Pembahasan
di bawah ini merupakan jawaban Ibnu Hajar al-Haitami terhadap pertanyaan
berikut ini :
1.
Apakah
maksud sabda Nabi SAW berbunyi :
الْغِيبَةُ أَشَدُّ مِنْ الزِّنَا
dan sabda Nabi SAW
berbunyi :
الْغِيبَةِ أَشَدُّ مِنْ
ثَلَاثِينَ زَنْيَةً فِي الْإِسْلَامِ
padahal diketahui bahwa ghibah itu dosa
kecil, sedangkan zina dosa besar.
2.
Apakah zina termasuk dosa
antara hamba dan tuhannya, sehingga taubatnya tidak memerlukan minta maaf
kepada seorangpun dari manusia ataukah ia merupakan dosa yang berhubungan
dengan anak Adam, sehingga taubatnya memerlukan minta maaf kepada kerabat
perempuan yang dizinainnya atau suaminya apabila perempuan itu sudah bersuami ?
3.
Apa dhabith dosa yang
berhubungan dengan Allah dan dosa yang berhubungan anak Adam?
Ibnu Hajar al-Haitami menjawab :
Rasulullah SAW bersabda :
الْغِيبَةُ
أَشَدُّ مِنْ الزِّنَا
Ghibah
(mengumpat) lebih berat dari zina
Hadits ini merupakan hadits Jabir r.a dan Abi Sa’id r.a yang
diriwayat oleh Ibnu Abi al-Dunya dalam al-Shamt dan Ibnu Hibban dalam kita
al-Dhu’afa serta Ibn Marduwaih dalam tafsirnya. Hadits ini juga diriwayat oleh
al-Thabrani dan al-Baihaqi.
Ibn Abi al-Dunya dan Abu al-Syekh dari jalur lain, kedua beliau
ini meriwayat hadits ini dengan disertai penjelasannya, yakni :
إيَّاكُمْ وَالْغِيبَةَ فَإِنَّ الْغِيبَةَ أَشَدُّ مِنْ الزِّنَا
إنَّ الرَّجُلَ قَدْ يَزْنِي فَيَتُوبُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ وَإِنَّ
صَاحِبَ الْغِيبَةِ لَا يُغْفَرُ لَهُ حَتَّى يَغْفِرَ لَهُ صَاحِبُهُ
Jauhilah ghibah, karena ghibah itu lebih berat dari
zina. Sesungguhnya seseorang kadang-kadang dia berzina, maka Allah ‘Azza wa
Jalla menerima taubatnya. Akan tetapi pelaku ghibah tidak diampuni dosanya
sehingga dimaafkan dosanya oleh orang yang dighibahnya itu.
Berdasarkan
hadits ini, dipahami bahwa lebih berat ghibah dari zina bukanlah secara mutlaq,
akan tetapi lebih beratnya itu ditinjau dari aspek bahwa taubat pada zina
memadai hanya semata-mata dengan syarat-syarat taubat seperti menyesali, berhenti
melakukannya, bercita-cita tidak kembali melakukannya, tidak dalam keadaan
ghargharah (sekarat), matahari belum terbit di barat. Ini berbeda dengan taubat
dari ghibah. Adapun Taubat dari ghibah, selain syarat-syarat di atas juga harus
ada pemaafan dari orang yang dighibah. Maka ditinjau dari sisi ini ghibah
disebut lebih berat dari zina, bukan secara mutlaq. Ghibah bukanlah dosa besar
secara mutlaq, ghibah menjadi dosa besar apabila ghibah seperti kepada
pengemban ilmu dan al-Quran. Namun al-Qurthubi pernah mengutip adanya ijmak dosa
ghibah merupakan dosa besar.
Pemahaman
bahwa taubat dari zina tidak perlu ada pemaafan dari pihak yang terkait
dengannya juga telah dijelaskan dalam al-Raudhah wa Ashliha dan selainnya.
Penjelasan yang sama juga telah dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitab beliau,
Minhaj al-Abidin. Sebagian ulama mutaakhirin mengatakan, taubat bathin di
antara Allah dan hambanya yang dapat terampuni dosanya terbagi dua, yakni : Pertama
taubat dari dosa yang tidak tersangkut dengan anak Adam. Kedua
taubat dari dosa yang tersangkut dengan anak Adam. Pembagian pertama seperti
menyentuh perempuan bukan mahram diselain farajnya, menciuminya (dosa kecil),
zina dan minum khamar (dosa besar). Ini memadai taubat dengan menyesali,,
bercita-cita tidak melakukan lagi dan berhenti melakukannya apabila ketika itu
sedang melakukannya.
Adapun
tidak disyaratkan pemaafan dalam taubat dari zina, ini tidak menunjukkan bahwa
tidak ada sama sekali hak hak yang berhubungan dengan anak Adam secara mutlaq. Karena
itu, maksud tidak ada hak anak Adam dalam kasus zina adalah hak dalam bentuk
harta atau seumpamanya. Hal ini karena telah disepakati para ulama bahwa atas
zina ada hukuman jinayat karena faktor kehormatan dan keturunan. Karena itu,
pelaku zina dirajam karena zinanya dan hukumannya lebih berat dari hukuman
pelaku dosa lainnya. Ini merupakan penunjuk yang sharih pada perbuatan zina ada
hak bagi kerabat perempuan yang dizinainya, suami atau sayyidnya (pemilik hamba sahaya). Namun para ulama mengatakan, tidak
serah hak melakukan hudud zina kepada para wali perempuan yang dizinai, karena kadang-kadang
para wali itu tidak akan menerapkan hudud tersebut karena takut kepada sipelaku
zina atau misalnya dikuatirkan para wali tanpa pikir panjang dan terburu-buru
akan membunuh pelaku zina.
Dalam
kitab Minhaj al-Abidin, Imam al-Ghazali mengatakan, dosa yang terjadi pada hamba Allah, kadang terjadi pada
harta, pada jiwa, pada kehormatan, dalam
rumah tangga dan kadang pada agama. Adapun pada harta, maka wajib
mengembalikannya di saat memungkinkan. Apabila tidak mampu karena fakir, maka
minta maaf dan apabila tidak mampu juga karena jauh atau sudah mati, sedangkan
dia memungkinkan bersadaqah, maka bersadaqahlah. Jika itu juga tidak mampu,
maka memperbanyaklah amalam kebaikan dan kembali kepada Allah dengan merendahkan
diri kepada-Nya mudah-mudahan Allah meridhainya nanti di hari kiamat. Adapun
dosa pada jiwa, maka serahkan hak qishas kepadanya atau walinya dan seandainya
ini tidak memungkinkan, maka kembali kepada Allah menuntut keridhaan-Nya pada
hari kiamat. Adapun dosa pada kehormatan, apabila kamu melakukan ghibah, mencaci
maki, mendustai, maka hak kamu mendustai dirimu di hadapan orang-orang yang
kamu lakukan itu dan minta maaf kepada mereka apabila ini memungkinkan. Namun apabila
kamu kuatir akan menambah kemarahan dan fitnah dengan sebab mengungkitnya
kembali, maka kembali kepada Allah Ta’ala untuk mendapat redha dari-Nya. Adapun
dosa dalam rumah tangga, seandainya kamu berkhianat atas keluarga, anak atau
lainnya, maka tidak ada tinjauan sama sekali untuk minta maaf dan
mendhahirkannya, karena anak memang dilahirkan menjadi fitnah dan kemarahan.
Karena itu, merendahkan diri kepada Allah supaya Allah meridhaimu dan
mengamalkan banyak kebaikan sebagai penebus dosa. Namun apabila aman dari
fitnah, tapi ini sangat kecil kemungkinannya, maka minta maaflah. Adapun pada
agama, jika kamu ingkar agama, melakukan bid’ah atau perbuatan sesat, maka ini
termasuk perkara yang sangat pelik. Karena itu, membutuhkan mendustai dirimu
sendiri di hadapan orang-orang yang kamu katakan itu dan minta maaf kepada
temanmu jika itu memungkinkan. Apabila itu tidak mungkin, maka berdoa kepada
Allah dan menyesali perbuatan itu, mudah-mudahan Allah meridhaimu.
Al-Zarkasyi
dan lainnya diam tidak mengomentari penjelasan al-Ghazali di atas. Namun
al-Azra’i menagatakan penjelasan tersebut sangat baik dan tahqiq. Ditempat
lain, beliau mengatakan, mendekati haram hukumnya memberitahukan adanya hasad
apabila menurut dugaannya orang yang dihasad itu tidak memaafkannya dan akan
melahirkan permusuhan dan dendam serta mudharat bagi yang memberitahukannya.
Kemudian al-Azhra’i melanjutkan, dibolehkan melihat kondisi orang yang dihasad,
apabila dia itu baik akhlaqnya, dalam arti dapat diduga dia itu memaafkannya,
maka wajib memberitahukannya supaya seseorang itu dapat keluar dari kedhaliman
dengan cara yakin. Namun apabila dalam dugaannya bahwa pemberitahuannya itu
mendatangkan keburukan dan permusuhan, maka haram memberitahukannya secara
pasti. Adapun dalam posisi ragu-ragu, maka menurut dhahir kalam al-Nawawi tidak
wajib dan tidak dianjurkan, karena jiwa yang bersih itu jarang ada. Malah
barangkali itu penyebab muncul dendam dan kejahatan, meskipun dengan lidahnya
telah memaafkannya.
Hasad merupakan
dosa yang dianggap mudah di sisi kebanyakan manusia dan kebanyakan manusia
tidak begitu mempedulinya, namun al-Nawawi mengatakan pendapat yang terpilih,
bahkan merupakan pendapat yang benar adalah tidak wajib memberitahukan kepada
orang yang dihasad, bahkan tidak dianjurkan dan seandainya dikatakan makruh,
maka itu juga tidak jauh. Lalu bagaimana dengan zina yang dengan semata-mata
waham akan mengakibatkan si suami dan kerabatnya pasti akan membunuh sipelaku
zina, tentu ini akan lebih berbahaya lagi kalau perbuatan zina itu pasti ada.
Zhabith dosa yang berhubungan dengan Allah dan dosa yang
berhubungan dengan anak Adam
Setiap dosa yang tidak ada mudharat yang dihubungkan dengan
sebabnya kepada anak Adam merupakan dosa yang berhubungan dengan Allah dan
sebaliknya adalah dosa yang berhubungan dengan anak Adam.
Selanjutnya
al-Haitami menjelaskan kualitas hadits :
الْغِيبَةِ أَشَدُّ مِنْ
ثَلَاثِينَ زَنْيَةً فِي الْإِسْلَامِ
Ghibah lebih berat dari tiga puluh penzina dalam Islam
beliau mengatakan, dhahirnya hadits ini tidak ada asal
baginya.
Sumber : Ibnu
Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, Darul Fikri,
Beirut, Juz. IV, Hal. 241)
assalamu'alaikum Tgk..
BalasHapusBagaimanakah hukumnya kita menceritakan kesalahan2 orang lain(memaki2/tateunak)orang yang mencuri barang kita,pelacur,tidak mau berpuasa dan tidak shalat.apakah termasuk mengupat juga? tolong penjelasannya
wassalam
pengertian mengupat adlm membicarakan suatu sifat/prilaku orang dibelakangnya, dimana seandainya orang itu mendengar, /mengetahuinya, maka orang itu akan marah atau tidak senang. pada dasarnya hukumnya adl haram, meski yg dibicarakan itu memang benar dan sesuai dgn fakta.
Hapusmengupat ini menjaddi tidak haram apabila mengupat tsb dgn tujuan menjadi nasehat bagi yg mendengarnya atau tujuan mulia lainnya yg di benar agama. bahkan mengupat menjadi wajib bila ddiduga itu satu satunya jln untuk membuat seseorang bertaubat.