Para ulama sepakat bahwa lokasi shalat hari raya bagi orang Makkah, yang lebih afdhal adalah Masjidil Haram. Namun dalam hal kaum muslimin yang berada diluar Makah, mereka berbeda pendapat, ulama Syafi’iyah mengatakan yang lebih afdhal, shalat hari raya dilakukan di mesjid sebagaimana halnya kamu muslimin Makah. Sedangkan ulama selain Syafi’iyah berpendapat lebih utama dilakukan di lapangan di luar mesjid kecuali apabila hari itu datang hujan. Maka ketika itu, sunnat dilakukan di dalam mesjid.1 Ketentuan ini menurut mereka karena didasarkan kepada hadits Nabi SAW riwayat Abu Hurairah, berbunyi :
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ انهمَ أصَابَهم مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهم النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلاة العيد فِى مسْجِدٍ.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi SAW shalat dengan mereka di dalam Masjid.(H.R. Abu Daud) 2
Menurut keterangan al-Nawawi, hadits ini nilainya baik dan juga telah diriwayat oleh al-Hakim dengan mengatakan kualiatas haditsnya shahih.3
Dalil yang digunakan golongan yang berpendapat lebih utama dilakukan di lapangan di luar mesjid adalah mengikuti sunnah Nabi SAW yang dinyatakan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudry, berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفِطْرٍ والأضحى إِلَى الْمُصَلَّى
Artinya : Nabi SAW selalu keluar ke tempat shalat (lapangan) pada hari hari raya Fitri dan Adha. (Muttafaqun ‘alaihi) 4
Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits ini berbunyi :
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في أضحى أو فطر إلى المصلى فصلى بهم
Artinya : Rasulullah SAW keluar ke tempat shalat (lapangan) pada hari raya Adha atau Fitri dengan melakukan shalat bersama mereka.(H.R. Ibnu Khuzaimah) 5
Adapun golongan Syafi’iyah yang berpendapat bahwa shalat aya lebih afdhal dilakukan dalam mesjid, berargumentasi karena mesjid merupakan tempat ibadah yang dimuliakan Allah. Karena itu, ibadah lebih utama dilakukan di mesjid dibandingkan tempat lainnya. Diantara firman Allah yang menjelaskan mengenai keutamaan mesjid antara lain firman Allah Q.S. al-Taubah : 18, berbunyi :
إِنَّما يَعْمُرُ مَساجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللَّهَ فَعَسى أُولئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunai zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang terpetunjuk (Q.S. al-Taubah : 18)
Keutamaan melakukan ibadat dalam mesjid ini tidak terkecuali juga berlaku bagi shalat hari raya, karena memang tidak ada dalil yang mengecualikannya. Berdasarkan ini, maka shalat hari raya tetap lebih utama dilakukan di dalam mesjid, baik bagi orang Makah atau luar Makah.
Adapun mengenai hadits di atas yang menjelaskan bahwa Rasullullah SAW sering melakukan shalat hari raya dilapangan, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dalil shalat hari raya lebih utama dilakukan di lapangan. Karena Rasulullah SAW`melakukan hal tersebut disebabkan keadaan pada waktu itu dimana jumlah jama’ah shalat hari raya yang umumnya lebih banyak dari jama’ah shalat lainnya, sehingga mesjid yang sempit tersebut (mesjid zaman Rasulullah tidak sebesar mesjid umumnya zaman sekarang) tidak muat jumlah jama’ah shalat hari raya. Dengan pemahaman ini, dapat dipahami kenapa Rasulullah SAW lebih sering shalat hari raya di lapangan. Hal ini, tentu tidak berlaku lagi pada zaman sekarang di mana mesjid-mesjidnya berdiri besar-besar dan megah, kecuali kalau memang keadaan jumlah jama’ah berlimpah dan tidak berimbang dengan besarnya mesjid. Dalam kondisi seperti ini, maka shalat di lapangan tentu lebih diutamakan dibandingkan di mesjid. Penjelasan seperti ini telah dikemukan oleh al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazab 6
Penjelasan yang dapat mengantarkan kita kepada pemahaman di atas juga dapat dipahami dari hadits riwayat Abu Hurairah di atas, yang berbunyi :
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ انهمَ أصَابَهم مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهم النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلاة العيد فِى مسْجِدٍ.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi SAW shalat dengan mereka di dalam Masjid.(H.R. Abu Daud) 7
Shalat hari raya itu sejak jaman dahulu hingga sekarang adalah shalat yang jumlah makmumnya pasti memegang rekor terbanyak selama setahun. Saat itu, orang yang tidak biasa shalatpun akan hadir ikut lebaran, sehingga jumlah jama’ah pasti akan meluber. Oleh karena itu, pada umumnya masjid tidak akan muat. Sebab pada jaman dulu, masjid itu pada umumnya tidak besar sebagaimana mesjid-mesjid yang ada pada zaman sekarang dan mesjid itu hanyalah sebuah lahan yang dikelilingi tembok dan tanpa atap sebagaimana Masjidil Haram. Oleh karena itu, kalau hujan maka akan kehujanan. Lalu apa kaitannya dengan hadits di atas, kenapa apabila hujan maka shalat hari raya di dalam masjid ? Kaitannya adalah bila hujan maka jama’ah akan sedikit, dengan demikian mereka akan muat di dalam masjid. Jadi pindah ke dalam masjid itu bukan dalam rangka berteduh dari hujan, sebab sama saja shalat di luar maupun di dalam masjid, kalau hujan akan tetap sama-sama kehujanan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa shalat hari raya pada masa Nabi SAW dilakukan di lapangan adalah karena jumlah jama’ahnya tidak muat dilakukan shalat di dalam mesjid.
Ditinjau dari sisi bahwa dalam mesjid sunnat dilakukan shalat tahiyat mesjid, i’tikaf dan ibadah lainnya yang bersangkutan dengan mesjid, juga menjadi pertimbangan kenapa shalat hari raya lebih utama dilakukan di mesjid dibandingkan dilakukannya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 369
2.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
3.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. V
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
5.Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, Maktabah Syamilah, II, Hal. 342, NO. Hadits : 1430
6.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. V
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar