Pengantar
Tulisan ini merupakan ringkasan yang kami rangkum dari penjelasan
al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wan Nadhair fil Furu’ tentang niat. Kitab
al-Asybah wan Nadhair ini merupakan kitab yang membahas secara khusus dan
mendetil mengenai qawaid fiqh. Adapun naskah kitab yang menjadi rujukan kami
adalah kitab al-Asybah wan Nadhair cetakan al-Haramain, beralamat
Singapura-Jeddah-Indonesia, cetakan kedua pada tahun 1380 H/1960 M. (Halaman 6
s/d 37)
A.
Hadits-hadits sekitar masalah niat.
Hadits-hadits itu antara lain:
1.
انما الاعمال بالنيات
Artinya : Sungguh
hanyasanya semua amal dengan niat
Hadits
ini shahih dan masyhur, telah diriwayat oleh imam hadits yang enam (al-Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah) dan selain mereka dari
‘Umar bin Khatab r.a. Ibnu al-Asy’ats juga mentakhrij hadits ini dalam sunannya
dari Ali bin Abi Thalib r.a. Al-Darulquthni dalam Gharaib Malik dan Abu Na’im
dalam Hilliyah ada juga meriwayat hadits ini dari Abu Said al-Khudri r.a. Tidak
ketinggalan, Ibnu ‘Asaakir juga menyebut hadits ini dalam kitab Amali dengan
bersumber dari hadits Anas r.a.
2.
لا عمل لمن لا نية له
Artinya : Tidak
ada amalan bagi orang-orang yang tidak ada niat
Hadits
ini telah diriwayat oleh al-Baihaqi dalam kitab Sunannya dari Anas r.a.
3.
نية المؤمن خير من عمله
Artinya
: Niat seorang mukmin lebih baik dari amalnya.
Hadits
ini terdapat dalam kitab Musnad al-Syihab dari hadits Anas r.a. Dengan redaksi
ini juga terdapat dalam Mu’jam al-Thabrani al-Kabir dari hadits Sahal bin Sa’id
dan al-Nawaas bin Sam’an.
4.
انك لن تنفق نفقة تبتغي بها الا وجه الله الا اجرت فيها حتى ما تجعل
في امرأتك
Artinya :
Sesungguhnya kamu tidak menafkahkan sebuah nafkah yang kamu cari keridhaan Allah dengan sebabnya, kecuali
diberikan pahala padanya sehingga apa yang kamu jadikan pada isterimu.
Hadits
ini terdapat dalam Musnad al-Firdaus karya al-Dailamy dari hadits Abu Musa dan
dalam al-Shahih dari hadits Sa’ad bin Abi Waqas.
B.
Keutamaan Niat
Al-Suyuthi
mengatakan, telah mutawatir riwayat dari para imam yang menjelaskan kepada kita
sangat mulianya hadits niat, antara lain :
1.
Ibnu
‘Ubaidah mengatakan, tidak ada pada hadits Nabi SAW sesuatu yang lebih
terhimpun, lebih kaya dan lebih banyak faedahnya dari pada hadits niat.
2.
Sepakat
al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Mahdi, Ibnu al-Madini, Abu Daud,
al-Darulquthni dan selain mereka bahwa hadits niat itu sepertiga ilmu. Sebagian
dari ulama mengatakan, hadits niat seperempat ilmu.
3.
Al-Baihaqi
menjelaskan bahwa maksud dari hadits niat sepertiga ilmu adalah karena usaha
manusia terbagi dalam tiga, yaitu dengan hati, dengan lisan dan dengan anggota
tubuh. Maka niat merupakan salah satu dari pembagian yang tiga, bahkan niat
lebih rajih dari yang lainnya. Karena niat kadang-kadang merupakan ibadah yang
tersendiri (mandiri), sedangkan selainnya selalu membutuhkan niat.
4.
Perkataan
Ahmad bin Hanbal menunjukan bahwa maksudnya hadits niat sepertiga ilmu adalah
hadits niat merupakan salah satu qawaid yang tiga yang menjadi rujukan semua
hukum di sisi beliau. Ahmad bin Hanbal berpendapat, pokok ajaran Islam kembali
kepada tiga buah hadits, yakni hadits :
أ.
انما الاعمال بالنيات
ب.
من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد
ت.
الحلال بين والحرام بين
5.
Ibnu
al-Mahdi juga mengatakan, bahwa hadits niat masuk dalam tiga puluh bab ilmu
6.
Semetara
itu, Imam Syafi’i mengatakan, hadits niat masuk dalam tujuh puluh bab ilmu.
C.
Fungsi niat
1.
Membedakan
ibadat dari pada perbuatan ‘adat kebiasaan
Contohnya
: wudhu’ dan mandi, dimana keduanya ini menyerupai perbuatan membasuh badan
untuk membersihkan diri atau untuk mendinginkan tubuh. Jadi untuk membedakan
wudhu’ dan mandi dari semata-mata membersihkan diri atau untuk mendinginkan
tubuh, maka perlu niat. Demikian juga menahan diri dari makan dan minum. Ini
perlu niat untuk membedakan dari menahan makan dan minum karena berobat atau
memang karena sedang tidak membutuhkan makan dan minum. Contoh lain adalah duduk
dalam masjid, kadang-kadang maksudnya hanya sekedar istirahat. Jadi untuk
membedakan i’tiqaf dengan istirahat memerlukan niat.
2.
Membedakan
martabat ibadat dari ibadat lainnya.
Contohnya
: setiap wudhu’, mandi, shalat, puasa dan sejenisnya ada dalam bentuk fardhu,
nazar dan sunnat. Demikian juga tayamum adakalanya untuk mengangkat hadats
kecil dan adakalanya untuk mengangkat janabah. Karena itu, disyariatkan niat
untuk memebedakan martabat-martabat ibadat tersebut dari ibadat lainnya.
Berdasarkan
dua fungsi di atas, maka ada beberapa ketentuan mengenai niat dalam hubungannya
dengan amal, yakni :
a.
Tidak
disyaratkan niat pada ibadat yang tidak ada bentuknya pada perbuatan adat
kebiasaan, karena tidak ada perbuatan adat yang menyerupai dengannya. Contohnya : iman kepada Allah Ta’ala,
ma’rifah, khauf, rija’, niat, membaca Al-Qur’an dan zikir. Hal ini karena
contoh-contoh ibadat di atas dapat dibedakan hanya dengan bentuknya saja. Namun
demikian, wajib ada niat apabila membaca al-Qur’an yang wajib karena nazar,
agar dibedakan antara bacaan wajib dari bukan wajib.
b.
Meninggalkan
larangan tidak membutuhkan niat. Contohnya meninggalkan riya dan lainnya,
karena wujud maksudnya (menjauhi larangan) dengan sebab meninggalkan larangan,
meski tanpa niat. Namun demikian, untuk menghasilkan pahala karena meninggalkan
sebuah larangan, maka perlu kepada niat. Menghilangkan najis berdasarkan
pendapat yang rajih juga termasuk dalam katagori meninggalkan sesuatu, maka
tidak wajib niat padanya. Demikian juga memandikan mayat dan keluar dari shalat.
c.
Disyaratkan
ta’yin (menentukan) pada ibadat yang menyerupai dengan ibadat lainnya. Dalilnya
adalah hadits Nabi SAW berbunyi :
وانما لكل امرئ ما نوى
Menurut al-Suyuthi, penggalan hadits ini dhahir dalam mensyaratkan
ta’yin, karena asal niat dipahami dari penggalan awal hadits, yakni :
انما الاعمال بالنيات
Contohnya
: wajib ta’yin waktu seperti dhuhur atau ‘ashar pada shalat fardhu untuk
membedakan antara shalat fardhu. Shalat sunat rawatib dibedakan dengan
menyandarkan kepada waktu shalat seperti dhuhur dan keadaannya sebelum dhuhur
atau sesudahnya. Shalat hari raya di tentukan dengan fitrah atau nahar.
Demikian juga shalat kifarat, tarawih, dhuha, witir, gerhana dan shalat minta
hujan, dua raka’at shalat ihram dan shalat thawaf, maka di ta’yiin dengan nama
yang masyhur padanya. Adapun shalat tahiyyat masjid tidak diwajibkan ta’yin,
karena tahiyyat (menghormati) masjid wujud dengan sebab shalat secara mutlaq. Puasa
wajib dita’yin supaya beda antara puasa Ramadhan dengan puasa puasa qadha,
nazar, kifarat, qurbah atau fidyah.
d.
Setiap
yang membutuhkan kepada niat fardhu, maka membutuhkan kepada ta’yinnya kecuali
tayamum untuk fardhu menurut pendapat yang lebih shahih.
e.
Yang
tidak disyarat didatangkannya secara global dan terinci, apabila dita’yin
tetapi kemudian ternyata salah, maka tidak mengapa. Contohnya : ta’yin tempat
shalat dan waktunya. Demikian juga apabila seorang imam menta’yinkan makmum di
belakangnya, ternyata salah, maka shalatnya tetap sah. Contoh lain shalat dalam
waktu mendung dengan niat ada’ atau qadha, ternyata salah, maka ini juga tidak
mengapa. Demikian juga puasa hari Senin.
f.
Yang
disyaratkan ta’yin, apabila ternyata salah, maka dapat membatalkan. Contohnya :
puasa diniatkan shalat dan juga sebaliknya, dhuhur diniatkan ashar.
g.
Yang
wajib didatangkan secara clobal, namun tidak disyaratkan ta’yin secara rinci,
maka apabila dita’yinkan, kemudian ternyata salah, maka ini dapat
membatalkannya. Contohnya antara lain :
1). meniatkan mengikuti imam kepada si Zaid, ternyata yang menjadi
imam adalah si Amr, maka shalat tidak sah.
2). Niat shalat jenazah atas si Zaid, ternyata mayatnya si Amr atau
shalat jenazah atas laki-laki, kemudian ternyata mayatnya adalah perempuan,
maka dalam dua kasus ini shalatnya tidak sah
3). Tidak disyaratkan ta’yin jumlah rakaat shalat. Karena itu,
apabila diniatkan shalat dhuhur lima atau tiga rakaat, maka shalat tidak sah
4). Meniat qadha shalat yang tertinggal hari Senin, padahal dia
hanya pernah meninggalkan shalat dhuhur pada hari Selasa, maka tidak sah
5). Meniat puasa hari Selasa pada malam Senin atau meniatkan puasa
Ramadhan tahun ketiga pada tahun ke empat, maka tidak sah dengan tanpa khilaf
6). Meniatkan qadha puasa hari kedua, padahal dia hanya pernah
meninggalkan puasa hari pertama
7). Menta’yin zakat yang dikeluarkannya untuk harta yang jauh,
kebetulan harta jauh sudah hilang dari miliknya, maka zakat itu tidak memadai
untuk zakat harta yang berada pada tempat domisilinya.
8). Meniat kifarat dhihar, padahal kenyataannya yang wajib atasnya
adalah kifarat pembunuhan, maka tidak memadai kifarat tersebut untuk kifarat
pembunuhan
9). Meniat membayar hutang, kenyataannya tidak ada kewajiban membayar
hutang atasnya, maka tidak memadai pembayaran tersebut untuk jenis pembayaran
lainnya.
h. Apabila terjadi kesalahan pada i’tiqad, bukan pada ta’yin, maka
ini tidak mengapa. Contohnya : meniatkan puasa besok pada malam Senin, padahal
dia mengi’tiqad malam Senin itu sebagai malam Selasa. Contoh lain, meniat puasa
besok dari Ramadhan tahun ini dengan mengi’tiqadnya sebagai tahun ketiga,
padahal kenyataannya adalah tahun ke empat. Contoh lain lagi adalah meniat ikut
imam kepada yang hadir di depannya dengan i’tiqad yang hadir di depannya itu
adalah si Zaid, padahal dia itu adalah si Amr.
i. Masalah mendatangkan fardhu dalam niat ibadat.
1). Menurut pendapat yang lebih shahih wajib mendatang fardhu pada
mandi, tidak pada wudhu’, karena mandi kadang-kadang ada pada perbuatan adat,
sedangkan wudhu’ tidak ada kecuali ibadat.
2). Mendatangkan fardhu pada shalat adalah wajib, karena shalat
kadang-kadang sunat seperti shalat i’adah dan shalat anak-anak yang belum
baligh.
3). Tidak perlu mendatang fardhu pada puasa Ramadhan, karena tidak
ada puasa Ramadhan dari orang yang baligh kecuali fardhu. Karena itu, tidak
membutuhkan qaid dengan fardhu.
4). Adapun zakat disyaratkan mendatangkan fardhu apabila
didatangkan niat dengan lafazh sadaqah, karena sadaqah adakala fardhu dan
adakalanya sunat. Tidak wajib mendatangkan fardhu apabila menggunakan lafazh
zakat, karena zakat tidak ada kecuali fardhu.
5). Haji dan umrah tidak disyaratkan mendatangkan fardhu tanpa
khilaf, karena seandaipun diniat sebagai sunat, maka terpaling dia kepada
fardhu.
6). Tidak disyaratkan pada fardhu menta’yinkan ‘ain (fardhu ‘ain)
tanpa khilaf. Demikian juga shalat jenazah tidak disyaratkan padanya niat
fardhu kifayah.
j. masalah disyaratkan ada’ dan qadha.
1). Penyaratan ada’ dan qadha dalam bab shalat terdapat perbedaan
pendapat, yakni pertama ; disyaratkan. Pendapat ini merupakan ikhtiyar
Imam Haramain. Alasan pendapat ini adalah karena martabat mendirikan fardhu
dalam waktunya berbeda martabatnya dengan mendirikan fardhu di luar waktu.
Karena itu, harus dibedakan dengan mendatangkan ada’ atau qadha. Kedua ;
disyaratkan niat qadha, tidak niat ada’. Karena ada’ dapat dibedakan dengan
waktu, berbeda halnya dengan qadha. Ketiga ; seandainya atas seseorang
ada kewajiban shalat qadha, maka disyaratkan niat ada’ pada shalat yang ada’.
Dengan pendapat ini, al-Mawardi memastikannya (qatha’). Keempat ; tidak
disyaratkan kedua-duanya secara mutlaq. Pendapat ini adalah pendapat yang lebih
shahih. Nash Imam Syafi’i menjelaskan bahwa sah shalat orang yang melakukannya
dalam keadaan cuaca mendung dan puasa orang dalam tahanan dengan niat ada’,
namun ternyata ibadat tersebut sudah lewat waktunya.
2). Adapun shalat-shalat sunat yang ada qadhanya, maka berlaku
khilaf padanya sebagai halnya di atas
3). Adapun puasa, menurut dhahirnya adalah wajib niat qadha.
Pengarang al-Tatimmah telah memastikan disyaratkan mendatangkan niat qadha,
tidak niat ada’, karena ada’ dapat dibedakan dengan sebab waktunya.
4). Sedangkan haji dan umrah tidak disyaratkan mendatangkan niat
qadha atau ada’
5). Adapun zakat, gambaran qadha hanya didapati pada zakat fitrah,
namun dhahirnya tidak disyaratkan.
k. Masalah ikhlas
Ikhlas tidak menerima
penggantian, karena tujuannya adalah menguji rahasia ibadat. Ibnu Qadhi dan
lainnya mengatakan, tidak boleh mewakilkan pada niat kecuali pada ibadat yang
menyertai dengan suatu perbuatan yang menerima penggantian, seperti membagikan
zakat, menyembelih qurban, puasa untuk mayat dan haji. Sebagian ulama
mutaakhirin mengatakan, ikhlas adalah suatu yang berbeda dengan niat, tetapi
ikhlas tidak akan wujud tanpa niat, namun niat kadang-kadang wujud tanpa
ikhlas. Tinjauan para fuqaha dan hukum-hukum di sisi mereka hanyalah berkisar pada
masalah niat. Adapun ikhlas merupakan urusan Allah Ta’ala semata. Karena itu,
para puqaha mentashihkan tidak wajib menyandarkan kepada Allah dalam semua
ibadat.
l. Masalah penggabungan dalam ibadat.
Penggabungan niat ini ada beberapa katagori :
a). Meniatkan satu ibadah
dengan disertai niat lain yang bukan ibadah dan kadang-kadang dapat membatalkan
ibadat itu sendiri, seperti menyembelih hewan ditujukan untuk Allah dan
lainnya. Ini bisa menyebabkan haramnya sembelihan tadi. Namun ada juga yang
tidak membatalkan ibadah tadi, seperti berwudhu’ atau mandi dengan menyertakan
niat mendinginkan badan. Alasannya karena mendinginkan badan tadi meskipun
tanpa niat juga tercapai dengan wudlu atau mandi, maka tidak mengurangi
keikhlasan. Contoh lain adalah qira-ah dalam shalat dengan niat qira-ah dan
memberi tahu, Ini tidak batal shalatnya. Termasuk dalam masalah ini adalah
puasa sunnah dengan tujuan pengobatan dan haji dengan tujuan berdagang. Ibnu
Abdussalam mengatakan ibadah seperti itu tidak mendatangkan pahala, namun Imam
Ghazali mengatakan dilihat dari mana niat yang lebih banyak, kalau yang lebih
besar adalah niat karena Allah maka tetap dapat pahala.
b). Menggabung ibadah
fardlu dengan sunnah. Ini ada yang sah keduanya dan ada yang sah fardhu saja
atau sunnah saja dan ada juga yang tidak sah kedua-duanya .
- Contoh yang sah keduanya
antara lain niat shalat fardlu sekaligus sebagai tahiyyatul masjid. Menurut
pengarang syarah al-Muhazzab tidak ada khilaf dalam mazhab Syafii bahwa
keduanya sah dan mendapatkan pahala. Begitu juga seseorang yang mandi
junub hari jum'at, kemudian dia niat mandi wajib dan jum'at sekaligus.
- Contoh yang sah
fardhunya, seperti orang haji berniat fardlu dan sunnah, padahal dia belum
pernah haji, maka yang sah fardhunya. Contoh lain qadha shalat pada malam
Ramadhan disertai niat shalat Tarawih, maka menurut Ibnu Shilah sah qadha
shalatnya, tidak sah tarawih
- Contoh sah sunnah saja,
seperti seseorang memberi uang kepada fakir miskin dengan niat zakat dan
sedekah, maka yang sah sedekahnya bukan zakatnya.
- Contoh tidak sah
keduanya antara lain, imam dalam shalat berjama’ah sudah dalam posisi rukuk,
lalu seorang masbuq membaca satu takbir dengan niat sebagai takbiratul ihram
dan sekaligus sebagai takbir intiqalat, maka tidak sah shalat simasbuq
tersebut sama sekali, karena ada tasyrik pada niat. Contoh lain adalah shalat
dengan niat shalat fardhu dengan sekaligus shalat rawatib.
c). Menggabungkan ibadah
fardlu dengan fardlu lain. Berkata Ibnu Subki : Ini tidak sah kecuali masalah
haji dan umrah, yaitu haji qiran, dimana didalamnya digabung ibadah umrah wajib
dan haji wajib. Menurut as-Suyuthi ada contoh lain yaitu mandi wajib sambil
menyelam dengan niat wudlu’ juga. Ini sah kedua-duanya menurut pendapat yang
lebih sahih.
d). menggabungkan dua
ibadah sunnah. Qufal mengatakan hukumnya tidak sah. Namun as-Suyuthi mengatakan
pernyataan itu bertentangan dengan hokum sah mandi dengan niat untuk jum’at dan
hari raya sekaligus pada ketika hari raya jatuh pada hari Jum’at. Contoh lain
adalah berkumpul shalat hari raya dan gerhana, lalu dibaca dua khutbah dengan
niat untuk keduanya, maka hukumnya adalah sah. Demikian juga sah menggabung
shalat qabliyah dhuhur dan tahiyyatul masjid. Demikian lagi juga sah dengan
ijmak ulama seorang imam shalat mengeraskan suaranya pada takbir dengan niat
memperdengarkan kepada makmum.
e). Meniatkan
pada yang bukan ibadah sesuatu yang bukan ibadah juga, sedangkan keduanya berbeda pada hukum. Contohnya berkata seseorang pada isterinya : “Engkau haram
untukku” dengan niat thalaq dan zhihar sekaligus. Menurut pendapat yang lebih
sahih, suami tersebut boleh memilih antara keduanya.
Assalamualaikum.
BalasHapusPak ustad saya ingin bertanya.
1 bulan yg lalu saya mandi wajib, tetapi hari ini saya merasakan waswas yg amat mengganggu. Waswasnya itu berfikir bahwa mandi saya tidak sah. Saya kewalahan dan tersiksa karena sering mengulang2 mandi. Lalu tadi karena sangat tersiksa, saya berniat untuk mandi wajib lagi. Tetapi setelah itu saya sadar, itu hanya bisikan setan. Apakah saya harus mandi wajib lagi karena telah berniat akan mengulang mandi? Lalu jika saya harus mandi lagi bagaimana dengan ibadah saya pak? Misalkan sholat saya yg kemarin2?
Mohon bapak berkenan menjawab kegelisahan saya pak.
Terimakasih wassalam.
kegelisahan bpk itu hanyalah was-was saja, artinya sangkaan bpk bahwa mandi bpk tidak sah tanpa ada dalil yng mendukungnya. karena itu, was-was tersbut tdk mempengaruhi sahnya mandi bpk yg sudah berlalu. kalau bpk mandi lagi sebagai utk menghilangkan perasaan was-was tersebut tdk mengapa.
Hapusberdasarkan ini, maka ibadah bpk yg sudah2 tetap sah adanya.
perlu bpk catat, bahwa sebuah perbuatan yang sdh berlalu dan pernah bpk dhan telah sah, maka sahnya terssebut tidak hilang hanya karena was-was yg datang kemudian.
wassalam
Maaf pak saya perempuan kebetulan belum menikah. Jadi 1 bulan yg lalu saya sedang haid dan pada pagi hari saya terbangun lalu tiba2 merasakan perasaan nikmat dan sedikit lemes ketika kaki saya menjepit (maaf) kemaluan saya. Saya sendiri tidak tau mengapa, apa itu orgasme atau apa saya tidak tau. Lalu saya kepikiran apa saya keluar mani atau tidak, sehingga untuk berhati2, saya adus haid dan adus junub sekaligus. Namun hari ini saya ragu, karena saya pernah membaca bahwa tidak sah niat hanya untuk berjaga2. Saya bingung pak ustad, maksud niat berjaga2 disitu itu bagaimana? Sedangkan waktu itu saya berniat seperti ini "niat saya mandi wajb karena haid dan junub fardu karena Allah ta'ala" apakah niat seperti itu dimaksud berjaga2 atau seperti apa? Apakah waktu itu sah mandi wajib saya? Apa yg harus kiranya saya lakukan pak ustad? Saya sangat khawatir dan gelisah memikirkannya.
Hapus1. menurut hemat kami, penggabungan niat mandi junub dan mandi karena haid adalah sah, karena jenisnya sama, yaitu sama 2 hadats besar. bahkan penggabungan hadats besar dengan hadats kecil (wudhu') juga sah sebagaimana penjelasan al-suyuthi pada masalah penggabungan ibadah pada point c di atas. kalau penggabungan hadats besar dgn hadats kecil sah, maka lebih patut sah penggabungan niat mandi junub dan mandi haid yang sejenis.
Hapus2. niat mandi karena utk jaga 2 (dalam agama, istilahnya ihtiyath), menurut hemat kami di bolehkan/sah, karena ihtiyath diperintah dlm agama sebagaimana ada hadits shahih yg menjelaskannya itu.
wassalama
Assalamualaikum.
BalasHapusPak ustad saya ingin bertanya.
1 bulan yg lalu saya mandi wajib, tetapi hari ini saya merasakan waswas yg amat mengganggu. Waswasnya itu berfikir bahwa mandi saya tidak sah. Saya kewalahan dan tersiksa karena sering mengulang2 mandi. Lalu tadi karena sangat tersiksa, saya berniat untuk mandi wajib lagi. Tetapi setelah itu saya sadar, itu hanya bisikan setan. Apakah saya harus mandi wajib lagi karena telah berniat akan mengulang mandi? Lalu jika saya harus mandi lagi bagaimana dengan ibadah saya pak? Misalkan sholat saya yg kemarin?
Mohon bapak berkenan menjawab kegelisahan saya pak.
Terimakasih wassalam.
Assalamualaikum. Pak bolehkah saya bertanya diluar topik pembicaraan?
BalasHapusBegini, kurang lebih 5 tahun yg lalu saya pernah mewarnai rambut beberapa kali dg warna merah/ungu. Lalu beberapa bulan yg lalu, ibu saya bilang warna merahnya masih menempel di kulit. Awalnya saya tidak waswas akan hal itu, tapi saat ini entah mengapa selalu terlintas bahwa warna merah itu menutupi kulit saya pak, sehingga saya merasa waswas saat mandi wajib.
Beberapa minggu lalu saya mencuci rambut saya menggunakan detergen beberapa kali, saya menyuruh ibu saya untuk mengecek apakah masih ada warna merah ataukah tidak, lalu ibu saya bilang sudah tidak ada. Entah mengapa saya selalu tidak percaya dan selalu menyuruhnya untuk mengecek kulit kepala saya berulang2. Tetap jawabannya sudah tidak ada.
Apa yg harus saya lakukan pak? Bagaimana jika memang masih ada? Tapi saya tidak tahu apakah itu menutupi kulit atau hanya mewarnai kulit. Seingat saya dulu, rambut saya berwarna merah tetapi warna merah itu tidak seperti kutek yg sifatnya menutupi rambut. Seingat saya rambut saya halus pak tidak ada gerinjel-gerinjel seperti cat.
1. kalau ibu anda bilang tidak ada lagi warna merah dan ibu anda seorang yang bisa dipercaya, maka anggapan anda masih ada hanya lah was-was saja. karena anggapan anda masih ada itu tanpa dalil.
Hapus2. was-was itu merupakan bisikan setan ssupaya umat manusia susah dalam beribadah.
3. wassalam
Assalamualaikum warrahmatullah.
BalasHapusPak saya mau bertanya :
1. Jika seseorang pernah mencontek dalam ujian saat masih SMA lalu diterima kuliah di PTN menggunakan jalur rapot, bagaimana hukumnya? Berhubung pada rapot itu nilainya memang ada yg tidak murni.
2. Jika seseorang kuliah lalu mencontek dalam ujian, setelah lulus, ia melamar pekerjaan dengan ijazah yang juga tidak murni, bagaimana dengan pekerjaannya? Lalu bagaimana juga dg gajinya?
3. Jika menafkahi istri dan anak dengan gaji tsb, apakah haram di makan oleh mereka? Atau hanya haram oleh pelaku penconteknya saja? Wassalam.
ikuti komentar2 kami dalam link berikut : http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2013/01/debat-terbuka-status-hukum-gaji-pns.html
HapusAssalamualaikum. Tengku bagaimana hukumnya jika saat tes seleksi masuk PTN menyontek, namun setelah itu saya bertaubat dan tidak ingin mengulanginya lagi. Apakah tidak mengapa jika saya tetap sekolah disana? Syukron. Wassalam.
BalasHapusAssalamu'alaikum ustadz...saya mau tanya...saya mau tanya mengenai niat...niat itu harus dengan bahasa arab di ucapkan atau hanya dengan bahasa indonesia saja hanyabkrna alasan kita mengerti dengan bahasa indonesia saja...mohon penjelasannya ustd teeimakaaih
BalasHapus