Dalam khazanah sejarah penggalian hukum Islam tidak pernah dikenal
penetapan suatu hukum atau penafsiran ayat Al-Qur’an berdasarkan mimpi, mulai
dari sahabat Nabi sampai dengan sejarah imam-imam mujtahid. Manusia selain Nabi
adalah tidak ma’shum. Tidak ada jaminan mimpi seorang manusia selain Nabi tidak
dipengaruhi bisikan-bisikan syaithan. Hanya mimpi para Nabi merupakan kebenaran
sebagaimana mimpi Nabi Ibrahim diperintah Allah SWT menyembelih anaknya,
Ismail. [1]
Allah berfirman dalam Al-Qur’an :
لَقَدْ صَدَقَ اللَّهُ رَسُولَهُ الرُّؤْيَا
بِالْحَقِّ
Artinya : Sesungguhnya Allah
telah membenarkan Rasul-Nya mengenai mimpi yang haq.(Q.S. Al-Fath : 27)
Ahmad Shawy dalam menafsirkan ayat di atas, mengatakan bahwa Allah menjadikan
mimpi Rasul-Nya sebagai suatu yang benar dan pasti, yang tidak dapat diganggu
oleh Syaithan. Karena Rasul Allah itu ma’shum termasuk di dalamnya Rasulullah
SAW dan para Anbiya.[2]
Berdasarkan keterangan Tafsir Shawy ini dapat dipahami mimpi selain Rasul Allah
tidak dapat dijadikan pegangan apa lagi dalam berhujjah, karena selain Rasul
Allah tidaklah ma’shum dan tidak ada jaminan mimpi tersebut benar-benar datang
dari Allah SWT dan bukan dari bisikan Syaithan.
Berikut keterangan ulama muktabar mengenai kedudukan mimpi dalam
penetapan hukum antara lain :
1.
Ibnu Shalah dalam kitab Fatawanya
:
“Masalah : Seorang laki-laki mendakwa dirinya bermimpi bertemu Nabi
SAW dalam tidurnya. Nabi SAW mengatakan suatu perkataan yang mengandung hukum
syar’i, maka apakah boleh mengamalkannya ?. Beliau (Ibnu Shalah) menjawab : “Tidak
boleh memegang hal itu berdasarkan apa yang dilihat dan didengar dari Rasulullah SAW dalam
mimpinya. Hal ini bukanlah karena tidak percaya bahwa orang yang melihat
Rasulullah SAW dalam mimpi, maka ia melihat kebenaran. Itu dapat dipercaya,
tetapi karena tidak dapat dipercaya zhabith orang yang bermimpi tersebut.” [3]
2.
Ketidakhujjahan mimpi dalam
penetapan hukum juga dapat kita simak dari pernyataan Zarkasyi dalam Bahrul
Muhizh bahwa hukum tidak dapat ditetapkan berdasarkan mimpi kecuali mimpi pada
diri anbiya atau pengakuan mereka.[4]
3.
Al-Ustaz Abu Ishaq Syairazi
berkata :
“Tidak boleh menetapkan sesuatu berdasarkan mimpi. Oleh karena itu,
kalau seseorang bermimpi melihat Nabi SAW memerintahnya menetapkan sesuatu
hukum, maka tidak lazim mengikutinya”. [5]
4.
Ketidakhujjahan mimpi juga dapat
dipahami dari uraian Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiah al-Bajury dalam menjawab isykal
masalah penetapan azan dengan mimpi Zaid bin Abdullah yang tersebut dalam
riwayat Abu Daud dan Turmidzi.
Riwayat Abu Daud berbunyi :
عبد الله بن زيد قال لما
أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم بالناقوس يعمل ليضرب به للناس لجمع الصلاة طاف
بي وأنا نائم رجل يحمل ناقوسا في يده فقلت يا عبد الله أتبيع الناقوس ؟ قال وما
تصنع به ؟ فقلت ندعو به إلى الصلاة قال أفلا أدلك على ما هو خير من ذلك ؟ فقلت له
بلى قال تقول الله أكبر الله أكبر الله أكبر الله أكبر أشهد أن لا إله إلا الله
أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن محمدا رسول الله أشهد أن محمدا رسول الله حي على
الصلاة حي على الصلاة حي على الفلاح حي على الفلاح الله أكبر الله أكبر لا إله إلا
الله قال ثم استأخر عني غير بعيد ثم قال ثم تقول إذا أقمت الصلاة الله أكبر الله
أكبر أشهد أن لا إله إلا الله أشهد أن محمدا رسول الله حي على الصلاة حي على الفلاح
قد قامت الصلاة قد قامت الصلاة الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله . فلما أصبحت
أتيت رسول الله صلى الله عليه و سلم فأخبرته بما رأيت فقال " إنها لرؤيا حق
إن شاء الله فقم مع بلال فألق عليه ما رأيت فليؤذن به فإنه أندى صوتا منك "
فقمت مع بلال فجعلت ألقيه عليه ويؤذن به قال فسمع ذلك عمر بن الخطاب رضي الله عنه
وهو في بيته فخرج يجر رداءه ويقول والذي بعثك بالحق يا رسول الله لقد رأيت مثل ما
رأى . فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم " فلله الحمد "حسن
صحيح"
“Abdullah
bin Zaid berkata : Ketika Rasulullah SAW memerintah memukul lonceng
untuk mengumpulkan manusia untuk shalat, suatu malam dalam tidurku aku
bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati
orang itu dan bertanya kepadanya : Hai hamba Allah apakah kamu hendak menjual
lonceng itu. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya,
"Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim
untuk menunaikan shalat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari
cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata :
Engkau katakan : Allahu Akbar Allahu
Akbar, Asyhadu alla ilaha illallah Asyhadu alla ilaha illallah, Asyhadu anna
Muhammadar Rasulullah Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah, Hayya 'alash shalah Hayya
'alash shalah, Hayya 'alal falah Hayya 'alal falah, Allahu Akbar Allahu Akbar
La ilaha illallah. Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Muhammad SAW menceritakan
perihal mimpi itu kepadanya, kemudian Muhammad berkata, "Itu mimpi yang
haq insya Allah. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana
mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan azan seperti itu dan dia memiliki
suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal.
Umar bin Khatab r.a. yang lagi berada di rumahnya mendengar azan itu, maka
Umarpun keluar dengan menjulurkan rida’nya, kemudian berkata : Demi Tuhan yang
mengutus engkau hai Muhammad dengan kebenaran, sesungguhnya aku telah bermimpi
sebagaimana yang telah dia mimpikan. Maka Rasulullah bersabda : bagi Allah
segala pujian. Berkata
Abu Daud : Hadits ini hasan shahih.” (H.R. Abu Daud) [6]
dan Riwayat Turmidzi, berbunyi :
لما أصبحنا أتينا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأخبرته بالرؤيا، فقال: إن
هذه لرؤيا حق، فقم مع بلال، فإنه أندى وأمد صوتا منك، فألق عليه ما قيل لك، وليناد
بذلك، قال فلما سمع عمر بن الخطاب نداء بلال بالصلاة خرج إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم، وهو يجر إزاره، وهو يقول: يا رسول الله، والذي بعثك بالحق، لقد رأيت
مثل الذي قال، قال: فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فلله الحمد، فذلك
أثبت".
“Ketika pagi tiba, aku ( Abdullah bin Zaid)
mendatangi Rasulullah SAW dan menceritakan mimpiku. Rasulullah SAW bersabda :
Sesungguhnya ini adalah mimpi yang haq. Maka lakukanlah bersama bilal, karena
suara Bilal lebih lantang dan nyaring darimu. Ajarilah dia apa yang dikatakan
kepadamu dan hendaklah Bilal melakukan azan dengannya. Manakala mendengar azan
Bilal untuk shalat, Umar bin Khatab keluar dengan menjulurkan rida’nya, menemui
Rasulullah SAW dan berkata : Ya Rasulullah, demi Tuhan yang mengutuskan engkau
dengan kebenaran, sesungguhnya aku telah melihat dalam mimpiku sama seperti
yang dikatakannya. Bersabda Rasulullah SAW : Bagi Allah pujian. Karena itu, aku
tetapkan demikian.” (H.R. Turmidzi) [7]
Ibrahim al-Bajuri berkata :
“Diisykalkan yang demikian itu, dengan sebab bahwa sesungguhnya
hukum tidak dapat ditetapkan dengan mimpi. Dijawab, bahwa mimpi tersebut
bersesuaian dengan turun wahyu. Maka hukum (penetapan azan) ditetapkan dengan
wahyu bukan dengan mimpi”.[8]
Hal senada juga dapat dilihat dalam Kitab I’anatuthalibin.[9]
Pernyataan yang lebih tegas lagi dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam
mengomentari hadits di atas, yakni :
“Hal tersebut bukanlah
pengamalan dengan semata-mata mimpi. Ini termasuk sesuatu yang tidak diragukan
dengan tanpa khilaf”. [10]
5.
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Kalau pada malam tiga puluh Sya’ban manusia tidak melihat hilal,
tiba-tiba datang seseorang mengaku melihat Nabi SAW dalam mimpinya dan beliau
bersabda kepadanya : “Malam ini adalah awal Ramadhan, maka tidak sah puasa
dengan mimpi ini, tidak sah atas yang bermimpi dan tidak sah juga atas orang
lain. Keterangan ini telah disebut oleh Qadhi Husain dalam al-Fatawa dan
lainnya dari Ashhab kita. Qadhi ‘Iyadh telah mengutipnya sebagai ijmak. Saya
(al-Nawawi) telah menetapkannya dengan dalil-dalilnya pada awal Syarah Shahih
Muslim. Ringkasannya adalah bahwa syarat perawi, yang meyampaikan berita dan
saksi adalah dalam keadaan jaga pada ketika tahammul. Ini mujma’ ‘alaihi,
karena sebagaimana di maklumi bahwa bahwa tidur tidak dalam keadaan jaga dan tidak
ada dhabith. Oleh karena itu, meninggalkan mengamalkan mimpi ini karena cedera
dhabith perawi, bukan karena meragukan mengenai mimpi.[11]
Imam an-Nawawi di atas, memfatwakan
bahwa menentukan awal Ramadhan tidak boleh dengan berpedoman kepada mimpi.
Ketidakbolehan ini bukan karena meragukan kebenaran mimpi, apalagi mimpi itu
adalah mimpi bertemu dengan Rasulullah SAW, tetapi karena orang yang bermimpi
itu bukan ahli tahammul berita, karena dia dalam keadaan tidur. Oleh karena
itu, ketidakbolehan mengamalkan mimpi dalam penetapan hukum bukan hanya berlaku
untuk masalah puasa saja, tetapi juga untuk masalah-masalah yang lain. Keterangan yang dikemukakan oleh an-Nawawi di
atas, juga dikemukan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dan Bujairumi sebagaimana di
bawah ini.
6. Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan :
“Tidak boleh berpuasa dengan sebab bermimpi berjumpa Rasulullah SAW
dalam tidur yang mengatakan bahwa besok bulan Ramadhan, karena jauh dhabith
orang bermimpi, bukan diragukan mimpinya”
Syarwani dalam mengomentari pernyataan Ibnu Hajar di atas mengatakan
haram berpuasa dan lainnya dengan menyandarkan kepada mimpi tersebut. Alasan
beliau adalah karena hukum Allah tidak didapati kecuali dari lafazh dan
istinbath. Sedangkan berpuasa dengan mimpi tidak termasuk dalam keduanya.[12]
7.
Bujairumi dalam pembahasan
penentuan awal Ramadhan, mengatakan :
“Tidak diiktibar pula perkataan orang yang mengatakan : “Nabi SAW
telah mengabari dalam tidurku bahwa
malam ini adalah awal Ramadhan.” Maka tidak sah puasa dengannya dengan ijmak,
karena tidak ada dhabith orang yang bermimpi, bukan karena diragukan yang
dilihat dalam mimpinya.”[13]
Berdasarkan pernyataan para ulama di atas, dapat dipahami bahwa para
ulama besar tersebut sepakat bahwa mimpi tidak dapat dijadikan hujjah dalam
penetapan hukum. Oleh karena itu, dalam kalangan Kaum Ahlussunnah wal
Jama’ah, kita hanya mengenal sumber – sumber hukum, yaitu : Al-Qur’an, Sunnah,
Ijma’, Qiyas, Qaulul Shahaby, Ishtishhab, Maslahah Murshalah, Istihsan, Saddul
Zara-i’, Kebiasaan Penduduk Madinah. Mimpi atau ilham tidak termasuk di
dalamnya. Mengenai ilham, telah berkata Syekh Zakaria Al-Anshary :
“Ilham yang terjadi pada manusia yang tidak ma’shum tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah, karena tidak aman dari tipu daya syaithan” [14]
Khusus mengenai penafsiran
Al-Qur’an, berikut keterangan para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah mengenai
sumber-sumber tafsir yang dapat menjadi pedoman dalam melakukan penafsiran
Al-Qur’an, antara lain :
1.
Ibnu Katsir dalam menjelaskan
metode tafsirnya mengatakan :
“ Pada ketika itu, apabila kita tidak mendapatinya dalam Al-Qur’an
dan juga tidak pada sunnah, maka kita kembali kepada pendapat sahabat, karena
mereka lebih tahu tentang itu”.
Terjadi perbedaan pendapat ulama mengenai qaul tabi’in. Menurut pendapat
yang shahih tidak menjadi hujjah. [15]
2.
Berkata Ahmad`Shawy :
“Sumber tafsir adalah
al-Kitab, al-Sunnah, atsar dan ahli fashahah dari orang-orang Arab asli.”[16]
3.
Zarkasyi menjelaskan kepada kita
bahwa ada empat sumber tafsir, yaitu naqal (kutipan) dari Rasulullah
SAW, perkataan sahabat, muthlaq lughat dan
muqtazhaa makna kalam dan muqtazhaa kekuatan syara’. Penggunaan perkataan sahabat
adalah karena perkataan sahabat ditempatkan pada posisi marfu’. Sedangkan
perkataan tabi’in terjadi perbedaan ulama dalam menjadikannya sebagai sumber
tafsir. [17]
Sebagian umat Islam dalam membenarkan penafsiran al-Qur’an dengan
mempedomani mimpi ini ada yang mengutip pendapat Ibnu Daqiq al-‘Id yang dikutip
oleh Zarkasyi dalam Kitab Bahrul Muhizh, yaitu
“Apabila perintahnya dengan sebuah perintah yang penetapannya pada
waktu jaga adalah sebaliknya, seperti perintah meninggalkan wajib atau perintah
meninggalkan sunat, maka tidak boleh mengamalkannya dan apabila perintah dengan
sesuatu yang tidak ada penetapan sebaliknya pada waktu jaga, maka dianjurkan
mengamalkannya”.[18]
Argumentasi ini kita bantah bahwa pendapat
Ibnu Daqiq al-‘Id ini adalah pendapat dha’if (wajh dha’if). Jadi tidak
dapat dijadikan hujjah dalam penetapan suatu hukum, apalagi sebagai pedoman
dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini sesuai dengan keterangan pengarang Bahrul
Muhith sebelumnya pada halaman yang sama, yaitu :
“ Pendapat yang kuat adalah yang pertama, karena hukum tidak dapat
ditetapkan berdasarkan mimpi kecuali pada haq anbiya atau pengakuan mereka.”
Sebagian orang yang bersikeras berpendapat mimpi dapat menjadi sumber
tafsir al-Qur’an berargumentasi dengan hadits shahih berikut ini :
رُؤْيَا الْمُؤْمِنِ جزء من ستة وأربعين جزءا من
النبوة.
“Mimpi orang mukmin adalah satu bagian dari
empat puluh enam bagian kenabian” (H.R. Bukhari[19]
dan Muslim [20])
Hadits
yang senada dengan di atas, antara lain :
1.
Hadits Muslim :
الرؤيا الصالحة جزء من
ستة وأربعين جزءا من النبوة
“Mimpi yang
baik adalah satu bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”(H.R. Muslim)[21]
2.
Hadits Muslim :
رؤيا الرجل الصالحة جزء من ستة وأربعين جزءا من النبوة
Untuk
memahami hadits di atas secara benar, mari kita perhatikan penafsiran para
ulama mu’tabar di kalangan ahlusunnah, antara lain :
1. Menurut
Zarkasyi empat puluh enam yang tersebut
pada hadits di atas, semuanya merupakan jalan untuk menghasilkan ilmu
bagi para anbiya. Manusia lain tidak sampai kepada ilmu tersebut kecuali
melalui khabar (berita). Diantara contoh jalan ilmu para anbiya itu adalah
kalam binatang, kalam benda mati, wahyu dan lain-lain. Mimpi yang benar
termasuk dalam empat puluh enam tadi.[23]
Jadi menurut Zarkasyi, hadits ini membicarakan mimpi para Nabi, bukan mimpi
manusia selain Nabi. Oleh karena itu, mimpi para Nabi dapat dijadikan hujjah
dalam penetapan hukum, karena termasuk salah satu jalan kenabian, sedangkan
mimpi manusia biasa tidak dapat menjadi hujjah. Yang senada dengan pendapat ini
adalah pendapat al-Khuthaby, beliau berkata :
“Hadits ini menguatkan
urusan mimpi dan mentahqiqkan kedudukannya. Mimpi itu satu bagian dari
bagian-bagian kenabian adalah pada haq para anbiya, bukan selain mereka. Karena
para anbiya disampaikan wahyu kepada mereka pada waktu bermimpi sebagaimana
halnya pada waktu jaga.”21[24]
2. Penafsiran
lain dari hadits di atas dan yang senada dengannya, muncul dalam konteks
pemahaman perkataan “al-busyraa” pada Q.S. Yunus : 63-64, berbunyi :
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63)
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ
لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
(64)
Artinya :
Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka ada berita
gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat. tidak ada
perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. yang demikian itu adalah
kemenangan yang besar.(Q.S. Yunus : 63-64)
Ini dapat dilihat
penjelasannya dalam Tafsir Ibnu Katsir,[25]
Tafsir Qurthuby[26],
Tafsir Thabary [27] dan Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jafsy
al-Kidiry dalam kitabnya, Siraj al-Thalibin.[28]
Berdasarkan pemahaman ini, maka yang dimaksud dengan mimpi dalam hadits
tersebut adalah mimpi dalam kerangka al-busyra (kabar gembira), seperti isyarat akan mendapatkan
keturunan, jabatan yang baik, harta yang halal, menjadi ulama dan lain-lain.
Jadi bukan dalam kerangka sebagai dalil menafsirkan al-Qur’an, apalagi
penetapan hukum berdasarkan mimpi.
Penafsiran ini berdasarkan
hadits-hadits berikut :
1. Hadits
riwayat Turmidzi dari Ubadah bin Shamid, beliau berkata :
“Aku pernah menanyakan kepada Rasulullah
SAW tentang firman Allah yang berbunyi :
لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Rasulullah SAW bersabda :
هي الرؤيا الصالحة يراها المؤمن أو ترى
له
“Ia adalah mimpi yang baik
yang lihat oleh orang mukmin atau yang perlihatkan kepadanya.” (H.R.
Turmidzi)[29]
2. Hadits
riwayat Bukhari :
لَمْ يَبْقَ مِنْ
النُّبُوَّةِ إِلَّا الْمُبَشِّرَاتُ قَالُوا وَمَا الْمُبَشِّرَاتُ قَالَ
الرُّؤْيَا الصَّالِحَةُ
“Tidak tersisa dari kenabian
kecuali mubsyiraat. Para sahabat bertanya apa
itu mubsyiraat?. Rasulullah mejawab: “mimpi yang baik”. (H.R. Bukhari)[30]
3. Hadits riwayat Muslim dan
Turmidzi :
الرؤيا ثلاثة
فرؤيا الصالحة بشرى من الله ورؤيا تحزين من الشيطان ورؤيا مما يحدث المرء نفسه
“Mimpi
itu ada tiga katagori, yaitu : ru’ya shalihah, yaitu kabar gembira dari Allah,
mimpi yang menyedihkan yang datang dari syaithan dan mimpi karena obsesi seseorang.”
(H.R. Muslim [31] dan
Turmidzi [32])
Hadits
ini juga menjelaskan bahwa mimpi yang dialami oleh seseorang ada tiga katagori,
yaitu :
1. mimpi
yang benar sebagai kabar gembira yang datang Allah
2. mimpi
duka cita yang datang dari setan
3. mimpi
karena obsesi seseorang. Artinya mimpi tersebut terjadi karena bawaan pikiran pada waktu dia jaga.
Dalam
Kitab Siraj al-Thalibin, tersebut beberapa pendapat lain mengenai penafsiran
hadits mimpi di atas, yakni bahwa dalam mimpi itu ada pemberitahuan tentang
yang gaib. Pemberitahuan tentang yang gaib termasuk salah satu martabat
kenabian, tapi bukan berarti orang yang bermimpi itu menjadi nabi. Pendapat
lain lagi mengatakan bahwa mimpi itu muwafaqat dengan jalan kenabian, bukan
mimpi adalah sebagian dari kenabian.[33]
Dua pendapat terakhir ini juga harus dipahami sebagai mubsyiraat (kabar
gembira), karena dalil-dalil tersebut di atas.
[1] Al-Baidhawy, Tafsir Anwarul Tanzil wa
Asrarul Takwil, Muassasah
Sya’ban, Beirut, Juzu’ V, Hal 9 dan Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Darul
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juzu’ III, Hal. 342
[2] Ahmad Shawy, Tafsir
Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia Juz. IV, Hal 105
[3]
Ibnu Shalah, Fatawa Ibnu Shalah, Darul Hadits, Kairo, Hal. 135
[4]
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut , Juz. I, Hal. 49
[5]
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut , Juz. I, Hal. 49
[6]
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut , Juz. I, Hal. 189, No. Hadits : 499
[7]
Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang , Juz. I, Hal. 122, No. Hadits : 189
[8]
Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz
I, Hal. 160
[9] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin,
Thaha Putra, Semarang ,
Juzu’ I, Hal. 229.
[11] An-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab,
Maktabah Irsyad, Jeddah, Juz. VI, Hal. 292
[12]
Ibnu Hajar al-Haitamy dan Syarwani, Tuhfah al-Muhtaj dan Hasyiahnya,
Mathtba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. III, Hal. 373-374
[13]
Bujairumy, Hasyiah al-Bujairumy ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut ,
Juz. III, Hal. 102
[14] Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul Syarah
Labbul Ushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal 140 dan
Al-Banany, Hasyiah Albanany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juzu’ II,
Hal. 356
[15]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. I, Hal. 7
dan 10
[16]
Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia , Juzu’ I, Hal. 2
[17]
Zarkasyi, al_Burhan fi Ulum al-Qur’an, Darul Ma’rifah, Beirut , Juz. II, Hal.
156-161
[18]
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut , Juz. I, Hal. 49
[19]
Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. IX, Hal 30,
No. Hadits : 6988
[20]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan , Indonesia ,
Juz. IV, Hal. 1774, No. Hadits : 2263
[21]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan , Indonesia ,
Juz. IV, Hal. 1774, No. Hadits : 2263
[22]Imam
Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan , Indonesia ,
Juz. IV, Hal. 1774, No. Hadits : 2263
[23]
Zarkasyi, Bahrul Muhizh, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut , Juz. I, Hal. 48
[24] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan
al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-Haramain, Surabaya , Juz. I, Hal. 333
[25]
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Thaibah, Juz. IV, Hal.
280
[26]
Al-Qurthuby, Tafsir al-Qurthuby, Dar ‘Alim al-Kutub, Saudi
Arabiya, Juz. VIII, Hal. 358
[27]
Thabary, Tafsir al-Thabary, Muassasah Risalah, Juz. XV, Hal.
124-140
[28] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan
al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-Haramain, Surabaya , Juz. I, Hal. 332
[29] Sunan
al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang ,
Juz. III, Hal. 365, No. 2377
[30]
Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. IX, Hal. 31, No.
Hadits : 6990
[31]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan , Indonesia ,
Juz. IV, Hal. 1773, No. Hadits : 2263
[32]
Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang , Juz. III, Hal. 363, No. 2372
[33] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan
al-Jafsy al-Kidiry, Siraj al-Thalibin, al-Haramain, Surabaya , Juz. I, Hal. 333
Tidak ada komentar:
Posting Komentar