Pengertian Fatwa dan Qadha
Imam al-Subkiy membagi ulama yang
bergelut dengan fiqh kepada tiga martabat, yaitu :
1. Mengetahui fiqh , beliau menjelaskan :
(إحْدَاهَا)
مَعْرِفَةُ الْفِقْهِ فِي نَفْسِهِ وَهُوَ أَمْرٌ كُلِّيٌّ؛ لِأَنَّ
صَاحِبَهُ يَنْظُرُ فِي أُمُورٍ كُلِّيَّةٍ وَأَحْكَامِهَا كَمَا هُوَ دَأْبُ
الْمُصَنِّفِينَ وَالْمُعَلَّمِينَ وَالْمُتَعَلِّمِينَ، وَهَذِهِ الْمَرْتَبَةُ
هِيَ الْأَصْلُ.
Martabat pertama mengetahui fiqh pada dirinya. Ini merupakan perkara
kulliy (universal), karena pelakunya tinjauannya hanya perkara-perkara
universal dan hukumnya sebagaimana pekerjaan pengarang-pengarang kitab,
pengajar dan pelajar. Ini merupakan martabat pertama.
2. Martabat mufti, beliau menjelaskan
(الثَّانِيَةُ)
مَرْتَبَةُ الْمُفْتِي وَهِيَ النَّظَرُ فِي صُورَةٍ
جُزْئِيَّةٍ وَتَنْزِيلُ مَا تَقَرَّرَ فِي الْمَرْتَبَةِ الْأُولَى فَعَلَى الْمُفْتِي
أَنْ يَعْتَبِرَ مَا يُسْأَلُ عَنْهُ وَأَحْوَالُ تِلْكَ الْوَاقِعَةِ، وَيَكُونُ
جَوَابُهُ عَلَيْهَا فَإِنَّهُ يُخْبِرُ أَنَّ حُكْمَ اللَّهِ فِي هَذِهِ
الْوَاقِعَةِ كَذَا بِخِلَافِ الْفَقِيهِ الْمُطْلَقِ الْمُصَنِّفِ الْمُعَلِّمِ
لَا يَقُولُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ، بَلْ فِي الْوَاقِعَةِ الْفُلَانِيَّةِ
وَقَدْ يَكُونُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ هَذِهِ الْوَاقِعَةِ فَرْقٌ
Martabat kedua adalah martabat mufti, yaitu tinjauan pada perkara
juz-iyah dan mengimplementasikan dalam perkara kongkrit berdasarkan apa yang
sudah ditetapkan pada martabat pertama. Karena itu, mufti harus memperhatikan
apa yang menjadi pertanyaan dan keadaan kasus dimana jawabannya didasarkan atas
kasus tersebut. Karena mufti memberitahukan bahwa hukum Allah pada kasus ini
adalah demikian. Berbeda halnya dengan faqih yang mutlaq pengarang serta
pengajar, tidak menjawab pada kasus ini. Akan tetapi pada kasus pulan yang bisa
jadi antara kasus ini dan kasus pulan berbeda.
3. Martabat qadhi, beliau mengatakan,
(الْمَرْتَبَةُ
الثَّالِثَةُ) مَرْتَبَةُ الْقَاضِي وَهِيَ أَخَصُّ مِنْ رُتْبَةِ الْمُفْتِي؛
لِأَنَّهُ يَنْظُرُ فِيمَا يَنْظُرُ فِيهِ الْمُفْتِي مِنْ الْأُمُورِ
الْجُزْئِيَّةِ وَزِيَادَةِ ثُبُوتِ أَسْبَابِهَا وَنَفْيِ مُعَارِضَتِهَا، وَمَا
أَشْبَهَ ذَلِكَ، وَتَظْهَرُ لِلْقَاضِي أُمُورٌ لَا تَظْهَرُ لِلْمُفْتِي
فَنَظَرُ الْقَاضِي أَوْسَعُ مِنْ نَظَرِ الْمُفْتِي وَنَظَرُ الْمُفْتِي أَوْسَعُ
مِنْ نَظَرِ الْفَقِيهِ،
Martabat ketiga adalah martabat qadhi, lebih khusus dari martabat
mufti. Karena qadhi tinjauannya sama dengan tinjauan mufti terkait
perkara-perkara juz-iyah, hanya saja qadhi disertai tambahan penetapan sebab-sebabnya
dan menafikan yang berlawanan dengannya dan lain-lain yang serupa dengannya. Dhahir
bagi qadhi perkara-perkara yang tidak dhahir bagi mufti. Karena itu, tinjauan
qadhi lebih luas dari tinjauan mufti dan tinjauan mufti lebih luas dari
tinjauan faqih.[1]
Berdasarkan penjelasan Imam al-Subkiy di
atas dapat dipahami bahwa fiqh titik fokusnya hanya membahas hukum Allah Ta’ala
secara umum dan universal tanpa melihat kasus perkasus sebagaimana halnya
fatwa. Karena fatwa merupakan jawaban terhadap kasus yang terjadi dalam
masyarakat. Adapun qadha (keputusan qadhi/hakim) juga menjawab hukum terhadap
kasus yang dilimpah kepadanya, berbeda dengan fatwa karena qadha perlu
pembuktian terhadap kasus yang terjadi sehingga perlu penetapan sebab-sebab
kasus dan menafikan yang bertentangan dengannya dan lain-lain.
Untuk lebih luas pemahaman terhadap fatwa
dan qadha, kita perhatikan penjelasan berikut ini. Al-Qarafi dalam al-Furuq
mengatakan,
الْفَتْوَى إخْبَارٌ عَنْ اللَّهِ تَعَالَى فِي إلْزَامٍ أَوْ
إبَاحَةٍ
Fatwa adalah memberitahukan dari Allah sesuatu yang mesti dilakukan
atau mubah.[2]
Devinisi di atas diperjelaskan kembali oleh Syeikh Muhammad bin Ali
bin Husain, seorang mufti dari Malikiyah dalam kitab beliau, Tahziib al-Furuq
syarah dari kitab al-Furuq dengan ucapan beliau :
أَنَّ ضَابِطَ
الْفُتْيَا أَنَّهَا مُجَرَّدُ إخْبَارٍ عَنْ حُكْمِ اللَّهِ تَعَالَى
الْمُتَعَلِّقِ بِمَصَالِحِ الْآخِرَةِ وَالدُّنْيَا يَخْتَصُّ لُزُومُهُ
بِالْمُقَلِّدِ لِلْمَذْهَبِ الْمُفْتَى بِهِ
Sesungguhnya zhabith fatwa adalah
semata-mata memberitahukan hukum Allah Ta’ala yang berhubungan dengan
kemaslahatan akhirat dan dunia yang khusus luzumnya kepada muqallid mazhab yang
menjadi rujukan fatwanya.[3]
Sesuai dengan zhabith ini, maka fatwa
hanya mengikat seseorang yang mengikat diri dengan bertaqlid kepada mazhab yang
menjadi rujukan fatwa. Berbeda dengan dengan qadha atau hukum (keputusan
hakim), ia mengikat semua orang tanpa melihat status mazhabnya.[4]
Syeikh Nawawi al-Bantaniy membedakan
antara qadha dan fatwa sebagai berikut:
وَالَّذِي
يستفيده القَاضِي بِالْولَايَةِ إِظْهَار حكم الشَّرْع وإمضاؤه فِيمَا يرفع
إِلَيْهِ بِخِلَاف الْمُفْتِي فَإِنَّهُ مظهر لَا ممض
Yang dilakukan oleh qadhi dengan kekuasaannya
adalah menyatakan hukum syara’ serta memberlakukannya terhadap apa yang
dilimpahkan kepadanya. Berbeda halnya dengan mufti, seorang mufti hanya
menyatakan hukum, tidak memberlakukannya[5]
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan
pendapat lemah dalam mazhabnya. Ini sesuai dengan penjelasan Imam al-Subkiy
sebagaimana dikutip oleh pengarang al-Fawaid al-Madaniyah sebagai berikut :
فقد صرح التقي السبكي وغيره من أجلاء
المتأخرين بجواز تقليد الوجه
المرجوح بالنسبة الى العمل دون القضاء والافتاء
Maka sesungguhnya sudah dijelaskn oleh al-Taqiy
al-Subkiy dan lainnya dari petinggi mutaakhirin kebolehan taqlid pendapat
(wajh) dhaif dinisbahkan kepada beramal, tidak boleh penetapan hukum dipengadilan dan membuat fatwa.[6]
Pengertian Irsyad
Irsyad adalah memberikan petunjuk atau
bimbingan kepada seseorang untuk bertaqlid kepada pendapat dhaif dalam mazhab
seraya memberitahukan kedhaifan pendapat tersebut dalam mazhab atau bertaqlid
kepada kepada mazhab yang lain diluar mazhab yang menjadi pegangannya. Tindakan
irsyad ini dibolehkan sesuai dengan nash-nash ulama berikut ini :
1. Syeikh Ahmad al-Khathib mengatakan,
قال في الفوائد وكذا يجوز الأخذ والعمل لنفسه بالأقوال والطرق والوجوه الضعيفة الا بمقابل
الصحيح فان الغالب فيه انه فاسد و يجوزالافتاء به للغير بمعنى الارشاد وبه قال
الشيخ ابن حجر في الفتاوي
Pengarang al-Fawaid mengatakan, demikian
juga boleh mengambil dan beramal untuk diri sendiri qaul, thuruq-thuruq dan
wajh dhaif kecuali lawan dari pendapat shahih, karena ghalibnya fasid dan boleh
juga berfatwa dengannya untuk orang lain dengan makna irsyad (memberikan
bimbingan). Pendapat ini juga telah dikemukakan oleh Syeikh Ibnu Hajar dalam
al-Fatawa.[7]
Kutipan ini juga terdapat dalam kitab al-Fawaid al-Makkiyah
karangan ‘Alwiy al-Saqaf.[8]
2. Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy mengatakan
dalam al-Fawaid al-Madaniyah sebagai berikut :
واما اذا
افتاه بالضعيف على طريق التعريف بحاله وانه يجوز للعامي تقليده بالنسبة للعمل به فغير
الممتنع كما سنبينه لك ان شاء الله تعالى
Adapun apabila seseorang berfatwa dengan pendapat dha’if atas jalan
memberitahukan keadaan dhaifnya, maka itu tidak terlarang sebagaimana akan kami
jelaskan kepadamu Insya Allah Ta’ala dan boleh bagi orang awam taqlidnya
dinisbahkan untuk beramal.[9]
Dalam pembahasan tentang taqlid dan syarat-syaratnya, beliau
mengulangi lagi hal yang sama dengan ucapan beliau :
واما من يريد العمل
في خاصة نفسه فيجوز له تقليد القول او الوجه المرجوح كذالك من يريد الافتاء على
طريق التعريف بحاله وانه يجوز للعامي تقليده بالنسبة للعمل به فغير الممتنع
Adapun apabila seseorang menginginkan
beramal khusus untuk dirinya, maka boleh taqlid qaul atau wajh yang dhaif.
Demikian juga berfatwa atas jalan memberitahukan keadaan dhaifnya, maka tidak
terlarang dan boleh bagi orang awam taqlidnya dinisbahkan untuk beramal.[10]
Pada halaman berikutnya beliau
mengatakan,
فقد صرح التقي
السبكي وغيره من أجلاء المتأخرين بجواز تقليد الوجه المرجوح بالنسبة الى العمل دون القضاء والافتاء والمراد بمنع
الافتاء به اطلاق النسبة الى مذهب الشافعي بحيث يوهم السائل انه معتمد المذهب فهذا
تغرير ممتنع
Maka sesungguhnya sudah dijelaskn oleh al-Taqiy al-Subkiy dan
lainnya dari petinggi mutaakhirin kebolehan taqlid pendapat (wajh) dhaif
dinisbahkan kepada beramal, bukan penetapan hukum dipengadilan dan fatwa. Adapun
maksud larangan fatwa dengan pendapat dhaif adalah mutlaq nisbah kepada mazhab
Syafi’i dimana dapat mendatangkan waham kepada penanya sesungguhnya pendapat
tersebut merupakan mu’tamad mazhab. Maka ini adalah tipuan yang terlarang.[11]
3. Dalam Tuhfah al-Muhtaj beserta hasyiahnya
disebutkan :
وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ التَّقْلِيدِ أَيْضًا أَنْ لَا يَكُونَ مِمَّا
يُنْقَضُ فِيهِ قَضَاءُ الْقَاضِي هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِعَمَلِ نَفْسِهِ لَا
لِإِفْتَاءٍ، أَوْ قَضَاءٍ فَيَمْتَنِعُ تَقْلِيدُ غَيْرِ الْأَرْبَعَةِ فِيهِ
إجْمَاعًا كَمَا يُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي؛ لِأَنَّهُ مَحْضُ تَشَبُّهٍ وَتَغْرِيرٍ، وَمِنْ
ثَمَّ قَالَ السُّبْكِيُّ: إذَا قَصَدَ بِهِ الْمُفْتِي مَصْلَحَةً دِينِيَّةً
جَازَ أَيْ: مَعَ تَبْيِينِهِ لِلْمُسْتَفْتِي قَائِلَ ذَلِكَ
Disyaratkan untuk sah taqlid pula bahwa hukum
tersebut tidak termasuk yang telah dinyatakan gugur oleh keputusan qadhi. Ini
dengan nisbah beramal untuk diri sendiri, tidak fatwa ataupun qadha, maka
terlarang taqlid selain imam mazhab yang empat sebagaimana dimaklumi nanti.
Karena itu semata-mata tasyabbuh dan tipuan. Karena itu, al-Subkiy mengatakan, seandainya
qashad mufti demi kemaslahatan agama, maka boleh, dalam arti disertai
penjelasan kepada orang yang minta fatwa siapa yang punya pendapat tersebut.
Al-Syarwani
dalam mengomentari penjelasan di atas mengatakan,
(قَوْلُهُ: أَيْ مَعَ تَبْيِينِهِ لِلْمُسْتَفْتِي قَائِلِ ذَلِكَ)
أَيْ: لِيُقَلِّدَهُ فَيَكُونُ قَوْلُ الْمُفْتِي حِينَئِذٍ إرْشَادًا لَا
إفْتَاءً
(Perkataan syarah : dalam arti disertai
penjelasan kepada orang yang minta fatwa siapa yang punya pendapat tersebut) artinya
supaya mentaqlidnya, maka perkatan mufti pada ketika itu adalah irsya (memberi
bimbingan), bukan fatwa.[12]
Kesimpulan
1. Fiqh pembahasannya bersifat umum dan universal,
pembahasannya bukan merupakan jawaban terhadap kasus kongkrit yang terjadi
dalam masyarakat. Berbeda dengan fatwa, dimana fatwa merupakan jawaban terhadap
kasus kongkrit yang terjadi dalam masyarakat. Sedangkan qadha menyerupai fatwa, namun qadha perlu pembuktian untuk
menetapkan sebab-sebab terjadi sebuah
kasus
2. Fatwa hanya mengikat orang yang bertaqlid
kepada mazhab yang menjadi rujukan fatwa. Adapun qadha mengikat semua orang
tanpa melihat status mazhabnya
3. Fatwa hanya memberitahukan hukum syara’. Adapun
qadha memberitahukan hukum syara’ serta memberlakukan kepada pihak-pihak yang melimpahkan
perkaranya.
4. Fatwa dan qadha wajib berpegang kepada pendapat
yang rajih dalam mazhabnya
5. Irsyad terbagi dua, yaitu :
a.
memberikan petunjuk
atau bimbingan kepada seseorang untuk bertaqlid kepada pendapat dhaif dalam
mazhab seraya memberitahukan kedhaifan pendapat tersebut dalam mazhab
b.
memberikan petunjuk
atau bimbingan kepada seseorang untuk bertaqlid kepada kepada mazhab yang lain
diluar mazhab yang menjadi pegangannya seraya memberitahukan empunya mazhab
tersebut
6. Keharusan memberitahukan kedhaifan pendapat yang
dikemukakan dalam rangka irsyad agar
tidak menimbulkan waham kepada orang bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat
mu’tamad mazhab
7. Irsyad atau fatwa dengan makna irsyad dengan
pendapat dhaif dalam mazhab dibolehkan selama pendapat dhaif tersebut tidak
termasuk katagori fasid seperti muqabil shahih.
[1] Al-Subkiy,
Fatawa al-Subkiy, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 122-123
[2] Al-Qarafi,
al-Furuq, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 53
[3] Muhammad
bin Ali bin Husain, Tahziib al-Furuuq, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 95
[4] Muhammad
bin Ali bin Husain, Tahziib al-Furuuq, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 95
[5] Syeikh
Nawawi al-Bantaniy, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Islamiyah,
Beirut, Hal. 415
[6]
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy, al-Fawaid al-Madaniyah, Dar
al-Nur al-Shabaah, Lebanon, Hal. 322
[7]
Syeikh Ahmad Khathiib al-Minangkabawiy, Hasyiah al-Nufahaat ‘ala Syarah
al-Warqaat, al-Haramain, Singapura, Hal. 170
[8]
‘Alwiy al-Saqaf, al-Fawaid al-Makkiyah, (dicetak dalam kitab
Sab’ah Kutub Mufidah), Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 61
[9] Muhammad
bin Sulaiman al-Kurdiy, al-Fawaid al-Madaniyah, Dar al-Nur
al-Shabaah, Lebanon Hal. 58
[10]
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy, al-Fawaid al-Madaniyah, Dar
al-Nur al-Shabaah, Lebanon Hal. 318
[11]
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdiy, al-Fawaid al-Madaniyah, Dar
al-Nur al-Shabaah, Lebanon Hal. 322
[12]
Al-Syarwaniy, Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,
Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar