Hadits ahad adalah
hadits yang diriwayat oleh satu orang atau lebih, tetapi tidak sampai kepada
tingkatan mutawatir. Jumhur ulama menjelaskan kepada kita bahwa hadits ahad ini
tidak bersifat qath’i, tetapi hanya dhanni. Berikut ini sejumlah penjelasan dari
ulama-ulama kita, antara lain :
1.
Imam al-Juwaini yang lebih dikenal dengan gelar Imam al-Haramain
mengatakan dalam kitabnya :
وخبر الواحد لا یعقب العلم
Hadits
ahad tidak menghasilkan ilmu (keyakinan)[1]
Dalam kitab karya beliau
yang lain, beliau mengatakan :
والاحاد وھو الذي یوجب العمل ولا یوجب العلم لاحتمال الخطأ فیھا
Ahad
adalah yang mewajibkan amal dan tidak mewajibkan ilmu (keyakinan), karena ada
kemungkinan salah padanya.[2]
2.
Zakariya
al-Anshari mengatakan :
واما مظنون الصدق فخبرالواحد وھو مالم ینتھا الى التواتر
Adapun yang dhan benar, maka itu adalah hadits ahad, yakni yang
tidak sampai
kepada tingkatan mutawatir.[3]
3.
Imam al-Nawawi mengatakan :
فَالَّذِي عَلَیْھِ جَمَاھِیرُ الْمُسْلِمِینَ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِینَ فَمَنْ بَعْدَھُمْ مِنَ الْمُحَدِّثِینَ
وَالْفُقَھَاءِ وَأَصْحَابِ الْأُصُولِ أَنَّ خَبَرَ الْوَاحِدِ الثِّقَةِ حُجَّةٌ مِنْ حُجَجِ الشَّرْعِ یَلْزَمُ الْعَمَلُ
بِھَا وَیُفِیدُ الظَّنَّ وَلَا یُفِیدُ الْعِلْمَ
Maka
pendapat yang pegangan jumhur kaum Muslimin, baik sahabat, Tabi’in maupun ulama-ulama
sesudah mereka, ahli hadits, fuqaha dan ahli ushul adalah hadits ahad dari orang yang terpercaya
menjadi hujjah dari segala hujjah syara’ yang mewajibkan amal dengannya, tetapi tidak
memfaedahkan ilmu (keyakinan).
Selanjutnya beliau menjelaskan :
وذھب بعض المحدثین إلى أن الاحاد التي في صحیح البخاري أو صحیح مسلم تفید
العلم دون غیرھا من الاحاد وقد قدمنا ھذا القول وإبطالھا في الفصول
Sebagian
Ahli Hadis berpendapat bahwa hadis Ahâd yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim memberikan kepastian
informasi, tidak hadis Ahâd dalam selain keduanya. Dan telah kami paparkan panjang lebar
bukti kebatilan pendapat
ini dalam beberapa pasal sebelumnya.[4]
4.
Al-Hafizh Ibnu Abd al-Barr mengatakan :
وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا وَغَیْرُھُمْ فِي خَبَرِ الْوَاحِدِ الْعَدْلِ ھَلْ یُوجِبُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ جَمِیعًا أَمْ
یُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَالَّذِي عَلَیْھِا أَكْثَرُ أَھْلِ الْعِلْمِ مِنْھُمْ أَنَّھاُ یُوجِبُ الْعَمَلَ دُونَ الْعِلْمِ وَھُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَجُمْھُورُ أَھْلِ الْفِقْه وَالنَّظَرِ وَلَا یُوجِبُ الْعِلْمَ عِنْدَھُمْ إِلَّا مَا شَھِدَ بِھِا عَلَى اللَّه وَقَطَعَ الْعُذْرُ بِمَجِیئِھِا قَطْعًا وَلَا خلاف فیھا
Para
ulama kami (Malikiyah) dan selainnya berselisih pendapat tentang hadis ahad yang adil,
apakah ia memberikan kepastian ilmu (keyakinan) dan menjadi dasar pengamalan atau hanya pengamalan
saja? Menurut mayoritas ulama ia hanya menentukan amal saja tidak memberikan kesimpulan
ilmu pasti. Ini adalah pendapat
Syafi’i dan jumhûr Ahli Fiqh dan Teologi. Menurut mereka tidaklah memberikan kepastian ilmu kecuali yang
dikuatkan dari Allah dan memutus semua uzur, sebab ia telah datang dari jalur pasti yang tidak
diperselisihkan lagi.[5]
Apakah hadits ahad dalam kitab al-Shahihain qath’i?
Ibnu al-Shalah
berpendapat hadits ahad yang terdapat dalam kitab al-Shahihain bersifat qath’i.
Namun pendapat ini bertentangan dengan pendapat ulama muhaqqiqiin dan
kebanyakan ulama. Pendapat hadits ahad yang terdapat dalam kitab al-Shahihain bersifat
qath’i hanya merupakan pendapat sebagian kecil ahli hadits sebagaimana
dijelaskan oleh al-Nawawi di atas dan penjelasan beliau di bawah ini. ‘Ali
al-Qari mengatakan :
ﻗﺎﻝ اﻟﻨﻮﻭﻱ: ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ اﺑﻦ
اﻟﺼﻼﺡ ﺧﻼﻑ ﻣﺎ ﻗﺎﻟﻪ اﻟﻤﺤﻘﻘﻮﻥ ﻭاﻷﻛﺜﺮﻭﻥ، ﻓﺈﻧﻬﻢ ﻗﺎﻟﻮا: ﺃﺣﺎﺩﻳﺚ اﻟﺼﺤﻴﺤﻴﻦ اﻟﺘﻲ ﻟﻴﺴﺖ ﺑﻤﺘﻮاﺗﺮﺓ
ﺇﻧﻤﺎ ﺗﻔﻴﺪ اﻟﻈﻦ، ﻓﺈﻧﻬﺎ ﺁﺣﺎﺩ، ﻭاﻵﺣﺎﺩ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻔﻴﺪ اﻟﻈﻦ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺗﻘﺮﺭ. ﻭﻻ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻦ اﻟﺒﺨﺎﺭﻱ،
ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻭﺗﻠﻘﻲ اﻷﻣﺔ ﺇﻧﻤﺎ ﺃﻓﺎﺩ ﻭﺟﻮﺏ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺗﻮﻗﻒ ﻋﻠﻰ اﻟﻨﻈﺮ
ﻓﻴﻪ ﺑﺨﻼﻑ ﻏﻴﺮﻫﻤﺎ. ﻓﻼ ﻳﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻨﻈﺮ ﻭﻳﻮﺟﺪ ﻓﻴﻪ ﺷﺮﻁ اﻟﺼﺤﻴﺢ. ﻭﻻ ﻳﻠﺰﻡ ﻣﻦ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻌﻠﻤﺎء
ﻋﻠﻰ اﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﺟﻤﺎﻋﻬﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﻄﻊ ﺑﺄﻧﻪ ﻛﻼﻡ اﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﺼﻼﺓ ﻭاﻟﺴﻼﻡ
Al-Nawawi
mengatakan, pendapat Ibnu al-Shalah menyalahi pendapat ulama muhaqqiqiin dan
kebanyakan ulama. Para ulama telah mengatakan hadits-hadits dalam kitab
al-Shahihain yang bukan mutawatir hanya berfaedah dhan, karena hadits tersebut
adalah ahad, sedangkan hadits ahad hanya berfaedah dhan sebagaimana yang telah
ditetapkan. Tidak ada perbedaan antara hadits al-Bukhari dan hadits Muslim dan
selain keduanya dalam hal itu. Kesepakatan ummat hanya berfaedah wajib beramal
dengan hadits yang ada dalam al-Bukhari dan Muslim tanpa perlu analisa lagi,
berbeda dengan hadits selain keduanya yang tidak boleh diamalkan sehingga
dianalisa lebih dahulu dan didapati syarat-syarat shahih. Sedangkan ijmak ulama
atas beramal dengan apa yang menjadi ijmak mereka, itu tidak mewajibkan qath’i
bahwa hadits tersebut merupakan kalam Nabi SAW.[6]
Kemudian ‘Ali al-Qari
menjelaskan bahwa pendapat Ibnu al-Shalah ini juga telah nyatakan salah oleh
Ibn al-Burhan dan dianggap ‘aib oleh Ibn Abd al-Salam serta ditolak oleh Ibnu
al-Himam.[7]
Hadits ahad bernilai qath’i apabila ada qarinah.
Namun demikian, hadits
ahad apabila ada qarinah maka dapat bernilai qath’i sebagaimana dikemukakan
oleh Zakariya al-Anshari di bawah ini :
)ﻣﺴﺄﻟﺔ اﻷﺻﺢ ﺃﻥ ﺧﺒﺮ اﻟﻮاﺣﺪ ﻳﻔﻴﺪ اﻟﻌﻠﻢ
ﺑﻘﺮﻳﻨﺔ) ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﺇﺧﺒﺎﺭ ﺭﺟﻞ ﺑﻤﻮﺕ ﻭﻟﺪﻩ اﻟﻤﺸﺮﻑ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻮﺕ ﻣﻊ ﻗﺮﻳﻨﺔ اﻟﺒﻜﺎء ﻭﺇﺣﻀﺎﺭ اﻟﻜﻔﻦ
ﻭاﻟﻨﻌﺶ
Masalah
: Menurut pendapat yang lebih shahih khabar ahad berfaedah ilmu (yakin) dengan
sebab ada qarinah, sebagaimana pemberitahuan seseorang tentang kematian anaknya
yang memang sudah mendekati kematian serta ada qarinah tangisan dan kehadiran
kapan dan usungan mayat.[8]
[2] Al-Juwaini, al-Warqaat, (dicetak pada hamisy
Hasyiah al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqaat), Maktabah Raja Murah, Pekalongan, Hal. 19
[3] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha
Keluarga, Semarang, Hal. 97
[5]
Ibnu
Abd al-Barr, al-Tamhid, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 7
[6]
‘Ali al-Qari, Syarah Syarah Nukhbah al-Fikri, Syrikan Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, Hal. 220
[7] ‘Ali
al-Qari, Syarah Syarah Nukhbah al-Fikri, Syrikan Dar al-Arqam bin Abi al-Arqam, Beirut, Hal. 220
[8]
Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha
Keluarga, Semarang, Hal. 97
Assalamu'alaikum, ustaz.
BalasHapusMohon pencerahan daripada ustaz berkenaan hukum penggunaan hadits Ahad dalam bahasan Aqidah. Adakah ia dibolehkan menurut para ulamak Ahli Sunnah wal Jama'ah? Adakah WAJIB juga meyakininya?