Kamis, 20 Oktober 2016

Merebus ayam sebelum dikeluarkan kotorannya

Sebagian sahabat kita pernah bertanya bagaimana hukum merebus ayam atau bebek sebelum mengeluarkan kotorannya sebagaimana sering dilakukan di pasar-pasar ayam/bebek.
Jawabannya : tentu dapat menyebabkan najis daging ayam tersebut, karena air panas dapat meresapkan najis pada bagian-bagian dalam daging. Namun demikian, daging ayam tersebut dapat suci kembali dengan hanya menyiram bagian luarnya saja. Berikut nash para ulama kita menyangkut hal tesebut di atas, yakni :
1.    Disebut dalam Fathul Mu’in sebagai berikut :
وإن كان حبا أو لحما طبخ بنجس، أو ثوبا صبغ بنجس، فيطهر باطنها بصب الماء على ظاهرها
Seandai biji-bijian atau daging dimasak dengan najis atau pakaian dicelup dengan najis, maka bathinnya itu suci dengan sebab dituang air atas bagian luarnya.[1]

2.    Disebut dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin sebagai berikut :

لحم عليه دم غير معفوّ عنه ذر عليه ملح فتشربها طهر بإزالة الدم وإن بقي طعم الملح كحب أو لحم طبخ ببول فيكفي غسل ظاهره وإن بقي طعم البول بباطنه إذ تشرب ما ذكر كتشرب المسام كما في التحفة
Daging diatasnya ada darah yang tidak dimaafkan serta ditaburi garam yang meresap dalam daging, maka ini suci dengan sebab menghilangkan darah, meskipun tersisa rasa garam, sama halnya daging yang dimasak dengan kencing, maka memadai dengan membasuh bagian luarnya saja, meskipun masih tersisa rasa kencing pada bagian dalamnya. Karena peresapan tersebut sama dengan peresapan yang terjadi pada lobang pori-pori kulit sebagaimana tersebut dalam al-Tuhfah.[2]

3.    Dalam Syarah Bahjah Wardiyah disebutkan :
)قوله : لا يشترط العصر ) سواء في ذلك ما له خمل أي : وبر كالبساط وما لا خمل له فما في الروضة والمجموع من أنه لو طبخ لحم بماء نجس نجس ظاهره وباطنه و يكفي غسله ويعصر كالبساط محمول على الندب أو الضعيف وتوجيه القمولي بأن النجاسة تدخل في باطن اللحم فيحتاج لإخراجها بالعصر فغير مستقيم لأن القول بعدم اشتراط العصر وهو الأصح مبني على الأصح وهو طهارة الغسالة
(Perkataan pengarang : “tidak disyaratkan memerasnya), itu baik yang berbulu seperti permadani maupun yang tidak berbulu. Karena itu, yang tersebut dalam al-Raudhah dan al-Majmu’ bahwa seandainya daging dimasak dengan air najis, maka najislah dhahir dan bagian dalamnya, akan tetapi memadai dengan membasuh dan memerasnya seperti permadani, ini dipertempatkan pada hukum sunnat atau pendapat dha’if. Adapun alasan al-Qamuli bahwa najis masuk dalam bagian dalam daging, maka perlu dikeluarkannya dengan memeras, ini tidak benar, karena pendapat yang mengatakan tidak disyaratkan peras – pendapat ini adalah lebih shahih – dibangun atas pendapat yang lebih shahih, yakni pendapat suci air bekas basuhan.[3]
4.    Dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Manhaj disebutkan :
لو ابتل حب بماء نجس أو بول صار رطبا وغسل بماء طاهر حال الرطوبة طهر ظاهرا وباطنا كذا اللحم إذا طبخ بهما وغسل يطهر ظاهرا وباطنا ز ي
Jika basah biji-bijian dengan air najis atau kencing yang menyebabkan lembab, kemudian dibasuh dengan air yang suci pada ketika lembab tersebut, maka suci dhahir dan bagian dalamnya. demikian juga daging apabila dimasak dengan keduanya, kemudian dibasuh, maka suci dhahir dan bagian dalamnya. Demikian al-Ziyadi.[4]




[1] Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 95
[2] Sayyed Abdurrahman Ba’Alawi, Bughyatul Mustarsyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 17
[3] Zakariya al-Anshari, Syarah bahjah Wardiyah,Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, juz.1, Hal 167-168
[4] Al-Bujairumi, Hasyiah Bujairimy `ala al-Manhaj, Darul Fikri, Beirut, juz.1, Hal 101

Jumat, 07 Oktober 2016

Panitia qurban menerima jatah daging qurban ?


Panitia Qurban adalah sekelompok orang-orang tertentu yang pada umumnya
dipersiapkan oleh suatu organisasi seperti ta’mir masjid, mushalla dan lain-lain guna menerima kepercayaan (amanat) dari pihak yang berqurban (mudlahhi) agar melaksanakan penyembelihan hewan qurban dan membagikan dagingnya. Apabila pengertian ini yang digunakan dalam paktek qurban , maka dalam pandangan fiqh panitia adalah wakil dari pihak mudlahhi.
Dalam kitab Fathul Qarib disebutkan devinisi wakalah (mewakilkan) sebagai berikut :
و في الشرع تفويض شخص شيأ له فعله مما يقبل النيابة الى غيره ليفعله حال حياته
Wakalah menurut syara’ adalah penyerahan oleh seseorang sesuatu yang boleh ia kerjakan sendiri dari urusan-urusan yang bisa digantikan kepada pihak lain agar dikerjakannya diwaktu pihak pertama masih hidup.[1]

          Seterusnya dalam Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj dijelaskan :
 
والوكيل امين  لانه نائب عن الموكل في اليد والتصرف فكانت يده كيده
Wakil adalah pengemban amanah, karena ia sebagai pengganti muwakkil (yang mewakilkan) dalam kekuasaan dan tasharruf, jadi kekuasannya seperti kekuasaan pihak muwakkil.[2]

Dengan demikian, maka posisi wakil dalam qurban adalah pemegang amanah dari muwakkil dimana wewenangnya sama dengan muwakkil. Karena itu, si wakil tidak boleh menerima hak dari daging qurban kecuali sedikit daging yang merupakan hak si muwakkil (kalau qurban sunnat, bukan nazar). Adapun untuk pribadi si wakil, menurut Ibrahim al-Bajuri boleh menerimanya apabila si muwakkil ada menentukan dalam jumlah tertentu yang diperuntukan untuk si wakil. Sebaliknya, apabila tidak ditentukan oleh si muwakkil, maka si wakil tidak boleh mengambilnya.
ولا يجوز له أخذ شيئ الأ ان عين له الموكل قدرا منها

Tidak boleh bagi wakil mengambil sedikitpun kecuali pihak muwakkil sudah menentukan dalam ukuran tertentu darinya untuk pihak wakil.[3]

Alasan si wakil tidak boleh mengambilnya apabila tidak ditentukan oleh si muwakkil dalam jumlah tertentu yang diperuntukan untuk si wakil adalah karena :
1.      Wewenang wakil sama seperti wewenang muwakkil sebagaimana dijelaskan dalam Hasyiah al-Jamal di atas
2.      Berdasarkan point 1 di atas, maka apabila si wakil mengambil sebagian dari qurban untuk dirinya, ini berarti yang memberi dan yang menerima adalah orang yang sama. Ini tidak dibenarkan. Karena dalam qawaid fiqh disebutkan :
اتحاد الموجب والقابل يمتنع الا مسألتين
Terlarang orang yang sama al-mujib (pihak yang mengijab) dan al-qaabil (pihak yang qabul) kecuali pada dua masalah.

Setelah menyebut qawaid di atas, al-Zarkasyi menjelaskan dua masalah yang dikecualikan dari qawaid di atas, yakni :
a.       Ayah dan kakek dalam menjual harta anaknya yang masih kecil untuk dirinya sendiri
b.      Muwakkil mewakilkan jual beli dan mengizinkan si wakil membeli untuk dirinya sendiri dan juga muwakkil ada menentukan jumlah harga serta melarang melebihkan dari harga yang ditentukannya. Dalam kasus ini, dalam kitab al-Mathlab disebutkan seyogyanya ini dibolehkan, karena alasan hukum terlarang orang yang sama pihak yang mengijab dan pihak yang qabul adalah karena tuhmah (kekuatiran menimbulkan fitnah). Dalilnya boleh pada kasus ayah atau kakek sebagaimana di atas.[4]

Berdasarkan alasan hukum terlarang orang yang sama pihak yang mengijab dan pihak yang qabul adalah karena tuhmah, maka dapat dipahami kalau Ibrahim al-Bajuri berpendapat boleh menerimanya apabila si muwakkil ada menentukan dalam jumlah tertentu yang diperuntukan untuk si wakil, karena ternafi tuhmah di sini.






[1].Ibnu Qasim al-Ghazi, Fathul Qarib, (dicetak pada hamisy al-Bajuri), al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 386
[2] Sulaiman al-Jamal, Hasyiah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, Dar Ihya al-Turatis al-Arabi, Juz. III, Hal. 416
[3] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fathul Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 387
[4] Al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 23

Kamis, 08 September 2016

Penggabungan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan

Terjadi khilaf pendapat dikalangan ulama Syafi’iyah tentang kebolehan penggabungan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan. Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan tidak memadai tindakan tersebut untuk satupun dari keduanya. Adapun Imam al-Ramli berpendapat sebaliknya, beliau mengatakan niat qurban dan aqiqah pada satu ekor hewan memadai untuk keduanya. Berikut kutipan dari kedua ulama tersebut, yakni :
1.Dalam Tuhfah al-Muhtaj, al-Haitami mengatakan :
وَظَاهِرُ كَلَامِ الْمَتْنِ وَالْأَصْحَابِ أَنَّهُ لَوْ نَوَى بِشَاةٍ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ لَمْ تَحْصُلْ وَاحِدَةٌ مِنْهُمَا وَهُوَ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا سُنَّةٌ مَقْصُودَةٌ وَلِأَنَّ الْقَصْدَ بِالْأُضْحِيَّةِ الضِّيَافَةُ الْعَامَّةُ وَمِنْ الْعَقِيقَةِ الضِّيَافَةُ الْخَاصَّةُ وَلِأَنَّهُمَا يَخْتَلِفَانِ فِي مَسَائِلَ كَمَا يَأْتِي وَبِهَذَا يَتَّضِحُ الرَّدُّ عَلَى مَنْ زَعَمَ حُصُولَهُمَا وَقَاسَهُ عَلَى غُسْلِ الْجُمُعَةِ وَالْجَنَابَةِ عَلَى أَنَّهُمْ صَرَّحُوا بِأَنَّ مَبْنَى الطَّهَارَاتِ عَلَى التَّدَاخُلِ فَلَا يُقَاسُ بِهَا غَيْرُهَا
Dhahir kalam matan dan para pengikut Syafi’i sesungguhnya seandai seseorang meniat (penggabungan) qurban dan aqiqah pada satu ekor kambing, maka tidak memadai untuk salah satu dari keduanya. Ini dhahir, karena setiap keduanya sunnah maqshudah dan karena tujuan qurban penjamuan bersifat umum, sedangkan tujuan aqiqah penjamuan bersifat khusus dan juga karena keduanya berbeda dalam beberapa masalah yang akan datang. Dengan ini, jelaslah tertolak pendapat yang mendakwakan memadai untuk keduanya dengan melakukan qiyas kepada mandi Jum’at dan janabah, sedangkan mereka menerangkan bahwa bab thaharah diasaskan kepada asas tadakhul (saling masuk). Karena itu, tidak dapat diqiyaskan kepada thaharah selain thaharah. [1]

2. Dalam Nihayah al-Muhtaj, Imam al-Ramli mengatakan :
وَلَوْ نَوَى بِالشَّاةِ الْمَذْبُوحَةِ الْأُضْحِيَّةَ وَالْعَقِيقَةَ حَصَلَا خِلَافًا لِمَنْ زَعَمَ خِلَافَهُ
Seandainya seseorang niat (penggabungan) qurban dan aqiqah pada satu ekor kambing sembelihan, maka memadai untuk keduanya, khilaf dengan yang mendakwa sebaliknya.[2]



[1] Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj (dicetak pada hamisy Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj), Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 369-370
[2] Al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj, (ddicetak bersama hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi), Dar al-Kutub al-ilmiyah, Beirut, Juz. VIII, Hal. 145-146

Selasa, 06 September 2016

Hukum memelihara burung dalam sangkar

Hukum memelihara hewan termasuk burung dengan cara di batasi kebebasannya, baik dengan cara dikurung atau diikat dibolehkan dengan syarat dipenuhi kebutuhan makannya, tidak diperlakukan secara zalim dan bukan hewan yang diharamkan untuk dipelihara. Berikut ini nash dari ulama mengenai masalah ini, yakni antara lain:
1.    Qalyubi berkata :
لَهُ حَبْسُ حَيَوَانٍ وَلَوْ لِسَمَاعِ صَوْتِهِ، أَوْ التَّفَرُّجِ عَلَيْهِ، أَوْ نَحْوَ كَلْبٍ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ مَعَ إطْعَامِهِ.
Boleh seseorang menahan (memelihara) hewan walau untuk sekedar mendengar suaranya atau melihatnya, atau menahan seumpama anjing untuk kebutuhan, dengan syarat hewan-hewan itu diberi makan.[1]

2.    Dalam kitab Syarah al-Iqna’ karya al-Khatib al-Syarbaini disebutkan :
 سئل القفال عن حبس الطيور في اقتناص لسماع أصواتها أو غير ذلك فأجاب بالجواز إذا تعهدها مالكها بما يحتاج إليه لأنها كالبهيمة تربط.
.Imam Qaffal ditanya tentang hukumnya meletakkan burung dalam sangkar untuk didengarkan suaranya atau yang lain, beliau menjawab bahwa hal itu diperbolehkan jika pemiliknya memperhatikan sesuatu yang dibutuhkan burung tersebut, karena hal itu sama engan hewan yang diikat.[2]

Fatwa ini didasarkan keepada dalil, antara lain hadits riwayat Anas r.a, beliau berkata :
 كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا، وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ - قَالَ: أَحْسِبُهُ - فَطِيمًا، وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ: يَا أَبَا عُمَيْرٍ، مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ
Nabi SAW adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu Umair. Dia (perawi) berkata : perkiraanku, dia anak yang baru disapih. Beliau SAW datang, lalu memanggil : “Wahai Abu Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair (nama seekor burung). Sementara anak itu sedang bermain dengannya. (H.R. Bukhari).[3]

Dalam hadis di atas Nabi SAW membiarkan anak tersebut memelihara dan bermain dengan burung yang dia pelihara. Nabi pun tidak memerintahkan keluarganya agar melepas burung tersebut. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menerangkan bahwa hadits ini menunjukkan kebolehannya memelihara burung di dalam sangkar.[4]



[1] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiah, Indonesia,  Juz. IV, Hal. 94
[2]Al- Khatib al-Syarbaini, Syarah al-Iqna’ (dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib), Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. V, Hal. 90
[3] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 45, No. 6203
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani,  Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. X, Hal. 584

Sabtu, 03 September 2016

Menempatkan kembali nash-nash Imam Syafi'i pada pemahamanan yang benar (bag. 7)

11. Nash Imam Syafi’i bahwa Allah di langit
            Diantara nash Imam Syafi’i yang sering digunakan sebagai pendukung pendapat Wahabi Salafi dalam membenarkan akidahnya adalah kutipan dari kitab ‘Ulu al-Aliy al-Ghafar karya al-Zahabi diriwayatkan dari jalur Abu Hasan al-Hakkari dengan sanadnya kepada Abu Tsur dan Abu Syu’aib, keduanya dari Imam Syafi’i, beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء وذكر سائر الاعتقاد
Perkataan dalam al-Sunnah yang aku dan sahabat-sahabat kami serta ahli hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan, Malik dan selainnya : “Kami mengakui dengan syahadah bahwa tidak ada yang disembah kecuali Allah dan  Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, dimana Allah dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau menyebutkan beberapa i’tiqad lainnya.[1]

Ibnu Qayyim al-Jauzi juga telah mengutip perkataan Imam Syafi’i di atas dalam kitabnya, Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah dari perkataan Ibnu  Abi Hatim al-Razi juga dengan sanad Abu Syu’aib dan Abu Tsur.[2] Dalam kitabnya, al-Arasy, al-Zahabi mengutip perkataan ini dari riwayat Abd al-Ghani al-Maqdisi dan al-Hakaari dengan sanadnya kepada Abu Tsur dan Abu Syu’aib.[3]
Untuk menelusuri apakah perkataan di atas benar merupakan perkataan Imam Syafi’i atau penisbatan perkataan ini kepada Imam Syafi’i merupakan pendustaan kepada beliau,  maka berikut  ini analisis  terhadap sanad riwayat di atas, yakni sebagai berikut :
1). Abu al-Hasan al-Hakaari
Abu al-Hasan al-Hakaari dengan nama Ali bin Ahmad Abu al-Hasan al-Hakaari ini adalah orang yang dituduh (tuhmah) sebagai pemalsu hadits. Al-Zahabi sendiri yang meriwayat perkataan ini dari al-Hakaari mengatakan dalam kitabnya, Mizan al-I’tidal, berkata Abu al-Qasim ibn ‘Asakir : “al-Hakaari tidak dapat dipercaya”. Ibn al-Najaar berkata : “Dia dituduh sebagai pemalsu hadits dan yang mengada-adakan sanad.”[4] Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitabnya, Lisan al-Mizan juga telah menyebut perihal al-Hakaari ini sebagaimana kutipan al-Zahabi di atas. Selanjutnya beliau menambahkan : “Kebanyakan haditsnya ghariib dan mungkar dan dalam haditsnya ada beberapa yang palsu. Aku telah melihat tulisan sebagian ahli hadits yang menyebutkan al-Hakaari sering melakukan pemalsuan hadits di Ashfahan.”[5]
2). Abu Syu’aib yang didakwa mendengar perkataan di atas dari Imam Syafi’i lahir dua tahun setelah Imam Syafi’i wafat. Karena Abu Syu’aib ini lahir pada tahun 206 H. [6] Sedangkan Imam Syafi’i sebagaimana dimaklumi wafat pada tahun 204 H. Dengan demikian, Abu Syu’aib tidak pernah ketemu dengan Imam Syafi’i.
3). Ibnu Abi Hatim al-Razi yang dikutip oleh Ibnu Qayyim al-Jauzi di atas merupakan anak dari ahli hadits terkenal, Abu Hatim. Ibnu Abi Hatim ini wafat pada tahun 327 H dengan usia beliau ketika itu 80 tahun lebih.[7] Seandainya maksud 80 tahun lebih ini adalah 89 tahun, maka beliau lahir pada tahun 238 H. Sedangkan Abu Tsur wafat pada tahun 240 H.[8] Dengan demikian, pada ketika Abu Tsur wafat, Ibnu Abi Hatim al-Razi masih berusia 2 tahun. Dengan demikian, dapat dipastikan Ibnu Abi Hatim tidak menerima riwayat dari Abu Tsur.
4). Abd al-Ghani al-Maqdisi yang wafat pada tahun 541 H ini adalah penganut aliran mujassimah yang telah dihalalkan darahnya pada masa hidupnya oleh para fuqaha Mesir.[9]
Berdasarkan keterangan di atas, maka di  sini dapat kita dijelaskan sebagai berikut :
a.    Perkataan Abu Hasan al-Hakaari tidak dapat dijadikan pegangan, karena al-Hakaari ini disebut sebagai pemalsu hadits dan Abu Syu’aib yang didakwa pernah mendengar perkataan Imam Syafi’i tidak pernah bertemu dengan Imam Syafi’i, karena beliau lahir setelah dua tahun Imam Syafi’i wafat.
b.    Ibnu Abi Hatim tidak menerima riwayat dari Abu Tsur, karena Ibnu Abi Hatim masih berumur dua tahun ketika Abu Tsur wafat (Ini seandainya kita maknai umurnya 80 tahun lebih beermakna 89 tahun)
c.    Al-Zahabi tidak menyebut sanad Abd al-Ghani al-Maqdisi, sehingga sanadnya ini tidak dapat dipertanggungjawabkan. Lagi pula Abd al-Ghani al-Maqdisi ini adalah penganut mujassimah yang pernah dihukum halal darahnya oleh para fuqaha zamannya.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipastikan bahwa perkataan tersebut bukanlah peerkataan Imam Syafi’i, akan tetapi hanya riwayat palsu dengan mengatasnamakan Imam Syafi’i. Upaya orang-orang fanatik mazhab seperti pengikut mujassimah memalsukan perkataan ulama besar untuk mendukung mazhabnya  ini memang sering terjadi. Hal ini juga terjadi pada Imam Syafi’i. Karena itu, kita bisa memahami kenapa pemalsuan riwayat dari Imam Syafi’i dapat terjadi juga sebagaimana perkataan yang dinisbatkan kepada beliau di atas. Al-Zahabi dalam ketika menjelaskan biografi Abu Thalib al- ‘Asyaari mengatakan : “Dengan mengatasnamakan al-‘Asyaari, mereka memasukkan sesuatu, maka didatangkannya dengan kesenangan bathin, diantaranya hadits maudhu’ pada fadhilah malam ‘Asyura dan diantaranya akidah Imam Syafi’i.”[10]

Menempatkan kembali nash-nash Imam Syafi'i pada pemahaman yang benar (bag. 6)


[1] Al-Zahabi, al- ‘Ulu lil-Aliy al-Ghafar, Dar al-Himam al-Rawas, Beirut,  Hal. 436
[2] Ibnu Qayyim al-Jauzi, Ijtima’ al-Juyus al-Islamiyah, Dar ‘Alim al-Fawaid, Hal. 240
[3] Al-Zahabi, al-Arasy, Azhwa’ al-Salaf, Saudi Arabiya, Juz. II, Hal. 226-227.
[4] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. III, Hal. 112
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Lisan al-Mizan, Maktab al-Mathbu’ah al-Islamiyah,  Juz. V, Hal. 483
[6] Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 443
[7] Al-Zahabi, Siir A’lam al-Nubulaa, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 269
[8] Al-Zahabi, Siir A’lam al-Nubulaa, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 73
[9] Abu Syamah al-Maqdisi, Dzail ‘ala al-Raudhataini, Dar al-Jail, Beirut,  Hal. 47
[10] Al-Zahabi, Mizan al-I’tidal, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. III, Hal. 659