Kencing dan tahi binatang
yang dimakan, hukumnya adalah najis menurut mazhab Syafi’i, Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan lainnya. ‘Itha’, al-Nakh’i, al-Zuhri, Malik, Sufyan al-Tsuri, Zufar
dan Ahmad berpendapat kencing dan tahi binatang yang dimakan adalah suci.
Pengarang al-Bayan telah menghikayahkan bahwa pendapat yang mengatakan suci ini
juga merupakan sebuah pendapat berasal dari kalangan Syafi’iyah. Al-Rafi’i
menghikayahkan pendapat tersebut dari Abu Sa’id al-Isthakhry. Ibnu Khuzaimah
dan Al-Ruyani telah memilih (ikhtiyar) pendapat ini. Namun menurut keterangan
al-Nawawi, pendapat yang masyhur mazhab Syafi’i adalah memastikan najis kencing
dan tahi binatang yang dimakan. [1]
Dalil yang digunakan sebagai dalil
bahwa kencing dan tahi binatang yang dimakan, hukumnya adalah najis antara lain
:
1.
Firman Allah Ta’ala :
وَيُحِلُّ
لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Artinya : Dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk. (Q.S. al-A’raf : 157)
Kencing dan
tahi dari binatang yang dimakan termasuk benda yang dianggap menjijikan di sisi
orang Arab. Berdasarkan zhahir dari mutlaq firman Allah ini, maka kencing dan
tahi dari binatang yang dimakan termasuk najis yang diharamkan atas kaum
muslimin.
2.
Hadits riwayat Bukhari
berbunyi :
عَبْدَ اللَّهِ
يَقُولُ: أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الغَائِطَ فَأَمَرَنِي
أَنْ آتِيَهُ بِثَلاَثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ، وَالتَمَسْتُ
الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ، فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَأَخَذَ
الحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ
وَقَال
َ: هَذَا رِكْسٌ
Artinya : Abdullah mengatakan, Nabi SAW mendatangi jamban, kemudian
memerintahku membawanya tiga batu, aku hanya mendapati dua batu. Aku mencari
batu yang ketiga, tetapi aku tidak mendapatinya, maka aku mengambil tahi dan
membawa kepada beliau, ketika itu beliau mengambil dua batu itu dan membuang
tahi, beliau mengatakan : “Ini kotoran hewan”.(H.R. Bukhari).[2]
Nabi SAW membuang tahi yang diberikan oleh Abdullah
dan tidak menggunakannya sebagai alat istinjak dan ‘illah beliau tidak
menggunakannya karena benda itu adalah kotoran hewan menunjukkan bahwa tahi
tersebut dihukum sebagai najis.
Adapun
hadits al-Bara’ dan Jabir yang berbunyi :
ما اكل لحمه فلا بئس ببوله
Artinya : Binatang yang dimakan dagingnya, maka tidak mengapa
kencingnya (tidak najis)
Al-Nawawi
menjelaskan bahwa hadits ini dha’if. Al-Darulquthni telah menyebut hadits ini
serta beliau menjelaskan status hadits ini dha’if.[3]
assl... tgk, saya ingin bertanya sedikit tentang surah kitab al bajuri hal.219.juz 1 mengenai khutbah jum'at...
BalasHapusومحل اشتراط العربية ان كان في القوم عربي والا كفي كونها بالعجمية..........الخ......
trims....
sudah kami jelaskan pada :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/06/rukun-khutbah-wajib-dalam-bahasa-arab.html
wassalam
1 lagi kiban surah kitab almahalli , pd hasyiah qulyubi juz 1 hal.38
BalasHapusفائدة قال القاضي رحمه الله تعالي لايرفع اليقين بالشاك الا في اربع مسائل*احداها الشاك في خروج وقت الجمعة فيصلون الظهرا*الثانية الشاك في بقاء مدةالمسح فيغسل*.......الخ.....
trims...
sudah kami jelaskan :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.com/2013/06/blog-post.html
rimeh. tirom. kreung.. dan smcam jih..
BalasHapuspu jt pjoh tgk.. puna njih nyan...
Assalamualaikum tgk..
BalasHapusBagaimana ketentuan beramal dengan pendapat yg mengatakan bole..?