuatu.


Apabila kita telusuri literatur fiqh, kita akan menemui makna makruh tidak terbatas dengan makna tersebut di atas. Imam al-Ghazali dalam kitabnya. Al-Mustashfaa menjelaskan kepada kita bahwa makruh menurut ‘uruf fiqaha mempunyai beberapa makna, yaitu :

1.  Mahdhur (haram). Ketika Imam Syafi’i mengatakan, : “Wa akrahu kaza….”, kebanyakan dari lafazh tersebut, maksud beliau adalah haram.

2.  Larangan yang bersifat tanziih, yaitu ungkapan yang menunjukkan bahwa meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya, meskipun melakukannya tidak mendatangkan siksaan.

3.  Meninggalkan sesuatu yang lebih utama, meskipun tidak ada larangannya. Misalnya meninggalkan shalat Dhuha, bukan karena ada larangannya, akan tetapi karena banyak fadhilah dan pahalanya.

4.  Sesuatu yang mengandung keraguan dan syubhat dalam pengharamannya. Misalnya daging binatang buas dan sedikit anggur. Menurut al-Ghazali, makruh dengan makna ini perlu di analisis kembali. Karena apabila seorang ulama berijtihad dan hasil ijtihadnya adalah haram, maka sesuai dengan ijtihadnya, hukumnya adalah haram. Sebaliknya, apabila hasil ijtihadnya halal, maka hukumnya adalah halal. Karena itu, tidak ada makna untuk dinamakan dengan makruh di sini. (Al-Mustashfaa : 53-54)

Beberapa catatan terkait makna-makna makruh yang dikemukakan al-Ghazali di atas, antara lain :

1.  Imam al-Razi juga mengatakan :

وكثيرا ما يقول الشافعي رحمه الله أكره كذا وهو يريد به التحريم

Kebanyakan yang dikatakan Imam Syafi’i rhm, akrahu kaza….”, maksud beliau adalah haram. (al-Mahshul : I/104)

 

Terkait makruh bermakna haram ini sebagaimana pada makna pertama, Ibnu Suraaqah sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi mengatakan,

وَسَمَّاهُ الشَّافِعِيُّ فِي كَثِيرٍ مِنْ كُتُبِهِ مَكْرُوهًا أَيْضًا تَوَسُّعًا، وَالْأَظْهَرُ أَنَّ لَفْظَ الْمَكْرُوهِ لَا يَقْتَضِي التَّحْرِيمَ

Imam Syafi’i menamakan yang haram dengan makruh juga dalam kebanyakan kitabnya karena tawassu’ (toleransi dalam istilah). Adapun menurut yang lebih dhahir, bahwa lafazh makruh tidak dimaksudkan kepada haram. (Bahrul Muhith lil Zarkasyi : I/337)

 

Contoh makruh bermakna haram dalam perkataan Imam Syafi’i adalah :

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ ‌بَعْدَ ‌مَوْتِهِ

Dan aku memakruhkan (haram) meratap atas mayat setelah kematiannya. (Al-Umm : I/318)

 

Contoh lain makruh bermakna haram dalam perkataan Imam Syafi’i :

‌وَأَكْرَهُ ‌لِلْمُسْلِمِ ‌أَنْ ‌يَعْمَلَ ‌بِنَاءً ‌أَوْ ‌نِجَارَةً أَوْ غَيْرَهُ فِي كَنَائِسِهِمْ الَّتِي لِصَلَوَاتِهِم

Aku memandang makruh (haram) bagi seorang muslim yang membuat bangunan atau menjadi tukang kayu atau yang lainnya di gereja-gerja mereka yang digunakan untuk shalat mereka. (Al-Umm : 4/226)

 

Namun demikian, dalam kitab-kitab fiqh Syafi’iyah, makruh sering dimaknai dengan makruh tanziih. Ini berbeda dengan kitab-kitab fiqh dari kalangan Hanafiyah, dimana makruh apabila disebut secara mutlaq, maka dimaknai dengan haram. Ibnu ‘Abidin salah seorang ulama mutaakhiriin dari kalangan Hanafiyah mengatakan dalam kitabnya :

الْكَرَاهَةُ حَيْثُ أُطْلِقَتْ فَالْمُرَادُ مِنْهَا التَّحْرِيمُ قَالَ فِي الْبَحْر وَاعْلَمْ أَنَّ الْمَكْرُوهَ إذَا أُطْلِقَ فِي كَلَامِهِمْ فَالْمُرَادُ مِنْهُ التَّحْرِيمُ إلَّا أَنْ يَنُصَّ عَلَى كَرَاهَةِ التَّنْزِيهِ، فَقَدْ قَالَ الْمُصَنِّفُ فِي الْمُصَفَّى: لَفْظُ الْكَرَاهَةِ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ يُرَادُ بِهَا التَّحْرِيمُ. قَالَ أَبُو يُوسُفَ: قُلْت لِأَبِي حَنِيفَةَ: إذَا قُلْت فِي شَيْءٍ أَكْرَهُهُ فَمَا رَأْيُك فِيهِ؟ قَالَ: التَّحْرِيمُ. اهـ

Makruh pada ketika disebut secara mutlaq, maka maksudnya adalah haram. pengarang al-Bahr mengatakan, ketahuilah bahwa makruh apabila disebut secara mutlaq dalam kalam mereka, maka maksudnya adalah haram kecuali ada disertai penyebutan makruh tanzih. Pengarang al-Musshaffaa mengatakan, lafazh makruh pada ketika mutlaq, maksudnya adalah haram. Abu Yusuf bertanya kepada Abu Hanifah, apabila engkau mengatakan pada sesuatu,”Aku memakruhkannya”. Apa maksud engkau tentangnya?. Abu Hanifah menjawab, “Maksudku adalah haram”. (Hasyiah Ibnu ‘Abidin : I/224)

 

2.  Menurut keterangan al-Zarkasyi makna makruh yang disebut oleh Imam al-Ghazali pada makna yang ke-3, yaitu makruh bermakna meninggalkan yang lebih utama, ini oleh sebagian  fuqaha tidak memasukkannya dalam katagori makruh, akan tetapi menyebutnya sebagai khilaful aula. Untuk membedakannya dengan larangan yang bersifat tanziih (makruh tanziih), al-Zarkasyi mengatakan sebagai berikut :

وَفَرَّقَ مُعْظَمُ الْفُقَهَاءِ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الَّذِي قَبْلَهُ أَنَّ مَا وَرَدَ فِيهِ نَهْيٌ مَقْصُودٌ يُقَالُ فِيهِ: مَكْرُوهٌ، وَمَا لَا يُقَالُ فِيهِ: خِلَافُ الْأَوْلَى، وَلَا يُقَالُ: مَكْرُوهٌ.

Para pembesar fuqaha membedakan antaranya dan yang sebelumnya bahwa yang datang padanya larangan yang memang diqashadkan disebut sebagai makruh. Sedangkan larangan yang bukan diqadhad disebut khilaful aula, bukan makruh. (Bahrul Muhith lil Zarkasyi : I/394)

 

Penjelasan ini juga telah dikemukakan oleh Syeikh Ahmad al-Dimyaathiy sebagamana pada awal tulisan ini di atas.

3.  Al-Razi dalam kitab al-Mahshul hanya menyebut tiga makna makruh, yaitu yang disebut Imam al-Ghazali di atas kecuali makna ke-4. Al-Razi tidak memasukkan sesuatu yang mengandung keraguan dan syubhat dalam pengharamannya (makna ke-4) dalam katagori makna makruh. (Lihat al-Mahshul lil Razi : I/104). Kemungkinan besar karena al-Razi setuju dengan kritik Imam al-Ghazali sebagaimana terlihat pada kritik beliau di atas.

4.  Dikalangan fuqaha Hanafiah dikenal juga istilah makruh tahrim. Mereka membedakan makruh tahrim dengan haram sebagaimana dikutip oleh al-Zarkasyi berikut ini :

وَفَرَّقَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ صَاحِبُ أَبِي حَنِيفَةَ بَيْنَ الْحَرَامِ وَالْمَكْرُوهِ كَرَاهَةِ تَحْرِيمٍ، فَقَالَ: الْمَكْرُوهُ كَرَاهَةَ تَحْرِيمٍ: مَا ثَبَتَ تَحْرِيمُهُ بِغَيْرِ قَطْعِيٍّ، وَالْحَرَامُ مَا ثَبَتَ بِقَطْعِيٍّ كَالْوَاجِبِ مَعَ الْفَرْضِ

Muhammad bin Hasan pengikut Abu Hanifah membedakan antara haram dan makruh tahrim. Beliau mengatakan, makruh tahrim adalah yang ditetapkan keharamannya dengan dalil yang tidak qath’i. Adapun haram penetapan keharamannya dengan dalil qath’i. perbedaan ini sama dengan perbedaan antara wajib dan fardhu. (Bahrul Muhith lil Zarkasyi : I/394)

 

Dalam perkembangan perjalanan fiqh, penggunaan istilah makruh tahrim ini juga digunakan oleh fuqaha Syafi’iyah mutaakhiriin. Ibrahim al-Bajuri, fuqaha dari kalangan Syafi’iyah dalam membedakan antara makruh tahrim dan makruh tanziih mengatakan dalam kitab fiqhnya :

والفرق بين كراهة التحريم والحرام مع أن كلا يقتضي الإثم أن كراهة التحريم ما ثبتت بدليل يحتمل التأويل والحرام ما ثبت بدليل قطعي لا يحتمل التأويل من كتاب أو سنة أو إجماع أو قياس

Perbedaan antara makruh tahrim dan haram, meskipun keduanya mengakibatkan dosa, bahwa makruh tahrim adalah yang didasarkan pada dalil yang mengandung ta’wil. Sedangkan haram adalah perbuatan terlarang yang didasarkan pada dalil qath‘i yang tidak mengandung kemungkinan penakwilan baik dalil Al-Qur‘an, sunnah, ijmak, atau qiyas,” (Hasyiah Ibrahim al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib : I/190).

 

Adapun perbedaan antara makruh tahrim dan makruh tanziih, kalau makruh tahrim mengakibatkan dosa, sedangkan makruh tanziih tidak mengakibatkan dosa. Ibrahim al-Bajuri mengatakan :

والفرق بين كراهة التحريم وكراهة التنزيه أن الأولى تقتضي الإثم والثانية لا تقتضيه

Perbedaan antara makruh tahrim dan makruh tanziih, adalah yang pertama, perbuatannya  mengakibatkan dosa dan yang kedua tidak mengakibatkan dosa,” (Hasyiah Ibrahim al-Bajuri ala Fathul Qariib: I/189)

 

 Wallahua’lam bisshawab