1. Shalat Raghaib.
Imam al-Nawawi, dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab
mengatakan :
(الْعَاشِرَةُ) الصَّلَاةُ الْمَعْرُوفَةُ بصلاة الرغائب وهي ثنتى عَشْرَةَ
رَكْعَةً تُصَلَّى بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ لَيْلَةَ أَوَّلِ جُمُعَةٍ فِي
رَجَبٍ وَصَلَاةُ لَيْلَةِ نِصْفِ شَعْبَانَ مِائَةُ رَكْعَةٍ وَهَاتَانِ
الصَّلَاتَانِ بِدْعَتَانِ وَمُنْكَرَانِ قَبِيحَتَانِ وَلَا يُغْتَرُّ
بِذَكَرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا
بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ وَلَا يُغْتَرُّ
بِبَعْضِ مَنْ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ حُكْمُهُمَا مِنْ الْأَئِمَّةِ فَصَنَّفَ
وَرَقَاتٍ فِي اسْتِحْبَابِهِمَا فَإِنَّهُ غَالِطٌ فِي ذَلِكَ وَقَدْ صَنَّفَ
الشَّيْخُ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ عبد الرحمن بن اسمعيل الْمَقْدِسِيُّ
كِتَابًا نَفِيسًا فِي إبْطَالِهِمَا ﻓﺄﺣﺴﻦ
ﻓﻴﻪ ﻭﺃﺟﺎﺩ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
Yang kesepuluh, shalat
yang dikenal dengan shalat al-raghaib dua belas raka’at, dilakukan antara
Magrib dan ‘Isya pada awal malam Jum’at bulan Ra’jab dan shalat malam Nisfu
Sya’ban seratus raka’at. Kedua shalat ini bid’ah dan mungkar yang keji. Jangan
tertipu dengan sebab disebut keduanya dalam kitab Quut al-Qulub dan Ihya
‘Ulumuddin dan dengan hadits yang disebut dalam keduanya. Sesungguhnya semua
itu batil. Dan jangan tertipu dengan sebagian orang yang membuar samar hukum
keduanya dari para imam, lalu mengarang risalah yang menyatakan sunnahnya,
sesungguhnya itu salah. Syeikh al-Imam Abu Muhammad Abd al-Rahman bin Isma’il
al-Maqdisi telah mengarang sebuah kitab yang berharga untuk membatalkannya, bagus dan indahlah isinya, semoga Allah merahmatinya.[1]
Dalam
kitab beliau, al-Fatawa, Imam al-Nawawi lebih tegas menyebutkan :
هي بدعة قبيحة منكرة أشد إنكار، مشتملة على منكرات فيتعين تركها والإعراض
“Ibadah tersebut termasuk bid’ah tercela serta munkar
yang paling munkar. Mengandung berbagai macam kemungkaran. Karena itu, jelas
kewajiban meninggalkannya dan berpaling darinya”[2]
Redaksi yang lebih tegas lagi dari beliau,
kita jumpai dalam kitabnya, Syarah Muslim, berbunyi :
قاتل الله
واضعها ومخترعها , فإنها بدعة منكرة من البدع التي هي ضلالة وجهالة وفيها منكرات
ظاهرة . وقد صنف جماعة من الأئمة مصنفات نفيسة في تقبيحها وتضليل مصليها ومبتدعها
ودلائل قبحها وبطلانها وتضليل فاعلها أكثر من أن تحصر
“Semoga Allah memerangi orang yang mengada-adakan dan
membuat-buat shalat ini (shalat al-raghaib). Karena shalat ini adalah bid’ah
yang munkar, termasuk dalam bid’ah yang sesat dan kebodohan. Di dalamnya
terdapat berbagai kemungkarna yang nyata. Beberapa ulama telah menulis tulisan
yang berharga yang khusus mencela dan menjelaskan kesesatan serta kebid’ahan
orang yang melakukan shalat ini. Juga menjelaskan dalil tentang tercela, batil dan sesatnya orang yang
melalukannya dengan dalil yang terlalu banyak untuk bisa dihitung”[3]
Adapun penjelasan Imam al-Ghazali yang
menyebut disunnahkan shalat ini adalah sebagai berikut :
ﺃﻣﺎ ﺻﻼﺓ ﺭﺟﺐ ﻓﻘﺪ ﺭﻭﻱ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺹ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ:
ﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﺣﺪ ﻳﺼﻮﻡ ﺃﻭﻝ ﺧﻤﻴﺲ ﻣﻦ ﺭﺟﺐ، ﺛﻢ ﻳﺼﻠﻲ ﻓﻴﻤﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻌﺸﺎﺀ ﻭﺍﻟﻌﺘﻤﺔ ﺍﺛﻨﺘﻲ ﻋﺸﺮﺓ ﺭﻛﻌﺔ
ﻳﻔﺼﻞ ﺑﻴﻦ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺘﻴﻦ ﺑﺘﺴﻠﻴﻤﺔ، ﻳﻘﺮﺃ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺔ ﺑﻔﺎﺗﺤﺔ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﻣﺮﺓ ﻭﺇﻧﺎ ﺃﻧﺰﻟﻨﺎﻩ ﻓﻲ
ﻟﻴﻠﺔ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺛﻼﺙ ﻣﺮﺍﺕ ﻭﻗﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﺪ ﺍﺛﻨﺘﻲ ﻋﺸﺮﺓ، ﻓﺈﺫﺍ ﻓﺮﻍ ﻣﻦ ﺻﻼﺗﻪ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﻲ ﺳﺒﻌﻴﻦ
ﻣﺮﺓ، ﻭﻳﻘﻮﻝ: ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺻﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺍﻷﻣﻲ ﻭﻋﻠﻰ ﺁﻟﻪ. ﺛﻢ ﻳﺴﺠﺪ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﻓﻲ ﺳﺠﻮﺩﻩ، ﺳﺒﻌﻴﻦ
ﻣﺮﺓ: ﺳﺒﻮﺡ ﻗﺪﻭﺱ ﺭﺏ ﺍﻟﻤﻼﺋﻜﺔ ﻭﺍﻟﺮﻭﺡ. ﺛﻢ ﻳﺮﻓﻊ ﺭﺃﺳﻪ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﻣﺮﺓ: ﺭﺏ ﺍﻏﻔﺮ ﻭﺍﺭﺣﻢ
ﻭﺗﺠﺎﻭﺯ ﻋﻤﺎ ﺗﻌﻠﻢ، ﻓﺈﻧﻚ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﻌﻠﻲ ﺍﻷﻋﻈﻢ. ﺛﻢ ﻳﺴﺠﺪ ﺳﺠﺪﺓ ﺃﺧﺮﻯ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻗﺎﻝ
ﻓﻲ ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ ﺍﻷﻭﻟﻰ. ﺛﻢ ﻳﺴﺄﻝ ﺣﺎﺟﺘﻪ ﻓﻲ ﺳﺠﻮﺩﻩ، ﻓﺈﻧﻬﺎ ﺗﻘﻀﻰ. ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺹ: ﻻ ﻳﺼﻠﻲ
ﺃﺣﺪ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺇﻻ ﻏﻔﺮ ﻟﻪ ﺟﻤﻴﻊ ﺫﻧﻮﺑﻪ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻧﺖ ﻣﺜﻞ ﺯﺑﺪ ﺍﻟﺒﺤﺮ ﻭﻋﺪﺩ ﺍﻟﺮﻣﻞ ﻭﻭﺯﻥ
ﺍﻟﺠﺒﺎﻝ ﻭﻭﺭﻕ ﺍﻷﺷﺠﺎﺭ، ﻭﻳﺸﻔﻊ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻓﻲ ﺳﺒﻌﻤﺎﺋﺔ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ ﺑﻴﺘﻪ ﻣﻤﻦ ﻗﺪ ﺍﺳﺘﻮﺟﺐ
ﺍﻟﻨﺎﺭ. ﻓﻬﺬﻩ ﺻﻼﺓ
ﻣﺴﺘﺤﺒﺔ، ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺃﻭﺭﺩﻧﺎﻫﺎ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﺴﻢ ﻷﻧﻬﺎ ﺗﺘﻜﺮﺭ ﺑﺘﻜﺮﺭ ﺍﻟﺴﻨﻴﻦ، ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻻ ﺗﺒﻠﻎ
ﺭﺗﺒﺘﻬﺎ ﺭﺗﺒﺔ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﺘﺮﺍﻭﻳﺢ ﻭﺻﻼﺓ ﺍﻟﻌﻴﺪﻳﻦ، ﻷﻥ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻧﻘﻠﻬﺎ ﺍﻵﺣﺎﺩ. ﻭﻟﻜﻦ ﺭﺃﻳﺖ ﺃﻫﻞ
ﺍﻟﻘﺪﺱ ﺑﺄﺟﻤﻌﻬﻢ ﻳﻮﺍﻇﺒﻮﻥ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﺴﻤﺤﻮﻥ ﺑﺘﺮﻛﻬﺎ ﻓﺄﺣﺒﺒﺖ ﺇﻳﺮﺍﺩﻫﺎ
“Adapun shalat Rajab, sesungguhnya telah diriwayat dengan isnadnya
dari Rasulullah SAW, beliau bersabda : “Tidaklah seseorang yang melaksanakan
puasa pada hari Kamis, kemudian ia melaksanakan shalat antara Isya dan
al-‘Atamah sebanyak 12 rakaat, setiap 2 raka’at sekali salam, dalam setiap
rakaat membaca al-Fatihah satu kali dan al-Qadar tiga kali dan al-Ikhlash 12
kali, setelah shalat bershalawat atasku 70 kali dengan mengucapkan, “Allahumma
shalli ‘ala al-nabiyyi wal ummiyyi wa ‘ala alihi” dan dalam sujudnya ia ucapkan: “Subbuhun quddusun
rabbun malaikah wal ruhh”. Kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan
sebanyak 70 kali: “Rabbighfir warham wa tujawiz ‘amma ta’lamun, innaka anta
al-‘azzu al-akram.” Kemudian sujud yang kedua mengucapkan kalimat yang sama
pada sujud pertama. Kemudian memohonkan apa yang ia inginkan kepada Allah. Maka
Allah akan mengabulkannya. Rasulullah SAW bersabda: “Demi yang jiwaku berada di
tangan-Nya, tidaklah seorang hamba melaksanakan shalat ini melainkan Allah
mengampuni semua dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan, sebanyak pasir,
seberat bukit dan sebanyak daun kayu. Ia dapat memberikan pertolongan (Syafaat)
pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya yang wajib masuk neraka”. Maka
shalat ini dianjurkan. Hanyasanya kami datangkan shalat ini dalam dalam
pembagian ini, karena ia berulang-ulang dengan sebab berulang-ulang tahun,
meskipun derajadnya tidak menyamai derajad shalat Tarawih dan shalat hari raya,
karena shalat ini naqalnya adalah ahad. Namun aku pernah melihat orang-orang
suci sering melakukannya dan tidak mentolerir meninggalkannya. Karena itu, aku
penuhi mendatangkannya.[4]
Kebanyakan
ulama yang hidup sesudah al-Ghazali, pada umum mereka mengganggap shalat
al-raghaib ini sebagai bid’ah dhalalah sebagaimana pendapat al-Nawawi di atas. Zainuddin
al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu’in[5] dan Irsyadul ‘Ibad[6] juga telah memasukkan
shalat al-Raghaib ini dalam katagori bid’ah yang keji. Al-Iraqi dalam takhrih hadits-hadits
al-Ihya, menyebutkan hadits shalat al-raghaib juga telah disebut dalam kitab
karya Raziin, namun menurut al-Iraqi haditsnya adalah mauzhu’.(palsu).[7] Diantara
ulama lain yang pernah menjelaskan senada dengan pendapat al-Nawawi di atas
adalah Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah.
Dalam kitab ini al-Haitami juga mengutip penjelasan al-Subki yang mencela
shalat al-raghaib ini.[8] Al-Ramli
dalam kitab Fatawanya, setelah
menjelaskan hadits mengenai shalat al-raghaib ini dusta dan bathil, beliau
mengatakan, shalat al-raghaib adalah bid’ah menurut jumhur ulama. Diantara para
ahli hadits yang menjelaskan ini adalah Abu Isma’il al-Anshari, Abu al-Fadhl
ibn Nashir, Ibnu al-Jauzi dan lainnya.[9] Al-Syarqawi
juga menyebutkan shalat al-raghaib sebagai bid’ah yang keji, selanjutnya beliau
mengatakan, jangan tertipu dengan sebab disebutnya dalam al-Ihya dan lainnya,
sedangkan haditsnya bathil.[10]
Namun demikian, Ibn al-Shalah meskipun mengakui shalat raghaib
merupakan bid’ah, beliau berpendapat tidak terlarang melakukannya dengan
anggapan masuk dalam perintah mutlaq shalat, namun pendapat ini ditolak oleh
al-Subki. Menurut al-Subki apabila dilakukan dengan qashad mengkhususkan dengan
suatu zaman, tempat atau lainnya, maka ia termasuk dalam katagori bid’ah.
Apabila ddituntut melakukannya secara umum, maka boleh dilakukan secara umum,
tidak boleh dari sisi khususnya.[11]
Hampir senada dengan Ibn al-Shalah pendapat Ibnu Ziyad dalam Ghayah Talkhis.
Dalam kitab ini, beliau mengatakan, shalat al-raghaib termasuk bid’ah munkarah,
namun boleh dilakukannya dengan makna tidak berdosa, akan tetapi apabila
dilakukan dengan i’tiqad sah hadits-hadits yang mauzhu’ tersebut, maka ia
berdosa.[12]
2.
Shalat Nisfu Sya’ban
Bid’ah
dhalalah shalat ini telah disebut oleh al-Nawawi dalam kitab beliau, al-Majmu’
Syarah al-Muhazzab sebagaimana dalam kutipan dalam masalah shalat al-raghaib.di
atas.
Diantara
para ulama yang mencela shalat Nisfu Sya’ban ini adalah Ibnu Hajar al-Haitami
dan al-Subki.[13]
Al-Syarqawi juga menyebutkan shalat nisfu Sya’ban ini sebagai bid’ah yang keji
dan beliau mengatakan, jangan tertipu sebab disebutnya dalam al-Ihya dan
lainnya. Adapun haditsnya bathil.[14] Juga
telah dicela oleh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu’in[15] dan Irsyadul ‘Ibad[16]
Ulama
yang menyebut shalat ini dianjurkan melaksanakannya antara lain Imam
al-Ghazali. Dalam al-Ihya, beliau menjelaskan cara melakukannya, yakni 100 raka’at,
dengan sekali salam setiap dua raka’at. Pada setiap raka’at sesudah Fatihah
dibaca 100 kali Surat al-Ikhlash. Selanjutnya beliau mengatakan :
فهذا أيضا مروى في جملة الصلوات كان السلف يصلون
هذه الصلاة ويسمونها صلاة الخير ويجتمعون فيها وربما صلوها جماعة روى عن الحسن أنه
قال حدثني ثلاثون من أصحاب النبي ﭬ أن من صلى هذه
الصلاة في هذه الليلة نظر الله إليه سبعين نظرة وقضى له بكل نظرة سبعين حاجة
أدناها المغفرة
Maka ini juga diriwayat dalam kelompok shalat yang dilakukan para ulama
salaf, mereka menamakannya shalat al-Khair. Mereka bekumpul melaksanakannya,
kadang-kadang dengan melakukannya secara berjama’ah. Telah diriwayat dari
al-Hasan, beliau mengatakan, telah memberitahu kepadaku 30 orang sahabat Nabi
bahwa barangsiapa yang melakukan shalat ini pada ini malam, maka Allah akan
memandangnya dengan pandangan rahmat dengan 70 kali dan memenuhi kebutuhannya
70 kebutuhan, sekurang-kurangnya
keampunan.[17]
Namun Zainuddin al-Iraqi, dalam mentakrijkan hadits yang disebut
al-Ghazali ini, mengatakan :
“Hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits bathil dan
hadits Ali, “apabila tiba malam nisfu Sya’ban, maka dirikanlah malamnya dan
berpuasalah pada siangnya”. Isnadnya adalah dha’if.” [18]
[1] Al-Nawawi, al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 549
[2] Al-Nawawi, al-Fatawa,
Hal. 31
[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim,
Muassisah Qurthubah, Juz. VIII, Hal. 29
[4] Al-Ghazali, Ihya
‘Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 203
[5] Zainuddin
al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin,
Thaha Putra, Semarang, Juz.I, Hal. 270-271
[6] Zainuddin
al-Malibary, Irsyadul Ibad, Syarkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 23
[7]
Zainuddin
al-Iraqi, al-Mughni ‘an –Haml al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min
al-Akhbar, dicetak di dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang , Juz. I, Hal. 203
[8]
Al-Haitami, al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 80
[9] Al-Ramli, Fatawa
al-Ramli, (dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah), Darul
Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 209
[10] Al-Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi
‘ala al-Tahrir, Juz.I, Hal. 342
[11] Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra
al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 80
[12] Ibnu Ziyad, Ghayah Talkhis,
(dicetak pada hamisy Bughyatul Mustarsyidin), Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 94
[13]
Al-Haitami, al-Fatawa
al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 80
[14] Al-Syarqawi, Hasyiah al-Syarqawi
‘ala al-Tahrir, Juz.I, Hal. 342
[15] Zainuddin
al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin,
Thaha Putra, Semarang, Juz.I, Hal. 270-271
[16] Zainuddin
al-Malibary, Irsyadul Ibad, Syarkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 23
[17]
Al-Ghazali, Ihya
‘Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 203-204
[18] Zainuddin al-Iraqi, al-Mughni
‘an –Haml al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar, dicetak di
dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 204
Tengku apabila seorang wanita mimpi jima namun tidak sampai orgasme, lalu ketika bangun didapatinya basah tetapi wanita itu tidak tau apakah keluar mani atau tidak namun basah yg didapatinya ciri2nya seperti mazi, apakah diwajibkan baginya untuk mandi?
BalasHapustidak wajib mandi, karena tidak ada tanda 2 yg keluar itu adalah mani, meskipun dia dlm mimpinya teringat ada beretubuh. karena kewajiban mandi apabila melihat mani. berikut hadits Ummu Sulaim datang kepada Nabi SAW dan bertanya, :
Hapusيَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهِ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَتَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ: تَرِبَتْ يَدَاكِ، فَبِمَ يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا
Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam menjelaskan kebenaran, “Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah (mengeluarkan mani)?” Nabi SAW menjawab: “Ya, apabila wanita melihat air mani” Ummul Mukminin Ummu Salamah (yang waktu itu berada di sampingnya) bertanya, “Apakah wanita juga mimpi basah?” Nabi SAW menjawab: “Bagaimana kamu, dari mana seorang anak bisa mirip dengan ibunya ? (kalaupun bukan karena mani tersebut) (H.R. Muslim, Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 251, No. Hadits : 313
lebih lanjut tentang mimpi basah pd perempuan lihat link : http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2013/04/perempuan-juga-mimpi-basah-dan.html
Hapuswassalam
Terimakasih tengku atas ilmunya.
HapusAssalamu'alaykum. Pak bagaimana hukumnya jika kita melanggar aturan manusia, seperti melanggar peraturan lalu lintas, membuang sampah sembarangan (walau ada larangan dilarang membuang sampah di tempat tsb).
BalasHapusLalu pak bagaimana hukumnya jika seperti ini, beberapa waktu lalu saya membuat rekening syari'ah yg baru, lalu customer service itu menyuruh menandatangani kartu atm sm dg ttd yg ada pd ktp, tapi saat ditandatangani ternyata ttd nya berbeda, pd ktp tanda tangannya misal "novianti" namun di atm nvianti" (karena ttd saya memang memakai nama yg disambung) apakah itu tidak mengapa pak? Karena sudah terlanjur saya menandatanganinya seperti itu dan saya tidak bilang ke cs nya.
Apakah tidak mengapa pa jika saya menabung, menarik uang di rekening tsb?
BalasHapus1. kalau aturan itu ddibuat oleh pemerintah yg sah, maka wajib diikuti selama printah itu bukan maksiat, karena termasuk dlm katagori wajib ta'at kepada pemimpin. kunjungi link :
Hapushttp://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2014/08/kewajiban-taat-kepada-pemimpin.html
2. adapun pertanyaan lain, tentu kami tdk dlm kapasitas kami menjawabnya. sebaiknya tanya saja sama bank bersangkutan.
wassalam
Tapi pa jika kita melanggarnya apakah itu berdosa? Seperti buang sampah, melanggar lalu lintas.
BalasHapusBegini pak maksud saya jika melakukan kesalahan dlm ttd apakah berdosa lalu apakah membuat uangnya jd haram atau tidak pak?
Saya membaca pengalaman beberapa org yg ttd nya salah, ternyata mengapa pihak bank menyuruh sama agar tidak terjadi penipuan oleh pihak lain.
Assalamualaikum pak. Saya seorang perempuan yg belum menikah. Pak saya ragu, dini hari tadi saya bermimpi tp tidak sampai jima, setelah bangun saya segera ke wc. Sebelum pipis saya memegang kemaluan terasa basah sedikit lalu saya keburu pipis dan setelah pipis kemaluan saya biasa2 saja tidak ada tanda2 seperti basah. Lalu saya bingung apakah basah yg sedikit td adalah air mani lalu terbawa hanyut oleh air seni, apakah bisa begitu pak? Saya tidak bisa mengenali tanda2nya karena terburu2 pipis. Jadi bagaimana ya pa apa saya hrus mandi? Tadi ketika saya bangun karena ragu hrs mandi atau tidak (karena tidak tau itu mani atau bukan) saya langsung sholat subuh saja. YG saya ingat saya bermimpi dipeluk, dan duduk di sampingnya, ya intinya pa saya tidak sampai melakukan jima dlm mimpinya. Bagaimana ya pak?
BalasHapustidak wajib mandi, karena tidak ada tanda 2 yg keluar itu adalah mani, meskipun dia dlm mimpinya teringat ada beretubuh, apalagi ini sdri mimpinya tidak sampai bersetubuh. karena kewajiban mandi apabila melihat mani. berikut hadits Ummu Sulaim datang kepada Nabi SAW dan bertanya, :
Hapusيَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ اللهِ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ، إِذَا رَأَتِ الْمَاءَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَتَحْتَلِمُ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ: تَرِبَتْ يَدَاكِ، فَبِمَ يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا
Artinya : Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dalam menjelaskan kebenaran, “Apakah wanita wajib mandi jika mimpi basah (mengeluarkan mani)?” Nabi SAW menjawab: “Ya, apabila wanita melihat air mani” Ummul Mukminin Ummu Salamah (yang waktu itu berada di sampingnya) bertanya, “Apakah wanita juga mimpi basah?” Nabi SAW menjawab: “Bagaimana kamu, dari mana seorang anak bisa mirip dengan ibunya ? (kalaupun bukan karena mani tersebut) (H.R. Muslim, Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 251, No. Hadits : 313
kalau sdri ragu2, maka keragu2an itu tidak mempunyai sandaran apa-apa. jadi sdri tetap dlm keadaan suci sebagaimana sebelum datang keraguan. jadi tidak wajib mandi juga hukumnya
wassalam