Banyak hadits shahih yang meriwayatkan tasbih atau zikir yang berbeda yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW dalam rukuk dan sujudnya. Diantaranya adalah :
1.Dalam Shahihain, dalam rukuk dan sujud :1
سبحانك اللهم ربنا وبحمدك اللهم اغفرلي
2.Dalam Shahih Muslim, dalam rukuk dan sujud: 2
سبوح قدوس رب الملائكة والروح
3.Dalam Shahih Muslim, dalam rukuk dan sujud : 3
سبحانك وبحمدك لا إله إلا أنت
4.Dalam Shahih Muslim, dalam sujud : 4
اللهم اغفر لي ذنبي كله دقه وجله وأوله وآخره وعلانيته وسره
Namun inti dari zikir tersebut adalah ta’zhim kepada Allah SWT. Ini berdasarkan hadits Nabi SAW :
فأما الركوع فعظموا فيه الرب وأما السجود فاجتهدوا في الدعاء فََََََََََََََََََقََََمِِنُُُ أن يستجاب لكم
Artinya : Adapun pada rukuk, maka ta’zhim tuhanmu padanya dan adapun pada sujud, maka bersungguh-sungguhlah berdo’a padanya, karena besar kemungkinan dikabulkannya. (H.R. Muslim) 5
Oleh karena itu, dibolehkan dalam rukuk shalat berzikir dengan lafazh mana saja, namun harus mengandung makna ta’zhim. Imam Nawawi dalam penjelasan mengenai hadits di atas, mengatakan :
“ Ketahuilah sesungguhnya hadits ini yang terakhir adalah maksud masalah ini, yaitu ta’zhim Tuhan S WT pada rukuk dengan lafazh apa saja.” 6
Membaca wa bihamdihi pada tasbih rukuk dan sujud
Berikut pendapat para ulama mengenai tambahan ucapan wa bihamdihi pada rukuk dan sujud, antara lain :
1.Zainuddin al-Malibary mengatakan sunnat pada rukuk membaca Subhana rabbiyal’adhimi wa bihamdihi tiga kali dan pada ketika sujud Subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi tiga kali. 7
2.Imam an-Nawawi mengatakan :
“Berkata ashab kami (sahabat-sahabat kami dari Mazhab Syafi’i): Disunatkan membaca Subhana rabbiyal’adhimi wa bihamdihi. Diantara ulama yang memberikan nash atas sunat mengucapkan wa bihamdihi adalah al-Qadhi Abu Thayyib, al-Qadhi Hussin, pengarang kitab Syamil, Imam al-Ghazali dan para ulama selainnya.” 8
Dalil fatwa ini adalah berdasarkan :
1.Hadits riwayat Abu Daud :
فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا ركع قال : سبحان ربي العظيم وبحمده ثلاثا . وإذا سجد قال : سبحان ربي الأعلى وبحمده ثلاثا
Artinya : Rasulullah SAW apabila melakukan rukuk, mengatakan Subhana rabbiyal’adhimi wa bihamdihi tiga kali dan apabila sujud, maka mengatakan Subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi tiga kali (H.R. Abu Daud) 9
2.Hadits riwayat Darulquthny
عن حذيفة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم : كان يقول في ركوعه : سبحان ربي العظيم وبحمده ثلاثا وفي سجوده سبحان ربي الأعلى وبحمده ثلاثا
Artinya : Dari Huzaifah r.a. sesungguhnya nabi SAW berkata pada rukuknya Subhana rabbiyal’adhimi wa bihamdihi tiga kali dan pada sujudnya Subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi tiga kali (H.R. Darulquthny) 10
3.Hadits Ibnu Mas’ud
عن عبد الله بن مسعود قال من السنة أن يقول الرجل في ركوعه سبحان ربي العظيم وبحمده وفي سجوده سبحان ربي الأعلى وبحمده
Artinya : Dari Abdullah bin Mas’ud , beliau berkata : “Termasuk sunnah berkata seseorang pada rukuknya Subhana rabbiyal’adhimi wa bihamdihi dan pada sujudnya Subhana rabbiyal a’la wa bihamdihi (H.R. Darulquthny) 11
Hadits terakhir ini, hukumnya adalah marfu’, meskipun itu adalah perkataan Ibnu Mas’ud, yaitu seorang sahabat. Karena perkataan Ibnu Mas’ud : “min al-sunnah” dapat dijadikan pegangan bahwa itu adalah datang dari sunnah Nabi. Kesimpulan ini berdasarkan keterangan an-Nawawi berikut :
“Perkataannya, “Sesungguhnya itu adalah sunnah” adalah sama seperti perkataan sahabat “Termasuk sunnah seperti ini”. Maka perkataannya itu adalah marfu’. 12
Hadits-hadits mengenai bacaan tersebut diatas, diriwayatkan oleh imam-iman hadits dari sahabat Nabi yang berbeda, antara lain :
1.Imam Abu Daud dari sahabat yang bernama Uqbah bin ‘Amir r.a
2.Imam Darulqutni dari sahabat Ibn Mas’ud r.a
3.Imam Darulqutni dari sahabat Huzaifah r.a
Walaupun pada sanad setiap riwayat hadits di atas, terdapat kelemahan, tapi perlu diingat bahwasanya suatu hadits dapat menjadi kuat dengan adanya sokongan riwayat-riwayat lain. Oleh karena memperhatikan hadits yang menjelaskan sunnah menambah wa bihamdihi pada rukuk dan sujud terdapat beberapa jalan periwayatannya dengan jalur yang berbeda, maka kami berpendapat hadits tersebut adalah hasan li ghairihi, sehingga dapat dijadikan hujjah dalam menentukan suatu hukum fiqh. Penjelasan seperti ini dapat juga diperhatikan pada keterangan Muhammad bin ‘Alan al-Shadiqi al-Syafi’i dibawah ini dalam komentar beliau terhadap hadits Ibnu Mas’ud di bawah ini, yaitu :
كان ابن مسعود إذا ركع قال سبحان ربي العظيم و بحمده ثلاثا وكان يذكر ان النبي صلعم كان يقوله
ِِArtinya : Ibnu Mas’ud apabila melakukan rukuk berkata : “Subhana rabbiyal’adhimi wa bihamdihi dan beliau menyebutkan bahwa sesungguhnya Nabi SAW ada mengatakannya. (H.R..Thabrany) 13
Muhammad bin ‘Alan al-Shadiqi al-Syafi’i berkata 14 :
“ Hadits ini dha’if dan sanadnya munqathi’, tetapi hadits ini ada penyokongnya yaitu hadits ‘Aqbah bin Amir yang ditakhrij oleh Abu Daud seperti lafazh ini dengan menambah perkataan :
"وإذا سجد قال سبحان ربي الأعلى وبحمده ثلاثا"
Lagi pula menambah zikir dalam dalam shalat selama tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”.(H.R. Bukhari)15
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“ Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada dalil) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”. 16
Hadits riwayat Abu Daud dan Darulquthni di atas, juga didukung oleh firman Allah Q.S. al-Nashr : 3, berbunyi :
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
Artinya : Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.(Q.S. al-Nashr : 3)
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 163, No. Hadits : 817 dan Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, hal. 350, No. Hadits : 484
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, hal. 353, No. Hadits : 487
3.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, hal. 351, No. Hadits : 485
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, hal. 350, No. Hadits : 483
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 348, No. Hadits : 478
6.An-Nawawi, al-Azkar, al-Haramain, Hal. 51
7.Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 155 dan 165
8.An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 370
9.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal 292, No. Hadits : 870
10.Darulqthny, Sunan Darulquthny, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 341
11.Darulqthny, Sunan Darulquthny, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 341
12.Umairah, Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 331
13.Muhammad bin ‘Alan al-Shadiqi al-Syafi’i, Futuhaat al-Rabbaniyah, Dar Ihya al-Talatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 243
14.Muhammad bin ‘Alan al-Shadiqi al-Syafi’i, Futuhaat al-Rabbaniyah, Dar Ihya al-Talatsi al-Arabi, Beirut, Juz. II, Hal. 243
15.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
16.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
Selasa, 09 Agustus 2011
Minggu, 07 Agustus 2011
Puasa Arafah didasarkan Wukuf atau Hari Arafah?
Puasa Arafah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari Arafah. Keutamaan puasa ini berdasarkan hadits Nabi SAW dari Abu Qatadah Al-Anshariy, berkata :
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim)1
Apakah hari Arafah didasarkan atas penetapan pemerintah Saudi Arabia, terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, ataukah berdasarkan ketetapan daerah setempat?
Jawabnya adalah kesunnahan puasa Arafah bukan didasarkan adanya wukuf, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia berbeda dengan di Saudi Arabia. Toleransi terhadap adanya perbedaan ini didasarkan atas hadits Kuraib, beliau berkata :
اَنَّ اُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ اِلَى مُعَاوِيَةَ باِلشَّامِ قاَلَ كُرَيْبٌ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَاَنَا باِلشَّامِ فَرَاَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ اَخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ: اَنْتَ رَاَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ اَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ: اَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَ صِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ هَكَذَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Artinya : Sesungguhnya Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul Fadl. Dan terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya: “Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah SAW menyuruh kami (HR. Muslim)2
DAFTAR PUSTAKA
1.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 167, No. Hadits : 2804
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 765, No. Hadits : 1087
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ
Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim)1
Apakah hari Arafah didasarkan atas penetapan pemerintah Saudi Arabia, terkait dengan pelaksanaan wukuf di Arafah, ataukah berdasarkan ketetapan daerah setempat?
Jawabnya adalah kesunnahan puasa Arafah bukan didasarkan adanya wukuf, tetapi karena datangnya hari Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Maka bisa jadi hari Arafah di Indonesia berbeda dengan di Saudi Arabia. Toleransi terhadap adanya perbedaan ini didasarkan atas hadits Kuraib, beliau berkata :
اَنَّ اُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ اِلَى مُعَاوِيَةَ باِلشَّامِ قاَلَ كُرَيْبٌ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَاَنَا باِلشَّامِ فَرَاَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِيْنَةَ فِيْ اَخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ؟ فَقُلْتُ: رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمْعَةِ فَقَالَ: اَنْتَ رَاَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوْا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَاَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ الثَّلاَثِيْنَ اَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ: اَوَ لاَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَ صِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لاَ هَكَذَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
Artinya : Sesungguhnya Ummul Fadl binti al-Harits mengutus Kuraib menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib berkata: Aku tiba di Syam. Lalu aku tunaikan keperluan Ummul Fadl. Dan terlihatlah hilal bulan Ramadlan olehku, sedang aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan Ramadlan. Abdullah bin Abbas bertanya kepadaku, dan ia menyebut hilal. Ia berkata: “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Malam Jum’at.” Dia bertanya: “Apakah kamu sendiri melihatnya?” Aku menjawab: “Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Mereka berpuasa, demikian juga Mu’awiyah.” Dia berkata: “Tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu, maka kami tetap berpuasa sehingga kami sempurnakan 30 hari atau kami melihat hilal”. Aku bertanya: “Apakah kamu tidak cukup mengikuti rukyah Mu’awiyah dan puasanya?” Lalu dia menjawab: “Tidak, demikianlah Rasulullah SAW menyuruh kami (HR. Muslim)2
DAFTAR PUSTAKA
1.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 167, No. Hadits : 2804
2.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 765, No. Hadits : 1087
Mengangkat tangan ketika berdo’a
Sunnah hukumnya mengangkat tangan ketika berdo’a dengan dalil-dalil sebagai berikut:
1.Firman Allah Q.S. al-Mukminun : 76
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.(Q.S. al-Mukminun : 76)
Mengangkat tangan ketika berdo’a merupakan penjelmaan dari rasa merendahkan diri dan khusyu’ ketika bermunajah dengan Allah SWT.
2.Hadits riwayat Anas, beliau berkata :
أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
Artinya : Seorang badui Arab menghadap Rasulullah SAW pada hari Jum’at dengan berkata : “Ya Rasulullah, binatang ternak, sanak keluarga dan para manusia sudah ditimpa bencana, maka Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, manusiapun mengangkat tangan mereka sambil berdo’a (H.R. Bukhari) 1
3.Ibnu Umar berkata :
ﻤﺎﻤﺩ ﺭﺴﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﻔﻲﺩﻋﺎﺀ ﻘﻁ ﻔﻗﺒﻀﻬﻤﺎ ﺤﺘﻰ ﻴﻤﺴﺢ ﺒﻬﻤﺎ ﻭﺠﻬﻪ
Artinya : Rasulullah SAW ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya. (Hadits ditakhrij oleh al-Thabrany) 2
4. Hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas :
سلوا الله ببطون أكفكم ولا تسألوه بظهورها فإذا فرغتم فامسحوا بها وجوهكم
Artinya : Berdo’a kepada Allah dengan mengangkat bathin telapak tangan kamu dan jangan berdo’a dengan belakang telapak tanganmu. Apabila telah selesai, maka usaplah wajahmu dengannya.(H.R. Abu Daud) 3
5. Hadits riwayat Sa-ib bin Yazid dari ayahnya :
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيديه
Artinya : Apabila Rasulullah SAW berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya” (H.R. Abu Daud) 4
6. . Hadits riwayat Ibnu Abbas :
إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلاَ تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْت فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ.
Artinya : Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya. Apabila sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”.(H.R. Ibnu Majah) 5
7. Hadits riwayat dari Umar :
وَعَنْ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي اَلدُّعَاءِ, لَمْ يَرُدَّهُمَا, حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ .
Artinya : Dari Umar, beliau berkata : “Rasulullah apabila menjulurkan tangannya dalam berdo’a beliau tidak mengembalikan kedua tangannya sehingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”. (H.R.Turmidzi) 6
Ibnu Hajar al-Asqalani setelah menyebut hadits di atas, mengatakan :
“Untuk hadits ini ada beberapa syawahid (pendukungnya), antara lain : hadits Ibnu Abbas yang diriwayat oleh Abu Daud. Kumpulannya menunjukkan bahwa hadits itu adalah hasan.”7
Ada hadits shahih riwayat Bukhari yang menjelaskan Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mengangkat tangan ketika berdo’a kecuali pada shalat minta hujan. Hadits tersebut lengkapnya :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Artinya : Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan Nabi SAW tidak pernah mengangkatkan dua tangan pada do’a-doa beliau kecuali pada shalat minta hujan. Beliau mengangkatnya sehingga nampak putih ketiak beliau. (H.R. Bukhari) 8
Mengomentari hadits ini, Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits ini, dhahirnya mengwahamkan bahwa Rasulullah SAW tidak mengangkat tangan beliau pada ketika berdo’a kecuali pada shalat minta hujan, padahal tidaklah demikian halnya, karena telah datang banyak hadits shahih yang menjelaskan Rasulullah SAW juga mengangkat dua tangan beliau pada ketika berdo’a dalam banyak kondisi selain shalat minta hujan. Karena itu, hadits ini harus ditakwil, takwilnya adalah Rasulullah tidak mengangkat tangan dengan setinggi-tingginya sehingga nampak putih ketiaknya kecuali pada shalat minta hujan atau maksudnya, aku (perawinya, yaitu Anas bin Malik) tidak pernah melihatnya, tetapi sungguh orang lain ada melihatnya.” 9
Memahami komentar al-Nawawi di atas, maka hadits terakhir ini tidak dapat dijadikan hujjah pelarangan angkat tangan ketika berdo’a pada selain shalat minta hujan. Karena hadits tersebut muncul dalam konteks angkat tangan yang tidak biasanya (angkat tangan sampai nampak putih ketiak Rasulullah SAW). Adapun angkat tangan yang biasa, maka tidak dinafikan oleh hadits ini. Atau pun hadits ini muncul menurut penglihatan perawinya, yaitu Anas bin Malik, tentunya orang lain bisa jadi ada melihat angkat tangan Rasulullah SAW pada ketika berdoa pada selain shalat minta hujan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits shahih lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Thaibah, Juz. II, Hal. 31, No. hadits : 1029
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.50
3.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 468, Hadits nomor 1485
4.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 469, Hadits nomor 1492
5.Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 254, Hadits No. 1181
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 339
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 340
8.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 39, No. Hadits : 1031
9.Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 470
1.Firman Allah Q.S. al-Mukminun : 76
وَلَقَدْ أَخَذْنَاهُمْ بِالْعَذَابِ فَمَا اسْتَكَانُوا لِرَبِّهِمْ وَمَا يَتَضَرَّعُونَ
Artinya : Dan sesungguhnya Kami telah pernah menimpakan azab kepada mereka, maka mereka tidak tunduk kepada Tuhan mereka, dan (juga) tidak memohon (kepada-Nya) dengan merendahkan diri.(Q.S. al-Mukminun : 76)
Mengangkat tangan ketika berdo’a merupakan penjelmaan dari rasa merendahkan diri dan khusyu’ ketika bermunajah dengan Allah SWT.
2.Hadits riwayat Anas, beliau berkata :
أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ
Artinya : Seorang badui Arab menghadap Rasulullah SAW pada hari Jum’at dengan berkata : “Ya Rasulullah, binatang ternak, sanak keluarga dan para manusia sudah ditimpa bencana, maka Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya sambil berdoa, manusiapun mengangkat tangan mereka sambil berdo’a (H.R. Bukhari) 1
3.Ibnu Umar berkata :
ﻤﺎﻤﺩ ﺭﺴﻭﻝﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﻔﻲﺩﻋﺎﺀ ﻘﻁ ﻔﻗﺒﻀﻬﻤﺎ ﺤﺘﻰ ﻴﻤﺴﺢ ﺒﻬﻤﺎ ﻭﺠﻬﻪ
Artinya : Rasulullah SAW ketika mengangkat kedua tangannya untuk berdo’a, tidaklah menurunkannya kecuali beliau mengusapkannya terlebih dahulu ke mukanya. (Hadits ditakhrij oleh al-Thabrany) 2
4. Hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas :
سلوا الله ببطون أكفكم ولا تسألوه بظهورها فإذا فرغتم فامسحوا بها وجوهكم
Artinya : Berdo’a kepada Allah dengan mengangkat bathin telapak tangan kamu dan jangan berdo’a dengan belakang telapak tanganmu. Apabila telah selesai, maka usaplah wajahmu dengannya.(H.R. Abu Daud) 3
5. Hadits riwayat Sa-ib bin Yazid dari ayahnya :
أن النبي صلى الله عليه و سلم كان إذا دعا فرفع يديه مسح وجهه بيديه
Artinya : Apabila Rasulullah SAW berdo’a dan mengangkat kedua tangannya, maka beliau mengusap wajahnya dengannya” (H.R. Abu Daud) 4
6. . Hadits riwayat Ibnu Abbas :
إِذَا دَعَوْتَ اللَّهَ فَادْعُ بِبَاطِنِ كَفَّيْكَ وَلاَ تَدْعُ بِظُهُورِهِمَا فَإِذَا فَرَغْت فَامْسَحْ بِهِمَا وَجْهَكَ.
Artinya : Jika kamu berdo’a kepada Allah, kemudian angkatlah kedua tanganmu (dengan telapak tangan diatas), dan jangan membaliknya. Apabila sudah selesai (berdo’a) usapkan (telapak tangan) kepada muka”.(H.R. Ibnu Majah) 5
7. Hadits riwayat dari Umar :
وَعَنْ عُمَرَ قَالَ كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي اَلدُّعَاءِ, لَمْ يَرُدَّهُمَا, حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ .
Artinya : Dari Umar, beliau berkata : “Rasulullah apabila menjulurkan tangannya dalam berdo’a beliau tidak mengembalikan kedua tangannya sehingga beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya”. (H.R.Turmidzi) 6
Ibnu Hajar al-Asqalani setelah menyebut hadits di atas, mengatakan :
“Untuk hadits ini ada beberapa syawahid (pendukungnya), antara lain : hadits Ibnu Abbas yang diriwayat oleh Abu Daud. Kumpulannya menunjukkan bahwa hadits itu adalah hasan.”7
Ada hadits shahih riwayat Bukhari yang menjelaskan Anas bin Malik mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mengangkat tangan ketika berdo’a kecuali pada shalat minta hujan. Hadits tersebut lengkapnya :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Artinya : Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan Nabi SAW tidak pernah mengangkatkan dua tangan pada do’a-doa beliau kecuali pada shalat minta hujan. Beliau mengangkatnya sehingga nampak putih ketiak beliau. (H.R. Bukhari) 8
Mengomentari hadits ini, Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits ini, dhahirnya mengwahamkan bahwa Rasulullah SAW tidak mengangkat tangan beliau pada ketika berdo’a kecuali pada shalat minta hujan, padahal tidaklah demikian halnya, karena telah datang banyak hadits shahih yang menjelaskan Rasulullah SAW juga mengangkat dua tangan beliau pada ketika berdo’a dalam banyak kondisi selain shalat minta hujan. Karena itu, hadits ini harus ditakwil, takwilnya adalah Rasulullah tidak mengangkat tangan dengan setinggi-tingginya sehingga nampak putih ketiaknya kecuali pada shalat minta hujan atau maksudnya, aku (perawinya, yaitu Anas bin Malik) tidak pernah melihatnya, tetapi sungguh orang lain ada melihatnya.” 9
Memahami komentar al-Nawawi di atas, maka hadits terakhir ini tidak dapat dijadikan hujjah pelarangan angkat tangan ketika berdo’a pada selain shalat minta hujan. Karena hadits tersebut muncul dalam konteks angkat tangan yang tidak biasanya (angkat tangan sampai nampak putih ketiak Rasulullah SAW). Adapun angkat tangan yang biasa, maka tidak dinafikan oleh hadits ini. Atau pun hadits ini muncul menurut penglihatan perawinya, yaitu Anas bin Malik, tentunya orang lain bisa jadi ada melihat angkat tangan Rasulullah SAW pada ketika berdoa pada selain shalat minta hujan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits shahih lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.Bukhari, Shahih Bukhari, Darul Thaibah, Juz. II, Hal. 31, No. hadits : 1029
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.50
3.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 468, Hadits nomor 1485
4.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 469, Hadits nomor 1492
5.Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 254, Hadits No. 1181
6.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 339
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Hal. 340
8.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 39, No. Hadits : 1031
9.Badruddin al-‘Aini al-Hanafi, ‘Umdah al-Qary, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 470
Sabtu, 06 Agustus 2011
Shalat atas Janin yang Gugur
Berikut pendapat ulama mengenai hukum shalat atas janin yang gugur, yaitu :
1.Berkata Imam an-Nawawi :
“Anak yang gugur jika sempat berteriak atau menangis , maka hukumnya sama dengan orang dewasa dan jika tidak (tidak berteriak dan menangis), kalau nampak tanda-tanda kehidupan seperti bergerak-gerak, maka disembahyangkan menurut pendapat azhhar (lebih zhahir) dan jika tidak nampak tanda-tanda kehidupan sedangkan janin itu belum berumur empat bulan, maka tidak sembahyangkan. Demikian juga (tidak disembahyangkan) kalau sudah berumur empat bulan (atau lebih dari itu, tambahan al-Mahalli) menurut pendapat yang lebih dhahir” 1
2.Qalyubi dalam komentarnya atas tambahan al-Mahalli di atas, berkata :
“Perkataan al-Mahalli فصاعدا, zhahirnya meskipun sampai enam bulan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hajar, Syaikh Islam, Syaikhunaa Al-Ziyadi dan lainnya dan tidak dikuatkan selain pendapat ini. Syaikunaa Ar-Ramli berpendapat sebaliknya, beliau menjadikan janin yang sudah sampai enam bulan seperti hukum orang dewasa, meskipun belum zhahir khalq (bentuk makhluk) ”. 2
3.Berkata Imam an-Nawawi dalam Kitab Raudhah at-Thalibin :
“Al-saqth (anak yang gugur) ada dua macam : Pertama sempat berteriak atau menangis kemudian meninggal, maka hukumnya sama seperti orang dewasa. Kedua tidak dapat diyakini hidupnya dengan berteriak atau lainnya, maka ada dua kemungkinan, yaitu tidak mempunyai tanda-tanda hidup seperti bergerak-gerak dan lainnya dan kemungkinan ada tanda-tandanya. Jika tidak mempunyai tanda-tandanya, maka ada tinjauan, yaitu jika tidak sampai batasan ditiup ruh, yaitu empat bulan atau lebih, maka tidak dishalatkannya tanpa khilaf dan tidak dmandikan menurut mazhab. Ada yang mengatakan dalam masalah mandi ada dua qaul. Dan jika sampai empat bulan maka dishalatkan menurut qaul qadim dan tidak dishalatkannya menurut qaul jadid serta dimandikan menurut mazhab. Ada yang mengatakan, ada dua qaul.
4.Berkata Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy :
“Adapun yang lahir setelah sempurna sekurang-kurang hamil, maka tidak dinamakan saqath (anak gugur) dan wajib padanya apa yang wajib pada orang dewasa, meskipun tidak maklum hidupnya dan tidak zhahir bentuk makhluk” 3
5.Berikut kesimpulan yang disebutkan oleh pengarang I’anah at-Thalibin dari uraian kitab Fathul Muin:
“Janin apabila lahir sebelum empat bulan, maka wajib dikafan dan dikebumikan dan jika lahir sesudah empat bulan, kalau tidak bergerak dan berteriak setelah lahirnya, maka wajib dimandikan, dikafani, dikebumikan dan tidak disembahyangkan. Jika bergerak atau berteriak setelah melahirkan, maka wajib dimandikan, dikafani, disembahyangkan dan dikebumukan”. 4
6.Menjawab soal : anak yang telah sampai umurnya sepuluh bulan (lebih dari enam bulan) tetapi diwaktu lahir tidak ada tanda-tanda hidup, maka berapa perkara yang wajib atas kita terhadap anak itu ?. Almarhum Abuya Syaikh Muda Wali al-Khalidy, salah seorang ulama Aceh terkenal, setelah mengutip pendapat para ulama Syafi’iyah, antara lain Imam An-Nawawi, Jalaluddin al-Mahalli, Ibnu Hajar Haitamy, Syaikh Islam, Al-Ziyady, Imam Ramli, Qalyubi dan lain-lain, beliau menjawab :
“Setelah memperhatikan nash-nash yang tersebut, maka adapun yang mu’tamad ‘inda faqir maa qalahu Syaikhuna Ibnu Hajar liqaulihi an-Nawawi al-azhhar dan karena perkataan Qalyubi al-wajh allazi laa yuttajahu ghairuhu. Tetapi kalau kita taqlid kepada Imam Ramli wajib sama sekali. Maka keputusan dengan i’tibar kepada kita yang muqallid ini boleh khiyar. Kalau taqlid kepada Ibnu Hajar tidak boleh sembahyang, wajib lainnya jika lahir khalkhuhu adamy. Kalau kita taqlid pada Imam Ramli wajib sama sekali”. 5
Kesimpulan
1.Anak yang gugur jika sempat berteriak atau menangis , maka hukumnya sama dengan orang dewasa, maka wajib shalat atasnya. Argumentasinya adalah berteriak atau menangis merupakan tanda kehidupan. Karena itu, kalau ada teriakan atau menangis pada janin tersebut sebelum dinyatakan mati, maka janin tersebut dianggap sebagai orang mati yang wajib shalat atasnya sebagaimana simati yang dewasa. Dalil dari hadits Nabi SAW antara lain :
الطفل لا يصلي عليه ولا يرث ولا يورث حتى يستهل
Artinya : anak-anak tidak dishalatkan atasnya, tidak mewarisi dan tidak diwarisi sehingga dia berteriak. (H.R. at-Turmizi) 6
Hadits ini dikeluarkan oleh Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hiban dan al-Hakim. Al-Turmidzi mengatakan, telah diriwayat secara marfu’ dan mauquf, tetapi riwayat secara mauquf sepertinya lebih shahih.7 At-Turmizi setelah menyebut hadits ini, menjelaskan bahwa ini adalah qaul al-Tsury dan Syafi’i.8
Sedangkan hadits Nabi SAW di bawah ini :
الراكب خلف الجنازة والماشي حيث شاء منها والطفل يصلي عليه
ِِArtinya : Yang berkenderaan berjalan di belakang jenazah dan yang berjalan kaki bagaimana kehendaknya. Sedangkan anak-anak dishalatkannya.(H.R. at-Turmiz)9
Menurut hemat kami, harus ditafsirkan sesuai dengan maksud hadits pertama, karena berdasarkan qa’idah ushul fiqh di bawah ini :
وإن كان أحدهما مثبتا والأخر خلافه قيد المطلق بضد الصفة
Artinya : Jika salah satunya (lafadh muthlaq dan muqayyad) adalah mutsbit (positif), sedangkan yang lain sebaliknya, maka yang mutlaq itu di qaidkan dengan lawan sifatnya.10
Hadits tersebut di atas diriwayat oleh Ahmad, al-Nisa-i dan al-Turmidzi. Al-Turmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.11
2.Jika tidak (tidak berteriak dan menangis), kalau nampak tanda-tanda kehidupan seperti bergerak-gerak dan bernafas, maka disembahyangkan menurut pendapat yang kuat dari Syafi’i. Argumentasinya adalah bergerak dan bernafas ataupun yang sejenisnya juga merupakan tanda-tanda kehidupan seperti halnya berteriak dan menangis. Karena itu, apabila wujud tanda-tanda seperti bergerak dan bernafas, juga wajib shalat atasnya.
3.Jika sedangkan janin itu belum berumur empat bulan, maka tidak sembahyangkan. Demikian juga (tidak disembahyangkan) kalau sudah berumur empat bulan, sedangkan janin itu tidak berteriak, tidak menangis, tidak bergerak, tidak bernafas atau tidak ada tanda-tanda kehidupan lainnya menurut pendapat yang kuat dari Syafi’i atau lebih dari empat bulan, meskipun sudah sampai.berumur enam bulan. Pendapat terakhir ini adalah pendapat Ibnu Hajar Haitami, Syaikh Islam, Al-Ziyadi dan lainnya. Argumentasi pendapat ini adalah karena kewajiban shalat itu datang karena ada tanda-tanda kehidupan. Jadi, kalau tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka tidak wajib shalat atasnya. Sedangkan Ar-Ramli berpendapat sebaliknya. Menurut keterangan Abuya Syaikh Muda Waly di atas, pendapat Ibnu Hajar Haitamy merupakan pendapat yang mu’tamad (menjadi pegangan) di sisi beliau.
4.Pendapat yang disebut oleh Amin Al-Kurdy dalam kitab Tanwir al-Qulub di atas, adalah pendapat dipegang oleh Imam Ar-Ramli.
DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. I, Hal.338
2.Qalyubi, Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut Juz. I, Hal. 338
3.Muhammad Amin Al-Kurdy, Tanwir al-Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 210-211
4.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semaang, Juz. II, Hal. 123
5.Syaikh Muda Wali al-Khalidy, al-Fatawaa, Nusantara, Bukit Tinggi, Hal. 98-99
6.At-Turmidzi, Sunan at-Turmizi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 248
7.Ibnu al-Himam, Fath al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 403
8.At-Turmidzi, Sunan at-Turmizi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 249
9.At-Turmidzi, Sunan at-Turmizi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 248
10.Zakariya al-Anshary, Ghayatulwushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 82
11.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 257
1.Berkata Imam an-Nawawi :
“Anak yang gugur jika sempat berteriak atau menangis , maka hukumnya sama dengan orang dewasa dan jika tidak (tidak berteriak dan menangis), kalau nampak tanda-tanda kehidupan seperti bergerak-gerak, maka disembahyangkan menurut pendapat azhhar (lebih zhahir) dan jika tidak nampak tanda-tanda kehidupan sedangkan janin itu belum berumur empat bulan, maka tidak sembahyangkan. Demikian juga (tidak disembahyangkan) kalau sudah berumur empat bulan (atau lebih dari itu, tambahan al-Mahalli) menurut pendapat yang lebih dhahir” 1
2.Qalyubi dalam komentarnya atas tambahan al-Mahalli di atas, berkata :
“Perkataan al-Mahalli فصاعدا, zhahirnya meskipun sampai enam bulan. Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Hajar, Syaikh Islam, Syaikhunaa Al-Ziyadi dan lainnya dan tidak dikuatkan selain pendapat ini. Syaikunaa Ar-Ramli berpendapat sebaliknya, beliau menjadikan janin yang sudah sampai enam bulan seperti hukum orang dewasa, meskipun belum zhahir khalq (bentuk makhluk) ”. 2
3.Berkata Imam an-Nawawi dalam Kitab Raudhah at-Thalibin :
“Al-saqth (anak yang gugur) ada dua macam : Pertama sempat berteriak atau menangis kemudian meninggal, maka hukumnya sama seperti orang dewasa. Kedua tidak dapat diyakini hidupnya dengan berteriak atau lainnya, maka ada dua kemungkinan, yaitu tidak mempunyai tanda-tanda hidup seperti bergerak-gerak dan lainnya dan kemungkinan ada tanda-tandanya. Jika tidak mempunyai tanda-tandanya, maka ada tinjauan, yaitu jika tidak sampai batasan ditiup ruh, yaitu empat bulan atau lebih, maka tidak dishalatkannya tanpa khilaf dan tidak dmandikan menurut mazhab. Ada yang mengatakan dalam masalah mandi ada dua qaul. Dan jika sampai empat bulan maka dishalatkan menurut qaul qadim dan tidak dishalatkannya menurut qaul jadid serta dimandikan menurut mazhab. Ada yang mengatakan, ada dua qaul.
4.Berkata Syaikh Muhammad Amin al-Kurdy :
“Adapun yang lahir setelah sempurna sekurang-kurang hamil, maka tidak dinamakan saqath (anak gugur) dan wajib padanya apa yang wajib pada orang dewasa, meskipun tidak maklum hidupnya dan tidak zhahir bentuk makhluk” 3
5.Berikut kesimpulan yang disebutkan oleh pengarang I’anah at-Thalibin dari uraian kitab Fathul Muin:
“Janin apabila lahir sebelum empat bulan, maka wajib dikafan dan dikebumikan dan jika lahir sesudah empat bulan, kalau tidak bergerak dan berteriak setelah lahirnya, maka wajib dimandikan, dikafani, dikebumikan dan tidak disembahyangkan. Jika bergerak atau berteriak setelah melahirkan, maka wajib dimandikan, dikafani, disembahyangkan dan dikebumukan”. 4
6.Menjawab soal : anak yang telah sampai umurnya sepuluh bulan (lebih dari enam bulan) tetapi diwaktu lahir tidak ada tanda-tanda hidup, maka berapa perkara yang wajib atas kita terhadap anak itu ?. Almarhum Abuya Syaikh Muda Wali al-Khalidy, salah seorang ulama Aceh terkenal, setelah mengutip pendapat para ulama Syafi’iyah, antara lain Imam An-Nawawi, Jalaluddin al-Mahalli, Ibnu Hajar Haitamy, Syaikh Islam, Al-Ziyady, Imam Ramli, Qalyubi dan lain-lain, beliau menjawab :
“Setelah memperhatikan nash-nash yang tersebut, maka adapun yang mu’tamad ‘inda faqir maa qalahu Syaikhuna Ibnu Hajar liqaulihi an-Nawawi al-azhhar dan karena perkataan Qalyubi al-wajh allazi laa yuttajahu ghairuhu. Tetapi kalau kita taqlid kepada Imam Ramli wajib sama sekali. Maka keputusan dengan i’tibar kepada kita yang muqallid ini boleh khiyar. Kalau taqlid kepada Ibnu Hajar tidak boleh sembahyang, wajib lainnya jika lahir khalkhuhu adamy. Kalau kita taqlid pada Imam Ramli wajib sama sekali”. 5
Kesimpulan
1.Anak yang gugur jika sempat berteriak atau menangis , maka hukumnya sama dengan orang dewasa, maka wajib shalat atasnya. Argumentasinya adalah berteriak atau menangis merupakan tanda kehidupan. Karena itu, kalau ada teriakan atau menangis pada janin tersebut sebelum dinyatakan mati, maka janin tersebut dianggap sebagai orang mati yang wajib shalat atasnya sebagaimana simati yang dewasa. Dalil dari hadits Nabi SAW antara lain :
الطفل لا يصلي عليه ولا يرث ولا يورث حتى يستهل
Artinya : anak-anak tidak dishalatkan atasnya, tidak mewarisi dan tidak diwarisi sehingga dia berteriak. (H.R. at-Turmizi) 6
Hadits ini dikeluarkan oleh Turmidzi, al-Nisa-i dan Ibnu Majah dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hiban dan al-Hakim. Al-Turmidzi mengatakan, telah diriwayat secara marfu’ dan mauquf, tetapi riwayat secara mauquf sepertinya lebih shahih.7 At-Turmizi setelah menyebut hadits ini, menjelaskan bahwa ini adalah qaul al-Tsury dan Syafi’i.8
Sedangkan hadits Nabi SAW di bawah ini :
الراكب خلف الجنازة والماشي حيث شاء منها والطفل يصلي عليه
ِِArtinya : Yang berkenderaan berjalan di belakang jenazah dan yang berjalan kaki bagaimana kehendaknya. Sedangkan anak-anak dishalatkannya.(H.R. at-Turmiz)9
Menurut hemat kami, harus ditafsirkan sesuai dengan maksud hadits pertama, karena berdasarkan qa’idah ushul fiqh di bawah ini :
وإن كان أحدهما مثبتا والأخر خلافه قيد المطلق بضد الصفة
Artinya : Jika salah satunya (lafadh muthlaq dan muqayyad) adalah mutsbit (positif), sedangkan yang lain sebaliknya, maka yang mutlaq itu di qaidkan dengan lawan sifatnya.10
Hadits tersebut di atas diriwayat oleh Ahmad, al-Nisa-i dan al-Turmidzi. Al-Turmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih.11
2.Jika tidak (tidak berteriak dan menangis), kalau nampak tanda-tanda kehidupan seperti bergerak-gerak dan bernafas, maka disembahyangkan menurut pendapat yang kuat dari Syafi’i. Argumentasinya adalah bergerak dan bernafas ataupun yang sejenisnya juga merupakan tanda-tanda kehidupan seperti halnya berteriak dan menangis. Karena itu, apabila wujud tanda-tanda seperti bergerak dan bernafas, juga wajib shalat atasnya.
3.Jika sedangkan janin itu belum berumur empat bulan, maka tidak sembahyangkan. Demikian juga (tidak disembahyangkan) kalau sudah berumur empat bulan, sedangkan janin itu tidak berteriak, tidak menangis, tidak bergerak, tidak bernafas atau tidak ada tanda-tanda kehidupan lainnya menurut pendapat yang kuat dari Syafi’i atau lebih dari empat bulan, meskipun sudah sampai.berumur enam bulan. Pendapat terakhir ini adalah pendapat Ibnu Hajar Haitami, Syaikh Islam, Al-Ziyadi dan lainnya. Argumentasi pendapat ini adalah karena kewajiban shalat itu datang karena ada tanda-tanda kehidupan. Jadi, kalau tidak ada tanda-tanda kehidupan, maka tidak wajib shalat atasnya. Sedangkan Ar-Ramli berpendapat sebaliknya. Menurut keterangan Abuya Syaikh Muda Waly di atas, pendapat Ibnu Hajar Haitamy merupakan pendapat yang mu’tamad (menjadi pegangan) di sisi beliau.
4.Pendapat yang disebut oleh Amin Al-Kurdy dalam kitab Tanwir al-Qulub di atas, adalah pendapat dipegang oleh Imam Ar-Ramli.
DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. I, Hal.338
2.Qalyubi, Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya at-Turatsi al-Araby, Beirut Juz. I, Hal. 338
3.Muhammad Amin Al-Kurdy, Tanwir al-Qulub, Thaha Putra, Semarang, Hal. 210-211
4.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semaang, Juz. II, Hal. 123
5.Syaikh Muda Wali al-Khalidy, al-Fatawaa, Nusantara, Bukit Tinggi, Hal. 98-99
6.At-Turmidzi, Sunan at-Turmizi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 248
7.Ibnu al-Himam, Fath al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 403
8.At-Turmidzi, Sunan at-Turmizi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 249
9.At-Turmidzi, Sunan at-Turmizi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 248
10.Zakariya al-Anshary, Ghayatulwushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 82
11.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 257
Lokasi shalat hari raya di mesjid atau di lapangan ?
Para ulama sepakat bahwa lokasi shalat hari raya bagi orang Makkah, yang lebih afdhal adalah Masjidil Haram. Namun dalam hal kaum muslimin yang berada diluar Makah, mereka berbeda pendapat, ulama Syafi’iyah mengatakan yang lebih afdhal, shalat hari raya dilakukan di mesjid sebagaimana halnya kamu muslimin Makah. Sedangkan ulama selain Syafi’iyah berpendapat lebih utama dilakukan di lapangan di luar mesjid kecuali apabila hari itu datang hujan. Maka ketika itu, sunnat dilakukan di dalam mesjid.1 Ketentuan ini menurut mereka karena didasarkan kepada hadits Nabi SAW riwayat Abu Hurairah, berbunyi :
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ انهمَ أصَابَهم مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهم النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلاة العيد فِى مسْجِدٍ.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi SAW shalat dengan mereka di dalam Masjid.(H.R. Abu Daud) 2
Menurut keterangan al-Nawawi, hadits ini nilainya baik dan juga telah diriwayat oleh al-Hakim dengan mengatakan kualiatas haditsnya shahih.3
Dalil yang digunakan golongan yang berpendapat lebih utama dilakukan di lapangan di luar mesjid adalah mengikuti sunnah Nabi SAW yang dinyatakan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudry, berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفِطْرٍ والأضحى إِلَى الْمُصَلَّى
Artinya : Nabi SAW selalu keluar ke tempat shalat (lapangan) pada hari hari raya Fitri dan Adha. (Muttafaqun ‘alaihi) 4
Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits ini berbunyi :
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في أضحى أو فطر إلى المصلى فصلى بهم
Artinya : Rasulullah SAW keluar ke tempat shalat (lapangan) pada hari raya Adha atau Fitri dengan melakukan shalat bersama mereka.(H.R. Ibnu Khuzaimah) 5
Adapun golongan Syafi’iyah yang berpendapat bahwa shalat aya lebih afdhal dilakukan dalam mesjid, berargumentasi karena mesjid merupakan tempat ibadah yang dimuliakan Allah. Karena itu, ibadah lebih utama dilakukan di mesjid dibandingkan tempat lainnya. Diantara firman Allah yang menjelaskan mengenai keutamaan mesjid antara lain firman Allah Q.S. al-Taubah : 18, berbunyi :
إِنَّما يَعْمُرُ مَساجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللَّهَ فَعَسى أُولئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunai zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang terpetunjuk (Q.S. al-Taubah : 18)
Keutamaan melakukan ibadat dalam mesjid ini tidak terkecuali juga berlaku bagi shalat hari raya, karena memang tidak ada dalil yang mengecualikannya. Berdasarkan ini, maka shalat hari raya tetap lebih utama dilakukan di dalam mesjid, baik bagi orang Makah atau luar Makah.
Adapun mengenai hadits di atas yang menjelaskan bahwa Rasullullah SAW sering melakukan shalat hari raya dilapangan, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dalil shalat hari raya lebih utama dilakukan di lapangan. Karena Rasulullah SAW`melakukan hal tersebut disebabkan keadaan pada waktu itu dimana jumlah jama’ah shalat hari raya yang umumnya lebih banyak dari jama’ah shalat lainnya, sehingga mesjid yang sempit tersebut (mesjid zaman Rasulullah tidak sebesar mesjid umumnya zaman sekarang) tidak muat jumlah jama’ah shalat hari raya. Dengan pemahaman ini, dapat dipahami kenapa Rasulullah SAW lebih sering shalat hari raya di lapangan. Hal ini, tentu tidak berlaku lagi pada zaman sekarang di mana mesjid-mesjidnya berdiri besar-besar dan megah, kecuali kalau memang keadaan jumlah jama’ah berlimpah dan tidak berimbang dengan besarnya mesjid. Dalam kondisi seperti ini, maka shalat di lapangan tentu lebih diutamakan dibandingkan di mesjid. Penjelasan seperti ini telah dikemukan oleh al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazab 6
Penjelasan yang dapat mengantarkan kita kepada pemahaman di atas juga dapat dipahami dari hadits riwayat Abu Hurairah di atas, yang berbunyi :
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ انهمَ أصَابَهم مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهم النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلاة العيد فِى مسْجِدٍ.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi SAW shalat dengan mereka di dalam Masjid.(H.R. Abu Daud) 7
Shalat hari raya itu sejak jaman dahulu hingga sekarang adalah shalat yang jumlah makmumnya pasti memegang rekor terbanyak selama setahun. Saat itu, orang yang tidak biasa shalatpun akan hadir ikut lebaran, sehingga jumlah jama’ah pasti akan meluber. Oleh karena itu, pada umumnya masjid tidak akan muat. Sebab pada jaman dulu, masjid itu pada umumnya tidak besar sebagaimana mesjid-mesjid yang ada pada zaman sekarang dan mesjid itu hanyalah sebuah lahan yang dikelilingi tembok dan tanpa atap sebagaimana Masjidil Haram. Oleh karena itu, kalau hujan maka akan kehujanan. Lalu apa kaitannya dengan hadits di atas, kenapa apabila hujan maka shalat hari raya di dalam masjid ? Kaitannya adalah bila hujan maka jama’ah akan sedikit, dengan demikian mereka akan muat di dalam masjid. Jadi pindah ke dalam masjid itu bukan dalam rangka berteduh dari hujan, sebab sama saja shalat di luar maupun di dalam masjid, kalau hujan akan tetap sama-sama kehujanan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa shalat hari raya pada masa Nabi SAW dilakukan di lapangan adalah karena jumlah jama’ahnya tidak muat dilakukan shalat di dalam mesjid.
Ditinjau dari sisi bahwa dalam mesjid sunnat dilakukan shalat tahiyat mesjid, i’tikaf dan ibadah lainnya yang bersangkutan dengan mesjid, juga menjadi pertimbangan kenapa shalat hari raya lebih utama dilakukan di mesjid dibandingkan dilakukannya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 369
2.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
3.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. V
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
5.Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, Maktabah Syamilah, II, Hal. 342, NO. Hadits : 1430
6.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. V
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ انهمَ أصَابَهم مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهم النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلاة العيد فِى مسْجِدٍ.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi SAW shalat dengan mereka di dalam Masjid.(H.R. Abu Daud) 2
Menurut keterangan al-Nawawi, hadits ini nilainya baik dan juga telah diriwayat oleh al-Hakim dengan mengatakan kualiatas haditsnya shahih.3
Dalil yang digunakan golongan yang berpendapat lebih utama dilakukan di lapangan di luar mesjid adalah mengikuti sunnah Nabi SAW yang dinyatakan dalam hadits Abu Sa’id al-Khudry, berkata :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفِطْرٍ والأضحى إِلَى الْمُصَلَّى
Artinya : Nabi SAW selalu keluar ke tempat shalat (lapangan) pada hari hari raya Fitri dan Adha. (Muttafaqun ‘alaihi) 4
Dalam Shahih Ibnu Khuzaimah, hadits ini berbunyi :
خرج رسول الله صلى الله عليه و سلم في أضحى أو فطر إلى المصلى فصلى بهم
Artinya : Rasulullah SAW keluar ke tempat shalat (lapangan) pada hari raya Adha atau Fitri dengan melakukan shalat bersama mereka.(H.R. Ibnu Khuzaimah) 5
Adapun golongan Syafi’iyah yang berpendapat bahwa shalat aya lebih afdhal dilakukan dalam mesjid, berargumentasi karena mesjid merupakan tempat ibadah yang dimuliakan Allah. Karena itu, ibadah lebih utama dilakukan di mesjid dibandingkan tempat lainnya. Diantara firman Allah yang menjelaskan mengenai keutamaan mesjid antara lain firman Allah Q.S. al-Taubah : 18, berbunyi :
إِنَّما يَعْمُرُ مَساجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلاَّ اللَّهَ فَعَسى أُولئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan mesjid-mesjid Allah hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunai zakat dan tidak takut kecuali kepada Allah. Maka merekalah orang-orang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang terpetunjuk (Q.S. al-Taubah : 18)
Keutamaan melakukan ibadat dalam mesjid ini tidak terkecuali juga berlaku bagi shalat hari raya, karena memang tidak ada dalil yang mengecualikannya. Berdasarkan ini, maka shalat hari raya tetap lebih utama dilakukan di dalam mesjid, baik bagi orang Makah atau luar Makah.
Adapun mengenai hadits di atas yang menjelaskan bahwa Rasullullah SAW sering melakukan shalat hari raya dilapangan, hal itu tidak dapat dijadikan sebagai dalil shalat hari raya lebih utama dilakukan di lapangan. Karena Rasulullah SAW`melakukan hal tersebut disebabkan keadaan pada waktu itu dimana jumlah jama’ah shalat hari raya yang umumnya lebih banyak dari jama’ah shalat lainnya, sehingga mesjid yang sempit tersebut (mesjid zaman Rasulullah tidak sebesar mesjid umumnya zaman sekarang) tidak muat jumlah jama’ah shalat hari raya. Dengan pemahaman ini, dapat dipahami kenapa Rasulullah SAW lebih sering shalat hari raya di lapangan. Hal ini, tentu tidak berlaku lagi pada zaman sekarang di mana mesjid-mesjidnya berdiri besar-besar dan megah, kecuali kalau memang keadaan jumlah jama’ah berlimpah dan tidak berimbang dengan besarnya mesjid. Dalam kondisi seperti ini, maka shalat di lapangan tentu lebih diutamakan dibandingkan di mesjid. Penjelasan seperti ini telah dikemukan oleh al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazab 6
Penjelasan yang dapat mengantarkan kita kepada pemahaman di atas juga dapat dipahami dari hadits riwayat Abu Hurairah di atas, yang berbunyi :
وَعَنْ أَبِى هٌرِيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ انهمَ أصَابَهم مَطَرٌ فِى يَومِ عِيْدٍ فَصَلَّى بِهم النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صلاة العيد فِى مسْجِدٍ.
Artinya : Dari Abu Hurairah r.a. sesungguhnya mereka ditimpa hujan pada hari raya, maka Nabi SAW shalat dengan mereka di dalam Masjid.(H.R. Abu Daud) 7
Shalat hari raya itu sejak jaman dahulu hingga sekarang adalah shalat yang jumlah makmumnya pasti memegang rekor terbanyak selama setahun. Saat itu, orang yang tidak biasa shalatpun akan hadir ikut lebaran, sehingga jumlah jama’ah pasti akan meluber. Oleh karena itu, pada umumnya masjid tidak akan muat. Sebab pada jaman dulu, masjid itu pada umumnya tidak besar sebagaimana mesjid-mesjid yang ada pada zaman sekarang dan mesjid itu hanyalah sebuah lahan yang dikelilingi tembok dan tanpa atap sebagaimana Masjidil Haram. Oleh karena itu, kalau hujan maka akan kehujanan. Lalu apa kaitannya dengan hadits di atas, kenapa apabila hujan maka shalat hari raya di dalam masjid ? Kaitannya adalah bila hujan maka jama’ah akan sedikit, dengan demikian mereka akan muat di dalam masjid. Jadi pindah ke dalam masjid itu bukan dalam rangka berteduh dari hujan, sebab sama saja shalat di luar maupun di dalam masjid, kalau hujan akan tetap sama-sama kehujanan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa shalat hari raya pada masa Nabi SAW dilakukan di lapangan adalah karena jumlah jama’ahnya tidak muat dilakukan shalat di dalam mesjid.
Ditinjau dari sisi bahwa dalam mesjid sunnat dilakukan shalat tahiyat mesjid, i’tikaf dan ibadah lainnya yang bersangkutan dengan mesjid, juga menjadi pertimbangan kenapa shalat hari raya lebih utama dilakukan di mesjid dibandingkan dilakukannya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Dr Wahbah Zuhaili, Fiqh Islami wa Adillatuhu, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 369
2.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
3.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. V
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
5.Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, Maktabah Syamilah, II, Hal. 342, NO. Hadits : 1430
6.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. V
7.Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, Mathba’ah al-Salafiyah, Mesir, Hal. 110
Jumat, 05 Agustus 2011
Shalat Nisfu Sya’ban
Pendapat ulama mengenai hukum shalat Nisfu Sya’ban, antara lain dapat diperhatikan dalam kutipan di bawah ini:
1.Berkata Zainuddin al-Malibary dalam Fath al-Mu’in :
“Adapun shalat yang ma’ruf dengan Lailah al-Raghaib, nisfu sya’ban dan hari asyura adalah bid’ah qabihah dan hadits-haditsnya adalah mauzhu’ 1
2.Zainuddin al-Malibary dalam Irsyad al-Ibad mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang tercela yang berdosa pelakunya dan wajib atas pemimpin melarang pelakunya adalah shalat Raghaib dua belas raka’at di antara dua Isya pada malam awal Jum’at bulan Rajab, shalat malam nisfu sya’ban seratus raka’at, shalat akhir Jum’at bulan Ramadhan sebanyak tujuh belas raka’at dengan niat qadha shalat lima waktu yang tidak diyakininya, shalat hari Asyura empat raka’at atau lebih dan shalat asbu’ (mingguan). Adapun hadits-haditsnya mauzhu’ yang bathil dan jangan tertipu dengan orang-orang yang menyebutnya.” 2
3.Berkata Imam Al-Ghazali :
“Adapun shalat Sya’ban dilakukan pada malam kelima belas dengan melakukan shalat seratus raka’at pada setiap dua raka’at dengan sekali salam, pada setiap raka’at setelah membaca fatihah membaca qul huwa Allah ahad sebelas kali. Jika menginginkan, melakukan shalat sebelas raka’at dengan membaca qul huwa Allah ahad seratus kali pada setiap raka’at setelah membaca fatihah. Maka ini pula diriwayat dalam sejumlah shalat dimana para salaf melakukan shalat ini dan mereka menamakannya dengan shalat al-khair dan berkumpul untuk melaksanakannya dan kadang-kadang mereka melakukannya dengan jama’ah.Telah diriwayat dari al-Hasan, sesungguhnya beliau berkata : “Ada tiga puluh orang sahabat Nabi SAW yang memberitahukan kepadaku bahwa barangsiapa yang melakukan shalat ini pada malam ini, maka Allah akan melihatnya tujuh puluh kali dan memberikannya pada setiap melihatnya tujuh puluh kebutuhan. Sekurang-kurangnya keampunan”. 3
4.Berkata Zainuddin al-Iraqy :
“Hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits bathil dan hadits Ali, “apabila tiba malam nisfu Sya’ban, maka dirikanlah malamnya dan berpuasalah pada siangnya”. Isnadnya adalah dha’if.”4
Menurut hemat penulis, seyogyanya kita tidak melakukan shalat ini, karena tidak didukung oleh dalil yang dapat dipertanggungjawabkan dan untuk mengisi ibadah pada malam tersebut, sebaiknya dilakukan saja Shalat Tasbih, karena Shalat Tasbih sunnat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Wallahu a’lam bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz.
2.Zainuddin al-Malibary, Irsyadul Ibad, Syarkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 23
3.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 203-204
4.Zainuddin al-Iraqi, al-Mughni ‘an –Haml al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar, dicetak di dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 204
1.Berkata Zainuddin al-Malibary dalam Fath al-Mu’in :
“Adapun shalat yang ma’ruf dengan Lailah al-Raghaib, nisfu sya’ban dan hari asyura adalah bid’ah qabihah dan hadits-haditsnya adalah mauzhu’ 1
2.Zainuddin al-Malibary dalam Irsyad al-Ibad mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang tercela yang berdosa pelakunya dan wajib atas pemimpin melarang pelakunya adalah shalat Raghaib dua belas raka’at di antara dua Isya pada malam awal Jum’at bulan Rajab, shalat malam nisfu sya’ban seratus raka’at, shalat akhir Jum’at bulan Ramadhan sebanyak tujuh belas raka’at dengan niat qadha shalat lima waktu yang tidak diyakininya, shalat hari Asyura empat raka’at atau lebih dan shalat asbu’ (mingguan). Adapun hadits-haditsnya mauzhu’ yang bathil dan jangan tertipu dengan orang-orang yang menyebutnya.” 2
3.Berkata Imam Al-Ghazali :
“Adapun shalat Sya’ban dilakukan pada malam kelima belas dengan melakukan shalat seratus raka’at pada setiap dua raka’at dengan sekali salam, pada setiap raka’at setelah membaca fatihah membaca qul huwa Allah ahad sebelas kali. Jika menginginkan, melakukan shalat sebelas raka’at dengan membaca qul huwa Allah ahad seratus kali pada setiap raka’at setelah membaca fatihah. Maka ini pula diriwayat dalam sejumlah shalat dimana para salaf melakukan shalat ini dan mereka menamakannya dengan shalat al-khair dan berkumpul untuk melaksanakannya dan kadang-kadang mereka melakukannya dengan jama’ah.Telah diriwayat dari al-Hasan, sesungguhnya beliau berkata : “Ada tiga puluh orang sahabat Nabi SAW yang memberitahukan kepadaku bahwa barangsiapa yang melakukan shalat ini pada malam ini, maka Allah akan melihatnya tujuh puluh kali dan memberikannya pada setiap melihatnya tujuh puluh kebutuhan. Sekurang-kurangnya keampunan”. 3
4.Berkata Zainuddin al-Iraqy :
“Hadits shalat malam nisfu Sya’ban adalah hadits bathil dan hadits Ali, “apabila tiba malam nisfu Sya’ban, maka dirikanlah malamnya dan berpuasalah pada siangnya”. Isnadnya adalah dha’if.”4
Menurut hemat penulis, seyogyanya kita tidak melakukan shalat ini, karena tidak didukung oleh dalil yang dapat dipertanggungjawabkan dan untuk mengisi ibadah pada malam tersebut, sebaiknya dilakukan saja Shalat Tasbih, karena Shalat Tasbih sunnat dilakukan kapan saja dan dimana saja. Wallahu a’lam bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
1.Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz.
2.Zainuddin al-Malibary, Irsyadul Ibad, Syarkah al-Ma’arif, Bandung, Hal. 23
3.Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 203-204
4.Zainuddin al-Iraqi, al-Mughni ‘an –Haml al-Asfar fi Takhrij maa fi al-Ihya min al-Akhbar, dicetak di dalam Ihya Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 204
Shalat pada awal waktu
Para ulama sepakat bahwa shalat wajib dilakukan dalam waktunya yang telah ditentukan dan mengeluarkan shalat dari waktu itu berarti perbuatan maksiat, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an :
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya : Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(Q.S. an-Nisa’ : 103)
Lalu apakah kita wajib melaksanakan shalat pada awal waktu ? atau menunda shalat pada akhir waktunya dan masih dalam waktunya dianggap maksiat ? Imam Nawawi seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, berkata :
“disunatkan menyegerakan shalat pada awal waktu”.
Al-Mahalli dalam mensyarah perkataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu hadits Ibnu Mas’ud :
سألت النبي صلعم أي الأعمال أفضل ؟ قال الصلاة لاول وقتها 1
ِArtinya : Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, amal apakah yang lebih afdhal ? Rasulullah menjawab : “Shalat pada awal waktu”.(H.R. Darulquthni dan lainnya. Berkata Hakim : Hadits tersebut atas syarat Syaikhain) 2
Dalam uraian selanjutnya, an-Nawawi berkata :“makruh tidur sebelum ‘Isya”. Qalyubi dalam penjelasannya terhadap pernyataan Nawawi tersebut mengatakan:
“ Perkataan pengarang "والنوم قبلها" , maksudnya makruh tidur sebelum melaksanakan shalat ‘Isya dan sesudah masuk waktunya kecuali karena sangat mengantuk, maka tidak makruh kecuali diduga tidur tersebut akan menghabiskan waktu shalat, maka haram. Wajib membangunkannya atas orang-orang yang mengetahui dalam kasus ini (kasus yang haram) dan sunat pada lainnya. Adapun sebelum masuk waktunya adalah khilaf aula, meskipun diketahui menghabiskan keluar waktu dengan sebab tidur.3
Dalam hal melaksanakan shalat pada ujung waktu, Ibnu Hajar Haitamy berkata :
“ Boleh menunda shalat ‘Ashar dari awal waktunya dengan syarat semua perbuatan shalat jatuh dalam waktunya sebelum terbenam matahari”.4
Adapun Q.S. al-Maa’un : 4-5, yang berbunyi :
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
Artinya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,(Q.S. al-Maa’un :4-5)
Untuk memahami ayat ini mari kita perhatikan tafsir para ulama di bawah ini, yaitu :
1.Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair setelah menyebut ayat di atas, mengutip hadits Nabi SAW :
هم الذين يؤخرون الصلاة عن وقتها
Artinya : Mereka adalah orang-orang yang menunda-nunda shalat sehingga keluar waktunya. 5
Ini artinya menurut beliau, pengertian sahuun pada ayat di atas bermakna mengeluarkan shalat dari waktunya sesuai dengan hadits yang beliau kutip tersebut.
2. Berkata Ibnu Shalah :
“الساهون adalah orang-orang lalai dari shalat, yaitu yang meninggalkannya”.6
3. Berkata Ibnu Abbas :
“Yakni orang-orang munafiq, yang shalat didepan orang dan meninggalkannya pada ketika sendirian”.7
4.Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan makna saahuun, yaitu : orang-orang yang lalai yang menunda shalatnya dengan mengeluarkan dari waktunya. 8
Kesimpulan
1.shalat mempunyai waktu tersendiri sebagaimana dijelaskan hadits-hadits Nabi SAW
2.kewajiban shalat itu dilaksanakan dalam waktunya, boleh pada awalnya ataupun pada akhirnya
3.sunat dilaksanakan shalat pada awal waktu, bukan wajib karena memahami dari perkataan “afdhal” dari hadits Ibnu Mas’ud di atas
4.makruh tidur sebelum melaksanakan shalat dan sudah masuk waktunya kecuali sangat mengantuk
5.apabila diduga dengan sebab tidur akan menghabiskan waktu shalat dengan sebab tidak terbangun, maka haram, jika tidur sudah masuk waktu shalat
6.dalam hal point ke-5 di atas, wajib atas orang yang mengetahuinya membangunkannya
7.adapun tidur sebelum masuk waktu shalat adalah khilaf aula (tidak utama), meskipun tidur tersebut di duga akan menghabiskan waktunya.
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya : Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.(Q.S. an-Nisa’ : 103)
Lalu apakah kita wajib melaksanakan shalat pada awal waktu ? atau menunda shalat pada akhir waktunya dan masih dalam waktunya dianggap maksiat ? Imam Nawawi seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, berkata :
“disunatkan menyegerakan shalat pada awal waktu”.
Al-Mahalli dalam mensyarah perkataan an-Nawawi tersebut, menyebut dalilnya, yaitu hadits Ibnu Mas’ud :
سألت النبي صلعم أي الأعمال أفضل ؟ قال الصلاة لاول وقتها 1
ِArtinya : Aku pernah bertanya kepada Nabi SAW, amal apakah yang lebih afdhal ? Rasulullah menjawab : “Shalat pada awal waktu”.(H.R. Darulquthni dan lainnya. Berkata Hakim : Hadits tersebut atas syarat Syaikhain) 2
Dalam uraian selanjutnya, an-Nawawi berkata :“makruh tidur sebelum ‘Isya”. Qalyubi dalam penjelasannya terhadap pernyataan Nawawi tersebut mengatakan:
“ Perkataan pengarang "والنوم قبلها" , maksudnya makruh tidur sebelum melaksanakan shalat ‘Isya dan sesudah masuk waktunya kecuali karena sangat mengantuk, maka tidak makruh kecuali diduga tidur tersebut akan menghabiskan waktu shalat, maka haram. Wajib membangunkannya atas orang-orang yang mengetahui dalam kasus ini (kasus yang haram) dan sunat pada lainnya. Adapun sebelum masuk waktunya adalah khilaf aula, meskipun diketahui menghabiskan keluar waktu dengan sebab tidur.3
Dalam hal melaksanakan shalat pada ujung waktu, Ibnu Hajar Haitamy berkata :
“ Boleh menunda shalat ‘Ashar dari awal waktunya dengan syarat semua perbuatan shalat jatuh dalam waktunya sebelum terbenam matahari”.4
Adapun Q.S. al-Maa’un : 4-5, yang berbunyi :
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5)
Artinya : Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,(Q.S. al-Maa’un :4-5)
Untuk memahami ayat ini mari kita perhatikan tafsir para ulama di bawah ini, yaitu :
1.Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitab beliau, al-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair setelah menyebut ayat di atas, mengutip hadits Nabi SAW :
هم الذين يؤخرون الصلاة عن وقتها
Artinya : Mereka adalah orang-orang yang menunda-nunda shalat sehingga keluar waktunya. 5
Ini artinya menurut beliau, pengertian sahuun pada ayat di atas bermakna mengeluarkan shalat dari waktunya sesuai dengan hadits yang beliau kutip tersebut.
2. Berkata Ibnu Shalah :
“الساهون adalah orang-orang lalai dari shalat, yaitu yang meninggalkannya”.6
3. Berkata Ibnu Abbas :
“Yakni orang-orang munafiq, yang shalat didepan orang dan meninggalkannya pada ketika sendirian”.7
4.Dalam Tafsir Jalalain di jelaskan makna saahuun, yaitu : orang-orang yang lalai yang menunda shalatnya dengan mengeluarkan dari waktunya. 8
Kesimpulan
1.shalat mempunyai waktu tersendiri sebagaimana dijelaskan hadits-hadits Nabi SAW
2.kewajiban shalat itu dilaksanakan dalam waktunya, boleh pada awalnya ataupun pada akhirnya
3.sunat dilaksanakan shalat pada awal waktu, bukan wajib karena memahami dari perkataan “afdhal” dari hadits Ibnu Mas’ud di atas
4.makruh tidur sebelum melaksanakan shalat dan sudah masuk waktunya kecuali sangat mengantuk
5.apabila diduga dengan sebab tidur akan menghabiskan waktu shalat dengan sebab tidak terbangun, maka haram, jika tidur sudah masuk waktu shalat
6.dalam hal point ke-5 di atas, wajib atas orang yang mengetahuinya membangunkannya
7.adapun tidur sebelum masuk waktu shalat adalah khilaf aula (tidak utama), meskipun tidur tersebut di duga akan menghabiskan waktunya.
Shalat Tasbih berjama’ah
Berikut pendapat ulama mengenai hukum shalat Tasbih berjama’ah, yaitu :
1.Berkata al-Kurdy r.m. di dalam Fatawa:
“Shalat Tasbih tidak termasuk shalat yang disunat berjama’ah. Menurut mazhab Syafi’i, shalat sunat yang disyari’at berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan diberikan pahala karenanya dan yang tidak disyari’atkan jama’ah maka tidak disunatkan berjama’ah dan tidak mendapatkan pahala jama’ah karena tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala shalat sunat tetap ada dan tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak makruh. Karena tidak didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh berjama’ah sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas cahaya”.
Selanjutnya beliau menjelaskan apabila dikuatirkan dengan melaksanakan shalat tasbih berjama’ah muncul i,tiqad orang awam bahwa shalat tasbih disunatkan berjama’ah, ketika itu tidak jauh, maka dibenarkan pengingkarannya, bahkan wajib atas pihak yang berwenang. 1
2.Berkata al-Imam Abdullah bin Husen baafaqiih dan Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madny :
“Dimubahkan berjama’ah pada umpama shalat Witir dan Tasbih, maka tidak dimakruhkan dan dan tidak ada pahala pada demikian. Namun apabila diniatkan mengajar orang yang shalat dan menggemarkan mereka, maka baginya berpahala” 2
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa shalat tasbih tidak termasuk shalat sunat berjama’ah. Namun demikian pelaksanaan shalat tasbih dengan cara berjama’ah untuk mengajarkan atau menggemarkan orang awam melaksanakan shalat tasbih dapat dibenarkan. Tindakan yang sama dengan ini, dapat juga dilihat pada tindakan Sayidina Abbas r.a yang menjiharkan fatihah pada shalat jenazah, padahal shalat jenazah termasuk shalat yang tidak sunnah menjiharkannya. Tindakan Saiyidina Abbas tersebut adalah untuk memberitahu kepada orang awam bahwa membaca fatihah adalah termasuk sunnah, sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut :
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
Artinya : Dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, beliau berkata : “Aku shalat jenazah dibelakang Ibnu Abbas r.a. Beliau membaca fatihah kitab. Kemudian berkata : “Supaya mereka mengetahui sesungguhnya bacaan tersebut adalah sunnah”. (H.R. Bukhari)3
Yang dimaksud dengan membaca fatihah tersebut adalah dengan menjiharkannya, karena disebutkan “membaca fatihah”, gunanya untuk memberitahukan bahwa membaca fatihah adalah sunnah. Kalau tidak dibaca dengan jihar, tentunya perkataan “supaya mereka mengetahui” tidak bermakna. Memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan cara jihar juga disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Barri4. Dua hadits riwayat Hakim di bawah ini menjadi penguat dalam memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan membaca secara jihar, yaitu :
1.Syarruhubail berkata :
حضرت عبد الله بن عباس صلى بنا على جنازة بالأبواء وكبر ثم قرأ بأم القرآن رافعا صوته بها ثم صلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك يشهد أن لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك ويشهد أن محمدا عبدك ورسولك أصبح فقيرا إلى رحمتك وأصبحت غنيا عن عذابه يخلى من الدنيا وأهلها إن كان زاكيا فزكه وإن كان مخطئا فاغفر له اللهم لا تحرمنا أجره ولا تضلنا بعده ثم كبر ثلاث تكبيرات ثن انصرف فقال : أيها الناس إني لم أقرأ عليها إلا لتعلموا أنها السنة
Artinya : Aku hadir bersama Abdullah bin Abbas melakukan shalat atas jenazah dengan kami di Abuwa’. Beliau bertakbir kemudian membaca ummul qur’an dengan mengangkat suaranya dan kemudian bershalawat kepada Nabi SAW. Kemudian beliau mengatakan : “Allahumma ‘abdaka wa ibnu ‘abdika wa ibnu ummatika yasyhadu anlaa ilaha illa anta wahdaka laa syarika laka wa yasyhadu anna muhammadan ‘abduka warasuluka ashbaha faqiran ila rahmatika wa ashbahtu ghaniyan ‘an ‘azabihi yakhli minaddunya wa ahlihi in kana zakiyan fa zakkihi wa inkana mukhthi-an faghfir lahu. Allahumma la tahrimna ajrahu wa la tazhlilna ba’dahu. Kemudian melakukan takbir tiga kali lalu beliau berpaling dan berkata : “Hai manusia !. Seseungguhnya aku tidak membaca ummul qur’an kecuali supaya kalian mengetahui sesungguhnya ummul qur’an itu adalah sunnah.” H.R.Hakim)5
2. Sa’id bin Abi Sa’id berkata :
صلى بنا ابن عباس على جنازة فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم
Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas. Beliau membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal itu adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas syarat Muslim”. (H.R. Hakim) 6
Umar juga pernah menjihar doa iftitah shalat beliau karena ingin mengajarkannya kepada manusia sebagaimana disebut dalam hadits di bawah ini :
عن عبدة أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك
Artinya : Dari ‘Abdah, sesungguhnya Umar bin Khatab menjihar kalimat-kalimat itu dengan mengatakan : “Subhanakallahumma wa bihamdika tabaaraka ismuka wa ta’ala jadduka wa la ilaha ghairaka” (H.R. Muslim) 7
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed ‘Alwi bin Ahmad as-Saqaf, al-Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 176
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.67
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 89, No. Hadits : 1335
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 204
5.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 512, No. Hadits : 1329
6.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 510, No. Hadits : 1323
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 299, No. Hadits : 399
1.Berkata al-Kurdy r.m. di dalam Fatawa:
“Shalat Tasbih tidak termasuk shalat yang disunat berjama’ah. Menurut mazhab Syafi’i, shalat sunat yang disyari’at berjama’ah maka disunatkan berjama’ah dan diberikan pahala karenanya dan yang tidak disyari’atkan jama’ah maka tidak disunatkan berjama’ah dan tidak mendapatkan pahala jama’ah karena tidak disyari’atkan berjama’ah tetapi pahala shalat sunat tetap ada dan tidak gugur sesuatupun. Jama’ah tersebut juga tidak makruh. Karena tidak didapati dalam mazhab syafi’i shalat sunat yang makruh berjama’ah sebagaimana yang telah ditetapkan, bahkan apabila diniatkan berjama’ah tersebut untuk mengajarkan orang awam maka itu termasuk cahaya atas cahaya”.
Selanjutnya beliau menjelaskan apabila dikuatirkan dengan melaksanakan shalat tasbih berjama’ah muncul i,tiqad orang awam bahwa shalat tasbih disunatkan berjama’ah, ketika itu tidak jauh, maka dibenarkan pengingkarannya, bahkan wajib atas pihak yang berwenang. 1
2.Berkata al-Imam Abdullah bin Husen baafaqiih dan Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi al-Madny :
“Dimubahkan berjama’ah pada umpama shalat Witir dan Tasbih, maka tidak dimakruhkan dan dan tidak ada pahala pada demikian. Namun apabila diniatkan mengajar orang yang shalat dan menggemarkan mereka, maka baginya berpahala” 2
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa shalat tasbih tidak termasuk shalat sunat berjama’ah. Namun demikian pelaksanaan shalat tasbih dengan cara berjama’ah untuk mengajarkan atau menggemarkan orang awam melaksanakan shalat tasbih dapat dibenarkan. Tindakan yang sama dengan ini, dapat juga dilihat pada tindakan Sayidina Abbas r.a yang menjiharkan fatihah pada shalat jenazah, padahal shalat jenazah termasuk shalat yang tidak sunnah menjiharkannya. Tindakan Saiyidina Abbas tersebut adalah untuk memberitahu kepada orang awam bahwa membaca fatihah adalah termasuk sunnah, sebagaimana tersebut dalam riwayat berikut :
عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى جَنَازَةٍ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ قَالَ لِيَعْلَمُوا أَنَّهَا سُنَّةٌ
Artinya : Dari Thalhah bin Abdullah bin Auf, beliau berkata : “Aku shalat jenazah dibelakang Ibnu Abbas r.a. Beliau membaca fatihah kitab. Kemudian berkata : “Supaya mereka mengetahui sesungguhnya bacaan tersebut adalah sunnah”. (H.R. Bukhari)3
Yang dimaksud dengan membaca fatihah tersebut adalah dengan menjiharkannya, karena disebutkan “membaca fatihah”, gunanya untuk memberitahukan bahwa membaca fatihah adalah sunnah. Kalau tidak dibaca dengan jihar, tentunya perkataan “supaya mereka mengetahui” tidak bermakna. Memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan cara jihar juga disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Fathul Barri4. Dua hadits riwayat Hakim di bawah ini menjadi penguat dalam memaknai membaca fatihah pada hadits di atas dengan membaca secara jihar, yaitu :
1.Syarruhubail berkata :
حضرت عبد الله بن عباس صلى بنا على جنازة بالأبواء وكبر ثم قرأ بأم القرآن رافعا صوته بها ثم صلى على النبي صلى الله عليه وسلم ثم قال : اللهم عبدك وابن عبدك وابن أمتك يشهد أن لا إله إلا أنت وحدك لا شريك لك ويشهد أن محمدا عبدك ورسولك أصبح فقيرا إلى رحمتك وأصبحت غنيا عن عذابه يخلى من الدنيا وأهلها إن كان زاكيا فزكه وإن كان مخطئا فاغفر له اللهم لا تحرمنا أجره ولا تضلنا بعده ثم كبر ثلاث تكبيرات ثن انصرف فقال : أيها الناس إني لم أقرأ عليها إلا لتعلموا أنها السنة
Artinya : Aku hadir bersama Abdullah bin Abbas melakukan shalat atas jenazah dengan kami di Abuwa’. Beliau bertakbir kemudian membaca ummul qur’an dengan mengangkat suaranya dan kemudian bershalawat kepada Nabi SAW. Kemudian beliau mengatakan : “Allahumma ‘abdaka wa ibnu ‘abdika wa ibnu ummatika yasyhadu anlaa ilaha illa anta wahdaka laa syarika laka wa yasyhadu anna muhammadan ‘abduka warasuluka ashbaha faqiran ila rahmatika wa ashbahtu ghaniyan ‘an ‘azabihi yakhli minaddunya wa ahlihi in kana zakiyan fa zakkihi wa inkana mukhthi-an faghfir lahu. Allahumma la tahrimna ajrahu wa la tazhlilna ba’dahu. Kemudian melakukan takbir tiga kali lalu beliau berpaling dan berkata : “Hai manusia !. Seseungguhnya aku tidak membaca ummul qur’an kecuali supaya kalian mengetahui sesungguhnya ummul qur’an itu adalah sunnah.” H.R.Hakim)5
2. Sa’id bin Abi Sa’id berkata :
صلى بنا ابن عباس على جنازة فجهر بالحمد لله ثم قال : إنما جهرت لتعلموا أنها سنة هذا حديث صحيح على شرط مسلم
Artinya : Kami melakukan shalat jenazah bersama Ibnu Abbas. Beliau membaca alhamdulillah secara jihar. Kemudian beliau berkata : “hanya saja aku menjiharkannya adalah supaya kalian mengetahui sesungguhnya hal itu adalah sunnah. Berkata Hakim : “Ini adalah hadits shahih atas syarat Muslim”. (H.R. Hakim) 6
Umar juga pernah menjihar doa iftitah shalat beliau karena ingin mengajarkannya kepada manusia sebagaimana disebut dalam hadits di bawah ini :
عن عبدة أن عمر بن الخطاب كان يجهر بهؤلاء الكلمات يقول : سبحانك اللهم وبحمدك تبارك اسمك وتعالى جدك ولا إله غيرك
Artinya : Dari ‘Abdah, sesungguhnya Umar bin Khatab menjihar kalimat-kalimat itu dengan mengatakan : “Subhanakallahumma wa bihamdika tabaaraka ismuka wa ta’ala jadduka wa la ilaha ghairaka” (H.R. Muslim) 7
DAFTAR PUSTAKA
1.Sayyed ‘Alwi bin Ahmad as-Saqaf, al-Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Majmu’ah Sab’ah Kutub Mufidah, Usaha keluarga, Semarang, Hal. 176
2.Sayyed Abdurrahman bin Muhammad A’lawy, Bughyatul Murtasyidin, Usaha Keluarga, Semarang, Hal.67
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 89, No. Hadits : 1335
4.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 204
5.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 512, No. Hadits : 1329
6.Hakim, al-Mustadrak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 510, No. Hadits : 1323
7.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 299, No. Hadits : 399
Rabu, 03 Agustus 2011
Apabila batal khusus, apakah kekal umum ?
اذا بطل الخصوص هل يبقي العموم
Artinya : Apabila batal khusus, apakah umumnya tetap kekal ?
Pernyataan di atas merupakan qaidah fiqh dimana para ulama terjadi perbedaan pendapat atasnya. Tarjihnya dikembalikan kepada furu’ fiqh. Qaidah ini telah disebut dalam kitab-kitab qaidah fiqh, antara lain al-Asybah wa al-Nadhair karya al-Suyuthi, 1 al-Mawahib al-Sunniyah karya Ibnu Sulaiman al-Jauhazy, 2 al-Mantsur fi al-Qawaid karya al-Zarkasyi,3 al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tathbiquha fi al-Mazahib al-Arba’ah karya Dr Wahbah Zuhaili 4dan lain-lain.
Al-Zarkasyi membagi furu’ hukum fiqhnya kepada empat katagori sesuai dengan hukum fiqhnya, yaitu :
1.Yang kekal umumnya, secara qatha’ (tanpa khilaf), contohnya :
a.Kalau seseorang memerdekakan hamba sahaya yang ‘aib sebagai kifarat, maka batal sebagai kifarat, namun hamba sahaya tersebut tetap merdeka. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. 5
b.Apabila dikatakan kepada seseorang : “Merdekakan mustaladah-mu (hamba sahaya perempuan yang diperanakan oleh tuannya) untukku dengan seribu”. Maka orang itu menjawab : “Aku merdekakannya untukmu”. Maka mustaladah itu merdeka dan perkataan “untukmu” lagha (tidak ada akibat hukum). Tidak ada kewajiban bayar atas orang tersebut karena dia rela membayar dengan syarat jatuh merdeka untuknya, namun itu tidak terjadi.
c.Apabila seseorang mengatakan untuk seekor kambing yang juling : “Aku jadikan ini untuk qurban” atau seseorang bernazar qurban dengan kambing yang juling, maka wajib meyembelihnya sebagai sadaqah dan tidak memadai sebagai qurban.
d.Seseorang mengeluarkan zakat untuk hartanya yang jauh dengan menduga harta itu masih utuh. Namun ternyata harta tersebut sudah tidak utuh lagi. Maka pengeluaran zakat itu menjadi sadaqah sunat, tidak menjadi zakat. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair.6
e.Kalau seseorang bertakbiratul-ihram shalat fardhu secara sendiri-sendiri, kemudian muncul shalat jama’ah. Menurut Imam Syafi’i, dianjurkan dijadikan shalat fardhu tersebut sebagai shalat sunat dengan melakukan dua raka’at saja untuk mengikuti shalat berjama’ah. Dengan demikian, shalat tersebut sah sebagai shalat sunnat dan batal fardhunya.
f.Apabila seseorang menyewa sebuah kebun untuk menanam gandum dengan jangka waktu dua bulan, apabila disyaratkan gandum tersebut tetap pada kebun tersebut, maka aqad tersebut batal. Oleh karena itu, boleh pemiliknya melarang menanam gandum dikebun itu. Tetapi apabila penyewanya telah menanamnya, maka tidak boleh lagi mencabutnya karena semata-mata izin.
2.Yang tidak kekal umumnya qatha’ (tanpa khilaf), contohnya :
a.Apabila seseorang mewakilkan jual beli yang fasid, maka tidak boleh melakukan jual beli secara mutlaq. Tidak dibolehkan pada shahih, karena yang mewakilkan tidak mengizinkannya. Sedangkan pada fasid, karena syara’ memang tidak mengizinkannya. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair.7
b.Seseorang bertakbiratul-ihram untuk shalat gerhana, kemudian hilang gerhana sebelum selesai takbiratul-ihram, maka shalatnya batal dan tidak berubah menjadi shalat sunnat. Karena tidak ada pada kita shalat sunat yang sama kelakuannya dengan shalat gerhana. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. 8
c.Apabila seseorang mengatakan dengan mengisyarat.kan kepada seekor kijang, “Ini qurban”, maka lagha dan tidak wajib bersadaqah dengannya. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. 9
d.Apabila berqurban dengan menyangka waktu qurban sudah tiba, padahal waktunya belum sampai, maka yang dhahir, qurban itu masih milik pemiliknya.
3.Terjadi khilaf, tetapi menurut pendapat yang lebih shahih kekal umumnya, contohnya:
a.Apabila bertakbiratul-ihram dengan shalat fardhu sebelum waktunya dengan menduga sudah masuk waktu, maka batal khususnya, yaitu shalat dhuhur, tetapi masih sah umumnya, yakni berubah menjadi shalat sunnat. Tetapi jika ia mengetahui waktu memang belum masuk, maka shalatnya batal, karena bermain-main (tala’ub) dengan ibadah. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. Berkata al-Suyuthi. “Ini telah dikatakan oleh al-Nawawi dalam Syarah al-Muhazzab”. 10
b.Niat puasa fardhu pada siang hari adalah tidak sah. Tetapi apakah sah sebagai puasa sunnat ? Mengenai ini khilaf pendapat ulama. Contoh ini disebut oleh al-Bandijiy
c.Seseorang berpuasa melepas nazar puasa Hari Senin. Ia meniatkan puasa pada Hari Minggu dengan i’tiqad sebagai Hari Senin, maka puasa tersebut tidak sah sebagai nazar dan menurut pendapat yang lebih shahih sah sebagai puasa sunat. Ini disebut oleh al-Baghwy
d.Seseorang meniatkan wudhu’ untuk thawaf, padahal dia tidak berada di Makkah. Menurut pendapat yang lebih shahih sah sebagai wudhu’ lainnya, karena lagha sifat yang tidak datangkannya. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair 11
e.Apabila seseorang melakukan ihram haji sebelum bulannya. Menurut pendapat yang lebih shahih sah menjadi umrah. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi 12
f.Apabila seseorang bernazar melakukan haji fardhu, misalnya tahun enam puluh. Lalu pada tahun lima puluh ia melakukan nazar tersebut, maka apakah sah hajinya dan gugur kewajiban nazarnya ? atau jatuh menjadi haji sunat ?. Mengenai masalah ini terdapat dua pendapat.
g.Seseorang berniat berpindah dari sebuah puasa kepada puasa lain yang tidak boleh berpindah kepadanya. Menurut pendapat yang lebih shahih, kekal puasanya menjadi puasa sunat.
h.Seseorang melakukan puasa yang diwajibkan melaksanakannya selama dua bulan berturut-turut sebagai kifarat jimak pada siang Ramadhan. Lalu kewajiban melaksanakannya secara berturut-turut dibatalkan dengan merusak puasa secara sengaja. Apakah puasa yang sudah dikerjakan batal atau berubah menjadi sunnat ? Ini ada dua qaul sebagai masalah niat dhuhur sebelum tergelincir matahari
i.Apabila seseorang mengatakan, ”Ini zakat hartaku yang dipercepat”. Kemudian muncul penghalang kewajiban zakat. Dalam hal mengembalikannya ada dua pendapat. Menurut Ibnu Subky boleh rujuk kembali hartanya itu berdasarkan pendapat yang lebih shahih. Sedangkan pendapat kedua menyatakan harta tersebut menjadi sadaqah sunat. 13
j.Apabila dita’liq wakalah atas sebuah syarat, boleh wakil melakukan perbuatan yang diwakilkan tanpa memperhatikan syarat, karena batal khusus dan kekal umumnya yaitu izin. Ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi 14 dan Ibnu Subky dalam Ibhaj Syarh al-Minhaj 15
k.Apabila seorang perempuan mengatakan, ”Aku wakilkan kepadamu untuk mengawinkan aku” maka itu bukan izin, karena seorang perempuan mewakilkan perkawinan adalah batal. Ar-Rafi’i mengatakan boleh dianggap sebagai izin.
l.Perkongsian dan akad qiradh apabila batal karena sesuatu atau syarat yang fasid, maka tasharruf-nya itu berlaku.
m.Apabila terfasakh akad qiradh karena hilang sebagian kecil dari modal, maka Apakah boleh ’Amil (nasbah) tetap melakukan pekerjaannya ?
n.Seseorang mengatakan kepada lain, ”Atasku seribu dari dari harga khamar atau tidak wajib atasku”. Maka lagha yang terakhir dan menurut pendapat yang lebih shahih, sah ikrarnya.
4.Terjadi khilaf, tetapi menurut pendapat yang lebih shahih tidak kekal umumnya, contohnya :
a.Seseorang yang shalat sambil duduk, kemudian dalam pertengahan shalatnya ia mendapati dirinya mampu berdiri, tetapi ia tidak berdiri, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat yang lebih dhahir. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi 16
b.Tidak sah shalat seseorang yang merobah shalatnya dari wajib kepada sunat tanpa sebab apapun
c.Seseorang yang bertayamum untuk shalat fardhu sebelum waktunya, maka menurut pendapat yang lebih dhahir, tidak dapat memubahkan shalat sunat. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi. 17
d.Pada bulan Ramadhan, seseorang meniatkan puasa selain Ramadhan, baik nazar, qadha atau sunat, maka tidak sah sebagai puasa Ramadhan, karena tidak diniatkannya dan juga tidak sah juga untuk puasa lainnya baik ia musafir atau hadhir, karena waktunya memang untuk puasa Ramadhan.
e.Seseorang bernazar puasa pada hari raya, maka tidak sah, karena hari raya tidak menerima puasa
f.Seseorang bernazar shalat fasid, maka tidak sah
g.Seorang pembeli melakukan akad hiwalah (pengalihan hutang kepada orang lain) harganya kepada seseorang. Kemudian akad hiwalah tersebut menjadi batal karena dikembalikan barang yang dibeli karena faktor ’aib atau karena lainnya, maka menurut pendapat yang shahih tidak boleh penjual menerima harga barang dari orang tersebut atas nama sipembeli yang melakukan akad hiwalah dengan berpedoman kepada umum izin.
Berikut ini beberapa contoh yang tidak termasuk dalam contoh di atas, yang disebut oleh al-Asnawi dalam kitab beliau, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ’ala al-Usul,18 antara lain :
a.Qira-ah syaz tidak termasuk dalam katagori al-Qur’an, karena riwayatnya tidak mutawatir. Namun demikian, diposisikan pada posisi khabar dalam kehujjahannya. Meskipun qira-ah syaz batal kekhususan sebagai al-Qur’an tetapi tetap dalam keumumannya sebagai khabar.
b.Rasulullah SAW bersabda bahwa berbekam dapat membukakan puasa atas yang melakukan bekam maupun orang yang dibekam. Berdasarkan ini, maka berbekam adalah haram atas orang yang berpuasa. Kemudian ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulllah SAW pernah berbekam pada saat berpuasa yang tentunya menunjukkan kepada tidak haram. Apabila ternafi khusus yaitu haram, yakni dengan cara nasakh, maka dalalah lafazh pertama (hadits haram berbekam) tetap kekal atas larangan yang tidak mesti (makruh)
c.Apabila dalam tanggungan seseorang ada kewajiban qurban atau al-hadyu (suatu penyembelihan di tanah haram dengan qashad ibadah) dengan sebab nazar atau lainnya, dia mengkhususkan menunainya dengan hewan yang cacat, maka tidak akan terkhusus dan tidak terlepas kewajibannya dengan sebab menyembelihnya. Apabila batal sebagai qurban atau al-hadyu secara khusus, apakah wajib menyembelihnya atas nama nazar secara umum ? Ini ada dua tinjauan ;
a). Jika ia berkata, ”Aku khususkan ini dari apa yang ada dalam tanggunganku”, maka tidak wajib menyembelihnya
b). Jika ia berkata, ”Lillah, di atasku bahwa aku berqurban dengan ini dari apa yang ada dalam tanggunganku”, maka wajib menyembelihnya
d.Apabila batal salat Jum’at karena keluar waktunya atau kurang bilangannya, empat puluh, menurut pendapat yang lebih shahih berobah shalat tersebut menjadi dhuhur
e.Seseorang berhadats atau berjunub melakukan tayamum dengan niat ”mengangkat
hadats”, maka tayamumnya tidak sah berdasarkan pendapat yang shahih. Ada yang mengatakan sah, karena niat ”mengangkat hadats” memastikan ada ibahah. Khilaf ini juga berlaku pada masalah orang daim al-hadats (yang kekal hadats) mengenai wudhu’nya dengan niat ”mengangkat hadats”
f.Seseorang bernazar melakukan shalat dengan menentukan tempat yaitu masjid yang bukan masjid yang tiga (masjidil haram, masjid Nabawi dan masjid Aqsha) maka batal penentuannya itu dan wajib shalat, namun boleh dilakukannya di masjid mana saja.
g.Apabila seseorang berkata, ”Lillah, atasku wajib mendatangi baitullah al-haram dengan tidak melakukan haji dan umrah”, maka ada yang mengatakan tidak sah nazarnya secara keseluruhan dan ada juga yang mengatakan sah dan lagha-lah apa yang dinafikannya. Pendapat terakhir ini merupakan pendapat yang dinyatakan shahih dalam al-Raudhah min Zawaidihi
h.Kalau seseorang mengatakan, ”Jika Allah menyembuh penyakitku, Lillah, atasku bersadaqah sepuluh kepada si pulan”, kemudian Allah menyembuhkannya, maka wajib bersadaqah atasnya. Jika si pulan itu tidak mau menerima sadaqahnya itu, maka sisakit tersebut tidak wajib apapun atasnya. Dalam hal ini, para ulama tidak ada yang mengatakan kekal umum nazar sehingga dialihkan kepada selain si pulan tersebut dan tidak ada pula yang mengatakan dipaksa saja menerimanya. Perbedaan antara nazar dengan masalah zakat adalah zakat merupakan salah satu rukum Islam. Apabila tidak wajib zakat dalam kasus serupa ini, maka akan mengosongkan salah satu rukun Islam.
i.Kalau seseorang mengatakan kepada hambanya, ”Jika kamu inginkan, kamu jual ini dan jika kamu menginginkannya, maka jangan menjualkannya”. Kemudian orang tersebut memerdekakannya atau menjualkannya, maka tidak batal izinnya tanpa khilaf.
j.Apabila kita berpegang kepada pendapat bahwa waqaf kepada diri sendiri adalah tidak sah dan waqaf secara mutlaq adalah sah. Maka dalam kasus seseorang yang mengatakan, ”Aku waqafkan atas diriku”, menurut pendapat yang lebih shahih, waqaf tersebut batal. Ada yang mengatakan sah dan lagha qaid-nya
k.Seseorang mengatakan kepada isterinya, ”Talaqlah diriku”, Isterinya menjawab, ”Aku menthalaqnya apabila telah datang si Zaid”, maka tidak jatuh talaq apapun. Karena talaq al-tanjiz (bukan talaq ta’liq) tidak dijatuhkannya, sedangkan talaq ta’liq tidak dijadikan sebagai milik isterinya
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
2.Ibnu Sulaiman al-Jauhazy,, al-Mawahib al-Sunniyah , dicetak pada hamisy al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 294
3.Al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid, Juz. I, Hal. 111
4.Dr Wahbah Zuhaili, al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tathbiquha fi al-Mazahib al-Arba’ah, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 968
5.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
6.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
7.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
8.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
9.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
10.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
11.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
12.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
13.Ibnu Subky, Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 195
14.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
15.Ibnu Subky, Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 195
16.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
17.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
18.Al-Asnawi, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ’ala al-Usul, Maktabah Syamilah, Juz.I, Hal.101-102
Artinya : Apabila batal khusus, apakah umumnya tetap kekal ?
Pernyataan di atas merupakan qaidah fiqh dimana para ulama terjadi perbedaan pendapat atasnya. Tarjihnya dikembalikan kepada furu’ fiqh. Qaidah ini telah disebut dalam kitab-kitab qaidah fiqh, antara lain al-Asybah wa al-Nadhair karya al-Suyuthi, 1 al-Mawahib al-Sunniyah karya Ibnu Sulaiman al-Jauhazy, 2 al-Mantsur fi al-Qawaid karya al-Zarkasyi,3 al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tathbiquha fi al-Mazahib al-Arba’ah karya Dr Wahbah Zuhaili 4dan lain-lain.
Al-Zarkasyi membagi furu’ hukum fiqhnya kepada empat katagori sesuai dengan hukum fiqhnya, yaitu :
1.Yang kekal umumnya, secara qatha’ (tanpa khilaf), contohnya :
a.Kalau seseorang memerdekakan hamba sahaya yang ‘aib sebagai kifarat, maka batal sebagai kifarat, namun hamba sahaya tersebut tetap merdeka. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. 5
b.Apabila dikatakan kepada seseorang : “Merdekakan mustaladah-mu (hamba sahaya perempuan yang diperanakan oleh tuannya) untukku dengan seribu”. Maka orang itu menjawab : “Aku merdekakannya untukmu”. Maka mustaladah itu merdeka dan perkataan “untukmu” lagha (tidak ada akibat hukum). Tidak ada kewajiban bayar atas orang tersebut karena dia rela membayar dengan syarat jatuh merdeka untuknya, namun itu tidak terjadi.
c.Apabila seseorang mengatakan untuk seekor kambing yang juling : “Aku jadikan ini untuk qurban” atau seseorang bernazar qurban dengan kambing yang juling, maka wajib meyembelihnya sebagai sadaqah dan tidak memadai sebagai qurban.
d.Seseorang mengeluarkan zakat untuk hartanya yang jauh dengan menduga harta itu masih utuh. Namun ternyata harta tersebut sudah tidak utuh lagi. Maka pengeluaran zakat itu menjadi sadaqah sunat, tidak menjadi zakat. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair.6
e.Kalau seseorang bertakbiratul-ihram shalat fardhu secara sendiri-sendiri, kemudian muncul shalat jama’ah. Menurut Imam Syafi’i, dianjurkan dijadikan shalat fardhu tersebut sebagai shalat sunat dengan melakukan dua raka’at saja untuk mengikuti shalat berjama’ah. Dengan demikian, shalat tersebut sah sebagai shalat sunnat dan batal fardhunya.
f.Apabila seseorang menyewa sebuah kebun untuk menanam gandum dengan jangka waktu dua bulan, apabila disyaratkan gandum tersebut tetap pada kebun tersebut, maka aqad tersebut batal. Oleh karena itu, boleh pemiliknya melarang menanam gandum dikebun itu. Tetapi apabila penyewanya telah menanamnya, maka tidak boleh lagi mencabutnya karena semata-mata izin.
2.Yang tidak kekal umumnya qatha’ (tanpa khilaf), contohnya :
a.Apabila seseorang mewakilkan jual beli yang fasid, maka tidak boleh melakukan jual beli secara mutlaq. Tidak dibolehkan pada shahih, karena yang mewakilkan tidak mengizinkannya. Sedangkan pada fasid, karena syara’ memang tidak mengizinkannya. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair.7
b.Seseorang bertakbiratul-ihram untuk shalat gerhana, kemudian hilang gerhana sebelum selesai takbiratul-ihram, maka shalatnya batal dan tidak berubah menjadi shalat sunnat. Karena tidak ada pada kita shalat sunat yang sama kelakuannya dengan shalat gerhana. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. 8
c.Apabila seseorang mengatakan dengan mengisyarat.kan kepada seekor kijang, “Ini qurban”, maka lagha dan tidak wajib bersadaqah dengannya. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. 9
d.Apabila berqurban dengan menyangka waktu qurban sudah tiba, padahal waktunya belum sampai, maka yang dhahir, qurban itu masih milik pemiliknya.
3.Terjadi khilaf, tetapi menurut pendapat yang lebih shahih kekal umumnya, contohnya:
a.Apabila bertakbiratul-ihram dengan shalat fardhu sebelum waktunya dengan menduga sudah masuk waktu, maka batal khususnya, yaitu shalat dhuhur, tetapi masih sah umumnya, yakni berubah menjadi shalat sunnat. Tetapi jika ia mengetahui waktu memang belum masuk, maka shalatnya batal, karena bermain-main (tala’ub) dengan ibadah. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair. Berkata al-Suyuthi. “Ini telah dikatakan oleh al-Nawawi dalam Syarah al-Muhazzab”. 10
b.Niat puasa fardhu pada siang hari adalah tidak sah. Tetapi apakah sah sebagai puasa sunnat ? Mengenai ini khilaf pendapat ulama. Contoh ini disebut oleh al-Bandijiy
c.Seseorang berpuasa melepas nazar puasa Hari Senin. Ia meniatkan puasa pada Hari Minggu dengan i’tiqad sebagai Hari Senin, maka puasa tersebut tidak sah sebagai nazar dan menurut pendapat yang lebih shahih sah sebagai puasa sunat. Ini disebut oleh al-Baghwy
d.Seseorang meniatkan wudhu’ untuk thawaf, padahal dia tidak berada di Makkah. Menurut pendapat yang lebih shahih sah sebagai wudhu’ lainnya, karena lagha sifat yang tidak datangkannya. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam al-Asybah wal-Nadhair 11
e.Apabila seseorang melakukan ihram haji sebelum bulannya. Menurut pendapat yang lebih shahih sah menjadi umrah. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi 12
f.Apabila seseorang bernazar melakukan haji fardhu, misalnya tahun enam puluh. Lalu pada tahun lima puluh ia melakukan nazar tersebut, maka apakah sah hajinya dan gugur kewajiban nazarnya ? atau jatuh menjadi haji sunat ?. Mengenai masalah ini terdapat dua pendapat.
g.Seseorang berniat berpindah dari sebuah puasa kepada puasa lain yang tidak boleh berpindah kepadanya. Menurut pendapat yang lebih shahih, kekal puasanya menjadi puasa sunat.
h.Seseorang melakukan puasa yang diwajibkan melaksanakannya selama dua bulan berturut-turut sebagai kifarat jimak pada siang Ramadhan. Lalu kewajiban melaksanakannya secara berturut-turut dibatalkan dengan merusak puasa secara sengaja. Apakah puasa yang sudah dikerjakan batal atau berubah menjadi sunnat ? Ini ada dua qaul sebagai masalah niat dhuhur sebelum tergelincir matahari
i.Apabila seseorang mengatakan, ”Ini zakat hartaku yang dipercepat”. Kemudian muncul penghalang kewajiban zakat. Dalam hal mengembalikannya ada dua pendapat. Menurut Ibnu Subky boleh rujuk kembali hartanya itu berdasarkan pendapat yang lebih shahih. Sedangkan pendapat kedua menyatakan harta tersebut menjadi sadaqah sunat. 13
j.Apabila dita’liq wakalah atas sebuah syarat, boleh wakil melakukan perbuatan yang diwakilkan tanpa memperhatikan syarat, karena batal khusus dan kekal umumnya yaitu izin. Ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi 14 dan Ibnu Subky dalam Ibhaj Syarh al-Minhaj 15
k.Apabila seorang perempuan mengatakan, ”Aku wakilkan kepadamu untuk mengawinkan aku” maka itu bukan izin, karena seorang perempuan mewakilkan perkawinan adalah batal. Ar-Rafi’i mengatakan boleh dianggap sebagai izin.
l.Perkongsian dan akad qiradh apabila batal karena sesuatu atau syarat yang fasid, maka tasharruf-nya itu berlaku.
m.Apabila terfasakh akad qiradh karena hilang sebagian kecil dari modal, maka Apakah boleh ’Amil (nasbah) tetap melakukan pekerjaannya ?
n.Seseorang mengatakan kepada lain, ”Atasku seribu dari dari harga khamar atau tidak wajib atasku”. Maka lagha yang terakhir dan menurut pendapat yang lebih shahih, sah ikrarnya.
4.Terjadi khilaf, tetapi menurut pendapat yang lebih shahih tidak kekal umumnya, contohnya :
a.Seseorang yang shalat sambil duduk, kemudian dalam pertengahan shalatnya ia mendapati dirinya mampu berdiri, tetapi ia tidak berdiri, maka shalatnya tidak sah menurut pendapat yang lebih dhahir. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi 16
b.Tidak sah shalat seseorang yang merobah shalatnya dari wajib kepada sunat tanpa sebab apapun
c.Seseorang yang bertayamum untuk shalat fardhu sebelum waktunya, maka menurut pendapat yang lebih dhahir, tidak dapat memubahkan shalat sunat. Contoh ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi. 17
d.Pada bulan Ramadhan, seseorang meniatkan puasa selain Ramadhan, baik nazar, qadha atau sunat, maka tidak sah sebagai puasa Ramadhan, karena tidak diniatkannya dan juga tidak sah juga untuk puasa lainnya baik ia musafir atau hadhir, karena waktunya memang untuk puasa Ramadhan.
e.Seseorang bernazar puasa pada hari raya, maka tidak sah, karena hari raya tidak menerima puasa
f.Seseorang bernazar shalat fasid, maka tidak sah
g.Seorang pembeli melakukan akad hiwalah (pengalihan hutang kepada orang lain) harganya kepada seseorang. Kemudian akad hiwalah tersebut menjadi batal karena dikembalikan barang yang dibeli karena faktor ’aib atau karena lainnya, maka menurut pendapat yang shahih tidak boleh penjual menerima harga barang dari orang tersebut atas nama sipembeli yang melakukan akad hiwalah dengan berpedoman kepada umum izin.
Berikut ini beberapa contoh yang tidak termasuk dalam contoh di atas, yang disebut oleh al-Asnawi dalam kitab beliau, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ’ala al-Usul,18 antara lain :
a.Qira-ah syaz tidak termasuk dalam katagori al-Qur’an, karena riwayatnya tidak mutawatir. Namun demikian, diposisikan pada posisi khabar dalam kehujjahannya. Meskipun qira-ah syaz batal kekhususan sebagai al-Qur’an tetapi tetap dalam keumumannya sebagai khabar.
b.Rasulullah SAW bersabda bahwa berbekam dapat membukakan puasa atas yang melakukan bekam maupun orang yang dibekam. Berdasarkan ini, maka berbekam adalah haram atas orang yang berpuasa. Kemudian ada hadits yang menyatakan bahwa Rasulllah SAW pernah berbekam pada saat berpuasa yang tentunya menunjukkan kepada tidak haram. Apabila ternafi khusus yaitu haram, yakni dengan cara nasakh, maka dalalah lafazh pertama (hadits haram berbekam) tetap kekal atas larangan yang tidak mesti (makruh)
c.Apabila dalam tanggungan seseorang ada kewajiban qurban atau al-hadyu (suatu penyembelihan di tanah haram dengan qashad ibadah) dengan sebab nazar atau lainnya, dia mengkhususkan menunainya dengan hewan yang cacat, maka tidak akan terkhusus dan tidak terlepas kewajibannya dengan sebab menyembelihnya. Apabila batal sebagai qurban atau al-hadyu secara khusus, apakah wajib menyembelihnya atas nama nazar secara umum ? Ini ada dua tinjauan ;
a). Jika ia berkata, ”Aku khususkan ini dari apa yang ada dalam tanggunganku”, maka tidak wajib menyembelihnya
b). Jika ia berkata, ”Lillah, di atasku bahwa aku berqurban dengan ini dari apa yang ada dalam tanggunganku”, maka wajib menyembelihnya
d.Apabila batal salat Jum’at karena keluar waktunya atau kurang bilangannya, empat puluh, menurut pendapat yang lebih shahih berobah shalat tersebut menjadi dhuhur
e.Seseorang berhadats atau berjunub melakukan tayamum dengan niat ”mengangkat
hadats”, maka tayamumnya tidak sah berdasarkan pendapat yang shahih. Ada yang mengatakan sah, karena niat ”mengangkat hadats” memastikan ada ibahah. Khilaf ini juga berlaku pada masalah orang daim al-hadats (yang kekal hadats) mengenai wudhu’nya dengan niat ”mengangkat hadats”
f.Seseorang bernazar melakukan shalat dengan menentukan tempat yaitu masjid yang bukan masjid yang tiga (masjidil haram, masjid Nabawi dan masjid Aqsha) maka batal penentuannya itu dan wajib shalat, namun boleh dilakukannya di masjid mana saja.
g.Apabila seseorang berkata, ”Lillah, atasku wajib mendatangi baitullah al-haram dengan tidak melakukan haji dan umrah”, maka ada yang mengatakan tidak sah nazarnya secara keseluruhan dan ada juga yang mengatakan sah dan lagha-lah apa yang dinafikannya. Pendapat terakhir ini merupakan pendapat yang dinyatakan shahih dalam al-Raudhah min Zawaidihi
h.Kalau seseorang mengatakan, ”Jika Allah menyembuh penyakitku, Lillah, atasku bersadaqah sepuluh kepada si pulan”, kemudian Allah menyembuhkannya, maka wajib bersadaqah atasnya. Jika si pulan itu tidak mau menerima sadaqahnya itu, maka sisakit tersebut tidak wajib apapun atasnya. Dalam hal ini, para ulama tidak ada yang mengatakan kekal umum nazar sehingga dialihkan kepada selain si pulan tersebut dan tidak ada pula yang mengatakan dipaksa saja menerimanya. Perbedaan antara nazar dengan masalah zakat adalah zakat merupakan salah satu rukum Islam. Apabila tidak wajib zakat dalam kasus serupa ini, maka akan mengosongkan salah satu rukun Islam.
i.Kalau seseorang mengatakan kepada hambanya, ”Jika kamu inginkan, kamu jual ini dan jika kamu menginginkannya, maka jangan menjualkannya”. Kemudian orang tersebut memerdekakannya atau menjualkannya, maka tidak batal izinnya tanpa khilaf.
j.Apabila kita berpegang kepada pendapat bahwa waqaf kepada diri sendiri adalah tidak sah dan waqaf secara mutlaq adalah sah. Maka dalam kasus seseorang yang mengatakan, ”Aku waqafkan atas diriku”, menurut pendapat yang lebih shahih, waqaf tersebut batal. Ada yang mengatakan sah dan lagha qaid-nya
k.Seseorang mengatakan kepada isterinya, ”Talaqlah diriku”, Isterinya menjawab, ”Aku menthalaqnya apabila telah datang si Zaid”, maka tidak jatuh talaq apapun. Karena talaq al-tanjiz (bukan talaq ta’liq) tidak dijatuhkannya, sedangkan talaq ta’liq tidak dijadikan sebagai milik isterinya
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
2.Ibnu Sulaiman al-Jauhazy,, al-Mawahib al-Sunniyah , dicetak pada hamisy al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 294
3.Al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawaid, Juz. I, Hal. 111
4.Dr Wahbah Zuhaili, al-Qawaid al-Fiqhiyah wa Tathbiquha fi al-Mazahib al-Arba’ah, Darul Fikri, Damsyiq, Hal. 968
5.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
6.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
7.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
8.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
9.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
10.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
11.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
12.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
13.Ibnu Subky, Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 195
14.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
15.Ibnu Subky, Ibhaj fi Syarh al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 195
16.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
17.Al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 121
18.Al-Asnawi, al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ’ala al-Usul, Maktabah Syamilah, Juz.I, Hal.101-102
Syeikh Muhammad Zainuddin As-Sumbawi pengarang Sirajul Huda Oleh: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH
TERDAPAT beberapa ulama yang berasal dari Pulau Sumbawa yang meninggalkan karangan yang ditulis dalam bahasa Melayu. Bahkan beberapa orang di antara mereka terkenal sebagai ulama-ulama besar yang mengajar di Masjidil Haram Mekah.
Di antara mereka yang sangat terkenal ialah Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima) yang mempunyai ramai murid. Syeikh Umar bin Abdur Rasyid as-Sumbawi yang terkenal sama dengan Syeikh Abdul Ghani Bima. Tetapi kedua-duanya tidak meninggalkan karya cetakan.
Kemungkinan karya mereka terdapat dalam bentuk manuskrip. Dua ulama Sumbawa yang meninggalkan karangan ialah Syeikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi as-Sumbawi dan seorang lagi ialah yang diriwayatkan ini. Nama lengkap beliau ialah Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi.
Karyanya yang sangat terkenal dan masih diajarkan di kalangan masyarakat Melayu hingga sekarang ialah Sirajul Huda, seperti tersebut pada judul artikel ini. Menurut tradisi pengajian pondok di alam Melayu, kitab tersebut biasanya dibaca sesudah menamatkan kitab Faridatul Faraid . Apabila sudah cukup memahami kitab Faridatul Faraid barulah memasuki kitab Sirajul Huda. Tetapi ada juga pondok yang mendahulukan Sirajul Huda kemudian baru mengajar Faridatul Faraid.
Sesudah kedua-dua kitab itu - yang dipandang sebagai asas ilmu tauhid - barulah memasuki kitab Ad-Durruts Tsamin. Setelah ketiga-tiga kitab itu betul-betul difahami dengan kukuh, asas Ahli Sunah wal Jamaah metod Syeikh Abu Mansur al-Maturidi tidak berganjak lagi, maka mereka akan memasuki kitab-kitab akidah yang lebih berat seumpama ad-Durun Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan lain-lain.
Untuk mengesan pada zaman mana Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa hidup, ada sedikit kesukaran. Ini kerana daripada kedua-dua karyanya yang masih beredar di pasaran, beliau tidak menyebut tahun berapa memulakan atau menyelesaikan karyanya itu.
Dari beberapa salasilah keilmuan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Padang), dapat diambil kesimpulan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani (1230H/1814M - 1312H/ 1897M) dan peringkat guru kepada Syeikh Mukhtar bin 'Atarid al-Bughri(Bogor) (1278H/1860M - 1349H/1930M).
Berdasarkan tulisan Syeikh Muhammad Az-hari al-Falimbani dalam beberapa karyanya di antaranya Badi’uz Zaman, bahawa beliau menerima Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi menerima baiah daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di negeri Syam.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani pula, hanya sedikit mencatat tentang Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu. Kata beliau: “Dan mengkhabarkan kepada hamba oleh al-alim Tuan Zainuddin Sumbawa Rahimahullah taala bahawasanya mengenai akan dia oleh penyakit karang, maka minum ia akan air rebusan kayu sepang dan kayu kendarang, mengekali ia atasnya beberapa bulan, maka sembuh ia dan hilang daripadanya penyakit itu semua sekali.”
Kesimpulannya, Syeikh Muhammad Zainuddin hidup sejak zaman Syeikh Nawawi al-Bantani dan beliau dikira lebih tua daripada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272H/1856M-1325H/1908M). Syeikh Ahmad al-Fathani pula sempat belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani itu dan ada kemungkinan Syeikh Ahmad al-Fathani pula pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi.
Sudah jelas bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi ketika di Mekah, banyak memperoleh ilmu dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Namun begitu, pendidikannya sebelum di Mekah tidak diketahui dengan pasti.
Dari sekian banyak salasilah/sanad sesuatu disiplin ilmu yang disebutkan oleh Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid, sebagai contoh, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi dan Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi menerima ilmu daripada al-Mu’ammar al-Kiyai Nawawi bin Umar al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani menerima ilmu dari Syeikh Mahmud bin Kinan al-Falimbani dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Kedua-duanya menerima sanad dari Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani. Dia menerima ilmu dari Syeikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani (kemudian tinggal di Madinah). Beliau menerima ilmu dari ayahnya Syeikh Hasanuddin bin Ja’afar al-Falimbani, dan juga dari saudaranya Salih bin Hasanuddin al-Falimbani.
Kedua-duanya menerima ilmu dari Imam ‘Id bin Ali an-Namrisi al-Masri (tinggal di Mekah). Beliau menerima dari Imam al-Hafiz al-Muhaqqiq Abdullah bin Salim al-Basri al-Makki. Dia menerima daripada Muhammad Ibnu al-‘Ala’ al-Babli. Dia menerima daripada Abin Naja Salim bin Muhammad as-Sanhuri yang menerima daripada Muhammad bin Ahmad al-Ghiti.
Dia menerima daripada Kadi Zakaria bin Muhammad al-Ansari. Dia menerima daripada Abin Na’im Ridhwan bin Muhammad al-‘Iqabi. Dia menerima daripada Abit Thahir Muhammad bin Muhammad. Dia menerima daripada Abdur Rahman Ibnu Abdul Hamid al-Muqaddisi. Dia menerima dari Abil Abbas Ahmad bin Abdud Daim an-Nablusi.
Abil Abbas menerima daripada Muhammad bin Ali al-Harani. Dia menerima daripada Muhammad bin Fadhal al-Farawi. Dia menerima dari Abil Hussein Abdul Ghafir Ibnu Muhammad al-Farisi. Dia menerima daripada Abi Ahmad Muhammad bin Isa al-Jaludi. Dia menerima daripada Abi Ishak Ibrahim Ibnu Muhammad bin Sufyan az-Zahid. Dia menerima daripada pengarang kitab al- imam al-Hafiz Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi.
Yang tersebut di atas adalah sebagai contoh sanad Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi tentang hadis Muslim yang diterimanya dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Tetapi tentang hadis Bukhari, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi bertitik mula penerimaannya dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi. Bukan dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Melalui beberapa sanad/salasilah keilmuan Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu bertitik mula dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi bererti selain Syeikh Nawawi al-Bantani, beliau mempelajari pula berbagai-bagai bidang ilmu dari ulama yang berasal dari Sambas itu.
Namun demikian, saya masih meragui kebenaran tulisan Syeikh Yasin Padang itu kerana yang ditemui maklumat yang berada di Makah sezaman dengan Syeikh Nawawi al-Bantani ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Kedua-duanya adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Sangat boleh jadi tulisan Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid itu adalah tersalah cetak.
Masih ada satu sanad/salasilah Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi yang tidak terdapat dalam karya Syeikh Yasin Padang iaitu sanad/salasilah mengenai Tarekat Qadiriyah. Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menulis, “…..Syaikhuna al-‘Alim al-‘Allamah al-Khalifah at-Tarekah al-Qadiriyah asy-Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi, ia mengambil daripada syeikhnya as-Saiyid Muhammad Mukrim, Mufti negeri Hamad benua Syam. Yang ia mengambil daripada Masyaikh-Masyaikhi ilan Nabi s.a.w yang muttasil hingga sekarang ini. Dan jika hendak mengetahui salasilah tarekat ini lihat di dalam Tuhfatil Qudsiyah bagi Syaikhunal mazkur asy-Syeikh Muhammad Zainuddin….”
Salasilah yang tersebut dalam kitab Tuhfatil Qudsiyah yang disebut oleh Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu tidak dapat diketahui kerana kitab karya ulama yang berasal dari Sumbawa itu masih belum ditemui hingga sekarang. Kemungkinan kitab tersebut telah ghaib, tiada siapa yang menyimpannya lagi.
Apabila kita semak tulisan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, dengan jelas beliau sebut bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi adalah Khalifah Tarekat Qadiriyah, iaitu tarekat yang dinisbahkan kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Ini bererti kemunculan beliau seolah-olah setaraf dengan Syeikh Abdul Karim al-Bantani yang menjadi Khalifah Tarekat Qadiriyah yang dilantik gurunya yang dianggap mursyid kamil mukammil dalam tarekat itu, beliau ialah Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Beberapa orang ulama yang berasal dari Alam Melayu yang pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi memang sangat ramai. Di antara yang dianggap sebagai ulama besar dan tokoh yang berpengaruh ialah : Syeikh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, Kiyai Muhammad Khalil bin Abdul Lathif al-Manduri , Syeikh Ali bin Abdullah al-Banjari, Syeikh Khalid bin Utsman al-Makhla az-Zubaidi, Syeikh Abdul Hamid Kudus, Syeikh Mahfuz bin Abdullah at-Tarmisi (Termas, Jawa) dan ramai lagi.
Karya Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi hanya empat buah sahaja dalam maklumat yang ada pada saya iaitu:
1. Sirajul Huda ila Bayani ‘Aqaidit Taqwa, judul terjemahan dalam bahasa Melayu oleh pengarangnya sendiri iaitu Pelita Petunjuk Kepada Menyatakan Segala Simpulan Segala Ahli Takwa. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan dan sampai sekarang masih beredar di pasaran kitab. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan.
2. Minhajus Salam fi Tafsil ma yata’allaqu bil Iman wal Islam. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Dicetak dalam beberapa edisi. Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada di pasaran lagi.
3. Waraqatun Qalilatun fi Manasikil Hajji wal ‘Umrah ‘ala Mazhab al-Imam asy-Syafie. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Risalah ini dicetak dalam Majmuk Kaifiyat Khatam al-Quran yang dinyatakan sebagai karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dicetak dalam berbagai-bagai edisi cetakan baik di Timur Tengah mahupun dicetak di dunia Melayu.
4. Tuhfatul Qudsiyah. Hanya terdapat maklumat berdasarkan karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani di dalam Badi’uz Zaman. Kemungkinan karya yang tersebut telah tidak dapat ditemui lagi.
Kandungan karya Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa yang nombor 1, iaitu Sirajul Huda, membicarakan tauhid atau akidah Ahli Sunah wal Jamaah, perbicaraannya biasa sahaja, sebagaimana kitab-kitab tauhid dalam bahasa Melayu yang lain-lainnya.
Sungguhpun begitu, ada dua hal yang menarik untuk dipetik, iaitu pertama terdapat dua tempat bahasa yang bercorak puisi dan yang kedua, kupasannya yang panjang mengenai satu istilah yang terdapat dalam usuluddin. Salah satu daripadanya tentang mukjizat Nabi Muhammad s.a.w menghidupkan ayah dan ibunya, terdiri enam bait, empat bait bahagian akhir sebagai contoh ialah:
“Maka dihidupkan ayah dan
bondanya
Supaya dengan dia percaya
keduanya
Maka terima olehmu jangan
ingkarnya
Kerana yang demikian itu
kuasanya
Telah datang hadis dalil
atasnya
riwayat orang pendita rijalnya
Barang siapa berkata dengan
daifnya
Maka ialah daif, tidak
hakikatnya.”
Daripada contoh di atas, dapat dipastikan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah termasuk ulama ahli penyair dunia Melayu.
(sumber : (http://ulama-nusantara.blogspot.com)
Di antara mereka yang sangat terkenal ialah Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima) yang mempunyai ramai murid. Syeikh Umar bin Abdur Rasyid as-Sumbawi yang terkenal sama dengan Syeikh Abdul Ghani Bima. Tetapi kedua-duanya tidak meninggalkan karya cetakan.
Kemungkinan karya mereka terdapat dalam bentuk manuskrip. Dua ulama Sumbawa yang meninggalkan karangan ialah Syeikh Muhammad Ali bin Abdur Rasyid bin Abdullah Qadhi as-Sumbawi dan seorang lagi ialah yang diriwayatkan ini. Nama lengkap beliau ialah Syeikh Muhammad Zainuddin bin Muhammad Badawi as-Sumbawi.
Karyanya yang sangat terkenal dan masih diajarkan di kalangan masyarakat Melayu hingga sekarang ialah Sirajul Huda, seperti tersebut pada judul artikel ini. Menurut tradisi pengajian pondok di alam Melayu, kitab tersebut biasanya dibaca sesudah menamatkan kitab Faridatul Faraid . Apabila sudah cukup memahami kitab Faridatul Faraid barulah memasuki kitab Sirajul Huda. Tetapi ada juga pondok yang mendahulukan Sirajul Huda kemudian baru mengajar Faridatul Faraid.
Sesudah kedua-dua kitab itu - yang dipandang sebagai asas ilmu tauhid - barulah memasuki kitab Ad-Durruts Tsamin. Setelah ketiga-tiga kitab itu betul-betul difahami dengan kukuh, asas Ahli Sunah wal Jamaah metod Syeikh Abu Mansur al-Maturidi tidak berganjak lagi, maka mereka akan memasuki kitab-kitab akidah yang lebih berat seumpama ad-Durun Nafis karya Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari dan lain-lain.
Untuk mengesan pada zaman mana Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa hidup, ada sedikit kesukaran. Ini kerana daripada kedua-dua karyanya yang masih beredar di pasaran, beliau tidak menyebut tahun berapa memulakan atau menyelesaikan karyanya itu.
Dari beberapa salasilah keilmuan yang ditulis oleh Syeikh Muhammad Yasin al-Fadani (Padang), dapat diambil kesimpulan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani (1230H/1814M - 1312H/ 1897M) dan peringkat guru kepada Syeikh Mukhtar bin 'Atarid al-Bughri(Bogor) (1278H/1860M - 1349H/1930M).
Berdasarkan tulisan Syeikh Muhammad Az-hari al-Falimbani dalam beberapa karyanya di antaranya Badi’uz Zaman, bahawa beliau menerima Tarekat Qadiriyah daripada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi. Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi menerima baiah daripada Syeikh Muhammad Mukrim, Mufti Hamad di negeri Syam.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani pula, hanya sedikit mencatat tentang Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu. Kata beliau: “Dan mengkhabarkan kepada hamba oleh al-alim Tuan Zainuddin Sumbawa Rahimahullah taala bahawasanya mengenai akan dia oleh penyakit karang, maka minum ia akan air rebusan kayu sepang dan kayu kendarang, mengekali ia atasnya beberapa bulan, maka sembuh ia dan hilang daripadanya penyakit itu semua sekali.”
Kesimpulannya, Syeikh Muhammad Zainuddin hidup sejak zaman Syeikh Nawawi al-Bantani dan beliau dikira lebih tua daripada Syeikh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani (1272H/1856M-1325H/1908M). Syeikh Ahmad al-Fathani pula sempat belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani itu dan ada kemungkinan Syeikh Ahmad al-Fathani pula pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi.
Sudah jelas bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi ketika di Mekah, banyak memperoleh ilmu dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Namun begitu, pendidikannya sebelum di Mekah tidak diketahui dengan pasti.
Dari sekian banyak salasilah/sanad sesuatu disiplin ilmu yang disebutkan oleh Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid, sebagai contoh, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi dan Syeikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi menerima ilmu daripada al-Mu’ammar al-Kiyai Nawawi bin Umar al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani menerima ilmu dari Syeikh Mahmud bin Kinan al-Falimbani dan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari.
Kedua-duanya menerima sanad dari Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani. Dia menerima ilmu dari Syeikh ‘Aqib bin Hasanuddin bin Ja’far al-Falimbani (kemudian tinggal di Madinah). Beliau menerima ilmu dari ayahnya Syeikh Hasanuddin bin Ja’afar al-Falimbani, dan juga dari saudaranya Salih bin Hasanuddin al-Falimbani.
Kedua-duanya menerima ilmu dari Imam ‘Id bin Ali an-Namrisi al-Masri (tinggal di Mekah). Beliau menerima dari Imam al-Hafiz al-Muhaqqiq Abdullah bin Salim al-Basri al-Makki. Dia menerima daripada Muhammad Ibnu al-‘Ala’ al-Babli. Dia menerima daripada Abin Naja Salim bin Muhammad as-Sanhuri yang menerima daripada Muhammad bin Ahmad al-Ghiti.
Dia menerima daripada Kadi Zakaria bin Muhammad al-Ansari. Dia menerima daripada Abin Na’im Ridhwan bin Muhammad al-‘Iqabi. Dia menerima daripada Abit Thahir Muhammad bin Muhammad. Dia menerima daripada Abdur Rahman Ibnu Abdul Hamid al-Muqaddisi. Dia menerima dari Abil Abbas Ahmad bin Abdud Daim an-Nablusi.
Abil Abbas menerima daripada Muhammad bin Ali al-Harani. Dia menerima daripada Muhammad bin Fadhal al-Farawi. Dia menerima dari Abil Hussein Abdul Ghafir Ibnu Muhammad al-Farisi. Dia menerima daripada Abi Ahmad Muhammad bin Isa al-Jaludi. Dia menerima daripada Abi Ishak Ibrahim Ibnu Muhammad bin Sufyan az-Zahid. Dia menerima daripada pengarang kitab al- imam al-Hafiz Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisaburi.
Yang tersebut di atas adalah sebagai contoh sanad Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi tentang hadis Muslim yang diterimanya dari Syeikh Nawawi al-Bantani. Tetapi tentang hadis Bukhari, Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi bertitik mula penerimaannya dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi. Bukan dari Syeikh Nawawi al-Bantani.
Melalui beberapa sanad/salasilah keilmuan Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi itu bertitik mula dari Syeikh Abdul Karim as-Sambasi bererti selain Syeikh Nawawi al-Bantani, beliau mempelajari pula berbagai-bagai bidang ilmu dari ulama yang berasal dari Sambas itu.
Namun demikian, saya masih meragui kebenaran tulisan Syeikh Yasin Padang itu kerana yang ditemui maklumat yang berada di Makah sezaman dengan Syeikh Nawawi al-Bantani ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani. Kedua-duanya adalah murid Syeikh Ahmad Khatib Sambas. Sangat boleh jadi tulisan Syeikh Yasin Padang dalam Al-‘Iqdul Farid itu adalah tersalah cetak.
Masih ada satu sanad/salasilah Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi yang tidak terdapat dalam karya Syeikh Yasin Padang iaitu sanad/salasilah mengenai Tarekat Qadiriyah. Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani menulis, “…..Syaikhuna al-‘Alim al-‘Allamah al-Khalifah at-Tarekah al-Qadiriyah asy-Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi, ia mengambil daripada syeikhnya as-Saiyid Muhammad Mukrim, Mufti negeri Hamad benua Syam. Yang ia mengambil daripada Masyaikh-Masyaikhi ilan Nabi s.a.w yang muttasil hingga sekarang ini. Dan jika hendak mengetahui salasilah tarekat ini lihat di dalam Tuhfatil Qudsiyah bagi Syaikhunal mazkur asy-Syeikh Muhammad Zainuddin….”
Salasilah yang tersebut dalam kitab Tuhfatil Qudsiyah yang disebut oleh Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu tidak dapat diketahui kerana kitab karya ulama yang berasal dari Sumbawa itu masih belum ditemui hingga sekarang. Kemungkinan kitab tersebut telah ghaib, tiada siapa yang menyimpannya lagi.
Apabila kita semak tulisan Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani itu, dengan jelas beliau sebut bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi adalah Khalifah Tarekat Qadiriyah, iaitu tarekat yang dinisbahkan kepada Syeikh Abdul Qadir al-Jilani. Ini bererti kemunculan beliau seolah-olah setaraf dengan Syeikh Abdul Karim al-Bantani yang menjadi Khalifah Tarekat Qadiriyah yang dilantik gurunya yang dianggap mursyid kamil mukammil dalam tarekat itu, beliau ialah Syeikh Ahmad Khatib Sambas.
Beberapa orang ulama yang berasal dari Alam Melayu yang pernah belajar kepada Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi memang sangat ramai. Di antara yang dianggap sebagai ulama besar dan tokoh yang berpengaruh ialah : Syeikh Mukhtar bin ‘Atarid Bogor, Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani, Kiyai Muhammad Khalil bin Abdul Lathif al-Manduri , Syeikh Ali bin Abdullah al-Banjari, Syeikh Khalid bin Utsman al-Makhla az-Zubaidi, Syeikh Abdul Hamid Kudus, Syeikh Mahfuz bin Abdullah at-Tarmisi (Termas, Jawa) dan ramai lagi.
Karya Syeikh Muhammad Zainuddin as-Sumbawi hanya empat buah sahaja dalam maklumat yang ada pada saya iaitu:
1. Sirajul Huda ila Bayani ‘Aqaidit Taqwa, judul terjemahan dalam bahasa Melayu oleh pengarangnya sendiri iaitu Pelita Petunjuk Kepada Menyatakan Segala Simpulan Segala Ahli Takwa. Terdapat berbagai-bagai edisi cetakan dan sampai sekarang masih beredar di pasaran kitab. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan.
2. Minhajus Salam fi Tafsil ma yata’allaqu bil Iman wal Islam. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Dicetak dalam beberapa edisi. Pada masa sekarang, hampir-hampir tidak ada di pasaran lagi.
3. Waraqatun Qalilatun fi Manasikil Hajji wal ‘Umrah ‘ala Mazhab al-Imam asy-Syafie. Tidak terdapat kenyataan tarikh selesai melakukan penulisan. Risalah ini dicetak dalam Majmuk Kaifiyat Khatam al-Quran yang dinyatakan sebagai karya Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Dicetak dalam berbagai-bagai edisi cetakan baik di Timur Tengah mahupun dicetak di dunia Melayu.
4. Tuhfatul Qudsiyah. Hanya terdapat maklumat berdasarkan karya Syeikh Muhammad Azhari al-Falimbani di dalam Badi’uz Zaman. Kemungkinan karya yang tersebut telah tidak dapat ditemui lagi.
Kandungan karya Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa yang nombor 1, iaitu Sirajul Huda, membicarakan tauhid atau akidah Ahli Sunah wal Jamaah, perbicaraannya biasa sahaja, sebagaimana kitab-kitab tauhid dalam bahasa Melayu yang lain-lainnya.
Sungguhpun begitu, ada dua hal yang menarik untuk dipetik, iaitu pertama terdapat dua tempat bahasa yang bercorak puisi dan yang kedua, kupasannya yang panjang mengenai satu istilah yang terdapat dalam usuluddin. Salah satu daripadanya tentang mukjizat Nabi Muhammad s.a.w menghidupkan ayah dan ibunya, terdiri enam bait, empat bait bahagian akhir sebagai contoh ialah:
“Maka dihidupkan ayah dan
bondanya
Supaya dengan dia percaya
keduanya
Maka terima olehmu jangan
ingkarnya
Kerana yang demikian itu
kuasanya
Telah datang hadis dalil
atasnya
riwayat orang pendita rijalnya
Barang siapa berkata dengan
daifnya
Maka ialah daif, tidak
hakikatnya.”
Daripada contoh di atas, dapat dipastikan bahawa Syeikh Muhammad Zainuddin Sumbawa adalah termasuk ulama ahli penyair dunia Melayu.
(sumber : (http://ulama-nusantara.blogspot.com)
Selasa, 02 Agustus 2011
TEPUNG TAWAR/PEUSIJEUK Menurut Hukum Islam (Kajian dari sudut teori tafa-ul, tabarruk, tasyabbuh dan bid’ah) (bag. : 4) oleh : Tgk Alizar Usman
IV. Tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori bid’ah
A. Pengertian bid’ah
Sebagian umat Islam ada yang mengatakan bahwa tepung tawar/peusijeuk merupakan amalan bid’ah yang tidak pernah ada contoh dari Nabi SAW dan sahabatnya. Sedangkan bid’ah tidak ada kecuali bid’ah sesat yang diharamkan dalam agama. Oleh karena itu, tepung tawar/peusijeuk ini diharamkan dalam agama. Untuk menjawab tuduhan ini, perlu ada pembahasan lebih dahulu mengenai apa itu bid’ah dan pembagiannya berdasarkan dalil-dalil syara’ yang menjadi pegangan umat Islam.
Perkataan bid’ah secara lughawi (bahasa) menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah disebutkan,
“abda’a al-syai’, artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Ibnu Faris dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lughat mengatakan :
“Huruf baa’ daal dan ‘ain ada dua asal, salah satunya memulai dan menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain :
1. Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
Lafazh “Badii’” pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Firman Allah, Q.S. al-Ahqaf : 9 ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul (Q.S. al-Ahqaf; 9)
Lafazh “bid’an minarrasul” pada ayat di atas, mengandung arti yang pertama dari rasul-rasul. Artinya, tidak ada rasul sebelumnya. Jadi, maksud ayat di atas adalah Muhammad bukanlah rasul yang pertama yang pernah diturunkan Allah, tetapi pernah ada rasul-rasul yang diutus-Nya sebelumnya.
3. Perkataan orang Arab ;
ابتدع فلان بدعة
ِِArtinya : Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah).
Dengan arti ia membuat suatu tatanan (cara)yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya.1
4.Perkataan orang Arab ;
هذا أمر بديع
ِArtinya : Ini adalah perkara yang mengagumkan
Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.2
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya, dinamakan sebagai bid'ah secara bahasa.
Adapun dalam pembahasan fiqh, berdasarkan keterangan para ulama setelah ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu :
1.Bid’ah hasanah,
Yaitu : Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya.
2.Bid’ah dhalalah,
Yaitu :Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini tidak diterima amalannya
B. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Berikut keterangan ulama mengenai kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya amalan ini disebut dengan bid’ah, antara lain :
1.Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji” 3.
2.Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).4
3.Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar. 5 Pembagian model Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita perkecilkan, maka kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok bid’ah dhalalah. Sedangkan kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib, masuk kelompok bid’ah hasanah. Intinya, pembagian ini mengakui adanya bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Pembagian bid’ah seperti yang dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim. 6
4.Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil syara’ yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. 7
5.Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah pendapat Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”8
6.Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
“Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji) 9
7.Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal pada zaman sekarang) mengatakan :
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar. 10
C. Dalil bid’ah terbagi kepada hasanah dan dhalalah
1.Firman Allah
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya : Dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.(Q.S. al-Hadid : 27)
Rahbaniyah adalah sikap meninggalkan kehidupan dunia dengan menjauhi perempuan dan menetap dalam gereja.11 Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya. Penafsiran seperti ini dapat kita lihat antara lain dalam Tafsir al-Shawy, beliau mengatakan :
“Firman Allah Ta’ala “rahbaniyah ibtatada’uuha” maksudnya adalah orang-orang yang shaleh diantara mereka melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah. “Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”, yakni orang lain yang datang setelah mereka. “Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya”, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah rahbaniyah karena mencari keredhaan Allah. “Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik”, yakni orang-orang yang datang setelah mereka. 12
Menurut penjelasan Tafsir al-Shawy di atas, bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yaitu bid’ah rahbaniyah justru mendapat pahala dari Allah Ta’ala karena dilakukan dengan keikhlasan mencari redha dari Allah. Ta’ala. Allah Ta’ala hanya mencela sekelompok orang dari mereka yang tidak memelihara bid’ah itu dengan pemeliharaan yang semestinya, yaitu menambahnya dengan trinitas, kekufuran dan lain-lain. Penafsiran yang serupa dapat kita perhatikan dari penafsiran yang dikemukakan oleh Abubakar al-Jashas, yaitu :
“Allah memberitakan tentang bid’ah yang mereka lakukan yaitu qurbah dan rahbaniyah, kemudian Allah mencela mereka karena meninggalkan pemeliharaan bid’ah itu dengan semestinya melalui firman Allah “Famaa ra’auha haqqa ri’ayatiha”.
Selanjutnya Abubakar al-Jashas mengutip sebuah hadits sebagai pendukung penafsirannya tersebut, yaitu riwayat dari Abi Umamah al-Bahily, beliau berkata :
“Orang-orang Bani Israil melakukan bid’ah yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka hanya karena mereka mencari keredhaan Allah. Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Allah mencela mereka dengan sebab meninggalkan pemeliharaan bid’ah tersebut.” 13
Berdasarkan penafsiran ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah itu tidak selamanya tercela, tetapi sebagiannya justru ada yang dianggap baik, bahkan mendapat pahala dari Allah Ta’ala sebagaimana kisah Bani Israil yang termaktub dalam firman Allah Surat al-Hadid di atas.
2. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari 14 dan Muslim 15 )
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”.16
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah dalam pembahasan di sini. Dengan demikian, hadits di atas dapat menjadi dalil adanya bid’ah hasanah. Penjelasan serupa tentang pengertian perkataan “maa laisa minhu” pada hadits di atas, juga disampaikan Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Artinya adalah suatu pemikiran yang tidak ada ‘azhid (sokongan) yang dhahir atau tersembunyi dari al-Kitab atau as-Sunnah, baik dalam bentuk lafazh maupun hasil istinbath”.
Selanjutnya beliau berkata :
“ Adapun yang ada azhid-nya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.” 17
Ibnu al-Mulaqqan dalam memaknai hadits di atas mengatakan :
”Makna hadits adalah barangsiapa yang mengada-adakan pada syara’ sesuatu yang tidak didukung oleh dalil dari dalil-dalil agama, maka tidak boleh diamalkannya dan tidak melihat kepadanya.” 18
Dipahami dari penafsiran Ibnu Mulaqqan di atas, maka bid’ah yang ditolak adalah bid’ah yang tidak ada dalil dari dalil-dalil agama. Adapun bid’ah yang didukung oleh dalil agama, maka tidak ditolak berdasarkan hadits tersebut, bahkan dapat diterima jika dipahami dari mafhum mukhalafahnya.
3.Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim) 19
Pengertian hadits ini sama dengan pengertian hadits tersebut pada point kedua di atas. Pemahaman adanya bid’ah hasanah dari mafhum mukhalafah dua hadits di atas, juga didukung oleh hadits tersebut dibawah ini.
4.Sabda Rasulullah SAW
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بعده مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئ
Artinya : Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR Muslim) 20
Dalam mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan :
“Pada hadits tersebut ada ajakan sungguh-sungguh memulai melakukan perbuatan kebaikan, melakukan sunnah yang baik dan menjauhi mengada-ada yang bathil dan keji.”
Selanjutnya beliau berkata :
“Hadits ini mengkhususkan sabda Rasulullah SAW ;
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
dan pengertian hadits tersebut adalah muhdats yang bathil dan bid’ah yang tercela.”21
Al-Nawawi telah menjadikan hadits riwayat Muslim yang tersebut pada dalil keempat di atas, sebagai pen-takhshis (yang mengkhususkan) hadits “semua bid’ah adalah sesat”. Dengan demikian, beliau telah menafsirkan perkataan “sunnah hasanah” pada hadits riwayat Muslim tersebut sebagai bid’ah hasanah.
Al-Sanadi, salah seorang tokoh ulama Mazhab Hanafi, setelah menjelaskan bahwa pengertian “sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah jalan yang diridhai serta dijadikan sebagai pedoman, beliau membedakan antara sunnah yang baik dengan sunnah yang keji dengan mengatakan :
Perbedaan antara yang baik dengan yang keji adalah sesuai dengan ushul syara’ atau tidak sesuai” 22
Dengan kata lain, al-Sanadi ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah bid’ah hasanah. Karena pengertian bid’ah hasanah adalah sesuatu yang sesuai dengan ushul syara’, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sedangkan bid’ah dhalalah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ushul syara’.
Namun demikian, ada sekelompok umat Islam, dalam rangka menolak bid’ah hasanah, mereka mengartikan “sunnah” pada hadits tersebut adalah sunnah Nabi SAW yang sudah pernah dilupakan ummat. Sehingga makna hadits tersebut lengkapnya adalah :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”
Jadi, pengertian hadits tersebut bukanlah membuat bid’ah yang baru, tetapi hanya menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang. Pemahaman seperti ini jelas nampak keliru apabila ada keinginan memperhatikan dengan sebaik-baiknya argumentasi di bawah ini, antara lain :
a.Pemahaman tersebut khilaf dhahir hadits. Memahami nash syara’ menurut dhahirnya adalah wajib sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh, kecuali ada qarinah (keadaan) yang memalingkannya
b.Pemahaman tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah disebut sebelum dan sesudah ini
c.Pemahaman tersebut akan menjadi rancu apabila dihadapkan kepada penggalan kedua dari hadits tersebut. Lengkapnya hadits tersebut dengan penggalan keduanya sebagaimana terdalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Apabila kita mengikuti pemahaman bahwa maksud hadits tersebut adalah menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang, maka makna “sunnah” pada penggalan kedua dari hadits tersebut juga bermakna sama. Sehingga makna hadits tersebut, lengkapnya kurang lebih sebagai berikut :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang keji dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun
Ini tentunya sama halnya dengan menuduh Nabi SAW mempunyai dua sunnah, yaitu sunnah yang baik dan sunnah yang keji. Padahal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi SAW. Oleh karena itu, berdasarkan ini dan dalil-dalil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemahaman sekelompok umat Islam tersebut terhadap hadits tersebut adalah keliru.
5.Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa yang melakukan bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan merestuinya dan ia akan ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut melakukannya dengan tidak mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini hadits hasan) 23
Yang dicela dalam hadits ini adalah bid’ah yang disebut dengan sifat dhalalah. Mafhum mukhalafah-nya, bid’ah yang tidak bersifat dengan dhalalah, yaitu bid’ah hasanah merupakan perbuatan tidak tercela.
6.Pengakuan Rasulullah SAW terhadap perbuatan atau perkataan sahabat yang dilakukan atau dikatakan oleh sahabat tanpa bersandar kepada dalil khusus dari al-Kitab atau al-Sunnah.
Penjabaran pernyataan di atas adalah seorang sahabat Rasulullah SAW melakukan (meng-ihdats) suatu tindakan dalam ibadah tanpa menyandarkan kepada dalil khusus, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits, kemudian Rasulullah SAW mengetahui kasus tersebut, beliau diam atau mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau merestui tindakan tersebut. Pengakuan Rasulullah SAW ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah, karena tindakan sahabat yang direstui oleh Rasulullah SAW tersebut meskipun tanpa mempunyai dalil khusus, tetapi didukung oleh dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Tindakan sahabat Nabi SAW yang termasuk katagori ini antara lain :
1). Hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) 24
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada contoh sebelumnya) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”. 25
Mendatangkan dalam shalat zikir yang tidak bertentangan dengan yang ma’tsur merupakan bid’ah hasanah. Sebaliknya zikir yang bertentangan dengan yang ma’tsur, termasuk bid’ah dhalalah. Karena bid’ah dhalalah merupakan sesuatu yang diada-adakan serta bertentangan dengan dalil-dalil agama.
2). Hadits Anas, beliau berkata :
أن رجلا جاء فدخل الصف وقد حفزه النفس. فقال:الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال: "أيكم المتكلم بالكلمات؟" فأرم القوم. فقال "أيكم المتكلم بها؟ فإنه لم يقل بأسا" فقال رجل: جئت وقد حفزني النفس فقلتها. فقال "لقد رأيت اثني عشر ملكا يبتدرونها. أنهم يرفعها.
Artinya : Dari Anas, beliau berkata : “Seorang laki-laki tiba memasuki shaf (shaf shalat) dengan tersengal-sengal napasnya, lalu berkata : “Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi. Manakala Rasulullah SAW selesai dari shalatnya, beliau bertanya : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?” semua orang terdiam. Rasulullah bertanya lagi : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?”. Tidak ada yang menjawab seorangpun. Maka berkata seorang laki-laki : “Aku tiba dengan tersengal-sengal napasku, karena itu aku katakan kalimat itu”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya aku telah melihat dua belas orang malaikat berebutan mengangkatnya (pahalanya)”(H.R. Muslim)26
Rasulullah SAW tidak mencela sahabatnya mengucapkan Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi dalam shalatnya, bahkan beliau memujinya, padahal ucapan tersebut tidak disandarkan kepada dalil khusus, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah pada saat itu. Hal ini karena tindakan sahabat tersebut masuk dalam dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah.
3). Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بينما نحن نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ قال رجل من القوم: الله أكبر كبيرا. والحمد لله كثيرا. وسبحان الله بكرة وأصيلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من القائل كلمة كذا وكذا؟" قال رجل من القوم: أنا. يا رسول الله! قال "عجبت لها. فتحت لها أبواب السماء".قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك
Artinya : Dari Ibnu Umar, beliau berkata : “Manakala kami shalat bersama Rasulullah SAW, berkata seorang laki-laki yang berasal dari suatu kaum : “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, Rasulullah SAW bertanya : “Siapa yang mengatakan kalimat seperti ini dan seperti ini ?. laki-laki dari kaum itu menjawab : “Aku Ya Rasulullah” Rasulullah bersabda : “Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”. Ibnu Umar berkata : “Aku tidak meninggalkannya selama setelah aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan yang demikian”.(H.R. Muslim)27
Ucapan “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, diucapkan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW dalam shalat tanpa menyandarkan kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Namun ucapan tersebut mendapat pujian dari Rasulullah SAW, beliau mengatakan :
“Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”
Dengan demikian, peristiwa yang tersebut dalam hadits di atas menunjukkan kepada adanya bid’ah hasanah.
4) Kisah Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci sebagaimana disebut dalam Shahih Bukhari. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-¬orang yang lebih dahulu masuk surga, padahal perbuatan tersebut tidak ada contoh dari Nabi SAW sebelumnya. Riwayat tersebut adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ ، أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepada Bilal pada waktu Shubuh: "Hai Bilal, coba ceritakan kepadaku apa amalan yang paling disukai yang kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di sorga.'' Bilal berkata; "Tidak ada amal yang paling di sukai di sisiku melainkan aku tidak bersuci (berwudhu’) pada satu sa’atpun pada malam atau siang kecuali aku shalat dengan kesucian itu sebagaimana telah ditentukan untukku."(H. R. Bukhari) 28
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Dipahami dari hadits tersebut kebolehan ijtihad mengenai waktu ibadah, karena Bilal telah melakukan apa yang telah kita sebutkan dengan istinbath beliau. Kemudian Nabi SAW membenarkannya.” 29
5). Hadits riwayat Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy, padahal shalat ini tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW sebagaimana digambarkan dalam riwayat di bawah ini :
فَلَمَّا خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنْ تَحْسِبُوا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَزِدْتُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا وَاقْتُلْهُمْ بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ. فَلَسْتُ أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَىِّ جَنْبٍ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي ، وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ. ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ أَبُو سِرْوَعَةَ عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ ، وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا الصَّلاَةَ
Artinya : Ketika mereka keluar dari daerah Haram untuk membunuhnya di daerah Halal, Khubaib berkata kepada mereka: "Biarkanlah aku hendak shalat dua rakaat". Mereka membiarkan Khubaib dan dia shalat dua rakaat, kemudian berkata: "Seandainya kalian tidak menaruh sangkaan bahwa diriku tidak gelisah, niscaya aku berlama-lama shalat. Ya Allah, hitunglah mereka, dengan bilangan (yakni binasakanlah mereka semuanya). Aku tidak peduli, ketika aku terbunuh sebagai muslim, di lambung mana saja, di mana tergeletakku adalah karena Allah. Dan (pembunuhan) demikian adalah dalam Dzat Allah. Dan Bila Dia berkehendak niscaya Dia memberkati sendi-sendi badan yang terpotong-potong."Lalu Khubaib dibunuh oleh (Ugbah bin Harits). Dan adalah Khubaib (orang pertama) yang membuat sunah (amalan) shalat dua rakaat bagi setiap orang Islam yang hendak dibunuh dengan penahanan (diberi kesempatan).30
Khubaib r.a. seorang sahabat Nabi SAW, tentu tidak mungkin melakukan suatu amalan kalau memang amalan tersebut diharamkan. Bahkan beliau wafat sebagai seorang syuhada sebagaimana riwayat di bawah ini ;
Rasulullah SAW bersabda :
هو سيد الشهداء وهو رفيقي في الجنة
Artinya : Khubaib adalah penghulu syuhada dan kawanku dalam syurga”. 31
Namun demikian, tidak semua ihdats (bid’ah) sahabat diterima oleh Rasulullah SAW, tetapi ada juga yang beliau ingkarinya. Hal ini karena bertentangan dengan ruh dan qawaid agama yang bersifat umum. Ini dapat kita simak dari peristiwa antara lain :
1). Perkataan Abdullah bin ’Amr :
قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو بَلَغَنِى أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda kepadaku : ”Hai Abdullah bin ’Amr, telah sampai berita kepadaku, bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam, maka jangan kamu lakukan itu, karena tubuh, dua mata dan isterimu ada hak atasmu” (H.R. Muslim) 32
Rasulullah SAW mengingkari tindakan sahabat di atas, karena puasa dan shalat sepanjang masa bertentangan dengan sifat agama Islam yang hanif, tidak memberatkan dan lemah lembut.
2). Utsman bin Math’un pernah mencoba hidup dengan tabattul (membujang), tetapi Rasulullah melarangnya, sebab bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan dan qawaid agama yang menganjurkan mempunyai keturunan. Larangan Rasulullah SAW dapat disimak dalam hadits di bawah ini :
سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا.
Artinya : Sa’ad bin Waqash berkata : Rasulullah SAW menolak permintaan Utsman bin Math’un melakukan tabattul (membujang). Seandainya Rasulullah SAW mengizinkannya, maka kami akan mengibiri. (H.R. Bukhari) 33
Beberapa perbuatan sahabat Nabi SAW yang lain yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah, antara lain :
1.Tindakan Utsman bin Affan menambah azan pada shalat Jum’at menjadi dua kali sebagaimana tersebut dalam Kitab Shahih al-Bukhari 34
2.Tindakan Ibnu Umar menambah zikir pada tasyahud dalam shalat sebagaimana riwayat Abu Daud di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُه" قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَبَرَكَاتُهُ."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
Artinya : Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW tentang tasyahud ;
"التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ"
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan :
"وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ".
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan
“وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
(H.R. Abu Daud) 35
Al-‘Ainy dalam syarah Sunan Abu Daud mengatakan : “sanad ini shahih” 36
Dengan memahami uraian di atas, maka semua hadits yang dhahirnya menunjukkan kepada keumuman tercela bid’ah, harus dipahami bahwa yang tercela itu hanya sebagian bid’ah saja, karena keumuman hadits tersebut sudah dikhususkan dengan dalil-dalil tersebut di atas.Termasuk yang dikhususkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat(H. R. Muslim) 37
Dengan demikian, makna hadits ini adalah sebagian bid’ah adalah tercela, bukan semuanya. Kesimpulan ini juga didukung oleh keterangan ulama sebagaimana disebut di bawah ini :
1). Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits Nabi SAW, ”Setiap bid’ah adalah sesat” , ini termasuk ‘am makhshus (lafazh umum yang dikhususkan), karena bid’ah adalah setiap amalan yang tidak ada contoh sebelumnya.” 38
An-Nawawi menjelaskan, bahwa tidak setiap bid’ah merupakan amalan yang sesat, karena keumuman pada hadits tersebut dikhususkan hanya kepada sebagian bid’ah, yaitu bid’ah dhalalah, amalan yang yang tidak didukung dalil umum dan khusus dari syara’.
2). Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Syaraf al-Nawawi mengatakan :
”Sesungguhnya lafazh muhdats dan lafazh bid’ah tidak dicela karena namanya, tetapi karena makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan dan tidak dicela yang demikian itu secara mutlaq.” 39
Bid’ah tidak dicela secara mutlak, tetapi hanya yang mengandung makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan saja. Komentar di atas, mafhumnya mengakui adanya bid’ah hasanah.
Namun demikian, ada juga ulama yang menafsirkan perkataan ”kullu bid’ah” pada hadits di atas bermakna mutlaq, yakni dengan makna ”semua bid’ah”, tidak dikhususkan hanya sebagian bid’ah saja. Tetapi berdasarkan pemahaman ini, perkataan bid’ah dipahami sebagai setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung sama sekali oleh dalil syari’at yang sah, baik dalil yang umum maupun yang sifatnya khusus. Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
1.Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 40
2.Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
a.wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b.haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c.sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d.makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e.mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman. 41
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3.Ibnu Katsir membagi bid'ah menjadi dua, yaitu :
a.Bid'ah menurut syar'i , seperti sabda Nabi SAW :
"Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."
b.Bid'ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
"Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini.” 42
4.Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela. 43
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 44
D. Kriteria bid’ah hasanah
Isa bin Abdullah al-Humairy menyebutkan syarat-syarat sesuatu disebut sebagai bid’ah hasanah, yaitu45 :
1.termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah. Ini sesuai dengan manthuq dan mafhum hadits :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak”..(H.R. Bukhari dan Muslim)
Makna urusan agama dalam hadits tersebut adalah urusan yang bersifat ibadah. Oleh karena itu, tidak disebut sebagai bid’ah perbuatan seperti memakai mobil, sepeda motor dan lainnya, meskipun tidak ada contoh sebelumnya pada masa Nabi SAW
2.masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3.tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4.dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik. Menurut Isa bin Abdullah al-Humairy, syarat terakhir ini telah disebut oleh Badruddin al-’Ainy. Persyaratan ini sesuai dengan hadits :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa saja yang dianggap oleh kaum muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik.
Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad dalam Musnadnya. Menurut al-‘Ilaiy, hadits ini mauquf, yaitu perkataan Abdullah bin Mas’ud 46
Hukum tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori bid’ah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami sebagai berikut :
1.Praktek tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, karena memang menurut pengetahuan penulis, tidak ada riwayat yang shahih yang meriwayatkan adanya amalan tepung tawar/peusijuk dari Nabi SAW atau sahabat.
2.Namun demikian, amalan tepung tawar/peusijeuk ini termasuk dalam jenis tafa-ul (apabila pelakunya meniatkan sebagai tafa-ul) atau termasuk jenis tabarruk (apabila pelakunya meniatkan tabarruk). Mengenai tafa-ul dan tabarruk ini dan alasan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam jenis tafa-ul atau tabarruk sudah dibahas sebelum ini pada masalah tafa-ul dan tabarruk
3.Mengingat tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang dianggap baik oleh umat Islam dan tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, tetapi amalan ini termasuk dalam jenis dan keumuman pensyari’atan tafa-ul dan tabarruk, maka amalan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori bid’ah hasanah sebagaimana dapat dilihat dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah pada pembahasan di atas.
V. Penutup
Di bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba membuat kesimpulan dari pembahasan di atas, yaitu sebagai berikut :
1.Tepung tawar/peusijeuk yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Melayu pada umumnya merupakan amalan tafa-ul yang dianjur dalam Islam
2.Tepung tawar/peusijeuk tersebut dapat menjadi amalan tabarruk apabila orang yang merencanakan acara tersebut meniatkan mencari keberkahan dengan benda-benda yang disentuh oleh orang-orang shaleh
3.Teupung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan bid’ah hasanah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman disyari’atkan tafa-ul atau tabbarruk, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW
4.Berdasarkan uraian sebelum ini, maka tepung tawar/peusijeuk tidak termasuk dalam amalan menyerupai kafir yang diharamkan (tasyabbuh)
Sebagian umat Islam ada juga mengutip hadits di bawah ini sebagai hujjah kebolehan acara tepung tawar/peusijeuk, yaitu hadits dari Anas, beliau berkata :
قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ، أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ: مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، قَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ، فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي، وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي، يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ، فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ، وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي، فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ، فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ.
Artinya: Abu Bakar datang kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan beliau dan berkata, “Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Abu Bakar berkata, nikahilah aku dengan Fathimah, lantas beliau diam (atau berkata perawi) beliau berpaling darinya, maka Abu Bakar kembali kepada Umar dan berkata kepadanya, celaka aku dan celaka aku, Umar berkata, kenapa demikian? Abu Bakar berkata, aku meminang Fatimah kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW Berpaling dariku. Umar berkata, tetaplah ditempatmu, aku akan menemui Nabi SAW dan memintakan hal serupa. maka datanglah Umar kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan Nabi SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, Engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam, Beliau berkata, lantas ada apa? Umar berkata, nikahi saya dengan Fathimah, Rasulullah SAW-pun berpaling darinya, lalu kembalilah Umar kepada Abu Bakar dan berkata kepadanya bahwa Rasulullah menunggu perintah Allah, mari kita pergi kepada Ali sehingga ia meminta hal serupa. Ali berkata, keduanya mendatangiku, padahal aku sedang berada di jalan. Keduanya berkata, kamu harus meminang anak perempuan pamanmu, maka keduanya memberitahukan kepadaku suatu hal, lalu aku berdiri menjulur ujung rida’ku atas bahuku dan ujung satu lagi atas tanah sehingga aku menemui Nabi SAW dan aku duduk dihadapan Rasulullah SAW, maka aku katakan, Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Lalu aku mengatakan, nikahilah aku dengan Fathimah. Lantas Rasulullah SAW berkata, apa yang ada di sisimu ?Aku menjawab, kuda dan badanku (baju besi), Rasulullah SAW berkata, Adapun kudamu suatu yang sangat penting. Karena itu, juallah baju besimu. Maka aku menjualnya dengan harga empat ratus delapan puluh. Kemudian aku menemui Nabi SAW kembali dan meletakkan harga baju besi tadi pada pangkuan Nabi SAW, lalu beliau mengambilny, kemudian mengatakan, Ya Bilal !, Carilah untuk Fatimah wewangian dan suruh mereka menyiapkan segala sesuatu. Maka dibuatlah tempat tidur yang diikat dengan pita dan bantal dari kulit yang tepinya dipenuhi serabut serta membuat rumah dari pasir. Rasulullah SAW berkata, apabila dia datang kepadamu, maka jangan kamu bilang sesuatupun sehingga aku datang memenuhimu. Kemudian datanglah Fatimah bersama Ummul Aiman yang duduk pada satu sisi rumah dan aku duduk pada sisi lain. Nabi SAW pun muncul dan berkata, Ke sini! Hai saudaraku. Ummul Aiman menyela, saudaramu ingin kamu kawinkan dengan anakmu. lalu Rasulullah kemudian masuk kedalam rumah dan berkata kepada Fatimah, bawakan saya air ! maka Fatimah bangkit mengambil mangkok dalam rumah dengan mengisikan air dalamnya, lalu memberikan kepada Nabi SAW, kemudian beliau meludahi air itu dan berkata kepada Fatimah, Berdirilah! Maka Nabi SAW memercik dengan air antara hadapan dan atas kepalanya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Kemudian berkata, Membelakanglah, maka Fatimah membelakang, lalu Nabi SAW memercik air di antara dua bahunya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah itu, Nabi SAW berkata kepadaku, bawakan aku air. Aku sudah mengerti maksud beliau, maka aku isi mangkok dengan air dan berikan kepada beliau. Beliau mengambil, kemudian meludahinya, lalu memercik air itu atas kepalaku dan di antara hadapanku. Kemudian beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah selesai semua, Nabi SAW berkata, Temuilah isterimu dengan nama Allah dan keberkahan (H.R. al-Thabrany) 47
Namun menurut al-Haitsamy, salah seorang ahli hadits dalam kitab beliau , al-Majma’ al-Zawaid, hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dan dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ya’la al-Aslami, sedangkan dia ini dha’if. 48 Hadits di atas juga diriwayat oleh Ibnu Hibban yang sanadnya juga berujung kepada Yahya bin Ya’la al-Aslami 49 Zainuddin al-‘Iraqi juga mengatakan bahwa Yahya bin Ya’la al-Aslami adalah dha’if.50 Dengan demikian, hadist ini kualiatasnya dha’if dan tentunya tidak dapat menjadi hujjah. Andai kata hadits ini shahih, maka perbuatan Nabi SAW memercik air dalam acara perkawinan Ali r.a. dan Fatimah r.a. tersebut merupakan amalan tafa-ul atau tabarruk yang dianjurkan dalam Syari’at Islam.
Perlu menjadi catatan, bahwa anggapan ulama kita bahwa acara tepung tawar/peusijeuk tidak bertentangan dengan Islam, bahkan dianjurkan bukanlah semata-mata karena berhujjah dengan hadits di atas, tetapi adalah karena tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan tafa-ul atau tabarruk sebagaimana sudah dijelas sebelum ini. Oleh karena itu, kalau sebagian ulama kita ada yang mengutip hadits ini, hal itu hanyalah sekedar sebagai penguat dalil-dalil lain yang membolehkan tepung tawar/peusijeuk.
(----Selesai------)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
2.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
3.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
4.Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh al-Jami’i al-Shahih, al-Wazarah al-Auqaf wa Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. XIII, Hal. 554
5.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
6.An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. VII, Hal. 104-105.
7.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
8.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
9.Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qary Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155
10.Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290
11.Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, di cetak dalam Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
12.Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
13.Abubakar al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 623
14.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
15.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
16.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
17.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
18.Ibnu al-Mulaqqan, I’lam bi Fawaid ‘Umdah al-Ahkam, Darul ‘Ashimah, Juz. X, Hal. 10
19.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1344, No.Hadits 1718
20.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 704-705, No.Hadits 1017
21.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 104
22.Al-Sanadi, Hasyiah al-Sanadi ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 189
23.Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 150-151, No. Hadits : 2818
24.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
25.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
26.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 600
27.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 601
28.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 67, No. Hadits : 1149
29.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 34
30.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 101-103, No. Hadits 3989
31.Dr. Mustafa Khan, Mustafa al-Bagha dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab Imam Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 152
32.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 166, No. Hadits : 2800
33.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 5, No. Hadits : 5073
34.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 8, No. Hadits : 913
35.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 367, No. Hadits : 973
36.Al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 250
37.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 592, No. Hadits 867
38.An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 519
39.Ibnu Syaraf al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25
40.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
41.Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 12
42.Ibnu Katsir, Tafisr Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 398
43.Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 253
44.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
45.Isa bin Abdullah al-Humairy, al-Bid’ah al-Hasanah ashl min Ushul al-Tasyri, Hal. 115-120
46.Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Hal. 63
47.Al-Thabrany, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 263-264. No. Hadits : 18454
48.Nuruddin Ali al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IX, Hal. 331, No. Hadits : 15210
49.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 393-395, No. Hadits : 6944
50.Zainuddin al-‘Iraqi, Takhrij Ahadits al-Ihya, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 123
A. Pengertian bid’ah
Sebagian umat Islam ada yang mengatakan bahwa tepung tawar/peusijeuk merupakan amalan bid’ah yang tidak pernah ada contoh dari Nabi SAW dan sahabatnya. Sedangkan bid’ah tidak ada kecuali bid’ah sesat yang diharamkan dalam agama. Oleh karena itu, tepung tawar/peusijeuk ini diharamkan dalam agama. Untuk menjawab tuduhan ini, perlu ada pembahasan lebih dahulu mengenai apa itu bid’ah dan pembagiannya berdasarkan dalil-dalil syara’ yang menjadi pegangan umat Islam.
Perkataan bid’ah secara lughawi (bahasa) menunjukkan arti penciptaan sesuatu yang baru yang tidak ada contoh sebelumnya. Dalam Kamus Mukhtar al-Shihah disebutkan,
“abda’a al-syai’, artinya mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Ibnu Faris dalam Kamus Mu’jam Maqayis al-Lughat mengatakan :
“Huruf baa’ daal dan ‘ain ada dua asal, salah satunya memulai dan menciptakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya”.
Pengertian tersebut di atas didapati pada antara lain :
1. Firman Allah, Q.S. al-An’am : 101 ;
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya : Dia (Allah) adalah Pencipta langit dan bumi, bagaimana Dia mempunyai anak, padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.(Q.S. al-An’am : 101)
Lafazh “Badii’” pada ayat di atas menunjukkan bahwa Allah sebagai pencipta langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya.
2. Firman Allah, Q.S. al-Ahqaf : 9 ;
قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ
Artinya : Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-rasul (Q.S. al-Ahqaf; 9)
Lafazh “bid’an minarrasul” pada ayat di atas, mengandung arti yang pertama dari rasul-rasul. Artinya, tidak ada rasul sebelumnya. Jadi, maksud ayat di atas adalah Muhammad bukanlah rasul yang pertama yang pernah diturunkan Allah, tetapi pernah ada rasul-rasul yang diutus-Nya sebelumnya.
3. Perkataan orang Arab ;
ابتدع فلان بدعة
ِِArtinya : Si Fulan membuat perkara yang baru (bid'ah).
Dengan arti ia membuat suatu tatanan (cara)yang tidak dibuat oleh orang sebelumnya.1
4.Perkataan orang Arab ;
هذا أمر بديع
ِArtinya : Ini adalah perkara yang mengagumkan
Sebuah ungkapan yang ditujukan untuk sesuatu yang paling baik, yang tidak ada yang lebih baik darinya dan seakan-akan sebelumnya pun tidak ada yang sepertinya atau yang serupa dengannya.2
Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa semua perkara baru yang belum pernah ada sebelumnya, dinamakan sebagai bid'ah secara bahasa.
Adapun dalam pembahasan fiqh, berdasarkan keterangan para ulama setelah ini, dapat disimpulkan bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu :
1.Bid’ah hasanah,
Yaitu : Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW tetapi mempunyai dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini diterima amalannya.
2.Bid’ah dhalalah,
Yaitu :Amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dan tidak ada dalil umum atau qaidah agama lainnya yang mendukungnya. Bid’ah ini tidak diterima amalannya
B. Pendapat ulama mengenai amalan yang tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW
Berikut keterangan ulama mengenai kedudukan amalan yang tidak contoh dari Nabi SAW, selanjutnya amalan ini disebut dengan bid’ah, antara lain :
1.Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam sebagaimana pernyataan beliau :
“Setiap perbuatan yang diadakan kemudian dan menyalahi kitab, sunnah, ijmak dan atsar adalah bid’ah yang sesat dan setiap perbuatan yang baik diadakan kemudian, tidak menyalahi sesuatupun dari demikian adalah bid’ah terpuji” 3.
2.Ibnu Mulaqqan mengatakan :
“Bid’ah adalah mengada-adakan sesuatu yang tidak ada sebelumnya. Maka yang menyalahi sunnah adalah bid’ah dhalalah dan yang sepakat dengan sunnah adalah bid’ah al-hudaa (terpetunjuk/benar).4
3.Syaikh Abu Muhammad bin Abdussalam dalam Kitabnya, al-Qawa’id membagi bid’ah dalam lima pembagian, yaitu : wajib, haram, makruh, mustahabbah dan mubah. Sayyed ad-Dimyathi setelah mengutip pernyataan Ibnu Abdussalam di atas, memberikan contoh-contoh bid’ah, yaitu sebagai berikut : contoh wajib : membukukan al-Qur’an dan syari’at apabila dikuatirkan hilang, contoh haram : bid’ah-bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang dhalim seperti memungut pajak, contoh makruh : menghiasi mesjid dan mengkhususkan ibadah malam hanya malam Jum’at, contoh mustahabbah : melaksanakan Shalat Tarawih dengan berjama’ah, membangun perkumpulan dan madrasah-madrasah dan contoh mubah : berjabatan tangan setelah Shalat Subuh dan Ashar. 5 Pembagian model Abdussalam ini, bid’ah dikelompokkan sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Pembagian ini apabila kita perkecilkan, maka kelompok bid’ah haram, makruh, masuk dalam kelompok bid’ah dhalalah. Sedangkan kelompok bid’ah sunnah, mubah dan wajib, masuk kelompok bid’ah hasanah. Intinya, pembagian ini mengakui adanya bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah. Pembagian bid’ah seperti yang dilakukan oleh Abdussalam di atas juga dilakukan Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim. 6
4.Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Fath al-Mubin berpendapat amalan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW dapat diterima amalannya, asalkan ada dalil syara’ yang bersifat umum mendukungnya. Beliau mengatakan :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”. 7
5.Senada dengan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamy di atas adalah pendapat Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Adapun yang ada azhidnya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.”8
6.Badruddin al-‘Aini dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan :
“Bid’ah terbagi dua, jika termasuk dalam katagori baik pada syara’ , maka bid’ah hasanah dan jika termasuk dalam katagori keji pada syara’, maka bid’ah mustaqbihah (keji) 9
7.Dr. Wahbah al-Zuhaili (ulama Timur Tengah yang cukup terkenal pada zaman sekarang) mengatakan :
“Setiap bid’ah yang terjadi dari makhluk, tidak terlepas dari bahwa adakala ia ada dalilnya pada syara’ atau tidak ada dalilnya. Jika ada dalil pada syara’, maka ia termasuk dalam umum yang dianjurkan Allah dan Rasul-Nya kepadanya. Oleh karena itu, ia termasuk dalam katagori terpuji, meskipun yang sama dengannya tidak pernah ada sebelumnya seperti yang termasuk dalam katagori kebaikan, dermawan dan perbuatan ma’ruf. Maka semua perbuatan ini termasuk perbuatan terpuji, meskipun tidak ada yang melakukannya sebelumnya. Didukung ini oleh perkataan Umar r.a. “sebaik-baik bid’ah adalah ini” dengan sebab ini termasuk dalam katagori perbuatan baik dan katagori terpuji. Dan jika ia masuk dalam katagori menyalahi apa yang diperintah Allah dan Rasul-Nya, maka ia termasuk dalam katagori tercela dan ingkar. 10
C. Dalil bid’ah terbagi kepada hasanah dan dhalalah
1.Firman Allah
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآَتَيْنَا الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Artinya : Dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.(Q.S. al-Hadid : 27)
Rahbaniyah adalah sikap meninggalkan kehidupan dunia dengan menjauhi perempuan dan menetap dalam gereja.11 Pada ayat di atas, Allah Ta’ala memberikan pahala kepada orang-orang beriman diantara mereka, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah dan memeliharanya dengan semestinya. Penafsiran seperti ini dapat kita lihat antara lain dalam Tafsir al-Shawy, beliau mengatakan :
“Firman Allah Ta’ala “rahbaniyah ibtatada’uuha” maksudnya adalah orang-orang yang shaleh diantara mereka melakukan bid’ah dengan melakukan rahbaniyah. “Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”, yakni orang lain yang datang setelah mereka. “Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya”, yakni orang-orang yang melakukan bid’ah rahbaniyah karena mencari keredhaan Allah. “Dan banyak di antara mereka orang-orang fasik”, yakni orang-orang yang datang setelah mereka. 12
Menurut penjelasan Tafsir al-Shawy di atas, bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yaitu bid’ah rahbaniyah justru mendapat pahala dari Allah Ta’ala karena dilakukan dengan keikhlasan mencari redha dari Allah. Ta’ala. Allah Ta’ala hanya mencela sekelompok orang dari mereka yang tidak memelihara bid’ah itu dengan pemeliharaan yang semestinya, yaitu menambahnya dengan trinitas, kekufuran dan lain-lain. Penafsiran yang serupa dapat kita perhatikan dari penafsiran yang dikemukakan oleh Abubakar al-Jashas, yaitu :
“Allah memberitakan tentang bid’ah yang mereka lakukan yaitu qurbah dan rahbaniyah, kemudian Allah mencela mereka karena meninggalkan pemeliharaan bid’ah itu dengan semestinya melalui firman Allah “Famaa ra’auha haqqa ri’ayatiha”.
Selanjutnya Abubakar al-Jashas mengutip sebuah hadits sebagai pendukung penafsirannya tersebut, yaitu riwayat dari Abi Umamah al-Bahily, beliau berkata :
“Orang-orang Bani Israil melakukan bid’ah yang tidak diwajibkan oleh Allah atas mereka hanya karena mereka mencari keredhaan Allah. Lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya, maka Allah mencela mereka dengan sebab meninggalkan pemeliharaan bid’ah tersebut.” 13
Berdasarkan penafsiran ahli tafsir di atas, dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan bid’ah itu tidak selamanya tercela, tetapi sebagiannya justru ada yang dianggap baik, bahkan mendapat pahala dari Allah Ta’ala sebagaimana kisah Bani Israil yang termaktub dalam firman Allah Surat al-Hadid di atas.
2. Hadits riwayat Aisyah, Rasulullah SAW bersabda :
من أحدث في أمرنا هذا ماليس منه فهو رد
Artinya : Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak.(H.R. Bukhari 14 dan Muslim 15 )
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan bahwa makna “maa laisa minhu” (sesuatu yang bukan dari agama kami) adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama atau tidak didukung oleh qawaid agama atau dalil-dalil agama yang bersifat umum. Dalam uraian beliau selanjutnya, beliau berkata :
“Adapun yang tidak bertentangan dengan agama, yakni yang didukung oleh dalil syara’ atau qawaid syara’ maka tidak tertolak pelakunya, bahkan amalannya diterima”.16
Mafhum mukhalafah yang dipahami oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dari hadits di atas itulah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah dalam pembahasan di sini. Dengan demikian, hadits di atas dapat menjadi dalil adanya bid’ah hasanah. Penjelasan serupa tentang pengertian perkataan “maa laisa minhu” pada hadits di atas, juga disampaikan Al-Manawy, beliau mengatakan :
“Artinya adalah suatu pemikiran yang tidak ada ‘azhid (sokongan) yang dhahir atau tersembunyi dari al-Kitab atau as-Sunnah, baik dalam bentuk lafazh maupun hasil istinbath”.
Selanjutnya beliau berkata :
“ Adapun yang ada azhid-nya yakni didukung oleh dalil atau qaidah syara’, maka tidak tertolak bahkan amalannya diterima misalnya membangun seperti organisasi dan madrasah, mengarang ilmu pengetahuan dan lain-lain.” 17
Ibnu al-Mulaqqan dalam memaknai hadits di atas mengatakan :
”Makna hadits adalah barangsiapa yang mengada-adakan pada syara’ sesuatu yang tidak didukung oleh dalil dari dalil-dalil agama, maka tidak boleh diamalkannya dan tidak melihat kepadanya.” 18
Dipahami dari penafsiran Ibnu Mulaqqan di atas, maka bid’ah yang ditolak adalah bid’ah yang tidak ada dalil dari dalil-dalil agama. Adapun bid’ah yang didukung oleh dalil agama, maka tidak ditolak berdasarkan hadits tersebut, bahkan dapat diterima jika dipahami dari mafhum mukhalafahnya.
3.Sabda Rasulullah SAW :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak berdasarkan agama kami, maka tertolak (H.R. Muslim) 19
Pengertian hadits ini sama dengan pengertian hadits tersebut pada point kedua di atas. Pemahaman adanya bid’ah hasanah dari mafhum mukhalafah dua hadits di atas, juga didukung oleh hadits tersebut dibawah ini.
4.Sabda Rasulullah SAW
مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بعده مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئ
Artinya : Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR Muslim) 20
Dalam mengomentari hadits di atas, Imam Nawawi mengatakan :
“Pada hadits tersebut ada ajakan sungguh-sungguh memulai melakukan perbuatan kebaikan, melakukan sunnah yang baik dan menjauhi mengada-ada yang bathil dan keji.”
Selanjutnya beliau berkata :
“Hadits ini mengkhususkan sabda Rasulullah SAW ;
كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
dan pengertian hadits tersebut adalah muhdats yang bathil dan bid’ah yang tercela.”21
Al-Nawawi telah menjadikan hadits riwayat Muslim yang tersebut pada dalil keempat di atas, sebagai pen-takhshis (yang mengkhususkan) hadits “semua bid’ah adalah sesat”. Dengan demikian, beliau telah menafsirkan perkataan “sunnah hasanah” pada hadits riwayat Muslim tersebut sebagai bid’ah hasanah.
Al-Sanadi, salah seorang tokoh ulama Mazhab Hanafi, setelah menjelaskan bahwa pengertian “sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah jalan yang diridhai serta dijadikan sebagai pedoman, beliau membedakan antara sunnah yang baik dengan sunnah yang keji dengan mengatakan :
Perbedaan antara yang baik dengan yang keji adalah sesuai dengan ushul syara’ atau tidak sesuai” 22
Dengan kata lain, al-Sanadi ingin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ”sunnah hasanah” dalam hadits tersebut adalah bid’ah hasanah. Karena pengertian bid’ah hasanah adalah sesuatu yang sesuai dengan ushul syara’, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW dan sedangkan bid’ah dhalalah adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan ushul syara’.
Namun demikian, ada sekelompok umat Islam, dalam rangka menolak bid’ah hasanah, mereka mengartikan “sunnah” pada hadits tersebut adalah sunnah Nabi SAW yang sudah pernah dilupakan ummat. Sehingga makna hadits tersebut lengkapnya adalah :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun”
Jadi, pengertian hadits tersebut bukanlah membuat bid’ah yang baru, tetapi hanya menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang. Pemahaman seperti ini jelas nampak keliru apabila ada keinginan memperhatikan dengan sebaik-baiknya argumentasi di bawah ini, antara lain :
a.Pemahaman tersebut khilaf dhahir hadits. Memahami nash syara’ menurut dhahirnya adalah wajib sebagaimana dimaklumi dalam ushul fiqh, kecuali ada qarinah (keadaan) yang memalingkannya
b.Pemahaman tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang telah disebut sebelum dan sesudah ini
c.Pemahaman tersebut akan menjadi rancu apabila dihadapkan kepada penggalan kedua dari hadits tersebut. Lengkapnya hadits tersebut dengan penggalan keduanya sebagaimana terdalam Shahih Muslim adalah sebagai berikut :
مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ
Apabila kita mengikuti pemahaman bahwa maksud hadits tersebut adalah menghidupkan kembali sunnah Nabi SAW yang sudah dilupakan orang, maka makna “sunnah” pada penggalan kedua dari hadits tersebut juga bermakna sama. Sehingga makna hadits tersebut, lengkapnya kurang lebih sebagai berikut :
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang baik dalam Islam (yang sudah dilupakan ummat), maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun dan barangsiapa yang menghidupkan sunnahku yang keji dalam Islam, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun
Ini tentunya sama halnya dengan menuduh Nabi SAW mempunyai dua sunnah, yaitu sunnah yang baik dan sunnah yang keji. Padahal itu tidak mungkin terjadi pada Nabi SAW. Oleh karena itu, berdasarkan ini dan dalil-dalil sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pemahaman sekelompok umat Islam tersebut terhadap hadits tersebut adalah keliru.
5.Sabda Nabi SAW :
ومن ابتدع بدعة ضلالة لا ترضي الله ورسوله كان عليه مثل آثام من عمل بها لا ينقص ذلك من أوزار الناس شيئا
Artinya : Barangsiapa yang melakukan bid’ah dhalalah, maka Allah dan Rasul-Nya tidak akan merestuinya dan ia akan ditimpa dosa sebagaimana dosa orang yang ikut melakukannya dengan tidak mengurangi dosa manusia sedikitpun. (H.R. Turmidzi, beliau mengatakan : Ini hadits hasan) 23
Yang dicela dalam hadits ini adalah bid’ah yang disebut dengan sifat dhalalah. Mafhum mukhalafah-nya, bid’ah yang tidak bersifat dengan dhalalah, yaitu bid’ah hasanah merupakan perbuatan tidak tercela.
6.Pengakuan Rasulullah SAW terhadap perbuatan atau perkataan sahabat yang dilakukan atau dikatakan oleh sahabat tanpa bersandar kepada dalil khusus dari al-Kitab atau al-Sunnah.
Penjabaran pernyataan di atas adalah seorang sahabat Rasulullah SAW melakukan (meng-ihdats) suatu tindakan dalam ibadah tanpa menyandarkan kepada dalil khusus, baik dari al-Qur’an maupun dari hadits, kemudian Rasulullah SAW mengetahui kasus tersebut, beliau diam atau mengatakan sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau merestui tindakan tersebut. Pengakuan Rasulullah SAW ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah, karena tindakan sahabat yang direstui oleh Rasulullah SAW tersebut meskipun tanpa mempunyai dalil khusus, tetapi didukung oleh dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Tindakan sahabat Nabi SAW yang termasuk katagori ini antara lain :
1). Hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ al-Zarqy, beliau berkata :
كنا يوما نصلي وراء النبي صلى الله عليه وسلم، فلما رفع رأسه من الركعة، قال: سمع الله لمن حمده. قال رجل وراءه: ربنا ولك الحمد، حمدا طيبا مباركا فيه. فلما انصرف، قال: من المتكلم قال: أنا، قال: رأيت بضعة وثلاثين ملكا يبتدرونها، أيهم يكتبها أول.
Artinya : Dari Rifa’ah bin Raafi’ al-Zarqi, beliau berkata : “Pada suatu hari, kami shalat dibelakang Nabi SAW. Manakala Rasulullah mengangkat kepalanya dari rukuk, beliau berkata : “Sami’allahu liman hamidah, lalu berkata seorang laki-laki di belakang beliau : “Rabbana wa lakalhamdu hamdan thaiban mubarakan fiihi. Tatkala Rasulullah selesai (dari shalatnya) bertanya : “Siapa yang berkata tadi ?. Laki-laki itu menjawab : “Saya”. Rasulullah bersabda : “Aku melihat tiga puluh orang lebih malaikat yang berebutan pertama kali menulis amalnya”. (H.R. Bukhari) 24
Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Dijadikan dalil dengan hadits tersebut, kebolehan mengihdats (mendatangkan dengan tanpa ada contoh sebelumnya) zikir yang tidak ma’tsur dalam shalat apabila zikir itu tidak bertentangan dengan zikir yang ma’tsur”. 25
Mendatangkan dalam shalat zikir yang tidak bertentangan dengan yang ma’tsur merupakan bid’ah hasanah. Sebaliknya zikir yang bertentangan dengan yang ma’tsur, termasuk bid’ah dhalalah. Karena bid’ah dhalalah merupakan sesuatu yang diada-adakan serta bertentangan dengan dalil-dalil agama.
2). Hadits Anas, beliau berkata :
أن رجلا جاء فدخل الصف وقد حفزه النفس. فقال:الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه. فلما قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم صلاته قال: "أيكم المتكلم بالكلمات؟" فأرم القوم. فقال "أيكم المتكلم بها؟ فإنه لم يقل بأسا" فقال رجل: جئت وقد حفزني النفس فقلتها. فقال "لقد رأيت اثني عشر ملكا يبتدرونها. أنهم يرفعها.
Artinya : Dari Anas, beliau berkata : “Seorang laki-laki tiba memasuki shaf (shaf shalat) dengan tersengal-sengal napasnya, lalu berkata : “Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi. Manakala Rasulullah SAW selesai dari shalatnya, beliau bertanya : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?” semua orang terdiam. Rasulullah bertanya lagi : “Siapakah diantara kamu yang berbicara dengan beberapa kalimat ?”. Tidak ada yang menjawab seorangpun. Maka berkata seorang laki-laki : “Aku tiba dengan tersengal-sengal napasku, karena itu aku katakan kalimat itu”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya aku telah melihat dua belas orang malaikat berebutan mengangkatnya (pahalanya)”(H.R. Muslim)26
Rasulullah SAW tidak mencela sahabatnya mengucapkan Alhamdulillah hamdan katsiran thayiban mubaarakan fiihi dalam shalatnya, bahkan beliau memujinya, padahal ucapan tersebut tidak disandarkan kepada dalil khusus, baik al-Qur’an maupun al-Sunnah pada saat itu. Hal ini karena tindakan sahabat tersebut masuk dalam dalil atau qawaid agama yang bersifat umum. Ini menunjukkan adanya bid’ah hasanah.
3). Hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بينما نحن نصلي مع رسول الله صلى الله عليه وسلم إذ قال رجل من القوم: الله أكبر كبيرا. والحمد لله كثيرا. وسبحان الله بكرة وأصيلا. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم "من القائل كلمة كذا وكذا؟" قال رجل من القوم: أنا. يا رسول الله! قال "عجبت لها. فتحت لها أبواب السماء".قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول ذلك
Artinya : Dari Ibnu Umar, beliau berkata : “Manakala kami shalat bersama Rasulullah SAW, berkata seorang laki-laki yang berasal dari suatu kaum : “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, Rasulullah SAW bertanya : “Siapa yang mengatakan kalimat seperti ini dan seperti ini ?. laki-laki dari kaum itu menjawab : “Aku Ya Rasulullah” Rasulullah bersabda : “Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”. Ibnu Umar berkata : “Aku tidak meninggalkannya selama setelah aku mendengar Rasulullah SAW mengatakan yang demikian”.(H.R. Muslim)27
Ucapan “Allahu Akbar kabiiraa walhamdulillah katsiraa wa subhanallah bukratan wa ashilaa”, diucapkan oleh seorang sahabat Rasulullah SAW dalam shalat tanpa menyandarkan kepada al-Kitab dan al-Sunnah. Namun ucapan tersebut mendapat pujian dari Rasulullah SAW, beliau mengatakan :
“Aku kagum karenanya, mudah-mudahan dibuka pintu langit untuknya”
Dengan demikian, peristiwa yang tersebut dalam hadits di atas menunjukkan kepada adanya bid’ah hasanah.
4) Kisah Bilal, salah seorang sahabat Nabi SAW yang selalu melakukan shalat dua rakaat setelah bersuci sebagaimana disebut dalam Shahih Bukhari. Perbuatan ini disetujui oleh Rasulullah SAW dan pelakunya diberi kabar gembira sebagai orang-¬orang yang lebih dahulu masuk surga, padahal perbuatan tersebut tidak ada contoh dari Nabi SAW sebelumnya. Riwayat tersebut adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي الإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِي أَنِّي لَمْ أَتَطَهَّرْ طُهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ ، أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أُصَلِّيَ.
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW pernah bersabda kepada Bilal pada waktu Shubuh: "Hai Bilal, coba ceritakan kepadaku apa amalan yang paling disukai yang kamu kerjakan dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di sorga.'' Bilal berkata; "Tidak ada amal yang paling di sukai di sisiku melainkan aku tidak bersuci (berwudhu’) pada satu sa’atpun pada malam atau siang kecuali aku shalat dengan kesucian itu sebagaimana telah ditentukan untukku."(H. R. Bukhari) 28
Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Dipahami dari hadits tersebut kebolehan ijtihad mengenai waktu ibadah, karena Bilal telah melakukan apa yang telah kita sebutkan dengan istinbath beliau. Kemudian Nabi SAW membenarkannya.” 29
5). Hadits riwayat Bukhari tentang sahabat Khubaib yang melakukan shalat dua rakaat sebelum beliau dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy, padahal shalat ini tidak ada contoh sebelumnya dari Nabi SAW sebagaimana digambarkan dalam riwayat di bawah ini :
فَلَمَّا خَرَجُوا بِهِ مِنَ الْحَرَمِ لِيَقْتُلُوهُ فِي الْحِلِّ قَالَ لَهُمْ خُبَيْبٌ دَعُونِي أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ فَتَرَكُوهُ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ وَاللَّهِ لَوْلاَ أَنْ تَحْسِبُوا أَنَّ مَا بِي جَزَعٌ لَزِدْتُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ أَحْصِهِمْ عَدَدًا وَاقْتُلْهُمْ بَدَدًا ، وَلاَ تُبْقِ مِنْهُمْ أَحَدًا ثُمَّ أَنْشَأَ يَقُولُ. فَلَسْتُ أُبَالِي حِينَ أُقْتَلُ مُسْلِمًا عَلَى أَىِّ جَنْبٍ كَانَ لِلَّهِ مَصْرَعِي ، وَذَلِكَ فِي ذَاتِ الإِلَهِ وَإِنْ يَشَأْ يُبَارِكْ عَلَى أَوْصَالِ شِلْوٍ مُمَزَّعِ. ثُمَّ قَامَ إِلَيْهِ أَبُو سِرْوَعَةَ عُقْبَةُ بْنُ الْحَارِثِ فَقَتَلَهُ ، وَكَانَ خُبَيْبٌ هُوَ سَنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ قُتِلَ صَبْرًا الصَّلاَةَ
Artinya : Ketika mereka keluar dari daerah Haram untuk membunuhnya di daerah Halal, Khubaib berkata kepada mereka: "Biarkanlah aku hendak shalat dua rakaat". Mereka membiarkan Khubaib dan dia shalat dua rakaat, kemudian berkata: "Seandainya kalian tidak menaruh sangkaan bahwa diriku tidak gelisah, niscaya aku berlama-lama shalat. Ya Allah, hitunglah mereka, dengan bilangan (yakni binasakanlah mereka semuanya). Aku tidak peduli, ketika aku terbunuh sebagai muslim, di lambung mana saja, di mana tergeletakku adalah karena Allah. Dan (pembunuhan) demikian adalah dalam Dzat Allah. Dan Bila Dia berkehendak niscaya Dia memberkati sendi-sendi badan yang terpotong-potong."Lalu Khubaib dibunuh oleh (Ugbah bin Harits). Dan adalah Khubaib (orang pertama) yang membuat sunah (amalan) shalat dua rakaat bagi setiap orang Islam yang hendak dibunuh dengan penahanan (diberi kesempatan).30
Khubaib r.a. seorang sahabat Nabi SAW, tentu tidak mungkin melakukan suatu amalan kalau memang amalan tersebut diharamkan. Bahkan beliau wafat sebagai seorang syuhada sebagaimana riwayat di bawah ini ;
Rasulullah SAW bersabda :
هو سيد الشهداء وهو رفيقي في الجنة
Artinya : Khubaib adalah penghulu syuhada dan kawanku dalam syurga”. 31
Namun demikian, tidak semua ihdats (bid’ah) sahabat diterima oleh Rasulullah SAW, tetapi ada juga yang beliau ingkarinya. Hal ini karena bertentangan dengan ruh dan qawaid agama yang bersifat umum. Ini dapat kita simak dari peristiwa antara lain :
1). Perkataan Abdullah bin ’Amr :
قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو بَلَغَنِى أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَلِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَظًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَظًّا
Artinya : Rasulullah SAW bersabda kepadaku : ”Hai Abdullah bin ’Amr, telah sampai berita kepadaku, bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam, maka jangan kamu lakukan itu, karena tubuh, dua mata dan isterimu ada hak atasmu” (H.R. Muslim) 32
Rasulullah SAW mengingkari tindakan sahabat di atas, karena puasa dan shalat sepanjang masa bertentangan dengan sifat agama Islam yang hanif, tidak memberatkan dan lemah lembut.
2). Utsman bin Math’un pernah mencoba hidup dengan tabattul (membujang), tetapi Rasulullah melarangnya, sebab bertentangan dengan penjelasan al-Qur’an bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan dan qawaid agama yang menganjurkan mempunyai keturunan. Larangan Rasulullah SAW dapat disimak dalam hadits di bawah ini :
سَعْدَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ يَقُولُ رَدَّ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ أَذِنَ لَهُ لاَخْتَصَيْنَا.
Artinya : Sa’ad bin Waqash berkata : Rasulullah SAW menolak permintaan Utsman bin Math’un melakukan tabattul (membujang). Seandainya Rasulullah SAW mengizinkannya, maka kami akan mengibiri. (H.R. Bukhari) 33
Beberapa perbuatan sahabat Nabi SAW yang lain yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah, antara lain :
1.Tindakan Utsman bin Affan menambah azan pada shalat Jum’at menjadi dua kali sebagaimana tersebut dalam Kitab Shahih al-Bukhari 34
2.Tindakan Ibnu Umar menambah zikir pada tasyahud dalam shalat sebagaimana riwayat Abu Daud di bawah ini :
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى التَّشَهُّدِ "التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُه" قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَبَرَكَاتُهُ."السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ". قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ فِيهَا وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ."وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
Artinya : Dari Ibnu Umar dari Rasulullah SAW tentang tasyahud ;
"التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ"
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan :
"وَبَرَكَاتُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ".
Ibnu Umar berkata : “Aku menambahkan
“وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَه وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ"
(H.R. Abu Daud) 35
Al-‘Ainy dalam syarah Sunan Abu Daud mengatakan : “sanad ini shahih” 36
Dengan memahami uraian di atas, maka semua hadits yang dhahirnya menunjukkan kepada keumuman tercela bid’ah, harus dipahami bahwa yang tercela itu hanya sebagian bid’ah saja, karena keumuman hadits tersebut sudah dikhususkan dengan dalil-dalil tersebut di atas.Termasuk yang dikhususkan oleh dalil-dalil tersebut adalah hadits Nabi SAW :
كل بدعة ضلالة
Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat(H. R. Muslim) 37
Dengan demikian, makna hadits ini adalah sebagian bid’ah adalah tercela, bukan semuanya. Kesimpulan ini juga didukung oleh keterangan ulama sebagaimana disebut di bawah ini :
1). Imam al-Nawawi mengatakan :
”Hadits Nabi SAW, ”Setiap bid’ah adalah sesat” , ini termasuk ‘am makhshus (lafazh umum yang dikhususkan), karena bid’ah adalah setiap amalan yang tidak ada contoh sebelumnya.” 38
An-Nawawi menjelaskan, bahwa tidak setiap bid’ah merupakan amalan yang sesat, karena keumuman pada hadits tersebut dikhususkan hanya kepada sebagian bid’ah, yaitu bid’ah dhalalah, amalan yang yang tidak didukung dalil umum dan khusus dari syara’.
2). Dalam mengomentari hadits di atas, Ibnu Syaraf al-Nawawi mengatakan :
”Sesungguhnya lafazh muhdats dan lafazh bid’ah tidak dicela karena namanya, tetapi karena makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan dan tidak dicela yang demikian itu secara mutlaq.” 39
Bid’ah tidak dicela secara mutlak, tetapi hanya yang mengandung makna menyalahi sunnah dan mengarah kepada kesesatan saja. Komentar di atas, mafhumnya mengakui adanya bid’ah hasanah.
Namun demikian, ada juga ulama yang menafsirkan perkataan ”kullu bid’ah” pada hadits di atas bermakna mutlaq, yakni dengan makna ”semua bid’ah”, tidak dikhususkan hanya sebagian bid’ah saja. Tetapi berdasarkan pemahaman ini, perkataan bid’ah dipahami sebagai setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung sama sekali oleh dalil syari’at yang sah, baik dalil yang umum maupun yang sifatnya khusus. Dengan demikian, maka bid’ah hasanah dengan makna sebagaimana disebut sebelum ini tidak termasuk dalam katagori bid’ah dengan makna ini, alias termasuk sunnah. Karena bid’ah hasanah menurut ulama yang membagi bid’ah kepada hasanah dan dhalalah, mempunyai dalil atau qawaid agama yang bersifat umum yang menjadi pendukungnya, meskipun amalan tersebut tidak ada contoh dari Rasulullah SAW.
Berdasarkan uraian ini, maka perbedaan penafsiran hadits diatas antara dua kelompok ulama ini bukanlah merupakan perbedaan yang substansial. Karena kedua kelompok ini sepakat bahwa amalan yang tidak ada contoh dari Rasulullah SAW tetapi didukung oleh dalil dan qawaid agama yang bersifat umum termasuk dalam katagori amalan yang diterima pada syara’. Mereka hanya berbeda pendapat dalam penamaannya saja. Kelompok pertama menamakan sebagai bid’ah hasanah, sedangkan kelompok kedua menamakannya sebagai amalan sunnah, tidak termasuk dalam katagori bid’ah. Ulama kelompok kedua ini mengatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bid’ah pada hadits di atas adalah bid’ah syar’i sebagaimana makna yang disebutkan. Sedangkan bid’ah yang dibagi oleh ulama berdasarkan hukum syara’ yaitu wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah adalah merupakan bid’ah secara bahasa sebagaimana tergambar pada keterangan ulama di bawah ini :
1.Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 40
2.Menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf, setiap perkataan atau perbuatan ataupun keadaan yang tidak dukung oleh dalil syari’at yang sah adalah bid’ah yang tertolak. Pelakunya adalah orang yang tertipu, maksudnya adalah bid’ah menurut syara’ sebagaimana disebutkan dalam al-Fatawa al-Haditsah. Adapun bid’ah menurut bahasa terbagi dalam hukum yang lima, yaitu :
a.wajib kifayah seperti belajar ilmu Arabiyah yang tergantung padanya pemahaman kitab dan sunnah seperti Nahu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, loghat, tidak termasuk ‘Arudh dan Qawafii dan lainnya.
b.haram seperti semua sikap ahli bid’ah yang berselisih dengan Ahlussunnah wal Jama’ah
c.sunat seperti setiap kebaikan yang tidak dikenal pada zaman awal dan seperti pembahasan yang mendalam dalam Tasauf
d.makruh seperti menghiasi mesjid dan menghiasi mashaf
e.mubah seperti berlapang-lapang pada melezatkan makanan dan minuman. 41
Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf sebagaimana uraian di atas, meskipun berpendapat bahwa bid’ah menurut syara’ hanya terbatas bid’ah dhalalah, namun beliau tetap mengakui bahwa perbuatan yang tidak ada contoh dari Nabi SAW terbagi sesuai dengan hukum syara’, yaitu wajib, mubah, haram, sunnah dan makruh. Bid’ah yang terbagi lima ini menurut Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf adalah bid’ah menurut bahasa. Penjelasan Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf ini pada hakikatnya juga mengakui adanya pembagian bid’ah kepada bid’ah dhalalah dan bid’ah hasanah.
3.Ibnu Katsir membagi bid'ah menjadi dua, yaitu :
a.Bid'ah menurut syar'i , seperti sabda Nabi SAW :
"Setiap yang diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."
b.Bid'ah secara bahasa, seperti ucapan Umar r.a. berkenaan dengan shalat tarawih berjama'ah pada bulan Ramadhan , beliau berkata :
"Sebaik-baik bid'ah adalah perbuatan ini.” 42
4.Berkata Ibnu Hajar al-Asqalany :
“Yang dimaksud dengan “muhdatsaat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalilnya pada syara’ dan dinamakannya pada ‘uruf syara’ sebagai bid’ah. Sesuatu yang ada dalil yang ditunjuki syara’ atasnya, maka tidak termasuk bid’ah. Oleh karena itu, maka bid’ah pada ‘uruf syara’ merupakan tindakan tercela, berbeda halnya bid’ah secara bahasa, maka setiap yang diada-adakan dengan tanpa contoh dinamakan sebagai bid’ah, baik ia terpuji maupun yang tercela. 43
Pada kali lain, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan :
“Yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW, “setiap bid’ah adalah sesat” adalah sesuatu yang diada-adakan dan tidak ada dalil secara khusus atau umum dari syara’.” 44
D. Kriteria bid’ah hasanah
Isa bin Abdullah al-Humairy menyebutkan syarat-syarat sesuatu disebut sebagai bid’ah hasanah, yaitu45 :
1.termasuk dalam katagori urusan agama yang bersifat ibadah, bukan urusan-urusan ‘adiyah dan urusan kehidupan yang tidak bersifat ibadah. Ini sesuai dengan manthuq dan mafhum hadits :
“Barang siapa yang mengada-adakan sesuatu (amalan) dalam urusan (agama) kami yang bukan dari agama kami, maka (amalan) itu tertolak”..(H.R. Bukhari dan Muslim)
Makna urusan agama dalam hadits tersebut adalah urusan yang bersifat ibadah. Oleh karena itu, tidak disebut sebagai bid’ah perbuatan seperti memakai mobil, sepeda motor dan lainnya, meskipun tidak ada contoh sebelumnya pada masa Nabi SAW
2.masuk di bawah pokok-pokok, maqashid syari’at atau perintah yang bersifat umum dari syari’at. Misalnya perayaan maulid Nabi SAW. Ini termasuk dalam pokok-pokok agama yang menganjurkan zikir kepada Allah dan memperbanyak shalawat kepada Nabi-Nya.
3.tidak bertentangan dengan nash-nash syari’at. Oleh karena itu, bid’ah hasanah tidak dapat dituduh sebagai sesuatu yang hanya didasarkan kepada hawa nafsu manusia.
4.dianggap oleh kaum muslimin sebagai perbuatan yang baik. Menurut Isa bin Abdullah al-Humairy, syarat terakhir ini telah disebut oleh Badruddin al-’Ainy. Persyaratan ini sesuai dengan hadits :
ما رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
Artinya : Apa saja yang dianggap oleh kaum muslimin baik, maka di sisi Allah juga baik.
Hadits ini ditakhrij oleh Ahmad dalam Musnadnya. Menurut al-‘Ilaiy, hadits ini mauquf, yaitu perkataan Abdullah bin Mas’ud 46
Hukum tepung tawar/peusijeuk ditinjau dari sudut teori bid’ah
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami sebagai berikut :
1.Praktek tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, karena memang menurut pengetahuan penulis, tidak ada riwayat yang shahih yang meriwayatkan adanya amalan tepung tawar/peusijuk dari Nabi SAW atau sahabat.
2.Namun demikian, amalan tepung tawar/peusijeuk ini termasuk dalam jenis tafa-ul (apabila pelakunya meniatkan sebagai tafa-ul) atau termasuk jenis tabarruk (apabila pelakunya meniatkan tabarruk). Mengenai tafa-ul dan tabarruk ini dan alasan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam jenis tafa-ul atau tabarruk sudah dibahas sebelum ini pada masalah tafa-ul dan tabarruk
3.Mengingat tepung tawar/peusijeuk merupakan suatu amalan yang dianggap baik oleh umat Islam dan tidak pernah dilakukan pada masa Nabi SAW dan sahabat beliau, tetapi amalan ini termasuk dalam jenis dan keumuman pensyari’atan tafa-ul dan tabarruk, maka amalan tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori bid’ah hasanah sebagaimana dapat dilihat dalam kriteria-kriteria bid’ah hasanah pada pembahasan di atas.
V. Penutup
Di bagian akhir tulisan ini, penulis mencoba membuat kesimpulan dari pembahasan di atas, yaitu sebagai berikut :
1.Tepung tawar/peusijeuk yang dilakukan oleh masyarakat Aceh dan Melayu pada umumnya merupakan amalan tafa-ul yang dianjur dalam Islam
2.Tepung tawar/peusijeuk tersebut dapat menjadi amalan tabarruk apabila orang yang merencanakan acara tersebut meniatkan mencari keberkahan dengan benda-benda yang disentuh oleh orang-orang shaleh
3.Teupung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan bid’ah hasanah, karena amalan tersebut termasuk dalam keumuman disyari’atkan tafa-ul atau tabbarruk, meskipun detilnya tidak ada contoh dari Nabi SAW
4.Berdasarkan uraian sebelum ini, maka tepung tawar/peusijeuk tidak termasuk dalam amalan menyerupai kafir yang diharamkan (tasyabbuh)
Sebagian umat Islam ada juga mengutip hadits di bawah ini sebagai hujjah kebolehan acara tepung tawar/peusijeuk, yaitu hadits dari Anas, beliau berkata :
قَالَ: جَاءَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَلِكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَسَكَتَ عَنْهُ، أَوْ قَالَ: فَأَعْرَضَ عَنْهُ، فَرَجَعَ أَبُو بَكْرٍ إِلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلَكْتُ وَأَهْلَكْتَ، قَالَ: وَمَا ذَلِكَ؟ قَالَ: خَطَبْتُ فَاطِمَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْرَضَ عَنِّي، فَقَالَ: مَكَانَكَ حَتَّى آتِيَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَطْلُبُ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْتَ، فَأَتَى عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدَ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ مُنَاصَحَتِي وَقِدَمِي فِي الإِسْلامِ، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ؟قَالَ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ إِلَى أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَ: إِنَّهُ يَنْتَظِرُ أَمْرَ اللَّهِ فِيهَا، انْطَلِقْ بنا إِلَى عَلِيٍّ حَتَّى نَأْمُرَهُ أَنْ يَطْلُبَ مِثْلَ الَّذِي طَلَبْنَا، قَالَ عَلِيٌّ: فَأَتَيَانِي وَأَنَا فِي سَبِيلٍ، قَالا: بنتُ عَمِّكَ تُخْطَبُ، فَنَبَّهَانِي لأَمْرٍ، فَقُمْتُ أَجُرُّ رِدَائِي طَرَفٌ عَلَى عَاتِقِي، وَطَرَفٌ آخَرُ فِي الأَرْضِ حَتَّى أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَعَدْتُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ! قَدْ عَلِمْتَ قِدَمِي فِي الإِسْلامِ وَمُنَاصَحَتِي، وَإِنِّي وَإِنِّي، قَالَ:وَمَا ذَاكَ يَا عَلِيُّ؟قُلْتُ: تُزَوِّجْنِي فَاطِمَةَ، قَالَ:وَمَا عِنْدَكَ، قُلْتُ: فَرَسِي وَبُدْنِي، يَعْنِي دِرْعِي، قَالَ:أَمَّا فَرَسُكَ، فَلا بُدَّ لَكَ مِنْهُ، وَأَمَّا دِرْعُكَ فَبِعْهَا، فَبِعْتُهَا بِأَرْبَعَ مِائَةٍ وَثَمَانِينَ فَأَتَيْتُ بِهَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَضَعْتُهَا فِي حِجْرِهِ، فَقَبَضَ مِنْهَا قَبْضَةً، فَقَالَ:يَا بِلالُ، ابْغِنَا بِهَا طِيبًا، ومُرْهُمْ أَنْ يُجَهِّزُوهَا، فَجَعَلَ لَهَا سَرِيرًا مُشَرَّطًا بِالشَّرَيطِ، وَوِسَادَةً مِنْ أَدَمٍ، حَشْوُهَا لِيفٌ، وَمَلأَ الْبَيْتَ كَثِيبًا، يَعْنِي رَمَلا، وَقَالَ:إِذَا أَتَتْكَ فَلا تُحْدِثْ شَيْئًا حَتَّى آتِيَكَ، فَجَاءَتْ مَعَ أُمِّ أَيْمَنَ فَقَعَدَتْ فِي جَانِبٍ الْبَيْتِ، وَأَنَا فِي جَانِبٍ، فَجَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ:هَهُنَا أَخِي، فَقَالَتْ أُمُّ أَيْمَنَ: أَخُوكَ قَدْ زَوَّجْتَهُ بنتَكَ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِفَاطِمَةَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَقَامَتْ إِلَى قَعْبٍ فِي الْبَيْتِ فَجَعَلَتْ فِيهِ مَاءً فَأَتَتْهُ بِهِ فَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهَا:قَوْمِي، فَنَضَحَ بَيْنَ ثَدْيَيْهَا وَعَلَى رَأْسِهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ لَهَا:أَدْبِرِي، فَأَدْبَرَتْ فَنَضَحَ بَيْنَ كَتِفَيْهَا، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ائْتِينِي بِمَاءٍ، فَعَمِلْتُ الَّذِي يُرِيدُهُ، فَمَلأْتُ الْقَعْبَ مَاءً فَأَتَيْتُهُ بِهِ فَأَخَذَ مِنْهُ بِفِيهِ، ثُمَّ مَجَّهُ فِيهِ، ثُمَّ صَبَّ عَلَى رَأْسِي وَبَيْنَ يَدَيْ، ثُمَّ قَالَ:اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، ثُمَّ قَالَ:ادْخُلْ عَلَى أَهْلِكَ بِسْمِ اللَّهِ وَالْبَرَكَةِ.
Artinya: Abu Bakar datang kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan beliau dan berkata, “Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Abu Bakar berkata, nikahilah aku dengan Fathimah, lantas beliau diam (atau berkata perawi) beliau berpaling darinya, maka Abu Bakar kembali kepada Umar dan berkata kepadanya, celaka aku dan celaka aku, Umar berkata, kenapa demikian? Abu Bakar berkata, aku meminang Fatimah kepada Nabi SAW, dan Nabi SAW Berpaling dariku. Umar berkata, tetaplah ditempatmu, aku akan menemui Nabi SAW dan memintakan hal serupa. maka datanglah Umar kepada Nabi SAW dan duduk dihadapan Nabi SAW dan berkata, Wahai Rasulullah, Engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam, Beliau berkata, lantas ada apa? Umar berkata, nikahi saya dengan Fathimah, Rasulullah SAW-pun berpaling darinya, lalu kembalilah Umar kepada Abu Bakar dan berkata kepadanya bahwa Rasulullah menunggu perintah Allah, mari kita pergi kepada Ali sehingga ia meminta hal serupa. Ali berkata, keduanya mendatangiku, padahal aku sedang berada di jalan. Keduanya berkata, kamu harus meminang anak perempuan pamanmu, maka keduanya memberitahukan kepadaku suatu hal, lalu aku berdiri menjulur ujung rida’ku atas bahuku dan ujung satu lagi atas tanah sehingga aku menemui Nabi SAW dan aku duduk dihadapan Rasulullah SAW, maka aku katakan, Wahai Rasulallah engkau telah mengajarkanku dan engkau menasehatiku dan lantas aku dulu masuk Islam dan seterusnya. Lalu Nabi SAW berkata, lantas ada apa? Lalu aku mengatakan, nikahilah aku dengan Fathimah. Lantas Rasulullah SAW berkata, apa yang ada di sisimu ?Aku menjawab, kuda dan badanku (baju besi), Rasulullah SAW berkata, Adapun kudamu suatu yang sangat penting. Karena itu, juallah baju besimu. Maka aku menjualnya dengan harga empat ratus delapan puluh. Kemudian aku menemui Nabi SAW kembali dan meletakkan harga baju besi tadi pada pangkuan Nabi SAW, lalu beliau mengambilny, kemudian mengatakan, Ya Bilal !, Carilah untuk Fatimah wewangian dan suruh mereka menyiapkan segala sesuatu. Maka dibuatlah tempat tidur yang diikat dengan pita dan bantal dari kulit yang tepinya dipenuhi serabut serta membuat rumah dari pasir. Rasulullah SAW berkata, apabila dia datang kepadamu, maka jangan kamu bilang sesuatupun sehingga aku datang memenuhimu. Kemudian datanglah Fatimah bersama Ummul Aiman yang duduk pada satu sisi rumah dan aku duduk pada sisi lain. Nabi SAW pun muncul dan berkata, Ke sini! Hai saudaraku. Ummul Aiman menyela, saudaramu ingin kamu kawinkan dengan anakmu. lalu Rasulullah kemudian masuk kedalam rumah dan berkata kepada Fatimah, bawakan saya air ! maka Fatimah bangkit mengambil mangkok dalam rumah dengan mengisikan air dalamnya, lalu memberikan kepada Nabi SAW, kemudian beliau meludahi air itu dan berkata kepada Fatimah, Berdirilah! Maka Nabi SAW memercik dengan air antara hadapan dan atas kepalanya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Kemudian berkata, Membelakanglah, maka Fatimah membelakang, lalu Nabi SAW memercik air di antara dua bahunya dengan mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah itu, Nabi SAW berkata kepadaku, bawakan aku air. Aku sudah mengerti maksud beliau, maka aku isi mangkok dengan air dan berikan kepada beliau. Beliau mengambil, kemudian meludahinya, lalu memercik air itu atas kepalaku dan di antara hadapanku. Kemudian beliau mengatakan,
اللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
Setelah selesai semua, Nabi SAW berkata, Temuilah isterimu dengan nama Allah dan keberkahan (H.R. al-Thabrany) 47
Namun menurut al-Haitsamy, salah seorang ahli hadits dalam kitab beliau , al-Majma’ al-Zawaid, hadits ini telah diriwayat oleh al-Thabrany dan dalam sanadnya terdapat Yahya bin Ya’la al-Aslami, sedangkan dia ini dha’if. 48 Hadits di atas juga diriwayat oleh Ibnu Hibban yang sanadnya juga berujung kepada Yahya bin Ya’la al-Aslami 49 Zainuddin al-‘Iraqi juga mengatakan bahwa Yahya bin Ya’la al-Aslami adalah dha’if.50 Dengan demikian, hadist ini kualiatasnya dha’if dan tentunya tidak dapat menjadi hujjah. Andai kata hadits ini shahih, maka perbuatan Nabi SAW memercik air dalam acara perkawinan Ali r.a. dan Fatimah r.a. tersebut merupakan amalan tafa-ul atau tabarruk yang dianjurkan dalam Syari’at Islam.
Perlu menjadi catatan, bahwa anggapan ulama kita bahwa acara tepung tawar/peusijeuk tidak bertentangan dengan Islam, bahkan dianjurkan bukanlah semata-mata karena berhujjah dengan hadits di atas, tetapi adalah karena tepung tawar/peusijeuk termasuk dalam katagori amalan tafa-ul atau tabarruk sebagaimana sudah dijelas sebelum ini. Oleh karena itu, kalau sebagian ulama kita ada yang mengutip hadits ini, hal itu hanyalah sekedar sebagai penguat dalil-dalil lain yang membolehkan tepung tawar/peusijeuk.
(----Selesai------)
DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
2.Al-Syathibi, al-I’tisham, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 21
3.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
4.Ibnu Mulaqqan, al-Tauzhih li Syarh al-Jami’i al-Shahih, al-Wazarah al-Auqaf wa Syu-un al-Islamiyah, Qathar, Juz. XIII, Hal. 554
5.Al-Bakri ad-Dimyathi, I’anah At-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal 271
6.An-Nawawi dalam Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut , Juz. VII, Hal. 104-105.
7.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
8.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
9.Badruddin al-‘Aini, ‘Umdah al-Qary Syarah al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. XVII, Hal. 155
10.Dr. Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 290
11.Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, di cetak dalam Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
12.Ahmad Shawy, Tafsir al-Shawy, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 177
13.Abubakar al-Jashas, Ahkam al-Qur’an, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 623
14.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najah, Juz. III, Hal. 184, No. Hadits : 2697
15.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1343, No.Hadits 1718
16.Ibnu Hajar al-Haitamy, Fath al-Mubin, al-‘Amirah al-Syarfiah, Mesir, Hal. 94
17.Al-Munawy, Faidh al-Qadir, Mausa’ Ya’qub, Juz. VI, Hal. 47, No. Hadits 8333
18.Ibnu al-Mulaqqan, I’lam bi Fawaid ‘Umdah al-Ahkam, Darul ‘Ashimah, Juz. X, Hal. 10
19.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1344, No.Hadits 1718
20.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 704-705, No.Hadits 1017
21.An-Nawawi, Syarah Muslim, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 104
22.Al-Sanadi, Hasyiah al-Sanadi ‘ala Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 189
23.Al-Turmidzi, Sunan al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. IV, Hal. 150-151, No. Hadits : 2818
24.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq al-Najh, Juz. I, Hal. 159, No. Hadits 799
25.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 287
26.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 600
27.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 419, No. Hadits 601
28.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 67, No. Hadits : 1149
29.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 34
30.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 101-103, No. Hadits 3989
31.Dr. Mustafa Khan, Mustafa al-Bagha dan Ali al-Syarbaji, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Mazhab Imam Syafi’i, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 152
32.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 166, No. Hadits : 2800
33.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 5, No. Hadits : 5073
34.Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 8, No. Hadits : 913
35.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 367, No. Hadits : 973
36.Al-‘Ainy, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 250
37.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 592, No. Hadits 867
38.An-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 519
39.Ibnu Syaraf al-Nawawi, Syarah al-Arba’in al-Nawawiyah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 25
40.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
41.Sayyed Alwi bin Ahmad As-Saqaf , Fawaidul Makkiyah, dicetak dalam Sab’atul Kutubil Mufidah, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 12
42.Ibnu Katsir, Tafisr Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. I, Hal. 398
43.Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 253
44.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath al-Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XX, Hal. 330
45.Isa bin Abdullah al-Humairy, al-Bid’ah al-Hasanah ashl min Ushul al-Tasyri, Hal. 115-120
46.Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Hal. 63
47.Al-Thabrany, al-Mu’jam al-Kabir, Maktabah Syamilah, Juz. XVI, Hal. 263-264. No. Hadits : 18454
48.Nuruddin Ali al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, IX, Hal. 331, No. Hadits : 15210
49.Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XV, Hal. 393-395, No. Hadits : 6944
50.Zainuddin al-‘Iraqi, Takhrij Ahadits al-Ihya, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 123
Langganan:
Postingan (Atom)