Imam al-Suyuthi
membagi persoalan hadits ini kepada dua masalah, yakni :
1.
Masalah
kualitas hadits
2.
Masalah
penafsirannya.
Ad.1.
kualitas hadits
Al-Suyuthi mengatakan, hadits ini
tidak shahih. Selanjutnya beliau mengutip perkataan al-Nawawi yang mengatakan
hadits ini tidak tsabit (tidak shahih). Ibnu Taimiyah mengatakan, hadits ini
mauzhu’. Al-Zakasyi dalam kitab beliau, al-Ahadits al-Musytahirah menyebutkan,
Ibnu al-Sam’ani mengatakan, perkataan ini merupakan kalam Yahya bin Mu’az
al-Razi.
Ad.
2. Penafsirannya.
a.
Menurut
al-Nawawi dalam kitab al-Fatawa:
Maknanya
menurut Imam al-Nawawi adalah barangsiapa yang mengenal dirinya sebagai diri
yang dha’if dan membutuhkan Allah dan ber’ubudiyah kepada-Nya, maka dia akan mengenal
tuhannya Yang Maha Kuasa, bersifat rububiyah, sempurna, berkuasa secara mutlaq
dan mempunyai sifat-sifat yang tinggi.
b.
Menurut
Abu Abbas al-Mursi sebagaimana dikutip oleh Tajuddin bin ‘Ithaillah
Abu Abbas al-Mursi menjelaskan ada dua ta’wil
untuk hadits ini, yakni :
1). Barangsiapa
yang mengenal dirinya sebagai hamba yang hina dan lemah serta faqirnya, maka
dia akan mengenal tuhannya Yang Maha Perkasa, Kuasa dan Kaya. Berdasarkan ini, mengenal
jiwa menjadi sebab mengenal Allah sesudahnya. Ini merupakan jalan orang –orang saalik
(orang yang sedang berjalan menuju Allah)
2). Barangsiapa
yang telah mengenal dirinya, maka itu menunjukkan dia telah mengenal Allah
sebelumnya. Ini merupakan jalan orang-orang majzub (maqam tertinggi
dalam tasauf)
c. Menurut Abu
Thalib al-Makki dalam kitabnya, Quut al-Qulub :
Menurut Abu Thalib al-Makki, maknanya
apabila kamu mengenal sifat dirimu dalam berhubungan dengan sesama makhluk bahwa
dirimu tidak menyukai orang yang mengkritik perbuatanmu atau menghina apa yang
kamu lakukan, maka kamu akan mengenal sifat penciptamu. Apabila kamu tidak
menyukai hal demikian, maka demikian juga, kamu harus ridha dengan apa yang
menjadi ketetapan penciptamu dan beramallah dengan apa yang disukai-Nya.
d.
Menurut
‘Izzuddin Abdussalam.
Maknanya menurut ‘Izzuddin
Abdussalam, sesungguhnya Allah telah meletakkan ruh yang bersifat ruhaniyah
dalam tubuh jasmaniyah dalam bentuk ruh yang lembut lahutiyah (bersifat
ketuhanan) yang diletakkan dalam tubuh kasar nasuutiyah (bersifat kemanusiaan)
untuk menunjukkan wahdaniyah dan rububiyah-Nya. Jalan yang menunjukkan hal
tersebut terdapat dalam sepuluh dalil, yakni :
1). Tubuh manusia
membutuhkan pengatur dan penggeraknya. Pengatur dan penggeraknya adalah ruh. Karena
itu, dipahami juga alam ini juga membutuhkan pengatur dan penggeraknya.
2). Pengatur
dan Penggerak tubuh manusia hanya satu, yakni ruh. Dengan demikian, maka
pengatur alam ini juga satu, yakni Allah Ta’ala.
3). Tubuh manusia
tidak begerak kecuali menurut keinginan ruh. Demikian juga apa saja yang ada di
alam ini tidak bergerak dan tidak terjadi kecuali sesuai dengan iradah-Nya dan
ketetapan-Nya, baik itu sesuatu yang baik maupun yang buruk.
4). Bergerak dan
diam tubuh tidak terlepas dari pengetahuan ruh, maka demikian juga sekecil
apapun yang terjadi di alam ini tidak terlepas dari ilmu Allah.
5). Tidak ada
yang lebih dekat kepada tubuh manusia kecuali ruh. Demikian juga, alam ini
tidak ada yang sangat dekat dengan alam kecuali Allah (dalam arti dekat
maknawi)
6). Ruh wujud
sebelum jasad dan tetap wujud setelah jasad tidak wujud. Demikian juga Allah,
wujud-Nya sebelum wujud alam dan dan baqa wujud-Nya setelah fana alam.
7). Ruh dalam
jasad tidak diketahui bagaimana kaifiatnya (kelakuannya). Demikian juga Allah
maha suci dari kaifiat-Nya.
8). Ruh tidak
diketahui ainiyah-nya (dimana). Demikian juga Allah tidak bersifat
dengan kaifiat dan di mana. Artinya tidak ditanya di mana Allah dan bagaimana.
9). Ruh tidak
dapat dilihat dengan mata dan tidak dapat digambarkan dengan rupa. Demikian juga
Allah tidak dapat dilihat dengan mata dan tidak dapat digambarkan dengan rupa.
10). Ruh tidak
dapat ditelusuri dengan panca indra dan juga tidak dapat disentuh. Demikian juga
Allah bukan merupakan benda yang dapat ditelusuri dengan panca indra dan dapat
disentuh.
Kemudian al-Suyuthi mengatakan, ada
tafsir lain untuk hadits ini, yakni : kamu mengenal sifat dirimu sebalik dari
sifat tuhanmu. Maka barangsiapa mengenal dirinya mengenal dirinya bersifat
fana, maka dia mengenal tuhannya bersifat baqa. Barangsiapa yang mengenal
dirinya yang keras hati dan tersalah, maka dia mengenal tuhannya yang sempurna
dan pemurah.
Tafsir lain yang sebut al-Suyuthi, barangsiapa
yang mengenal jiwanya sebagaimana adanya, maka dia mengenal tuhannya sebagaimana
adanya (diri zat). Seandainya tidak jalan mengenal jiwanya sebagaimana adanya,
maka bagaimana dia dapat mengenal tuhannya sebagaimana adanya. Maka hadits ini,
seolah-olah merupakan ta’liq mengenal Allah kepada yang mustahil, sedangkan sesuatu
yang dita’liq atas mustahil adalah mustahil. Apabila mustahil mengenal kaifiyat
jiwa seseorang, maka mustahil juga mensifati Allah dengan kaifiyat. Apabila tidak
mampu mensifati jiwa dengan dimana dan bagaimana,, maka bagaimana kita mampu
mensifati Allah dengan dimana dan bagaimana. Dalam kitab Syarh al-Ta’arruf,
al-Qunawy mengutip sebagian ulama yang mengatakan, hadits ini merupakan bab ta’liq
kepada sesuatu yang tidak akan ada. Penjelasannya, syara’ telah menutup
kemungkinan mengenal jiwa sebagaimana firman Allah Ta’ala, berbunyi :
قُلِ الرُّوحُ مِنْ
أَمْرِ رَبِّي
Artinya
: Katakanlah ruh itu urusan tuhanku.
(Q.S. al-Isra’ : 85)
Maka
hadits di atas menunjukkan bahwa apabila manusia tidak mampu mengenal jiwanya
sendiri yang sangat dekat dengan dirinya, maka dia lebih lagi tidak akan mampu mengenal
Allah penciptanya.
Sumber : Al-Suyuthi, al-Hawi lil Fatawa, Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, Beirut, Juz. II, Hal. 238-241
Assalamualaikum maaf Tengku izin tnya : apa hkmnya ktka kita mkn daging ayam yg beli diluar sana yg misalnya ayam tu tdk dibacakan doa ktka disembelih? Lalu kita yg beli tak tau dan memakannya? Syukron Tengku Wassalamu'alaikun
BalasHapusAssalamualaikum.
BalasHapusTengku ada yg ingin saya tanyakan.
Pada punggung ibu saya ada seperti lubang kecil (tetapi lebih besar dari lubang pori2 kulit). Pada lubang itu ada kotoran (mungkin dari kotoran tubuh atau keringat, saya tidak tahu persis). Lalu kotoran itu jika ingin dibersihkan harus dipencet menggunakan kuku bahkan terkadang kulit disekitar lubang kecil itu menjadi luka atau merah2.
Hal yang serupa pun ada pada wajah saya (ada 2 lubang pada pipi). Ada lubang kecil yang selalu ada kotorannya. Terkadang saya bersihkan dengan cara dipencet atau dicongkel. Namun beberapa hari kemudian atau ntah berapa lama saya tidak tau karena tidak dilihat mendetail (kotoran itu selalu ada lagi). Cara membersihkannya tidak bisa hanya dengan pembersih wajah dengan cara diusap2 tetapi harus dicongkel atau dipencet.
Kemarin saya baru ingat apakah hal tersebut menghalangi sampainya air wudhu? Tetapi jika setiap saya berwudhu harus mengeceknya apakah tidak merepotkan? Yang ingin saya tanyakan
1. Apakah hal tersebut dimakfu?
2. Apakah hal tesebut sama seperti komedo pada hidung? Apakah kotoran seperti komedo itu dimakfu juga? Karena jika harus selalu dibersihkan akan sangat merepotkan dengan jumlahnya yg banyak.
Izin share ustadz,jazakallohu khoir
BalasHapus