1. Firman Allah Ta’ala berbunyi
وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِيءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا
وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ (77) وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ
وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَا قَوْمِ هَؤُلَاءِ
بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي
أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ (78) قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي
بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ (79) قَالَ لَوْ أَنَّ لِي
بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آَوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيدٍ (80) قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا
رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ
اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ
مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ
بِقَرِيبٍ (81) فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً
عِنْدَ رَبِّكَ وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83(
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia
merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia
berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit. Dan datanglah kepadanya kaumnya
dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan
perbuatan-perbuatan yang buruk. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah
puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan
janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di
antaramu seorang yang berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa
kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu
tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya
aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung
kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat)
berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Rabbmu, sekali-kali
mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa
keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun
di antara kamu yang tertinggal, kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa
azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka
ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?. Maka tatkala datang azab
Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan),
dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan
bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan siksaan itu tiadalah jauh
dari orang-orang yang dhalim (Q.S. Huud : 77- 83)
Point-point dari ayat
di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni
a. Nabi Luth tidak mengetahui kalau tamu yang datang kerumahnya adalah para
malaikat utusan Allah yang menjelma dalam rupa pria-pria tampan yang ingin menyelamatkannya
dari azab Allah yang akan ditimpa kepada kaumnya. Karena itu, Nabi Luth a.s.
kuatir terhadap keselamatan tamunya dari perbuatan mungkar yang akan dilakukan
kaumnya.[1]
b. Untuk mencegah kaumnya melakukan perbuatan homoseksual kepada tamunya, Luth
berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu”.
Bujukan Luth ini tidak digubris sedikitpun oleh kaumnya. Mereka malah menjawab
: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan
terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang
sebenarnya kami kehendaki”. Al-Razi mengatakan terjadi khilaf ahli tafsir
yang dimaksud dengan putri-putri Luth dalam ayat ini. Qatadah mengatakan,
maksudnya adalah anak kandung Nabi Luth. Sedangkan Mujahid dan Sa’id bin Jubair
mengatakan, maksudnya adalah wanita dari umatnya yang beriman kepadanya.
Pendapat terakhir ini menjadi pilihan al-Razi. Adapun alasan al-Razi sebagai
berikut :
1). Wanita-wanita itu beriman kepada Luth dan menerima dakwahnya. Karena
itu dalam posisi seperti ini, maka Nabi Luth seperti ayah bagi mereka. Ahli
bahasa Arab mengatakan, memadai dalam penyandaran (izhafah) yang baik dengan
sebab yang paling rendah sekalipun, seperti firman firman Allah berbunyi :
النَّبِيُّ
أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ
Nabi itu hendaknya lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada
mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. (Q.S.
al-Ahzab : 6)
2). Menyerahkan anaknya kepada orang-orang berbuat
mungkar dan fasiq tidak patut bagi seorang yang mempunyai marwah, maka
bagaimana lagi bagi para anbiya.
3). Anak-anak kandung dari Nabi Luth tentu tidak
mencukupi bagi kelompok yang banyak dari pria-pria kaum Luth. Adapun
wanita-wanita umatnya mencukupi untuk mereka.
4). Telah shahih riwayat yang mengatakan bahwa Nabi
Luth a.s. mempunyai dua orang anak kandung, yakni Zanta dan Za’ura. Karena itu,
tidak sah menyebut lafazh banaati (jamak muannats) kepada dua orang, karena
menurut pendapat yang shahih sekurang-kurang jamak adalah tiga.
Kemudian al-Razi menjelaskan, adapun ahli tafsir yang
berpendapat yang dimaksud itu adalah anak kandung Nabi Luth a.s., mereka
sepakat bahwa Nabi Luth bukan menghimbau mereka berzina dengan wanita, akan
tetapi mengajak mereka menikah dengan para wanita. Di sini terjadi khilaf,
adakalanya dengan syarat beriman lebih dahulu atau dalam syari’at Nabi Luth
a.s. boleh menikah wanita mukmin dengan kafir.[2]
c. Kisah Nabi Luth a.s. mencegah kaumnya melakukan perbuatan homoseksual
kepada tamunya dengan himbauan mengambil anaknya atau wanita dari umatnya
sesuai dengan perbedaan penafsiran di atas juga disebut dalam firman Allah
dalam Surat al-Hijir : 71, berbunyi :
قَالَ هَؤُلَاءِ بَنَاتِي
إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ
Luth berkata :“Mereka
adalah anak-anakkku jika kalian hendak berbuat (Q.S. al-Hijr : 71)
d. Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : “Dan janganlah kamu
mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini”, beliau mengatakan, patuhilah apa
yang aku perintahkan kepadamu, yakni membatasi hanya kepada isteri-isterimu.[4]
e. Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap
puteri-puterimu”, beliau mengatakan, sesungguhnya kamu hai Luth sudah tahu
bahwa kami tidak berkeinginan kepada isteri-isteri kami dan tidak mempunyai
syawat kepada mereka.[5]
f. Ibnu Katsir dalam menafsirkan firman Allah : “Dan sesungguhnya kamu
tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki”, beliau mengatakan,
tidak ada bagi kami kemauan kecuali pada pria-pria, padahal kamu mengetahuinya,
apa perlu kamu mengulangi-ulangi yang demikian itu ?.[6]
2. Pada saat Nabi Luth a.s. menyeru mereka kepada kebaikan dan mengingkari kemungkaran
mereka, mereka langsung mengambil sikap terhadap Luth a.s. Allah mengisahkan dalam
firman-Nya :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ
لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ
الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ
النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81) وَمَا كَانَ جَوَابَ
قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوهُمْ مِنْ قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ
يَتَطَهَّرُونَ (82) فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ
الْغَابِرِينَ (83) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ
عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ (84 (
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala
dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu,
yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”
Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka),
bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui
batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth
dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.” Kemudian Kami selamatkan
dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang
tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu);
maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.(Q.S.
Al-A’raf : 80-84)
Point-point dari ayat
di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni
a. Dalam menafsirkan ayat ke 80 di atas, Ibnu Katsir mengatakan Nabi Luth
diutus Allah ke negeri Sodom dan sekitarnya untuk menyeru mereka beriman kepada
Allah dan memerintah mereka melakukan yang ma’ruf serta melarang mereka
perbuatan dosa, yang diharamkan Allah dan perbuatan-perbuatan keji yang mereka
lakukan yang belum pernah dilakukan sama sekali oleh orang-orang sebelum
mereka, baik anak Adam maupun lainnya, yakni berhubungan seks dengan sesama
pria, tidak dengan wanita. Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan, belum pernah
Bani Adam mengenal perilaku ini dan juga sangat asing serta tidak terlintas
dalam pikiran mereka sehingga perilaku ini dilakukan oleh penduduk Sodom yang
telah dilaknat Allah atas mereka.[7]
b. Mengomentari ayat ke 80 di atas. ‘Amr bin Dinaar mengatakan, tidak pernah
pria nafsu kepada pria sehingga datang kaum Luth.[8]
c. Al-Walid bin Abd al-Malik, seorang Khalifah Bani Umayyah pada saat beliau
shalat Jum’at di Damsyiq, beliau mengatakan seandainya Allah ‘Azza wa Jalla
tidak mengisahkan kepada kita kisah kaum Nabi Luth, sungguh aku tidak menyangka
ada pria naik atas pria.[9]
d. Ibnu al-Haj dari kalangan Malikiyah dalam al-Madkhal menyebut riwayat ada
sepuluh perkara yang menyebabkan Allah mencelakakan Kaum Luth, yang kesepuluh
adalahh al-thamah al-kubra, yakni liwath.[10]
e. Firman Allah “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan
nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita”, menunjukkan bahwa azab Allah
atas mereka bukan karena semata-mata upaya mereka mencoba memperkosa tamu Nabi
Luth .as. sebagaimana dakwaan kaum pendukung LGTB, akan tetapi karena mereka
mempunyai kecenderungan seksual kepada sesama pria. Hal ini karena sebagai
berikut :
1). Firman Allah : “bukan kepada wanita” menunjukkan bahwa mereka
tidak mempunyai syahwat dan kemauan kepada wanita
2). Penolakan terhadap anjuran Nabi Luth mengambil putrinya atau wanita
dari umatnya untuk pelampiasan syahwat mereka sebagaimana disebut dalam Q.S.
Huud : 79 sebelum ini, padahal ini tidak perlu dengan cara memaksa dan membuat keributan dengan Nabi Luth a.s.,
menunjukkan bahwa mereka memang tidak mempunyai syahwat kepada wanita.
3. Allah Ta’ala juga menyebutkan sikap mereka yang mendustakan Nabi-Nya
sehingga layak untuk mendapatkan azab
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوطٍ الْمُرْسَلِينَ (160) إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ
لُوطٌ أَلَا تَتَّقُونَ (161) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (162) فَاتَّقُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُونِ (163) وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ
أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ (164) أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ
الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ
بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166) قَالُوا لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ يَا لُوطُ
لَتَكُونَنَّ مِنَ الْمُخْرَجِينَ (167) قَالَ إِنِّي لِعَمَلِكُمْ مِنَ
الْقَالِينَ (168) رَبِّ نَجِّنِي وَأَهْلِي مِمَّا يَعْمَلُونَ (169)
فَنَجَّيْنَاهُ وَأَهْلَهُ أَجْمَعِينَ (170) إِلَّا عَجُوزًا فِي الْغَابِرِينَ
(171) ثُمَّ دَمَّرْنَا الْآَخَرِينَ (172) وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا
فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ (173 (
Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka Luth,
berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah
seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada
Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu
atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta
alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan
kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu
adalah orang-orang yang melampaui batas.”Mereka menjawab: “Hai Luth,
sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang
yang diusir”Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada
perbuatanmu.” (Luth berdoa): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta
keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan.” Lalu Kami
selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua
(isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami
binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat
jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu (Q.S.
Asy-Syua’ra’ : 160-173)
Point-point dari ayat
di atas yang berhubungan dengan LGBT, yakni :
a.
Firman Allah dalam ayat
165 di atas yang berbunyi : “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara
manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu
untukmu”, secara terang dan gamblang Allah menjelaskan bahwa kaum Luth .a.s. memang tidak mempunyai
kecenderungan seksual kepada kaum wanita. Karena itu, mereka memaksa Nabi Luth
a.s. untuk menyerahkan pria-pria tampan yang menjadi tamu beliau kepada mereka.
b.
Al-Qurthubi dalam
menafsir ayat 165 di atas mengatakan, mereka menikah (berhubungan intim )
dengan para pria dengan mendatangi dubur mereka dan dalam menafsirkan ayat ke
166, beliau mengatakan, yakni kemaluan wanita, padahal Allah telah menjadikan
para wanita untuk dinikahi.[11] Hal
yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya.[12]
4. Ketika kaum Nabi Luth membujuk Nabi Luth a.s. agar menyerahkan tamunya,
maka Allah menimpakan kepada mereka azab yang luar biasa. Allah berfirman :
وَلَقَدْ رَٰوَدُوهُ عَن
ضَيْفِهِۦ فَطَمَسْنَآ أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا۟ عَذَابِى وَنُذُرِ
Dan sesungguhnya mereka
telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan
mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.(Q.S. al-Qamar :
37)
B.
Bentuk Celaan dan Bencana Sebagai Hukuman atas kaum LGBT pada Kaum Luth
Adapun celaan kaum LGBT dalam al-Qur’an dan al-Hadits dapat disimak sebagai
berikut :
1. Nabi Luth a.s. menyebut perilaku LGBT sebagai perbuatan fahisyah (keji) yang
belum pernah dilakukan umat manusia sebelumnya sebagaimana Allah menyebutnya sebagai
perbuatan fahisyah pada perbuatan zina, sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلُوطًا إِذْ قَالَ
لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ
الْعَالَمِينَ
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala
dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu,
yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu) (Q.S. al-A’raf :
80)
Allah menyebut zina
juga sebagai fahisyah sebagaimana dalam firman-Nya, berbunyi :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kalian mendekati zina karena sesungguhnya zina itu adalah
fahisy dan seburuk-buruk jalan (Q.S. al-Isra’ : 32)
2. Perbuatan yang melampaui batas
Ini sesuai dengan firman Allah Taala berbunyi :
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ
الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada
wanita, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas (Q.S. al-A’raf :
81)
Dan firman Allah Ta’ala berbunyi :
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ (165) وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ
لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ (166(
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu
tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu
adalah orang-orang yang melampaui batas.(Q.S. al-Syu’ara’ : 165-166)
3. Perbuatan yang dhalim.
Allah berfirman dalam al-Qur’an berbunyi :
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا
عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ (82) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ
وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ (83(
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di
atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Rabbmu, dan
siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang dhalim (Q.S. Huud :82-83)
4. Tidak berakal
Ini sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ
Dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah
di antaramu seorang yang berakal? (Q.S. Huud : 78)
5. Perbuatan yang dikutuk oleh Nabi SAW sampai tiga kali.
Ini sebagaimana Sabda Nabi SAW berbunyi :
ملْعُونٌ مَنْ عَمِلَ
عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، مَلْعُونٌ مَنْ
عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
Terkutuk barangsiapa yang
melakukan perbuatan Kaum Luth, terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan
Kaum Luth, terkutuk barangsiapa yang melakukan perbuatan Kaum Luth (H.R.
al-Thabrani, didalam sanadnya ada Muhriz bin Harun yang didha’ifkan oleh
Jumhur. Namun haditsnya telah dinyatakan hasan oleh Turmidzi. Adapun rijal yang
lain shahih)[13]
Adapun bencana sebagai hukuman atas kaum
LGBT dalam al-Qur’an dapat dicatat sebagai berikut :
1. Dibutakan mata mereka
Ini sebagaimana firman Allah berbunyi :
وَلَقَدْ
رَٰوَدُوهُ عَن ضَيْفِهِۦ فَطَمَسْنَآ أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا۟ عَذَابِى وَنُذُرِ
Dan sesungguhnya mereka
telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan
mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.(Q.S. al-Qamar :
37)
2. Allah menjadikan bumi Kaum Nabi Luth terbalik, atas menjadi bawah dan bawah
menjadi atas. Allah berfirman dalam al-Qur’an berbunyi :
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا
عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ
Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di
atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang
terbakar dengan bertubi-tubi (Q.S. Huud : 82)
3.
Dihujani mereka dengan
batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi sebagaimana dalam Q.S. Huud :
82 di atas.
[1] Al-Razi, Mafaatih
al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 377
[2]
Al-Razi, Mafaatih
al-Ghaib, Maktabah Syamilah, Juz. XVIII, Hal. 378-379
[3] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut, Juz. IV, Hal. 290
[4] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[5] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[6] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. IV, Hal. 291
[7]
Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[8]
Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[9]
Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiya, Beirut Juz. III, Hal. 399
[10]
Ibnu al-Haj, al-Madkhal,
Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 119.
[11]
Al-Qurthubi, Tafsir
al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 132
[12] Al-Thabari, Tafsir
al-Thabari, Maktabah Syamilah, Juz. 19, Hal. 388
[13]Al-Haitsamy, al-Majma’’
al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 272, No. 10636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar