1.
Dalam kitab Haji
disebutkan :
وواجبات الحج غير الأركان ثلاثة أشياء :الإحرام من الميقات، ورمي الجمار الثلاث، والحلق
Artinya :
Wajib haji selain rukun ada tiga perkara, yaitu ihram di miqat, melempar
jamarah yang tiga dan mencukur.[1]
Pernyataan pengarang,
bahwa mencukur termasuk salah satu wajib haji adalah dha’if, karena pendapat
yang mu’tamad mencukur rambut termasuk rukun haji sebagaimana keterangan ulama
di bawah ini :
a. Ibrahim al-Bajuri mengatakan :
وقد علمتَ غير
ما مرة
أن عد
الحلق أو
التقصير من
الواجبات ضعيف، والمعتمد أنه
من الأركان
Artinya : Sesungguhnya
telah dimaklumi bukan satu kali bahwa menghitung mencukur atau menggunting
rambut termasuk wajib haji adalah dha’if, sedangkan pendapat yang mu’tamad
mencukur atau menggunting rambut termasuk rukun.[2]
b.
Dalam Syarah al-Mahalli
‘ala al-Minhaj disebutkan :
(والحلق)
اي ازالة الشعر في الحج او العمرة في وقته (نسك على المشهور) فيثاب عليه وهو ركن
Artinya :
Mencukur yaitu menghilangkan rambut pada haji atau umrah pada waktunya adalah
ibadah haji berdasarkan pendapat masyhur, karena itu diberikan pahala untuknya
dan mencukur itu adalah rukun.[3]
2.
Dalam kitab Haji, pada
masalah sunat-sunnat haji disebutkan :
والمبيت بمزدلفة
Artinya : dan bermalam di Muzdalifah.[4]
Pernyataan
pengarang, bahwa bermalam di Muzdalifah termasuk sunnat haji adalah dha’if,
karena berdasarkan pendapat yang mu’tamad, bermalam di Muzdalifah termasuk
wajib haji berdasarkan keterangan ulama di bawah ini :
a. Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib
al-Mujibi dalam mengometari pernyataan
pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut,
mengatakan :
وعده
من
السنن
هو
ما
يقتضيه
كلام
الرافعي،
لكن
الذي
في
زيادة
الروضة
وشرح
المهذَّب
أن
المبيت
بمزدلفة
واجب
Artinya : Menghitung
bermalam di Muzdalifah sebagai sunnat-sunnat haji merupakan kehendaki kalam
al-Rafi’i, tetapi yang terdapat dalam ziayadah (tambahan) Raudhah dan Syarah
al-Muhazzab, bermalam di Muzdalifah, hukumnya wajib. [5]
b.
Dalam kitab al-Iqna’
disebutkan :
والرابعة المبيت بمزدلفة
على وجه ضعيف والاصح انه واجب
Artinya : Yang
ke-empat (sunnat-sunnat haji) adalah bermalam di Muzdalifah berdasarkan
pendapat dha’if, sedangkan menurut pendapat yang lebih shahih adalah wajib.[6]
3.
Dalam kitab Haji, pada
masalah sunnat-sunnat haji disebutkan :
والمبيت بمنى
Artinya : dan
bermalam di Mina.[7]
Pernyataan
pengarang, bahwa bermalam di Mina termasuk sunnat haji adalah dha’if, karena
berdasarkan pendapat yang mu’tamad, bermalam di Mina termasuk wajib haji. Pernyataan
pengarang di atas dianggap dha’if apabila bermalam di Mina dimaknai dengan
bermalam pada hari tasyriq yang tiga. Adapun apabila dimaknai dengan bermalam di
Mina pada malam ‘Arafah, maka pernyataan penagarang tersebut adalah mu’tamad. Khatib
Syarbaini dalam al-Iqna’ telah menempatkan pernyataan pengarang di atas sebagai
bermalam di Mina pada malam ‘Arafah, beliau mengatakan :
)و(السادسة )المبيت بمنى( ليلة عرفة لانه لاستراحة لا للنسك
وخرج بقيد عرفة المبيت بها ليالي التشريق فانه واجب كما مر بيانه
Artinya : Yang ke-enam (sunnat-sunnat haji) adalah bermalam di
Mina pada malam ‘Arafah, karena ia untuk istirahat, bukan untuk ibadah haji. Dengan
qaid “’Arafah”, maka keluarlah bermalam di Mina pada malam-malam tasyriq, itu
adalah wajib sebagaimana telah lalu penjelasannya.[8]
Keterangan yang menjelaskan bahwa sunnat bermalam di
Mina pada hari tasyriq yang tiga adalah dha’if antara lain, Ibnu Qasim al-Ghazi.
Dalam kitab Fath al-Qarib al-Mujibi dalam mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah
wa al-Taqrib tersebut, beliau mengatakan :
هذا ماصححه الرافعي ولكن صحح النووي في زيادة الروضة الوجوب
Artinya : Ini
(bermalam di Mina termasuk sunnat haji) adalah
berdasarkan yang ditashhih oleh al-Rafi’i, tetapi al-Nawawi telah mentashhih wajib
dalam ziyadah (tambahan) al-Raudhah.[9]
Kitab Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib selanjutnya
menjelaskan :
)قوله
ولكن صحح
النووي في
زيادة الروضة
الوجوب (أي وجوب
المبيت بمنى
ليالي أيام
التشريق الثلاث.....
الخ
Artinya
: Perkataan pensyarah : tetapi al-Nawawi telah
mentashhih wajib dalam ziyadah (tambahan) al-Raudhah, artinya wajib bermalam di
Mina pada malam hari tasyriq yang tiga……….dst[10]
4.
Dalam kitab Haji, pada masalah sunnat-sunnat
haji disebutkan
وطواف الوداع
Artinya : dan
Thawaf Wida’[11]
Pernyataan
pengarang, bahwa thawaf Wida’ termasuk sunnat haji adalah dha’if, karena
berdasarkan pendapat yang mu’tamad, thawaf Wida’ , hukumnya adalah wajib berdasarkan
keterangan ulama berikut ini :
a. Ibnu Qasim al-Ghazi dalam kitab Fath al-Qarib
al-Mujibi dalam mengometari pernyataan
pengarang al-Ghayah wa al-Taqrib tersebut,
mengatakan :
وما ذكره المصنف من سنيته قول مرجوح لكن الأظهر وجوبه
Artinya
: Apa yang disebutkan oleh pengarang termasuk sunat haji adalah dha’if, tetapi
pendapat yang lebih dhahir adalah wajib thawaf Wida’.[12]
b.
Dalam
al-Iqna’ disebutkan :
(و) السابعة (طواف الوداع) على قول مرجوح
والاظهر انه واجب كما مر بيانه
Artinya
: Yang ketujuh (sunnat haji) adalah thawaf wida’ berdasarkan pendapat yang
lemah, sedangkan menurut pendapat yang lebih dhahir itu adalah wajib
sebagaimana telah lalu penjelasannya.[13]
5.
Dalam
kitab Haji, pada masalah yang haram dilakukan oleh orang yang ihram disebutkan :
وترجيل الشعر
Artinya : dan menyisir rambut.[14]
Pernyataan pengarang, menyisir rambut haram dilakukan oleh orang
yang ihram adalah dha’if, berdasarkan keterangan Ibnu Qasim al-Ghazi dalam
kitab Fath al-Qarib al-Mujibi. Dalam
mengometari pernyataan pengarang al-Ghayah wa
al-Taqrib tersebut, beliau mengatakan
:
كذا
عده المصنف من
المحرمات لكن
الذي في
شرح المهذب أنه
مكروه
Artinya : Seperti
ini telah dihitungnya oleh pengarang termasuk yang diharamkan, tetapi dalam
Syarah al-Muhazzab sesungguhnya menyisir rambut bagi orang yang ihram adalah
makruh.[15]
Pendapat pengarang di
atas dianggap dha’if, apabila “tarjiil” dimaknai dengan menyisir (tasriih) tanpa
menggunakan minyak. Adapun apabila “tarjiil” dimaknai dengan menyisir dengan
menggunakan minyak, maka pernyataan pengarang tersebut tidak dha’if.[16]
(Bersambung............)
Tgk Alizar Usman
[1]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 20
[2]
Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian,
Singapura, Juz. I, Hal. 319
[3]
Jalaluddin
al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada
hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal.
118
[4]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 20
[5]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 28
[6]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. III, Hal. 222
[7]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 20
[8]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. III, Hal. 223
[9]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 28
[10]
Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian,
Singapura, Juz. I, Hal. 322
[11]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 20
[12]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 28
[13]
Khatib
Syarbaini, al-Iqna’ ‘ala Halli Alfazh Abi
Syuja’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. III, Hal. 223
[14]
Abu Syuja’, al-Ghayah
wa al-Taqrib, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, Mesir, Hal. 20
[15]
Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath
al-Qarib al-Mujib, al-Ma’arif, Bandung, Hal. 28
[16]
Lihat Ibrahim
al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramian,
Singapura, Juz. I, Hal. 325
Sangat bermamfaat gure... شكرا يا شيخ
BalasHapusشكرا يا شيخ
BalasHapusقد نفع الله لنا بعلمك يا شيخ
شكرا يا شيخ
BalasHapusقد نفع الله لنا بعلمك يا شيخ