3. Membaca Surat al-An’am pada raka’at terakhir shalat Tarawih pada
malam ke tujuh Ramadhan.
Dalam
al-Fatawa, Imam al-Nawawi ditanya tentang hukum membaca Surat al-An’am pada
raka’at terakhir shalat Tarawih pada malam ketujuh Ramadhan. Beliau menjawab :
هذا الفعل المذكور ليس بسنة، بل هو بدعة مكروهة، ولكراهتها أسباب:
منها إِيهام كونها سنةً، ومنها تطويل الأخيرة على الأولى وانما السنة تطويل الأولى ، ومنها التطويل على
المأمومين، وإنما السنة التخفيف، ومنها هذه القراءة هَذْرَمتها ومنها المبالغة في
تخفيف الركعات قبلها، وغير ذلك من الأسباب، ولم يثبت نزولُ الأنعام دفعةً واحدة،
ولا دلالة فيه لو ثبت لهذا الفعل، فينبغي لكل مصلٍّ اجتنابُ هذا الفعل، وينبغي
إشاعةُ إنكارِ هذا، فقد ثبتت الأحاديث الصحيحة في النهي عن محْدثاتِ الأمور، وأن
كل بدعة ضلالة، ولم يُنقل هذا الفعل عن أحد من السلف وحاشاهم، والله أعلم.
Perbuatan yang disebut
ini tidaklah sunnah, akan tetapi bid’ah makruhah. Makruhnya karena
beberapa sebab antara lain ; mewahamkan keadaannya sunnah, memanjangkan raka’at
pertama atas kedua sedangkan yang sunnah memanjang raka’at
pertama, berat atas makmum karena panjang sedangkan yang sunnah meringankan,
ini bacaan tergesa-gesa, terlalu meringankan raka’at sebelumnya, dan lain-lain.
Tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskan turun Surat al-An’am sekaligus,
seandaipun ada tidak ada petunjuk yang menunjukkan kepada perbuatan ini. Karena
itu, seyogyanya yang melakukan shalat menjauhi perbuatan ini dan menyiarkan
pengingkaran ini. Telah shahih hadits yang melarang dari perbuatan bid’ah dan
setiap bid’ah adalah sesat. Tidak dikutip perbuatan ini dari seorangpun dari
para ulama salaf dan selain mereka. Wallahua’lam.[1]
Al-Suyuthi
juga telah menyebut tercelanya amalan ini dalam kitab beliau, al-Amr bil Itba’
wan-Nahyu ‘an al-ibtida’. Senada dengan Imam al-Nawawi,
al-Suyuthi menjelaskan hadits yang
menjelaskan Surat al-An’am turun sekaligus adalah dha’if dan seandainyapun hadits
itu shahih, maka tidak ada petunjuk dianjurkan membaca Surat al-An’am pada raka’at terakhir
shalat Tarawih pada malam ke tujuh Ramadhan. Menurut al-Suyuthi, bid’ah amalan
ini karena beberapa faktor, antara lain :
a.
Mengkhususkan Surat
al-An’am. Ini mewahamkan yang sunnah hanya Surat al-An’am, tidak yang lain.
b.
Mengkhususkan pada shalat
Tarawih
c.
Memberatkan kepada makmum
karena panjang
d.
Memendekkan raka’at
pertama.[2]
4.
Mengelilingi kuburan Nabi, menyapu
dengan tangan dan menciumnya.
Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Imam al-Nawawi
mengatakan :
لَا يَجُوزُ أَنْ يُطَافَ
بِقَبْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيُكْرَهُ إلْصَاقُ الظُّهْرِ
وَالْبَطْنِ بِجِدَارِ الْقَبْرِ قَالَهُ أَبُو عُبَيْدِ اللَّهِ الْحَلِيمِيُّ
وَغَيْرُهُ قَالُوا وَيُكْرَهُ مَسْحُهُ بِالْيَدِ وَتَقْبِيلُهُ بَلْ الْأَدَبُ
أَنْ يَبْعُدَ مِنْهُ كَمَا يَبْعُدُ مِنْهُ لَوْ حَضَرَهُ فِي حَيَاتِهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا هُوَ الصَّوَابُ الَّذِي قَالَهُ الْعُلَمَاءُ
وَأَطْبَقُوا عَلَيْهِ وَلَا يُغْتَرُّ بِمُخَالَفَةِ كَثِيرِينَ مِنْ الْعَوَامّ
وَفِعْلِهِمْ ذَلِكَ.
فإِنَّ الِاقْتِدَاءَ وَالْعَمَلَ إنَّمَا يَكُونُ
بِالْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ وَأَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ وَلَا يُلْتَفَتُ إلَى
مُحْدَثَاتِ الْعَوَامّ وَغَيْرِهِمْ وَجَهَالَاتِهِمْ
Tidak boleh mengelilingi kubur Nabi SAW dan makruh
melengketkan punggung dan perut atas dinding kubur sebagaimana penjelasan Abu
Ubaidillah al-Hulaimi dan lainnya. Mereka mengatakan, makruh menyapu dengan
tangan dan menciumnya, bahkan adabnya menjauhi hal itu sebagaimana menjauhi
darinya ketika hidup beliau SAW. Inilah yang benar yang telah dikatakan oleh
para ulama dan mereka sepakat atasnya. Karena itu, jangan tertipu dengan
menyalahi kebanyakan orang awam dan perbuatan mereka. Yang diikuti dan
diamalkan hanya yang bersandarkan kepada hadits shahih dan pendapat para ulama
dan jangan berpaling kepada bid’ah orang awam dan lainnya serta orang-orang
bodoh dari mereka.[3]
Selanjut al-Nawawi mengatakan,
من خطر بباله أن المسح باليد ونحوه أبلغ فى البركة، فهو من جهالته وغفلته،
لأن البركة إنما هى فيما وافق الشرع، و كيف يبتغى الفضل في مخالفة الصواب.
Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwa menyapu
kuburan dengan tangan dan perbuatan yang seumpamanya lebih berkah, maka ini
disebabkan kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap
mengikuti syariat. Bagaimana mungkin keutamaan boleh diraih dengan menyelisihi
kebenaran?.[4]
Dalam kitabnya, al-Jauhar
al-Munaddham fi Ziyarah al-Qabri al-Syarif al-Nabawi al-Makram, Al-Haitami
menjelaskan pernyataan al-Nawawi menyebutkan ada kesepakatan ulama terhadap
makruh menyapu kuburan Nabi SAW dan menciumnya telah dikritisi oleh Ibn Jama’ah
dan lainnya. Hal ini karena menurut Imam Ahmad, perbuatan tersebut termasuk
dalam katagori tidak mengapa dan juga dikritisi dengan sebab ada pendapat
al-Muhib al-Thabari dan Ibn Abi al-Shaif yang berpendapat boleh (jawaz) mencium
kuburan nabi dan menyapunya dan atasnya amalan para ulama shalihin serta
pernyataan al-Subki bahwa tidak boleh menyapu kuburan nabi tidak termasuk dalam
ijmak ulama. Menjawab kritikan ini, al-Haitami mengatakan, nafi pada kalam
Ahmad boleh jadi bermakna nafi haram dan bisa juga bermakna nafi makruh, akan
tetapi makna pertama lebih rajih sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab fiqh.
Karena itu kalam Ahmad di atas tidak
berarti menafikan makruh sebagaimana disebut oleh al-Nawawi. Adapun perkataan
al-Thabari, “atasnya (jawaz) amalan para ulama shalihin”, dipahami bahwa makruh
termasuk dalam katagori jawaz juga, sehingga tidak betentangan antara keduanya,
bahkan dhahir perkataan al-Thabari ini bermakna makruh, karena beliau
beristidlal dengan amalam para ulama, yang semestinya beliau menggunakan istilah
“istihbab”(dianjurkan), tapi malah berpaling kepada perkataan “jawaz”. Sedangkan
perkataan al-Subki “tidak boleh menyapu kuburan nabi tidak termasuk dalam ijmak
ulama” maksudnya pada awalnya, sehingga
tidak menafikan terjadi ijmak sesudah berlalu zaman ikhtilaf. [5]
5. Mengutamakan
Wuquf di Jabalrahmah
Imam al-Nawawi
mengatakan :
(وَأَمَّا) مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ
الْعَوَامّ مِنْ الِاعْتِنَاءِ بِالْوُقُوفِ عَلَى جَبَلِ الرَّحْمَةِ الَّذِي
هُوَ بِوَسَطِ عَرَفَاتٍ كَمَا سَبَقَ بَيَانُهُ وَتَرْجِيحِهِمْ لَهُ عَلَى
غَيْرِهِ مِنْ أَرْضِ عَرَفَاتٍ حَتَّى رُبَّمَا تُوُهِّمَ مِنْ جَهَلَتِهِمْ
أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الْوُقُوفُ إلَّا فِيهِ فَخَطَأٌ ظَاهِرٌ وَمُخَالِفٌ
لِلسُّنَّةِ وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِمَّنْ يُعْتَمَدُ فِي صعود هذاالجبل
فَضِيلَةً يَخْتَصُّ بِهَا بَلْ لَهُ حُكْمُ سَائِرِ أَرْضِ عَرَفَاتٍ غَيْرِ
مَوْقِفِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Adapun apa yang masyhur di kalangan awam lebih
mementingkan wuquf di jabalrahmah yang berada di tengah-tengah tanah ‘Arafah
sebagaimana penjelasan sebelumnya dan mengutamakannya atas lainnya dari tanah
‘Arafah, sehingga dapat menimbulkan waham dari orang-orang bodoh bahwa tidak
sah wuquf kecuali padanya, ini merupakan kesalahan yang nyata dan menyalahi
sunnah. Tidak ada pernah seorangpun dari ulama yang menjadi pegangan
menyebutkan ada fadhilah khusus mendaki gunung ini, bahkan hukumnya sama saja
dengan bagian lain dari tanah ‘Arafah kecuali tanah tempat wuquf Nabi SAW.[6]
Selanjutnya al-Nawawi menjelaskan bahwa Ibn
Jarir al-Thabari, al-Mawardi dalam al-Hawi dan al-Bandaniji berpendapat sunnah
qashad wuquf di jabalrahmah. Alasan mereka karena jabalrahmah merupakan tempat
wuquf para nabi ‘alaihimussalam. Namun beliau menolak pendapat ini, beliau
mengatakan pendapat mereka ini tidak ada dasar sama sekali, tidak ada hadits
shahih dan juga tidak ada hadits dhaifpun yang mendukungnya, maka yang benar
adalah mengutamakan tempat wuquf Nabi SAW.[7]
Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtaj
juga mengatakan hal yang sama, bahwa bid’ah mengutamakan Jabalrahmah sebagai
tempat wuquf. Al-Syarwani dalam mengomentari pendapat al-Haitami ini mengutip
dari kitab al-Mughni, mengatakan tidak ada fadhilah mendaki Jabalrrahmah
sebagaimana tersebut dalam al-Majmu’, meskipun Ibn Jarir, al-Marizi dan
al-Bandaniji mengatakan itu adalah tempat wuquf para anbiya.[8]
6. Pergi
ke arafah sebelum masuk waktu ibadah wuquf.
Setelah menjelaskan tidak masuk
seseorang ke ‘Arafah kecuali dalam waktu wuquf, yakni setelah tergelincir
matahari dan setelah shalat Dhuhur dan ‘Asar secara jamak, dalam al-Majmu’
Syarah al-Muhazzab Imam al-Nawawi mengatakan :
(وَأَمَّا)
مَا يَفْعَلُهُ مُعْظَمُ النَّاسِ فِي هَذِهِ الْأَزْمَانِ مِنْ دُخُولِهِمْ
أَرْضَ عَرَفَاتٍ قَبْلَ وَقْتِ الْوُقُوفِ فَخَطَأٌ وَبِدْعَةٌ وَمُنَابَذَةٌ
لِلسُّنَّةِ
Adapun apa yang dilakukan kebanyakan manusia pada zaman
ini yakni memasuki tanah ‘Arafah sebelum waktu wuquf adalah kesalahan dan bid’ah
serta bertentangan dengan sunnah.[9]
Namun Dalam kitab al-Idhah, al-Nawawi menyebut
bid’ah memasuki ‘Arafah bukannya sebelum tergelincir matahari, tetapi memasuki ‘Arafah
pada hari kedelapan Zulhijjah. Dalam kitab ini beliau menyebut banyak perbuatan
sunnah yang luput karenanya, antaranya shalat di Mina, mabit di Mina, berjalan
dari Mina ke Namirah, turun di Namirah, khutbah dan shalat sebelum memasuki ‘Arafah
dan lainnya.[10]
Senada dengan perkataan al-Nawawi dalam
al-Majmu’, Ibnu Hajar al-Haitami dalam Fathul Jawad menyebutkan bid’ah memasuki
‘Arafah sebelum tergelincir matahari.[11]
[1] Al-Nawawi, al-Fatawa,
Hal. 31
[2] Al-Suyuthi,
al-Amr bil Itba’ wan-Nahyu ‘an al-ibtida’, Dar Ibn al-Qayyim,
Pakistan, Hal. 192
[3] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 257
[4] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 257-258
[5] Ibnu Hajar
al-Haitami, al-Jauhar al-Munaddham fi Ziyarah
al-Qabri al-Syarif al-Nabawi al-Makram, Hal. 157-158
[6] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 135
[7] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 135
[8] Al-Haitami, Tuhfah
al-Muhtaj dan Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah
Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 108
[9] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz.VIII, Hal. 114
[10] Al-Nawawi, al-Idhah
fi Manasik al-Hajj, (dicetak bersama Hasyiah al-Idhah lil Haitami), Darul
Hadits, Beirut, Hal. 307
[11] Ibnu Hajar
al-Haitami, Fathul Jawad, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz.
I, Hal. 513
Tidak ada komentar:
Posting Komentar