Pengantar :
Tulisan
ini merupakan penjelasan Imam al-Subki yang kami rangkum dari kutipan al-Suyuthi
dalam kitabnya, al-Asybah wan Nadhair fil Furu’. Adapun naskah kitab yang
menjadi rujukan kami adalah kitab al-Asybah wan Nadhair cetakan al-Haramain,
beralamat Singapura-Jeddah-Indonesia, cetakan kedua pada tahun 1380 H/1960 M. (Halaman
25 s/d 26)
Menurut
al-Subki, bisikan hati dalam bentuk qashad kepada maksiat ada lima martabat,
yakni :
1.
Al-hajis,
yakni apa yang termuat dalam hati
2.
Al-khathir,
yakni bergerak dalam hati
3.
Hadits
al-nafsi, yakni gerakan hati yang masih berkemungkinan melakukan atau tidak
melakukannya
4.
Al-ham,
yakni gerakan hati yang lebih kuat kepada melakukannya
5.
Al-‘azm,
yakni gerakan hati yang sudah kuat dan pasti melakukannya.
Adapun al-hajis, ijmak ulama tidak diazab seeorang dengan sebabnya,
karena al-hajis tidak termasuk perbuatan hati, ia hanyalah sesuatu yang ada
dalam hati, tidak ada kemampuan atasnya dan tidak ada juga kemampuan
menolaknya. Sedangkan al-khathir yang mampu ditolak oleh seseorang dimaafkan
dengan jalan qiyas kepada hukum hadits al-nafsi. Rasulullah SAW bersabda dalam
hadits shahih :
ان الله تجاوز
لامتي ما حدثت به نفوسنا ما لم تتكلم او تعمل به
Artinya : Sesungguhnya Allah akan mengampuni bagi umatku apa yang
terbersit oleh hatinya (hadits al-nafsi) selama dia belum mengungkapkannya atau
melakukannya.[1]
Qiyasnya,
apabila hadits al-nafsi dimaafkan, maka al-khathir yang berada di bawah
martabatnya tentu lebih patut dimaafkan.
Martabat
yang tiga ini (al-hajis, al-khathir dan hadits al-nafsi), seandainya ada dalam
kebaikan tidak ditulis kebaikannya itu. Adapun landasan untuk yang pertama
(al-hajis) karena al-al-hajis tidak termasuk perbuatan hati, sedangkan yang
kedua (al-khathir) dan ketiga (hadits al-nafsi) karena tidak ada qashad. Adapun
al-ham juga dimaafkan berdasarkan hadits shahih berbunyi :
ان الهم
بالحسنة تكتب حسنة والهم بالسيئة لا تكتب سيئة
وينتظر فان تركها لله كتبت حسنة وان فعلها كتبت سيئة سيئة واحدة
Artinya : Sesungguhnya
keinginan (al-ham) kepada kebaikan akan ditulis kebaikan itu, sedang keinginan
kepada kejahatan tidak ditulis dan diperhatikan apabila seseorang meninggalkan
kejahatan tersebut karena Allah, maka ditulis sebagai kebaikan dan apabila dia
melakukannya, maka ditulis sebagai satu kejahatan.[2]
Maksud
dari “satu kejahatan” pada hadits di atas adalah yang ditulis sebagai kejahatan
hanya perbuatan jahat saja, sedangkan keinginan (al-ham) dimaafkan. Berdasarkan
hadits ini, maka dipahami bahwa penggalan hadits : “maa lam tatakallam au
ta’mal bihi.” tidak dapat ambil mafhum kebalikannya (mafhum mukhalafah),
sehingga dikatakan, apabila diungkapkan apa yang terbersit dalam hatinya untuk
melakukan perbuatan maksiat, maka ditulis sebagai maksiat yang terbersit dalam
hatinya tersebut. Tidak diambil mafhum mukhalafah pada penggalan hadits tersebut,
karena kalau al-ham tidak ditulis sebagai maksiat pada ketika tidak
diamalkan, maka sepatutnya hadits al-nafsi lebih tidak ditulis juga sebagai
maksiat. Penjelasan ini dikemukakan oleh al-Subki dalam kitabnya al-Halabiyaat.
Namun
dalam kitab Syarh al-Minhaj, beliau mengemukakan pendapat yang berbeda. Dalam
kitab ini, beliau mengatakan, berdasarkan mutlaq hadits tentang hadits
al-nafsi, maka dipahami haram hadits al-nafsi yang berjalan kepada maksiat,
meskipun apabila ditinjau dari aspek diri hadits al-nafsi tersebut adalah
mubah, namun ia berubah kepada haram karena bercampur qashad haram padanya. Selanjutnya
beliau menjelaskan, masing-masing dari berjalan hadits al-nafsi dan qashad tidak
haram ketika masing-masingnya menyendiri. Ibnu al-Subki (anak Imam al-Subki) dalam
kitabnya, Man’u al-Mawani’ mengatakan, tidak berdosa hadits al-nafsi dan al-ham
tidaklah mutlaq, akan tetapi dengan syarat tidak diungkapkan atau tidak
diamalkan, sehingga apabila seseorang melakukan perbuatan maksiat, maka
seseorang berdosa dengan dua hal, yakni al-ham dan perbuatannya itu. Al-ham dan
hadits al-nafsi tidak dimaafkan kecuali apabila tidak diiringi dengan melakukan
perbuatannya sebagaimana dhahir hadits. Kemudian Ibnu al-Subki menghikayah
pendapat ayahnya, al-Subki yang tersebut dalam Syarh al-Minhaj dan al-Halabiyaat
di atas, kemudian beliau mentarjih pendapat yang disebut dalam Syarh al-Minhaj.
Adapun
al-‘azm, menurut pendapat ulama tahqiq berdosa karenanya. Argumentasi pendapat
ini berdasarkan dalil antara lain :
1.
hadits
Nabi SAW :
اذا التقى
المسلمان بسيفيه فالقاتل والمقتول في النار قالوا يا رسول الله هذا القاتل فما بال
المقتول قال انه كان حريصا على قتل صاحبه
Artinya : Apabila terjadi pertumpahan darah antara dua orang
muslim, maka sipembunuh dan yang terbunuh dalam api neraka, para shahabat
bertanya, ya Rasulullah! Ini benar pada sipembunuh, tetapi kenapa yang terbunuh
juga dalam api neraka? Rasulullah menjawab : sesungguhnya yang terbunuh juga
ada kemauan yang kuat untuk membunuh lawannya.[3]
‘illah berdosa orang
yang terbunuh dalam kasus hadits di atas adalah kemauan yang kuat membunuh
lawanya. Jadi, meskipun yang terbunuh tersebut tidak sempat melakukan
pembunuhan, tetapi ada kemauan yang kuat (‘azm) membunuh.
2.
Ijmak
ulama berdosa dengan sebab amalan hati seperti dengki dan lainnya
3.
Firman
Allah berbunyi :
وَمَنْ يُرِدْ
فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya
: Barangsiapa yang merencanakan melakukan maksiat dengan kedhaliman, maka akan
Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih. (Q.S. al-Hajj : 25)
Ini berdasarkan tafsir ilhad bermakna maksiat.
4.
Taubat
wajib dilakukan dengan segera, salah satu syaratnya adalah bercita-cita (‘azm)
untuk tidak kembali lagi kepada perbuatan maksiat. Apabila masih ada cita-cita
kembali perbuatan maksiat sebelum taubat, maka cita-cita tersebut berdosa
karena karena bertentangan dengan taubat. Berdasarkan ini, maka cita-cita (‘azm)
kepada maksiat berdosa, meskipun belum sempat dilakukan.
Assalamualaikum, pak bagaimana jika entah dalam pikiran/dalam hati terlintas pikiran tentang melakukan maksiat misalnya tapi hati tidak berbicara/tidak mengucapkan apapun, namun dari lintasan pikiran seolah-olah hati bicara, itu masuknya bisikan hati yang mana ya pak ustad?
BalasHapusTerimakasih wassalam.
insya Allah itu hanya kelompok khathir.
HapusAssalamu'alaikum warrohmatulloh. Tengku entah mengapa akhir2 ini ana sering mendapat bisikan2. Bisikan itu bisikan buruk terhadap Allah dan rasul. Tapi saya yakin bahwa tul hati saya tidak berbicara. Ini masuknya kelompok yg mana ya tengku?
HapusDan anehnya pula saya seperti ingin memikirkan hal itu, dan ketika memikirkan hal itu selalu terlintas bisikan dalam hati saya. Apakah ini dimaafkan?
Assalamualaikum tengku. Bagaimana hukumnya jika seperti ini. Saya sedang menonton video tentang iblis di youtube, tiba2 saya teringat rasulullah, setelah itu entah mengapa tiba2 pikiran saya jadi melayang memikirkan hal2 yg buruk, setelah itu saya langsung sadar dan beristighfar. Saya ragu apakah hati saya ikut berbicara membicarakan hal buruk atau tidak. Tapi kejadiaannya itu seperti sangat cepat dalam pikiran saya. Itu bagaimana hukumnya ya tengku? Apakah dimaafkan? Pikiran saya itu seperti tidak percaya akan hal2 yg diucapkan rasul, atau apa, setelah saya beristighfar dan berdoa tiba2 saya lupa apa yg terlintas dalam pikiran saya.
BalasHapusاسلام عليكم
BalasHapusTengku boleh saya minta nomor Tengku, soalnya banyak yg saya ingin tanya masalah was". Karena saya akhir" ini juga sering was" masalah aqidah.
Saya mohon ustadz bisa membantu saya