Apabila ada kasus isteri menolak ajakan suami
bermesraan atau bersetubuh karena suami mempunyai bau badan, maka tindakan
penolakan isteri tersebut tidak dapat dianggap nusyuz dengan catatan bau badan tersebut
secara normal susah ditoleran, sementara suami tidak membiasakan diri
membersihkan penyebab bau badannya. Kesimpulan ini sesuai dengan nash ulama
berikut ini :
1. Dalam al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa karangan Ibnu
Hajar al-Haitamiy disebutkan :
وَسُئِلَ
عَمَّا إذَا امْتَنَعَتْ الزَّوْجَةُ مِنْ تَمْكِينِ الزَّوْجِ لِتَشَعُّثِهِ
وَكَثْرَةِ أَوْسَاخِهِ هَلْ تَكُونُ نَاشِزَةً؟ فَأَجَابَ
بِقَوْلِهِ لَا تَكُونُ نَاشِزَةٌ بِذَلِكَ وَمِثْلُهُ كُلُّ مَا تُجْبَرُ
الْمَرْأَةُ عَلَى إزَالَتِهِ أَخْذًا مِمَّا فِي الْبَيَانِ عَنْ النَّصِّ أَنَّ
كُلَّ مَا يَتَأَذَّى بِهِ الْإِنْسَانُ يَجِبُ عَلَى الزَّوْجِ إزَالَتُهُ.
Imam al-Haitamy ditanyai perihal seorang isteri yang
menolak melayani suaminya karena kotor dan banyak dakinya, apakah tindakan
tersebut termasuk nusyuz? Beliau menjawab : “Tidak termasuk nusyuz dengan sebab
demikian. Sama hukumnya dengan hal itu, setiap keadaan dimana seorang isteri terpaksa
menghilangkannya (karena tidak tahan). Karena memahami dari nash yang terdapat
dalam kitab al-Bayan bahwa setiap yang dapat menyakiti manusia, wajib atas
suami menghilangkannya (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IV, Hal. 208)
2. Fatwa Ibnu
Hajar al-Haitamy di atas telah kutip juga oleh al-Syarwani dalam Hasyiah beliau
dengan penjelasan beliau sebagai berikut :
أَيْ حَيْثُ تَأَذَّتْ بِذَلِكَ تَأَذِّيًا لَا
يُحْتَمَلُ عَادَةً وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ جَوَابُ السُّؤَالِ عَنْ رَجُلٍ ظَهَرَ
بِبَدَنِهِ الْمُبَارَكُ الْمَعْرُوفُ وَهُوَ أَنَّهُ إنْ أَخْبَرَ طَبِيبَانِ
أَنَّهُ مِمَّا يُعْدِي أَوْ تَأَذَّتْ بِهِ تَأَذِّيًا لَا يُحْتَمَلُ عَادَةً
لِمُلَازِمَتِهِ مَعَ ذَلِكَ عَلَى عَدَمِ تَنْظِيفِ مَا بِبَدَنِهِ فَلَا تَصِيرُ
نَاشِزَةً بِامْتِنَاعِهَا وَإِنْ لَمْ يُخْبِرَا بِذَلِكَ وَلَازَمَ عَلَى
النَّظَافَةِ بِحَيْثُ لَمْ يَبْقَ بِبَدَنِهِ مِنْ الْعُفُونَاتِ مَا تَتَأَذَّى
بِهِ عَادَةً وَجَبَ عَلَيْهَا تَمْكِينُهُ وَلَا عِبْرَةَ بِمُجَرَّدِ
نَفْرَتِهَا وَمِثْلُ ذَلِكَ فِي هَذَا التَّفْصِيلِ الْقُرُوحُ السَّيَّالَةُ
وَنَحْوُهَا مِنْ كُلِّ مَا لَا يُثْبِتُ الْخِيَارَ وَلَا يُعْمَلُ بِقَوْلِهَا
فِي ذَلِكَ بَلْ بِشَهَادَةِ مَنْ يُعْرَفُ حَالُهُ لِكَثْرَتِهِ عِشْرَةً لَهُ
اهـ ع ش
Maksudnya sekiranya dengan sebab demikian (bau), si
isteri dapat tersakiti yang tidak dapat ditahan pada kebiasaan. Ini dipahami
dari jawaban pertanyaan perihal seorang suami yang muncul pada tubuhnya mubarak
yang ma’ruf, yakni seandainya dua orang tabib memberikan keterangan bahwa suami
ada penyakit yang menular atau terdapat suatu yang dapat menyakiti seseorang
yang tidak dapat ditoleran pada kebiasaan karena selalu menyertainya, disamping
itu tidak mau membersihkan badannya. Maka seorang isteri tidak menjadi nusyuz
dengan sebab menolaknya. Sebaliknya, seandainya tidak ada keterangan dari dua
orang tabib, sedangkan suami sering mebersihkannya sehingga tidak tersisa pada
tubuhnya bau busuk yang dapat menyakiti si isteri pada kebiasaan, maka wajib
atas isteri melayani suaminya. Tidak dii’tibar perasaan menjijikan dari si
isteri semata. Tafshil ini juga berlaku
pada bisul busuk yang basah dan seumpamanya yakni setiap yang tidak berlaku hak
khiyar padanya. Dan tidak diamalkan dengan semata pengakuan si isteri tentang
hal tersebut, akan tetapi diharuskan dengan kesaksian orang yang mengerti
perihal suami karena sering bergaul dengannya. Demikian ‘Ali Syibra al-Malasiy.
(Hasyiah
al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz.
VII, Hal. 325)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar