Jumhur ulama menjelaskan
adanya pembagian dosa menjadi dosa besar (al-kabaa-ir) dan dosa kecil
(ash-shaghaa-ir). Sekelompok ulama mengingkari adanya dosa kecil ini. Diantara
mereka adalah Abu Isha al-Isfarayiiniy, Abu Bakar al-Baqilaniy, Imam
al-Haramain dalam al-Irsyad dan Ibnu al-Qusyairiy dalam al-Mursyiid. Bahkan
Ibnu Furak telah menghikayah pendapat tersebut dari kelompok Asy’ariyah. Namun
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, terjadi perbedaan ulama tersebut hanyalah dalam
penamaan dan penyebutannya saja. Karena semua sepakat bahwa sebagian maksiat
ada yang mencederai ‘adalah dan sebagian yang lain tidak mencederainya. Para
ulama terdahulu lebih menyukai tidak menamai maksiat kepada Allah sebagai dosa
kecil. Karena memandang kepada kebesaran Allah Ta’ala dan dasyat siksaan-NYa
serta sebagai ungkapan menyanjung keperkasaan Allah Ta’ala sehingga tidak layak
maksiat kepada Allah dinamai sebagai dosa kecil. Namun banyak dalil syara’ yang
sharih yang tidak dapat terbantahkan bahwa maksiat atau dosa kepada Allah
memang terbagi kepada dosa besar dan dosa kecil. Ibnu Hajar al-Haitamy telah
menyebut beberapa ayat al-Qur’an dan hadits sebagai dalil pembagian dosa
menjadi dosa besar dan dosa kecil, yaitu antara lain:
1. Firman Allah Ta’ala berbunyi:
وَكَرَّهَ اِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَۗ
Allah menjadikanmu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan
kemaksiatan.(Q.S. al-Hujurat: 7)
Dalam ayat ini, Allah membagikan kemungkaran kepada Allah dalam tiga
martabat, yaitu kufur, kefasikan dan maksiat. Di sini, Allah menamai sebagian
dosa sebagai kefasikan, tidak pada sebagian yang lain.
2.
Firman
Allah Ta’ala berbunyi:
اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ
الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ
(Mereka adalah)
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji kecuali dosa-dosa kecil.
(Q.S. al-Najm: 32)
3.
Sabda Nabi SAW:
الكبائر سبع
Dosa besar ada tujuh macam (H.R. Abu Daud dan al-Hakim. Al-Hakim
mengatakan, isnadnya shahih
4.
Sabda
Nabi SAW berbunyi:
الصلوات الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى
الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Shalat lima waktu dan shalat Jum'at ke Jum'at berikutnya, dan
Ramadlan ke Ramadlan berikutnya adalah penghapus untuk dosa antara keduanya
apabila dia menjauhi dosa besar (H.R. Muslim)
(Lihat: al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir,
karya Ibnu Hajar al-Haitami: I/7-8)
Devinisi dosa besar dan dosa kecil
Zainuddin al-Malibariy menyebut beberapa contoh dosa besar dalam
kitabnya, yaitu membunuh, berzina, menuduh orang berzina tanpa saksi, makan
riba, makan harta anak yatim, sumpah dusta, kesaksian dusta, mengurangi sukatan
atau timbangan, memutus silaturrahim, lari dari barisan berkecamuk perang,
durhaka kepada orangtua, merampas dalam ukuran seperempat dinar, meninggalkan
shalat yang wajib, menunda membayar zakat secara sengaja, namimah dan
lain-lain. Selanjutnya, beliau membuat kriteria dosa besar secara umum, yaitu:
كل جريمة تؤذن بقلة اكتراث مرتكبها بالدين ورقة الديانة
Setiap maksiat yang dapat menggambarkan pelakunya sedikit kepedulian
kepada agama dan lemah imannya. (Fathul Mu’in karya Zainuddin al-Malibariy dan
Hasyiahnya, I’anah al-Thalibin, Juz. IV, Hal. 279-280)
Kriteria umum lain yang dapat membantu kita mencari tahu yang mana
dosa besar adalah pengertian yang telah disebut oleh Ibnu al-Shalah dan
diterima oleh Jalal al-Bulqainiy, yaitu:
الكبيرة كل ذنب عظم عظما يصح معه أن يطلق عليه اسم الكبيرة، ويوصف
بكونه عظيما على الاطلاق، ولها أمارات منها إيجاب الحد، ومنها الايعاد عليه
بالعذاب بالنار، ونحوها في الكتاب أو السنة، ومنها وصف فاعلها بالفسق، ومنها اللعن
Dosa besar adalah setiap dosa yang besar yang sah dinamai atasnya
dengan nama dosa besar dan disifati keadaaanya besar secara mutlak.
Tanda-tandanya antara lain mewajibkan hudud, ancaman dengan azab api neraka dan
semisalnya dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Tanda dosa besar yang lain disifati
pelakunya dengan fasiq. Termasuk tandanya juga dilaknat. (I’anah al-Thalibin,
karya Abu Bakar Syatha:IV/280)
Al-Baariziy dalam tafsir beliau, al-Tahqiq mengatakan,
أن الكبيرة كل
ذنب قرن به وعيد أو لعن بنص كتاب أو سنة، أو علم أن مفسدته كمفسدة ما قرن به وعيد
أو حد أو لعن، أو أكثر من مفسدته أو أشعر بتهاون مرتكبه في دينه.
Sesungguhnya dosa besar adalah
setiap dosa yang disertai ancaman atau laknat berdasarkan nash al-Kitab dan
al-Sunnah atau diketahui berdasarkan mafsadahnya sama seperti mafsadah dosa
yang disertai ancaman, hudud atau laknat ataupun bahkan lebih banyak
mafsadahnya. Atau diketahui dengan sebab dapat menggambarkan pelakunya
menganggap remeh agamanya. (I’anah
al-Thalibin, karya Abu Bakar Syatha:IV/280)
Devinisi dan kriteria umum dosa besar di atas harus diakui masih samar-samar
dan belum tuntas untuk menentukan yang mana saja yang menjadi dosa besar dan
yang mana saja yang menjadi dosa kecil. Karena itu, tidak heran Ibnu Hajar
al-Haitamiy mengatakan,
واعلم أن كل ما
سبق من الحدود إنما قصدوا به التقريب فقط، وإلا فهي ليست بحدود جامعة
Dan
ketahuilah, sesungguhnya semua devinisi sebelumnya hanya dimaksudkan untuk
mendekatkan saja. Jika tidak, devinisi-devinisi tersebut tidak ada jaami’nya. (Al-Zawaajir ‘an Iqtiraf al-Kabaa-ir, karya Ibnu Hajar al-Haitami: I/13)
Karena itu, untuk menentukan mana dosa besar dan mana dosa kecil,
sebaiknya menelusurinya secara satu persatu dari berbagai kitab karya ulama. Di
antara ulama yang menulis secara khusus dan detil terkait dosa besar adalah Ibnu
Hajar al-Haitamiy. Beliau telah menyebut dalam kitab al-Zawaajir ‘an Iqtiraf
al-Kabaa-ir sebanyak empat ratus enam puluh tujuh jenis dosa besar secara detil
beserta dalil-dalilnya.
Dari devinisi dan penjelasan umum di atas, kita juga dapat memahami
gambaran umum dan pengertian dari dosa kecil. Apabila kita merujuk kepada
devinisi yang dikemukakan oleh al-Baariziy di atas, maka devinisi dosa kecil adalah
setiap dosa yang tidak disertai ancaman atau laknat dalam al-Kitab dan
al-Sunnah atau mafsadahnya tidak menyamai perbuatan yang disertai ancaman dan
laknat ataupun perbuatan dosa tersebut tidak menggambarkan pelakunya meremehkan
agamanya.
Dosa kecil dapat menjadi dosa besar
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menurut jumhur ulama dosa itu
terbagi menjadi dua yaitu dosa besar dan dosa kecil. Namun perlu diketahui
bahwa dosa kecil sebenarnya bisa menjadi besar, jika dilakukan karena
sebab-sebab tertentu sebagaimana dikemukakan Imam al-Ghazali dalam Ihya
‘Ulumuddin berikut ini:
Pertama: Dosa kecil tersebut sudah menjadi
kebiasaan dan dilakukan terus menerus. Terdapat sebuah ungkapan berbunyi:
لاَ صَغِيْرَةَ
مَعَ الإِصْرَارِ ولاَ كَبِيْرَةَ
مَعَ الاِسْتِغْفَارِ
Tidak ada dosa kecil jika dilakukan terus menerus dan tidak ada dosa besar jika dihapus dengan istighfar.
Karena itu, satu dosa besar yang tidak didahului sebelumnya dengan
dosa dosa lainnya akan lebih memungkinkan diampuni dibandingkan dosa dosa kecil
yang terus menerus dilakukan seseorang. Ini bagaikan tetesan-tetesan air yang
berjatuhan terus menerus di atas batu, maka pasti batu tersebut akan berdampak
bekasnya. Berbeda halnya seandai kumpulan air tersebut jatuh sekaligus atas
batu, maka tentu tidak akan membekas apapun. Nabi SAW bersabda:
خير الأعمال
أدومها وإن قل
Sebaik-baik
amal adalah yang dilakukan terus menerus meskipun sedikit.(Muttafaqun
‘alaihi)
Jika amalan
yang bermanfaat adalah amalan yang terus menerus meskipun sedikit, maka
demikian juga sedikit kejahatan yang dilakukan terus menerus akan besar
pengaruhnya dalam menjadikan hati dalam kegelapan.
Kedua: Dosa bisa dianggap besar di sisi
Allah jika seorang hamba menganggap remeh dosa tersebut. Oleh karenanya, jika
seorang hamba menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu akan kecil di sisi
Allah, sebaliknya apabila dianggap kecil dan remeh, maka dosa itu akan menjadi
besar di sisi Allah. Dari sinilah jika seseorang mengganggap besar suatu dosa,
maka ia akan segera lari dari dosa dan betul-betul membencinya.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إِنَّ
الْمُؤْمِنَ يَرَى ذُنُوبَهُ كالجَبَلٍ فوقه يَخَافُ
أَنْ يَقَعَ عَلَيْهِ ، وَالْمنافق يَرَى ذُنُوبَهُ كَذُبَابٍ مَرَّ عَلَى
أَنْفِهِ فأطاره
Sesungguhnya seorang mukmin melihat dosanya seakan-akan sebuah gunung di atasnya dan khawatir gunung tersebut akan
menimpanya. Sedangkan seorang munafiq, ia akan melihat dosanya seperti seekor
lalat yang lewat begitu saja di hadapan batang hidungnya, maka dengan mudah
mengusirnya. (H.R. Bukhari)
Ketiga: Senang melakukan dosa kecil,
gembira dan merasa bangga melakukannya. Juga menganggap kemampuan melaksanakannya
merupakan kenikmatan dan tidak menyadari bahwa dosa itu sebab celaka atas
dirinya.
Keempat: Meremehkan menutupi Allah atas
kejelekannya dan meremehkan kemurahan-Nya kepadanya serta penangguhan siksa-Nya
kepadanya. Ia tidak menyadari penangguhan siksaan dari-Nya agar ia semakin
bertambah dosanya dengan sebab penangguhan itu. Allah Ta’ala berfirman:
ويقولون في
أنفسهم لولا يعذبنا الله بما نقول حسبهم جهنم يصلونها فبئس المصير
Mereka mengatakan dalam hati, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita
atas apa yang kita katakan?” Cukuplah bagi mereka (neraka) Jahanam yang akan
mereka masuki. Maka, (neraka itu) seburuk-buruk tempat kembali.(Q.S.
al-Mujadilah: 8)
Kelima: Memamerkan suatu dosa. Melakukannya
secara terang-terangan sambil menceritakan kepada orang lain dengan sikap pamer
setelah melakukannya atau melakukan di tempat yang dapat disaksikan orang
banyak. Ini termasuk tindakan aniaya terhadap diri sendiri karena membuka aib
sendiri yang ditutupi Allah Ta’ala serta dapat menggerakkan orang lain berbuat
dosa yang sama dengan sebab menyaksikan perbuatan dosa tersebut. Nabi SAW
bersabda:
كُلُّ أُمَّتِى
مُعَافَاةٌ إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنَ الإِجْهَارِ أَنْ يَعْمَلَ
الْعَبْدُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحُ قَدْ سَتَرَهُ رَبُّهُ فَيَقُولُ
يَا فُلاَنُ قَدْ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ
رَبُّهُ فَيَبِيتُ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang melakukan jahr. Di
antara bentuk melakukan jahr adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat,
namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita,
“Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam
Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri
yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup. (Muttafaquun ‘alaihi)
Keenam: Dosa tersebut dilakukan oleh
seorang alim yang dia menjadi panutan bagi yang lain. Karena kedudukannya
dihati orang awam, dosa orang alim ini akan hidup terus mengitari kehidupan
manusia. Dosa orang alim tidak mengikuti kematiannya, akan tetapi berterbangan
di alam fana ini dalam waktu yang lama. Berbahagialah orang apabila meninggal
dunia, maka dosa-dosanya itu ikut meninggalkan dunia bersamanya. Nabi SAW
bersabda,
مَنْ سَنَّ
سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يُنْقِصُ
من أوزارهم شيئاً
Barangsiapa melakukan suatu amalan jahat, maka akan dicatat baginya
dosa dan dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.
(H.R. Muslim)
Allah Ta’ala berfirman:
ونكتب ما قدموا وآثارهم
Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang
mereka tinggalkan.(Q.S. Yasiin: 12)
Bekas-bekas itu adalah amalan-amalan yang menyusul setelah
melakukan sebuah amalan. Amalan seperti ini kerap ada pada amalan seorang alim
yang menjadi panutan manusia.
(Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazaliy: IV/32-33)
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar