Khitan wanita adalah adalah memotong sedikit bagian dari kulit di atas faraj (kelintit). Ini sesuai dengan keterangan, antara lain :
1. Al-Mawardi, beliau berkata :
“Khitan perempuan adalah memotong sedikit bagian dari kulit yang di atas faraj bertepatan diatas tempat masuk zakar, bentuknya seperti bijian atau jengger ayam jantan. Yang wajib dipotong adalah yang di atas saja, tidak dibawahnya”.1
2. An-Nawawi berkata :
“Yang wajib atas laki-laki adalah memotong semua kulit yang menutup hasyfah sehingga terbuka semua hasyfah. Sedangkan pada wanita wajib dipotong sebagian kecil kulit yang ada pada bagian atas faraj.”2
Hukum melakukan khitan terhadap wanita adalah wajib, sama halnya dengan khitan terhadap laki-laki. Imam an-Nawawi berkata :
"Khitan, hukumnya wajib menurut Imam Syafi'i dan kebanyakan para ulama, sedangkan menurut Imam Malik dan para ulama yang lain adalah sunnah. Menurut Imam Syafi'i, khitan tersebut wajib bagi kaum laki-laki dan wanita juga. Kemudiam yang wajib atas laki-laki adalah memotong semua kulit yang menutup hasyfah sehingga terbuka semua hasyfah. Sedangkan pada wanita wajib dipotong sebagian kecil kulit yang ada pada bagian atas faraj.”3
Dalilnya adalah sebagai berikut :
1. Dari Abu Hurairah, ia berkata,
الفطرة خمس ( أو خمس من الفطرة ) الختان والاستحداد وتقليم الأظفار ونتف الإبط وقص الشارب
Artinya : Fitrah itu ada lima yaitu : khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak dan , menggunting kumis,(H.R. Muslim)4
Perkataan “khitan” di sini mencakup laki-laki dan wanita dan tidak ada dalil yang membatasi hanya kepada laki-laki saja.
2. Hadits yang dikeluarkan Abu Daud dari Ummu 'Athiyyah,
أن امرأة كانت تختن بالمدينة فقال لها النبي صلى الله عليه وسلم: "لا تنهكي فإن ذلك أحظى للمرأة أحب إلى البعل
Artinya : bahwasanya seorang wanita berkhitan di Madinah, lantas Nabi berkata kepadanya, “Janganlah engkau bebani dirimu, sebab hal itu lebih menghormati wanita dan lebih dicintai suami.”(H.R. Abu Daud)
Namun pada isnad hadits ini terdapat Muhammad bin Hassan. Abu Daud berkata, “Seorang majhul (tidak dikenal identitasnya).”Beliau kemudian melemahkan hadits ini.5 Namun menurut pengarang Aun al-Ma’bud, meskipun hadits ini dha’if namun ada syawahidnya (penyokongnya), yaitu dari pada hadits Anas dan Ummu Aiman di sisi Abi Syaikh dalam Kitab Aqiqah dan jalur lain, yaitu Dhaha’ bin Qis di sisi al-Baihaqi 6
Adapun hadits yang ditakhrij oleh Ahmad dan Baihaqi, yaitu :
الختان سنة للرجال مكرمة للنساء
Artinya : Khitan sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi wanita (H.R. Ahmad dan Baihaqi)
Menurut Abady Abu Thaib, pada sanadnya ada Hujaj bin Arthah. Hujaj bin Arthah tidak boleh dijadikan hujjah. Berkata az-Zahaby : Hujjaj dhaif dan tidak dapat dijadikan hujjah.7
DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. X, Hal. 340
2.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Juz. III, Hal. 148
3.Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Juz. III, Hal. 148
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 221, No. Hadits : 257
5.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 790, No. Hadits : 5271
6.Abady bAbu Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. XIV, Hal. 123
7.Abady Abu Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. XIV, Hal. 124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar