Pengertian Ihtiyath
Ihtiyath dalam bahasa Indonesia sering
diterjemahkan menjaga atau sebagai sikap kehati-hatian. Untuk lebih memahami
pengertian ihtiyath, berikut ini penjelasan ulama terkait ihtiyath, yaitu :
1. Devinisi yang dikemukakan oleh al-Jarjani
sebagai berikut :
حفظ النفس عن
الوقوع في المأثم
Memelihara jiwa dari jatuh dalam dosa[1]
Devinisi ini lebih mengarahkan kepada tujuan ihtiyath, namun devinisinya
tidak dapat menggambarkan makna ihtiyath dengan ruang lingkupnya. Karena memelihara
dari jatuh dalam dosa dapat juga bukan dengan ihtiyath, tetapi dapat dengan mengikuti
nash-nash al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak ulama.(devinisi tidak ada maani’)
2.
Devinisi yang
dikemukakan oleh al-Munawiy sebagai berikut :
فعل ما
يتمكن به من ازالة الشك
Melakukan sesuatu yang memungkinkan hilang keraguan[2]
Seandainya ragu di sini dipahami sebagai sikap keragu-raguan sebagaimana
biasanya dipahami, maka devinisi ini tidak terlepas dari kritikan, karena hukum
ihtiyath berdasarkan devinisi ini hanya
wajib, tidak termasuk yang dianjurkan, karena kita tidak boleh beramal dalam
keadaan ragu ragu. Karena itu, yang lebih tepat di sini, arti ragu-ragu dipahami
sebagai mutlaq ihtimal yang masuk di dalamnya waham, ragu-ragu dan dhan.
3.
Izzuddin Abdussalam
mengatakan :
الورع ترك ما يريب المكلف الي ما يريبه وهو المعبر عنه بالاحتياط
Yang menjadi wara’ adalah meninggalkan yang diragukan oleh mukallaf
kepada tidak meragukan. Ini dinamakan dengan ihtiyath.[3]
Di sini, Izzuddin Abdussalam memaknai ihtiyath dengan meninggalkan
yang diragukan oleh mukallaf kepada tidak meragukan. Devinisi ini merupakan
makna dari hadits riwayat al-Turmidzi dan al-Nisa’i yang disebut setelah ini
dalam pembahasan dalil-dalil disyariatkan ihtiyath. Penjelasan devinisi ini
sama dengan devinisi nomor dua di atas.
4.
Devinisi yang
dikemukakan oleh Dr. Muniib bin Mahmud Syakir, yakni :
الاحتراز
من الوقوع في المنهى او ترك المأمور عند الاشتباه
Memelihara dari jatuh dalam larangan atau meninggalkan perintah
pada saat ada syubhat.[4]
Devinisi ini sebagaimana pengakuan pengarangnya dapat merangkum
makna ihtiyath sesuai dengan ruang lingkupnya dan terlepas dari
kritikan-kritikan.
Dalil-dalil diyari’atkan ihtiyath
1.
Nabi SAW bersabda :
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
Tinggalkan yang meragukan kepada yang tidak
meragukan (H.R. al-Turmidzi dan al-Nisa’i. al-Turmidzi mengatakan,
hadits ini hasan shahih)[5]
2. Rasulullah SAW bersabda :
إن الحلال بيّن وإن الحرام بيّن، وبينهما أمور
مشتبهات لا يعلمهن كثير من الناس، فمن اتقى الشبهات فقد استبرأ لدينه وعرضه، ومن
وقع في الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه، ألا وإن
لكل ملك حمى ألا وإن حمى الله محارمه. ألا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد
كله. وإذا فسدت فسد الجسد كله: ألا وهي القلب
Sesungguhnya perkara yang halal itu
telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya
terdapat perkara-perkara yang syubahat (samar-samar), tidak diketahui kebanyakan
manusia. Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut,
maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Barang siapa terjatuh
ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram, seperti
seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah
larangan (hima), dikhawatirkan dia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa
setiap raja itu mempunyai hima, ketahuilah bahwa hima Allah adalah segala
yang Allah haramkan. Ketahuilah bahwa dalam tubuh manusia terdapat
sepotong daging. Apabila daging tersebut baik maka baik pula seluruh tubuhnya
dan apabila daging tersebut rusak maka rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah
segumpal daging tersebut adalah kalbu (hati). (H.R. al-Bukhari dan
Muslim)[6]
Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan, ini
semua mencakup tiga perkara, yaitu :
a. Perkara yang ada
penjelasan Allah Ta’ala atas kehalalannya, seperti firman Allah Ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمُ
الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu (Q.S. al-Maidah : 5)
Dan firman
Allah Ta’ala berbunyi :
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (Q.S. al-Nisa’ :
24)
b. Perkara yang ada
penjelasan Allah Ta’ala atas keharamannya, seperti firman Allah Ta’ala :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan (Q.S. al-Nisa’ : 23)
Dan firman
Allah Ta’ala :
وَحُرِّمَ
عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُماً
Dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang
buruan darat, selama kamu dalam ihram.(Q.S. al-Maidah : 96)
Serta seperti pengharaman yang
keji-keji, baik yang dhahir maupun yang bathin dan setiap yang dijadikan Allah
hudud, uqubah atau wa’id, maka semuanya adalah haram.
c. Adapun perkara syubhat, maka itu
adalah setiap perkara yang diperselisihkan oleh dalil-dalil al-Kitab dan
al-Sunnah serta saling menarik maknanya, maka menahan diri darinya adalah
wara’. Telah terjadi khilaf ulama dalam menetapkan hukum perkara-perkara yang
samar-samar (mutasyabihat) yang diisyaratkan oleh Nabi SAW dalam hadits ini.
Golongan pertama mengatakan, hukumnya haram karena sabda Nabi SAW “maka dia telah menjaga kesucian agama
dan kehormatannya”. Mereka
mengatakan, barangsiapa yang tidak tidak menjaga agama dan kehormatannya, maka
dia telah terjatuh dalam yang perkara haram”. Kelompok yang lain (kelompok
kedua) mengatakan, perkara yang mutasyabihat tersebut adalah halal, dengan
dalil sabda Nabi SAW dalam hadits “seperti seorang penggembala yang
menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima)” maka
menunjukkan atas kehalalannya. Adapun meninggalkannya adalah wara’. Satu
kelompok (kelompok ketiga) mengatakan, mustasyabihat tersebut tidak kita
katakan halal dan juga tidak kita katakan haram. karena Nabi SAW telah
menjadikannya di antara halal yang nyata dan haram yang nyata, maka seyogyanya
kita tawaqufkan darinya. Ini juga termasuk dalam bab wara’.[7]
3.
Nabi SAW bersabda :
إِذَا اسْتَيْقَظَ
أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى
يَغْسِلَهَا ثَلَاثًا، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
Apabila salah seorang kamu terbangun dari tidurnya, maka tidak menenggelamkan
tangannya dalam bejana sehingga membasuhnya tiga kali. Karena seseorang tidak
tahu dimana berlabuh tangannya.(H.R. Muslim)[8]
Imam al-Nawawi mengatakan,berdasarkan hadits ini dipahami
diianjurkan mengambil jalan ihtiyath dalam ibadah dan lainnya selama tidak
keluar dari batasan ihtiyath kepada batasan was-was.[9] Al-Munawi
mengatakan, dalam hadits ini dipahami bahwa mengambil yang pasti adalah beramal
dengan ihtiyath selama tidak keluar kepada was-was[10]
4. Dari Aisyah r.a. berkata :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُصَلِّ فِي
شُعُرِنَا، أَوْ لُحُفِنَا
Rasulullah SAW
tidak pernah shalat dengan memakai selimut atau mantel kami (H.R. Abu Daud)[11]
Rasulullah SAW
tidak shalat menggunakan selimut yang biasa digunakan waktu tidur karena
mengambil sikap ihtiyath dalam ibadah. Ini sesuai dengan penjelasan Ibnu Ruslan
dalam menafsirkan hadits ini, beliau mengatakan, hadits ini menjadi dalil
menjadikan ihtiyath dan mengambil yang yakin dibolehkan dan tidak diingkari
dalam syari’at dan tidak perlu melihat kepada orang yang menamakannya hal
tersebut sebagai was-was. Karena itu, barangsiapa yang meninggalkan sesuatu
yang diragukan kepada yang tidak meragukan serta meninggalkan yang diragukan
karena sesuatu yang yakin dan maklum, maka tidak ada dengan sebab demikian
keluar dari syari’at.[12]
Pembagian ihtiyath dari aspek hukumnya
Memperhatikan dari aspek hukumnya, Izzuddin
Abdussalam membagi ihtiyath dalam dua pembagian, yaitu :
1.
Ihtiyath bersifat
anjuran. Disebut juga dengan wara’.
Contohnya antara lain sebagai berikut :
a. membasuh dua tangan tiga kali ketika bangun
dari tidur sebelum memasukkan tangan dalam bejana.
b. Keluar dari khilaf ulama pada ketika sumbernya
sama-sama mendekati
c. Menghindari mafasid-mafasid atau melakukan
mashalahah yang masih dalam ukuran waham. Karena itu, barangsiapa yang ragu
dalam sebuah akad atau sebuah syarat ataupun sebuah rukun, maka sebaiknya
diulangi kembali dengan syarat-syaratnya atau rukun-rukunnya. Demikian juga seseorang
yang sudah selesai melakukan sebuah ibadah, kemudian ragu sesuatu dari rukun
atau syaratnya sesudah waktu yang lama, maka sebagai sikap wara’, hendaknya
mengulang kembali.
d. Orang yang yakin suci dan kemudian dia
ragu-ragu berhadats, maka yang wara’ adalah melakukan perbuatan yang menyebabkan
dia berhadats kemudian bersuci kembali. Seandainya dia bersuci tanpa hadats,
maka menurut pendapat yang terpilih tidak akan berhasil wara’nya. Karena lemah
dari memastikan niat angkat hadats, karena kekal suci mencegah kepastian
sebagaimana kekal bulan Sya’ban mencegah memastikan niat puasa Ramadhan pada
malam tiga puluh Sya’ban.
2.
Ihtiyath bersifat
wajib
Yaitu kewajiban karena keadaannya merupakan wasilah untuk
menghasilkan sesuatu yang dapat memastikan yang wajib atau menghindari sesuatu
yang dapat memastikan keharamannya. Karena itu, apabila kemaslahatan berkisar
antara wajib dan anjuran, maka yang menjadi ihtiyath adalah menempatkannya
kepada wajib, karena itu dapat memastikan terlepas dari zimmahnya. Seandainya
di sisi Allah, hukumnya wajib, maka sudah terpenuhi kemaslahatannya dan jika
kemaslahatan tersebut hanya anjuran, maka juga sudah terpenuhi kemaslahatannya
dan juga dapat pahala niat wajib. Karena seseorang yang bertekat membuat
kebaikan, sedangkan dia tidak sempat mengamalkannya, maka tetap ditulis baginya
kebaikan.
Dan apabila mafsadah berkisar antara makruh dan haram, maka yang
menjadi ihtiyath adalah menempatkannya kepada haram. seandainya nyatalah
mafsadah haram, maka dia mendapat kemenangan dengan sebab menghindarinya dan
seandainya mafsadah tersebut ternafi, maka terhindari dari mafsadah makruh
serta mendapatkan pahala karena qashad menghindari perbuatan yang diharamkan.
Contoh ihtiyath untuk menghasilkan
mashlahah yang wajib, antara lain sebagai berikut :
a. Orang yang lupa satu shalat yang tidak
diketahui mana yang terlupakan.dari lima waktu shalatnya, maka wajib atasnya
melakukan shalat yang lima supaya menjadi wasilah menghasilkan yang wajib
b. Orang yang lupa ruku’ atau sujud ataupun rukun
lain dari shalat yang tidak diketahui dimana kedudukannya, maka wajib membinanya
dengan berpegang pada yakin karena ihtiyath untuk menghasilkan mashlahah yang wajib. Karena itu, apabila
seseorang ragu, apakah rukun yang dia tinggalkan itu pada rakaat pertama atau
kedua, maka shalatnya dibina kepada pertama.
c. Khuntsa musykil dalam shalat wajib menutup
aurat seperti aurat perempuan karena ihtiyath untuk menghasilkan mashlahah
tutup aurat yang wajib.
d. Apabila bercampur tanpa dapat dibedakan orang
muslim dan kafir yang terbunuh, maka dimandikan, dikafani dan dikebumikakan
semuanya sebagai wasilah menegakan hak-hak orang muslim, yaitu mandi, kafan dan
kebumikan.
e. Apabila seorang perempuan ragu, apakah yang
wajib atasnya ‘iddah wafat suami ataukah ‘iddah thalaq, maka wajib atasnya
menjalani kedua ‘iddah tersebut supaya terlepas dari kewajiban ‘iddah dengan
yakin.
Contoh ihtiyath untuk menghindari mafsadah yang diharamkan, antara
lain sebagai berikut :
a.
Apabila tidak
dikenal lagi antara bejana yang suci dan bejana yang bernajis atau antara
pakaian yang suci dan pakaian yang bernajis dan sukar diketahui yang suci dari
antara keduanya, maka wajib menjauhi keduanya karena menghindari mafsadah najis
pada keduanya.
b.
Apabila seseorang
tidak mengenal lagi antara saudaranya sesusuan dan perempuan lain, maka haram
keduanya atas orang tersebut Karena ihtiyath menghindari mafsadah nikah dengan
saudara sendiri.
c.
Nikah khuntsa
musykil batal, karena menghindari mafsadah nikah perempuan dengan perempuan
atau laki-laki dengan laki-laki
d.
Apabila seseorang
mengatakan, “Seandainya burung ini adalah burung gagak, maka isteriku tertalaq
dan seandainya bukan burung gagak, maka budak perempuanku merdeka”. Kemudian
tiba-tiba burung tersebut terbang dan tidak dapat dikenalinya, maka haram
atasnya isteri dan budak perempuannya, karena menghindari mafsadah haram salah
satunya.[13]
Ihtiyat bersifat haram
Disamping dua pembagian di atas, kita
juga menemukan pembagian ihtiyath bersifat haram sebagaimana dikemukakan oleh
Ibnu Hajar al-Haitamy dalam fatwa beliau berikut ini :
Ibnu Hajar al-Haitamiy r.a. – semoga dilapangkan kehidupan beliau-
ditanyakan, sendainya seorang anak-anak mempunyai dirham yang bercampur,
sedangkan qadar campuran itu tidak diketahui kecuali melebur kembali semua
dirham tersebut, padahal meleburkan dapat menghilangkan harta si anak tersebut
atau kebanyakan hartanya. Lalu apa solusinya untuk mengetahui dirham yang murni
dari campuran tersebut supaya diketahui apakah wajib zakat atau tidak. Apakah
memadai untuk mengetahuinya dengan menguji dengan air sebagaimana pada bejana
yang bercampur dan apakah wajib zakat dalam keadaan tidak diketahui qadar
campuran dengan hanya dhan terpenuhi nisab atau tidak ?
Beliau menjawab :
بِأَنَّ الَّذِي صَرَّحُوا بِهِ فِي الْإِنَاءِ
الْمُخْتَلَطِ أَنَّهُ إنْ شَاءَ احْتَاطَ مَا لَمْ يَكُنْ الْمَالُ لِمَحْجُورٍ
عَلَيْهِ وَإِلَّا حَرُمَ الِاحْتِيَاطُ وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ
لِلْوَلِيِّ فِي الصُّورَةِ الْمَذْكُورَةِ فِي السُّؤَالِ الْعَمَلُ
بِالِاحْتِيَاطِ
Pendapat yang diterangkan oleh para ulama tentang bejana yang
bercampur, sesungguhnya jika menginginkan, maka melakukan ihtiyath selama harta
tersebut bukan milik orang yang berada dalam pengampuan dan jika tidak (jika harta
tersebut milik orang yang berada dalam pengampuan), maka haram ihtiyath. Dengan
ini dimaklumi bahwa wali tidak boleh
beramal dengan ihtiyath pada persoalan yang disebutkan pada pertanyaan di atas.[14]
Was-was bukan ihtiyath
Was-was dalam agama merupakan sikap
tercela. Allah Ta’ala berfirman :
قُلۡ أَعُوذُ بِرَبِّ
ٱلنَّاسِ
مَلِكِ ٱلنَّاسِ
إِلَٰهِ ٱلنَّاسِ مِن شَرِّ ٱلۡوَسۡوَاسِ ٱلۡخَنَّاسِ ٱلَّذِي يُوَسۡوِسُ فِي صُدُورِ ٱلنَّاسِ
Katalanlah aku berlindung kepada Tuhan manusia,
Raja manusia, Tuhan manusia, dari kejahatan al-waswas al-khannas. Yang selalu
membisikkan (keburukan) ke dalam dada manusia.(Q.S.
al-Naas : 1-5)
Ketika
beribadah, hati seseorang yang was-was akan selalu diliputi keraguan, perasaan
tidak tenang dan tidak khusyu'. Karenanya, dapat dipastikan bahwa was-was tidak
termasuk dalam kerangka ihtiyath yang dianjurkan dalam agama. Berikut ini
pendapat para ulama terkait was-was.:
1. Imam al-Nawawi mengatakan,
وَمِنْهَا اسْتِحْبَابُ الْأَخْذِ
بِالِاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَاتِ وَغَيْرِهَا مَا لَمْ يَخْرُجْ عَنْ حَدِّ
الِاحْتِيَاطِ إِلَى حَدِّ الْوَسْوَسَةِ
Dari hadits ini dipahami diianjurkan
mengambil jalan ihtiyath dalam ibadah dan lainnya selama tidak keluar dari
batasan ihtiyath kepada batasan was-was.[15]
2. Al-Munawi mengatakan,
والأخذ بالوثيقة العمل بالاحتياط ما لم يخرج إلى الوسوسة
Dalam hadits tersebut dipahami bahwa
mengambil yang pasti adalah beramal dengan ihtiyath selama tidak keluar kepada
was-was[16]
3. Ibnu Daqiq al-‘Id menjelaskan kepada bahwa
apabila ada sangkaan memungkinkan lawan dari yang rajih di sisinya dengan sebab
sesuatu yang sifatnya waham belaka yang tidak ada dasarnya, maka wajib tidak
memperhatikan kepada kemungkinan ini. Contohnya adalah sebagai berikut :
a. tidak menggunakan air yang kekal atas
sifat-sifatnya karena kuatir ditaqdirkan ada najis yang jatuh dalamnya
b. tidak melaksanakan shalat pada tempat yang
tidak ada bekas najis karena kuatir padanya ada kencing kering
c. membasuh pakaian karena kuatir kain tersebut
kena najis yang tidak dilihatnya Selanjutnya Ibnu Daqiq al-‘Id mengatakan :
فإن التوقف لأجل التجويز هوس والورع منه وسوسة
شيطان إذ ليس فيه من معنى الشبهة شيء
Karena
sesungguhnya tawaqquf dikarenakan kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah
kekacaun pikiran dan bersikap wara’ darinya adalah was-was syaithan, karena
tidak ada sedikitpun makna syubhat padanya.[17]
4. Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan,
وَفُرِّقَ
بَيْنَ الْوَسْوَسَةِ وَالشَّكِّ بِأَنَّهُ يَكُونُ بِعَلَامَةٍ كَتَرْكِ ثِيَابٍ
مِنْ عَادَتِهِ مُبَاشَرَةُ النَّجَاسَةِ وَتَرْكِ الصَّلَاةِ خَلْفَ مَنْ
عَادَتُهُ التَّسَاهُلُ فِي إزَالَتِهَا؛ لِأَنَّ الْأَصْلَ وَهُوَ الطَّهَارَةُ
قَدْ عَارَضَهُ غَلَبَةُ النَّجَاسَةِ وَالِاحْتِيَاطُ هُنَا مَطْلُوبٌ بِخِلَافِ
الْوَسْوَسَةِ فَإِنَّهَا الْحُكْمُ بِالنَّجَاسَةِ مِنْ غَيْرِ عَلَامَةٍ بِأَنْ
لَمْ يُعَارِضْ الْأَصْلَ شَيْءٌ كَإِرَادَةِ غَسْلِ ثَوْبٍ جَدِيدٍ أَوْ
اشْتَرَاهُ احْتِيَاطًا وَذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ كَمَا صَرَّحَ بِهِ النَّوَوِيُّ
فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ فَالِاحْتِيَاطُ حِينَئِذٍ تَرْكُ هَذَا الِاحْتِيَاطِ
وَبِأَنَّ الْمُوَسْوِسَ يُقَدِّرُ مَا لَمْ يَكُنْ كَائِنًا ثُمَّ يَحْكُمُ
بِحُصُولِهِ كَأَنْ يَتَوَهَّمَ وُقُوعَ نَجَاسَةٍ بِثَوْبِهِ ثُمَّ يَحْكُمُ
بِوُجُودِهَا مِنْ غَيْرِ دَلِيلٍ ظَاهِرٍ.
Dibedakan antara was-was dan ragu-ragu bahwa ragu-ragu itu muncul
dengan sebab ada tanda seperti tidak menggunakan pakaian yang kebiasaannya
bersentuhan dengan najis dan tidak shalat dibelakang imam yang punya kebiasaan
menyepelekan dalam bersuci dari najis, karena asalnya yang suci bertentangan
dengan dugaan najis, maka ihtiyath di sini dianjurkan. Berbeda dengan was-was,
yang menghukum najis tanpa ada tanda yakni asal suci tidak bertentangan dengan
suatupun seperti keinginan membasuh pakaian baru atau baru dibeli karena
ihtiyath. Ini termasuk bid’ah sebagaimana diterangkan oleh al-Nawawi dalam
Syarah al-Muhazzab, maka ihtiyath pada ketika itu adalah meninggalkan ini
ihtiyath. Dapat dibedakan juga orang yang was-was mentaqdirkan sesuatu yang
tidak nyata kemudian menetapkan adanya seperti waham jatuh najis pada pakaiannya
kemudian menetapkan ada najis tanpa disertai dalil yang dhahir.[18]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami sebagai berikut :
1. Ihtiyath sikap kehati-hatian karena ingin
memastikan menghindari sesuatu yang terlarang yang wujud tandanya, sedangkan was-was
tanpa ada tandanya.
2. Was-was merupakan waham belaka yang
bertentangan dengan yang rajih di sisi seseorang
3. Perintah ihtiyah pada syara’ selama tidak masuk
dalam batasan was-was
4. Ihtiyath disyariatkan dalam agama, sedangkan
was-was terlarang
[1]
Al-Jarjani, Mu’jam al-Ta’rifat, Dar al-Fazhilah, Kairo, Hal. 13
[2]
Al-Munawi, al-Tauqif ‘ala Muhimmaat al-Ta’arif, ‘Alim al-Kutub,
Kairo, Hal. 40
[3] Izzuddin
Abdussalam, al-Qawaid al-Kubraa, Dar al-Qalam, Damsyiq, Juz. II,
Hal. 111
[4] Muniib bin Mahmud Syakir, al-‘Aml bil Ihtiyath fi al-Fiqh
al-Islami, Dar al-Nafais, Riyadh, Hal. 48
[5]
Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah
Syamilah, Hal. 61
[6]
Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah
Syamilah, Hal. 44
[7]
Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah
Syamilah, Hal. 44-45
[8]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 233
[9]
Al-Nawawi, Syarah Muslim, Makatabah Symilah, Juz. III, Hal. 179
[10]
Al-Munawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 278
[11]
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 174
[12]
Ibnu Ruslan, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. III,
Hal. 30
[13]
Izzuddin Abdussalam, al-Qawaid al-Kubraa, Dar
al-Qalam, Damsyiq, Juz. II, Hal. 23-28
[14]
Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa, Maktabah
Syamilah, Juz. II, Hal. 34
[15]
Al-Nawawi, Syarah Muslim, Makatabah Symilah, Juz. III, Hal. 179
[16]
Al-Munawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 278
[17]
Ibnu Daqiq al-‘Id, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah
Syamilah, Hal. 45
[18]
Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubraa, Maktabah
Syamilah, Juz. I, Hal. 220
Tidak ada komentar:
Posting Komentar