7. Bid’ah
pada khutbah Jum’at
Dalam kitabnya, Raudhah al-Thalibin,
al-Nawawi mengatakan :
يُكْرَهُ فِي الْخُطْبَةِ أُمُورٌ ابْتَدَعَهَا الْجَهَلَةُ. مِنْهَا:
الْتِفَاتُهُمْ فِي الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ، وَالدَّقُّ عَلَى دَرَجِ
الْمِنْبَرِ فِي صُعُودِهِ، وَالدُّعَاءُ إِذَا انْتَهَى إِلَى صُعُودِهِ قَبْلَ
أَنْ يَجْلِسَ. وَرُبَّمَا تَوَهَّمُوا أَنَّهَا سَاعَةُ الْإِجَابَةِ، وَهَذَا
جَهْلٌ، فَإِنَّ سَاعَةَ الْإِجَابَةِ إِنَّمَا هِيَ بَعْدَ جُلُوسِهِ، كَمَا
سَيَأْتِي - إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى وَمِنْهَا: الْمُجَازَفَةُ فِي أَوْصَافِ
السَّلَاطِينِ فِي الدُّعَاءِ لَهُمْ. وَأَمَّا أَصْلُ الدُّعَاءِ لِلسُّلْطَانِ، فَقَدْ ذَكَرَ صَاحِبُ الْمُهَذَّبِ
وَغَيْرُهُ أَنَّهُ مَكْرُوهٌ. وَالِاخْتِيَارُ أَنَّهُ لَا
بَأْسَ بِهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ مُجَازَفَةٌ فِي وَصْفِهِ، وَلَا نَحْوُ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُسْتَحَبُّ
الدُّعَاءُ بِصَلَاحِ وُلَاةِ الْأَمْرِ.وَمِنْهَا: مُبَالَغَتُهُمْ فِي الْإِسْرَاعِ
فِي الْخُطْبَةِ الثَّانِيَةِ.
Beberapa perkara bid’ah yang dilakukan orang-orang bodoh
yang makruh dilakukan dalam khutbah, antara lain pertama ; berpaling dalam
khutbah kedua, kedua ; mengetuk tangga
mimbar dan berdoa ketika menaikinya hingga sampai sebelum duduk. Kadang-kadang
diwahamkan ini merupakan sa’at ijabah do’a. Ini kebodohan, sesungguhnya sa’at
ijabah hanyasanya sa’at setelah duduknya sebagaimana nanti pembahasannya insya
Allah, ketiga ; Mengatakan tanpa batasan sifat-sifat sulthan dalam berdoa bagi
mereka. Adapun asal doa bagi sulthan, pengarang al-Muhazzab dan lainnya telah
menyebut hukumnya makruh. Menurut pendapat yang terpilih, sesungguhnya itu
tidak mengapa selama tidak ada mujazafah (mengatakan tanpa batasan) dalam
mensifatinya dan tidak ada yang seumpamanya. Sesungguhnya itu dianjurkan berdoa
untuk kebaikan para pemimpin. Keempat ; terlalu cepat membaca khutbah kedua.[1]
Ibnu Hajar al-Haitami
juga menjelaskan dalam kitabnya, Tuhfah al-Muhtaj makruh berpaling kanan, kiri
dan belakang dalam khutbah karena ini adalah bid’ah, mengetuk tangga mimbar dan berdoa ketika
menaikinya hingga sampai sebelum duduk. Dalam kitab ini, al-Haitami juga
menyebut dhaif pendapat al-Ghazali yang mengatakan sunnah mengetuk tangga
mimbar untuk mengisyaratkan kepada manusia ijabah do’a pada waktu ini. Al-Syarwani dalam
hasyiahnya atas al-Tuhfah mengutip ‘ibarat al-Nihayah dan al-Mughni menyebutkan
makruh perbuatan bid’ah yang dilakukan oleh khatib-khatib bodoh, yakni isyarah
dengan tangan dan lainnya, berpaling dalam khutbah kedua, mengetuk tangga
ketika menaikinya dengan pedang atau kakinya dan berdoa ketika menaikinya
hingga sampai sebelum duduk. Adapun pendapat al-Baidhawi yang mengatakan
berhenti sejenak pada setiap anak tangga lalu mendoakan pertolongan Allah adalah
gharib dan dhaif.[2]
Selanjutnya al-Syarwani mengutip al-Mughni menyebutkan termasuk yang
berpendapat sebagaimana pendapat al-Ghazali di atas adalah Ibnu Abdissalam dan
Syeikh ‘Imaduddin, namun bedanya Ibnu Abdissalam mengatakan dianjurkan,
sedangkan Syeikh ‘Imaduddin mengatakan tidak mengapa.[3]
8. Tidak
menyukai melaksanakan akad nikah dan memulai bergaul suami isteri pada bulan
Syawal
Dalam Shahih Muslim terdapat
hadits berikut :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ تَزَوَّجَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي
شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَاءِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي قَالَ وَكَانَتْ عَائِشَةُ تستحب أن تدخل نسائها
فِي شَوَّالٍ
Artinya : Dari Aisyah r.a., beliau
berkata : Rasulullah SAW menikahiku di bulan Syawal, dan membangun rumah tangga
denganku pada bulan syawal pula. Maka isteri-isteri Rasulullah yang manakah
yang lebih beruntung di sisinya dariku? (Perawi) berkata, Aisyah r.a. dahulu
suka menikahkan para wanita di bulan Syawal. (H.R. Muslim)[4]
Mengomentari
hadits di atas, Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim menjelaskan sebagai berikut
:
فِيهِ اسْتِحْبَابُ التَّزْوِيجِ وَالتَّزَوُّجِ
وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ وَقَدْ نَصَّ أَصْحَابُنَا عَلَى اسْتِحْبَابِهِ
وَاسْتَدَلُّوا بِهَذَا الْحَدِيثِ وَقَصَدَتْ عَائِشَةُ بِهَذَا الْكَلَامِ رَدَّ
مَا كَانَتِ الْجَاهِلِيَّةُ عَلَيْهِ وَمَا يَتَخَيَّلُهُ بَعْضُ الْعَوَامِّ
الْيَوْمَ مِنْ كَرَاهَةِ التَّزَوُّجِ وَالتَّزْوِيجِ وَالدُّخُولِ فِي شَوَّالٍ
وَهَذَا بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ وَهُوَ مِنْ آثَارِ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا
يَتَطَيَّرُونَ بِذَلِكَ لِمَا فِي اسْمِ شَوَّالٍ مِنَ الْإِشَالَةِ والرفع
Dalam hadits
ini menunjukkan dianjurkan menikahkan, menikah dan memulai berhubungan suami
isteri dalam bulan Syawal. Sahabat kita
menashkan dianjurkannya dan mereka menggunakan hadits ini sebagai dalilnya.
Tujuan Aisyah dengan hadits ini untuk menolak tradisi Jahiliyah dan yang
menjadi khayalan sebagian awam hari ini yang beranggapan dibenci menikah dan
menikahkan dan mulai bergaul suami isteri pada bulan Syawal. Ini adalah bathil
dan tidak ada asal baginya. Ini merupakan peninggalan Jahiliyah dimana mereka menganggap sial pada nama Syawal,
yakni syawal asal kata dari isyalah, bermakna mengangkat.[5]
Ibnu katsir
mengatakan :
وفي
دخوله صلى الله عليه وسلم بعائشة رضي الله عنها في شوال ردّ لما يتوهمه بعض الناس
من كراهية الدخول بين العيدين خشية المفارقة بين الزوجين
Dalam hal memulai berhubungan suami isteri Nabi SAW dengan Aisyah r.a.
pada bulan Syawal, itu dipahami tertolak waham sebagian manusia
membenci memulai berhubungan suami isteri pada saat antara dua hari raya (Aidil
Fitri dan Aidil Adzha), karena menguatirkan terjadi perceraian antara suami
isteri.[6]
9.
Makmum Membaca “iyyaka na’budu waiyyaka nastangiin” ketika
mendengar imam membaca kalimat tersebut.
Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
قَدْ اعْتَادَ كَثِيرٌ مِنْ الْعَوَامّ أَنَّهُمْ إذَا سَمِعُوا
قِرَاءَةَ الْإِمَامِ إِيَّاكَ نعبد واياك نستعين قالوا إياك نعبد واياك نستعين
وَهَذَا بِدْعَةٌ مَنْهِيٌّ عَنْهَا
Sungguh telah menjadi tradisi kebanyakan ‘awam, mereka
apa bila mendengar bacaan imam shalatnya “iyyaka na’budu
waiyyaka nastangiin” lantas mereka mengatakan “iyyaka na’budu waiyyaka
nastangiin” juga. Ini merupakan bid’ah yang terlarang.[7]
Beberapa Amalan Yang Dihukum oleh Imam al-Nawawi Dalam Kitabnya sebagai Bid’ah Tercela (bag. 2)
Beberapa Amalan Yang Dihukum oleh Imam al-Nawawi Dalam Kitabnya sebagai Bid’ah Tercela (bag.4)
Beberapa Amalan Yang Dihukum oleh Imam al-Nawawi Dalam Kitabnya sebagai Bid’ah Tercela (bag.4)
[2] Al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj dan Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah
Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 462
[3] Al-Syarwani, Hasyiah
Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir,
Juz. II, Hal. 462
[4] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 1039, No. 1423
[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurrthubah, Juz. IX, Hal. 298
[6] Ibnu Katsir, al-Bidayah
wan-Nihayah, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 571
[7]
Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.IV, Hal. 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar