A. Akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan
nama akidah yang disemat kepada kelompok yang haq, yang mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi SAW dan para salaful saleh.
Kelompok ini merupakan kelompok terbesar di kalangan umat Islam. Rumusan
mengenai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah ini dibahas dalam ilmu akidah. Ilmu
akidah disebut juga dengan ushuluddin, yaitu pokok-pokok agama seperti
kepercayaan yang menyangkut dengan ketuhanan (ilahiyyat), kepercayaan
yang menyangkut dengan kenabian (nubuwwat) dan kepercayaan yang
menyangkut dengan hal-hal yang ghaib seperti mengenai hari akhirat, surga,
neraka dan lain-lain.
Perkataan “Ahlusunnah wal Jama’ah” tersusun dari tiga
kata, yaitu :
1.
Ahl, yang berarti
keluarga, pengikut atau golongan
2.
Al-Sunnah, yang
berarti jalan dan prilaku. Secara istilah, berarti jalan yang ditempuh oleh
Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
3.
Al-Jama’ah, yang
berarti kelompok mayoritas
Dalam Ushuluddin, istilah
Ahlusunnah wal Jama’ah berarti aliran yang dianut oleh kelompok mayoritas umat
Islam dengan mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya. Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi :
تفترق
أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة فقالوا من هي يا رسول الله
قال ما أنا عليه وأصحابي
Artinya : Umatku
terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk dalam neraka kecuali
satu golongan. Mereka mengatakan, “Siapakah yang satu golongan itu, Ya
Rasulullah?”, Rasulullah SAW bersabda : “yang satu golongan itu adalah orang
yang berpedoman sebagaimana pedomanku dan para sahabatku.” (H.R. Turmidzi).
Zainuddin
al-Iraqi menjelaskan, hadits di atas telah diriwayat oleh Turmidzi dengan
kualiatas hasan dan dalam riwayat Abu Daud dari hadits Mu’awiyah dan Ibnu Majah
dari hadits Anas dan Auf bin Malik : “Yang satu itu adalah al-jama’ah”
dengan sanadnya bernilai jaid (baik).[1]
Dalam
perkembangan sejarah perjalanan pemahaman umat terhadap agamanya dalam bidang
akidah, kelompok Ahlusunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Subki,
terbagi dalam tiga golongan, yaitu :
1.
Ahli Hadits,
pegangan mereka adalah dalil al-sam’iyah, yakni al-Kitab, al-Sunnah dan
ijmak
2.
Ahli al-Nadhar
al-Aqliyah, kelompok ini sepakat menggunakan akal dalam hal-hal dimana al-sam’iyah
membutuhkan al-nadhar al-aqliyah padanya dan menggunakan dalil al-sam’iyah
pada hal-hal dimana akal hanya mampu menetapkan jawaz (berkemungkinan)
saja serta sepakat menggunakan al-aqliyah dan al-sam’iyah dalam
masalah lainnya. Imam dari golongan ini adalah Imam al-Asy’ari dan al-Maturidy
3.
Ahli Wajdan dan
Kasyaf, mereka ini adalah para ahli sufi. Pegangan mereka ini adalah al-nadhar
dan hadits pada al-bidayah (awal perjalanan rohaninya) dan kasyaf dan
ilham pada al-nihayah (puncak perjalanan rohaninya)[2]
Tokoh ahli hadits antara lain Ahmad bin
Hanbal. Sedangkan tokoh ahli wajdan dan kasyaf antara lain Junaid al-Baghadi
dan al-Ghazali.
B. Mazhab Syafi’i
Kata mazhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli dzahaba. Dzahaba artinya pergi; oleh karena itu
mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah :
maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara. Addapun pengertian mazhab menurut istilah adalah sejumlah fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat
seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya. Lebih lengkapnya
mazhab adalah hasil ijtihad seorang imam mujtahid tentang hukum suatu masalah
yang belum ditegaskan oleh nash. Karena itu hasil ijtihad merupakan produk dhanni,
bukan qath’i. Jadi, tidak benar kalau disebutkan shalat lima waktu wajib
menurut mazhab Syafi’i, karena ketetapan wajib shalat lima waktu merupakan
qath’i dari nash al-quran dan sunnah. Produk mazhab memastikan terjadinya
khilafiyah yang tidak dapat dihindari. Karena itu slogan kembali kepada
al-quran dan hadits untuk menyatukan pendapat umat Islam merupakan slogan
kosong yang tidak mungkin terjadi. Karena pemahaman nash yang tidak qath’i
dalalahnya pasti berujung kepada khilafiyah.
Berdasarkan keterangan di atas, maka Mazhab Syafi'i
adalah hasil ijtihad fiqih yang dicetuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi'i
atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Syafi'i. Mazhab ini kebanyakan dianut para penduduk Mesir bawah, Arab Saudi
bagian barat, Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar,
Hadramaut, dan Bahrain. Kitab-kitab karya Imam Syafi’i antara lain, al-Um, Risalah, Muhktashar
al-Muzani, al-Imla, Ikhtilaful Hadits, Musnad Syafi’i dan lain-lain.
Yang dapat dianggap sebagai mazhab Syafi’i
1.
Qaul jadid (pada dasarnya yang menjadi mazhab adalah qaul
jadid)
2.
Qaul qadim (para ulama Syafi’iyah telah menetapkan lebih
20 qaul qadim sebagai mazhab Syafi’i, karena mengamalkan wasiat Imam Syafi’i :
“Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”)
3.
Wujuh-wujuh dari ashabul wujuh. Yakni pendapat-pendapat
dari ulama mazhab yang memahami dari nash Imam Syafi’i atau qawaidnya dengan
syarat tidak bertentangan dengan nash Imam Syafi’i sendiri. (Ini dapat dianggap
sebagai mazhab Syafi’i, karena pemahamannya berdasarkan nash dan qawaid Imam
Syafi’i). Berdasarkan ini tertolak pendapat yang mengatakan mazhab Syafi’iyah
bukan mazhab Syafi’i)
4.
Pemahaman ulama mazhab langsung dari al-qur’an dan hadits
dengan menggunakan manhaj Imam Syafi’i, dengan syarat tidak bertentangan dengan
nash Imam Syafi’i sendiri. . (Ini dapat dianggap sebagai mazhab Syafi’i, karena
pemahamannya berdasarkan qawaid Imam Syafi’i)
5.
Sharih kandungan hadits apabila diduga kuat hadist tersebut
tidak sampai kepada Imam Syafi’i atau beliau tidak mengetahui sahnya. (Ini karena
mengamalkan wasiat Imam Syafi’i : “Apabila shahih hadits, maka itulah
mazhabku”). Namun perlu di tegaskan bahwa mempraktekkan point yang kelima ini
dibutuhkan seorang ulama meski tidak sampai tingkatan seorang mujtahid,
setidaknya mempunyai kemampuan di bawah sedikit seorang mujtahid. Mengomentari perkataan Imam Syafi’i di atas, dalam Majmu’ Syarh
al-Muhazzab, Imam al-Nawawi mengatakan :
“Perkataan Imam Syafi’i ini bukanlah
maknanya bahwa setiap orang yang melihat hadits shahih dapat mengatakan “Ini
mazhab Syafi’i”, lalu mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini hanyalah diposisikan
pada orang-orang mencapai martabat ijtihad dalam mazhab sesuai dengan
sifat-sifatnya yang terdahulu atau mendekati martabat ijtihad. Persyaratannya
adalah kuat dugaannya bahwa Syafi’i Rhm tidak pernah menemukan hadits ini atau
tidak mengetahui sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti semua
kitab-kitab Syafi’i dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang
mengambil ilmu dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya.
Persyaratan ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang
mempunyai sifat seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami
sebutkan, karena Syafi’i Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang
pernah beliau melihat dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi
beliau bahwa hadits tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil
ataupun lainnya.[3]
Salah satu
contoh hadits shahih tidak diamalkan oleh Imam Syafi’i adalah hadits yang disebut dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi :
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak mengamalkannya, karena
menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh. Al-Subki
menjawab pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits “Yang membekam
dan yang dibekam terbuka puasanya” adalah shahih, dengan mengatakan :
“Ditolak perkataan Abu
Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafi’i meninggalkan hadits tersebut,
padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di sisinya dan beliau
sendiri telah menjelaskannya.[5]
C.
Ahlussunnah
wal Jama’ah dan Mazhab
Syafi’i di Aceh
Tidak diragukan lagi keberadaan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Mazhab
Syafi’i dalam bidang fiqh di Aceh sudah
dimulai sejak sejarah Islam di Aceh dikenal. Keberadaan akidah Ahlussunnah wal
Jama’ah dan Mazhab Syafi’i dalam bidang
fiqh di Aceh juga didukung oleh para sulthan di zamannya. Berikut bukti-bukti
pernyataan di atas :
1. Penulisan
kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Aceh merujuk pada kitab-kitab
Syafi’iyah. Kitab Mir’at ath-Thullab Syaikh as-Sinkili maupun Sabil
al-Muhtadin karya Syaikh Arsyad al-Banjari (beliau ini meskipun bukan putra
Aceh,, akan tetapi kitab beliau banyak dijadikan pedoman dalam ibadah di Aceh) banyak
merujuk pada kitab-kitab Syafi’iyah seperti Fath al-Wahhab, Tuhfat al-Muhtaj, Mughniy
al-Muhtaj, Nihayat al-Muhtaj, Minhaj ath-Thullab dan sebagainya.
Kitab Shirath al-Mustaqim karya Syaikh Nuruddin ar-Raniri juga banyak dikutip
di dalamnya pendapat-pendapat ulama-ulama mazhab Syafi’i yang termaktub dalam
kitab-kitab di atas.
2. Para qadhi-penghulu di era kesultanan hingga zaman
kolonial menggunakan kitab fiqh Syafi’iyyah sebagai rujukan utama.
3. Dayah-dayah Aceh sampai sekarang dapat dikatakan hampir
100 % bermazhab Syafi’i
Karena keberadaan mazhab Syafi’i yang sudah begitu
melekat di Indonesia dan Aceh termasuk di dalamnya, maka Departemen Agama
membatasi 13 kitab dengan surat instruksi pada tahun 1953 untuk dijadikan di
Pengadilan Agama, yaitu:
1. Bughyat
al-Musrtarsyidin oleh Husain Al Ba’alawi
2. Al-Faraid oleh
asy-Syamsuri
3. Fath al-Mu’in oleh
al-Malibari
4. Al-Fiqh ‘ala
al-Madzahib al-Arba’ah oleh al-Juzairi
5. Fath al-Wahab oleh
Zakariya al-Anshari
6. Hasyiyah Kifayat
al-Akhyar oleh al-Bajuri
7. Mughni al-Muhtaj oleh
asy-Syarbini
8. Qawa’id
asy-Syar’iyyah li al-Jazair al-Indonesiyyah al-Musamma Irsyad dzawi al-Arham
Wajibat al-Qudhati wa al-Ahkam oleh Sayyid
Shadaqah San’an,
9. Qawa’id Asy’ariyyah oleh
Sayyid Utsman Bin Yahya
10. Qalyubi al-Mahalliy
wa Syarhihi
11. Syarqawi ‘ala
at-Tahrir oleh asy-Syarqawi
12. Tarqib al-Mustaqq
13. Tuhfat al-Muhtaj oleh
Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami (909-972 H).
Ketetapan
departemen Agama ini tidak berlaku lagi setelah munculnya intruksi Presiden RI
pada tahun 1991 tentang kompilasi Hukum Islam
Masuknya paham
pembaharuan Islam di Aceh
Masuknya paham pembaharuan
Islam di Aceh terjadi Setelah paham
reformis datang dari Mesir dan Arab Saudi, shalat dua puluh rakaat ditiadakan
di Masjid Raya Baiturrahman dan digantikan menjadi delapan rakaat tambah tiga
witir. Menurut Almarhun H. Soufyan Hamzah
(Imam Besar), shalat delapan rakaat, tambah witir tiga rakaat dimulai tahun
1936. Penduduk di sekeliling masjid umumnya pedagang dari Sumatera Barat, yang
kebetulan mereka adalah orang-orang yang berpahamam reformis.[6] Selain itu munculnya PERSATUAN
Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang lahir pada 12 Rabiul Awal 1358 H/5 Mei 1935 M,
merupakan satu organisasi besar dan kuat di Aceh pada era 1950-an. PUSA
diprakarsai dan didirikan oleh para ulama modernis, seperti Tgk Abdurrahman
Meunasah Meucap, Ayah Hamid Samalanga, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Tgk Muhammad Daud
Beureu-éh, dan lain-lain. Tujuan utama pembentukan organisasi ini antara lain
dimaksudkan untuk memajukan dunia pendidikan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah
di Aceh.[7]
Catatan :
Kegiatan PUSA ini dalam bidang pembaharuan Islam,
khususnya dalam bidang ibadah, pengaruhnya sedikit sekali. Hal ini dimungkinkan
karena ulama-ulama PUSA banyak konsentrasi masalah politik ketika itu. Apalagi
banyak ulama-ulama PUSA terlibat gerakan DI/TII pada tahun lima puluhan. Karena
itu tidak mengherankan kalau sampai sekarang mayoritas masyarakat Aceh masih
setia dangan mazhab Syafi’i. Dua ulama besar Aceh, yakni Abu Hasan Krueng Kalee
dan Abuya Muda Waly mempunyai andil besar dalam mempertahankan mazhab Syafi’i
di Aceh, baik sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya.
Ahlussunnah wal Jama’ah dan
Mazhab Syafi’i di Aceh pada Masa Otonomi Khusus
Qanun
Aceh No 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam dalam BAB
V tentang AQIDAH Pasal 11, berbunyi :
(1) Setiap orang beragama Islam yang berada di
Aceh wajib beraqidah Islamiyah sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah dalam jiwa
dan perilaku.
(2) Aqidah
Islamiyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Aqidah Ahlussunah wal
Jama’ah (Sunni).
Selanjutnya dalam
BAB VI tentang SYARIAH pada Bagian Kesatu tentang Ibadah Pasal 14, berbunyi :
(1) Penyelenggaraan ibadah
di Aceh wajib dijalankan sesuai dengan tuntunan syariah.
(2) Penyelenggaraan ibadah
sebagaimana diatur ayat (1) diamalkan dengan memprioritaskan tata cara
pengamalan ibadah menurut mazhab Syafi‟i.
(3) Penyelenggaraan ibadah
yang tidak mengacu pada tata cara mazhab Syafi‟i dibolehkan selama dalam
bingkai mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali dengan selalu mengedepankan
kerukunan, ukhuwah Islamiyah dan ketentraman dikalangan umat Islam.
(4) Dalam hal ada kelompok masyarakat di Aceh yang sudah
mengamalkan mazhab Hanafi, Maliki atau Hambali tidak dapat dipaksakan untuk
mengamalkan mazhab Syafi‟i.
(5) Dalam hal kelompok masyarakat yang mengamalkan ibadah mengikuti
paham organisasi keagamaan yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadist serta diakui
secara sah oleh Negara tetap dibenarkan/dilindungi.
(6) Terhadap permasalahan
kontemporer yang ditemukan dalam mazhab yang empat, dapat dilakukan kajiaan
lebih lanjut oleh MPU Aceh yang melibatkan lembaga terkait yang berwenang.
(7) Apabila terjadi khilafiah dalam penyelenggaraan ibadah maka
dilakukan muzakarah atau pengkajian komprehensif oleh MPU Aceh yang melibatkan
lembaga terkait dengan mengedepankan semangat ukhuwah islamiah, toleransi (tasamuh)
dan keterbukaan.
[1] Zainuddin al-Iraqi, Tarij Ihya Ulumuddin,
dicetak dibawah Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 225
[2]
Al-Zabidy, Ittihaf Saddul Muttaqin
bi Syarh Ihya Ulumuddin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 6-7
[4]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
33.
[5].Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam
al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah
Qurthubah, Hal. 91-92
[6].http://baiturrahmanonline.com/2016/06/10/sekilas-shalat-taraweh-di-masjid-raya-baiturrahman/. (diakses pada tanggal 13 Desember 2016)
[7] http://aceh.tribunnews.com/2014/01/30/membangun-aceh-ala-pusa (diakses pada tanggal 13 Desember 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar