Assalamu'alaikum
tgk
Saya ingin bertanya :
1. Apa hukum menulis cerita novel,cerpen,puisi dan karangan-karangan yang lainnya. Dimana cerita-ceita tersebut kebanyakan fiksi ( hal yang tidak nyata ).
2. Apakah menulis cerita demikian termasuk pembohongan dan berdosa ?
3. Jika kita menulis cerita fiksi tersebut untuk dapat diambil pelajaran dalam kehidupan. Apa hukumnya ?
4. Apa hukum menulis buku tentang humor anak muda sekarang ?
terimong geunaseh
Saya ingin bertanya :
1. Apa hukum menulis cerita novel,cerpen,puisi dan karangan-karangan yang lainnya. Dimana cerita-ceita tersebut kebanyakan fiksi ( hal yang tidak nyata ).
2. Apakah menulis cerita demikian termasuk pembohongan dan berdosa ?
3. Jika kita menulis cerita fiksi tersebut untuk dapat diambil pelajaran dalam kehidupan. Apa hukumnya ?
4. Apa hukum menulis buku tentang humor anak muda sekarang ?
terimong geunaseh
Jawab :
1.
Pada dasarnya, menyebarkan cerita bohong
merupakan dosa, apalagi kalau berbohong itu hanya sekedar untuk membuat orang
tertawa. Berikut dua hadits larangan berbohong, yakni :
a. Hadits
Bahz bin Hakim memberitahu kepadaku oleh bapakku, dari kakekku, ia berkata :
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ويل
للذي يحدث بالحديث ليضحك به القوم فيكذب، ويل له ويل له.
Artinya : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
“Celakalah orang-orang yang menceritakan sebuah cerita agar dapat membuat
ketawa sekelompok orang dengan cara berdusta, celakalah dia, celakalah dia. (H.R.
Abu Daud[1] dan Turmidzi,
beliau berkata : Hadits ini hadits hasan [2])
b. Dari Abdullah bin Amir r.a. , ia berkata:
دَعَتْنِي أُمِّي يَوْمًا وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ فِي بَيْتِنَا فَقَالَتْ هَا
تَعَالَ أُعْطِيكَ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَمَا أَرَدْتِ أَنْ تُعْطِيهِ قَالَتْ أُعْطِيهِ تَمْرًا فَقَالَ لَهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ
شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَة
ٌArtinya : Suatu hari ibuku
memanggilku, sementara Rasulullah SAW duduk di dalam rumah kami. Ibuku berkata,
“Hai kemarilah, aku akan memberimu sesuatu.” Rasulullah SAW kemudian bertanya
kepada ibuku, “Apa yang akan engkau berikan kepadanya?” Ibuku menjawab, “Aku
akan memberinya kurma.” Rasulullah SAW bersabda kepada ibuku, “Ketahuilah, jika kamu
tidak jadi memberikan sesuatu kepadanya, maka itu akan ditulis sebagai
kebohongan atasmu.(HR. Abu Daud)[3]
2.
Menurut hemat kami, menulis cerita
fiksi hukumnya boleh tetapi dengan syarat :
a.
pembuat
cerita fiksi wajib menyampaikan kepada pembacanya, baik secara implisit atau
eksplisit, bahwa apa yang diucapkan atau ditulisnya adalah cerita fiksi atau khayalan
belaka, bukan kenyataan, agar pengarang cerita fiksi tidak jatuh dalam
kebohongan.
b.
kandungan
cerita berisi tamsilan-tamsilan yang baik, seperti ajakan beramar makruf nahi
mungkar, berbakti kepada orang tua, bersikap jujur, mendorong berani berjihad
di jalan Allah, dan sebagainya.
Nabi SAW bersabda :
حَدِّثُوا عَنْ بَنِي
إسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ
Artinya : Ceritakanlah
cerita dari Bani Israil dan itu tidak mengapa. (H.R. Abu Daud. al-Shakhawi
mengatakan, asalnya shahih)[4]
Pada riwayat Ibnu Muni’, Tamam dan al-Dailami ada tambahan :
فَإِنَّهُ كَانَتْ فِيهِمْ
أَعَاجِيبُ
Artinya : karena pada cerita mereka ada unik dan menarik[5]
Nabi SAW membolehkan menyampaikan cerita-
cerita dari Bani Israil, padahal kita memaklumi bahwa cerita-
cerita itu sulit dipertanggung jawabkan kebenarannya. Kebolehan itu karena
cerita itu menjadi i’tibar dan tentunya ini dengan syarat tidak menganggap cerita
itu adalah benar.
Dalam Tuhfah al-Muhtaj, Ibnu Hajar al-Haitamy yang mengatakan :
وَمِنْهُ يُؤْخَذُ حِلُّ
سَمَاعِ الْأَعَاجِيبِ وَالْغَرَائِبِ مِنْ كُلٍّ مَا لَا يَتَيَقَّنُ كَذِبَهُ
بِقَصْدِ الْفُرْجَةِ بَلْ وَمَا يَتَيَقَّنُ كَذِبَهُ لَكِنْ قَصَدَ بِهِ ضَرْبَ
الْأَمْثَالِ وَالْمَوَاعِظِ وَتَعْلِيمَ نَحْوِ الشَّجَاعَةِ عَلَى أَلْسِنَةِ
آدَمِيِّينَ أَوْ حَيَوَانَاتٍ
“Dari itu dipahami boleh
mendengarkan cerita-cerita yang unik dan menarik berupa cerita-cerita yang
tidak diyakini kebohongannya dengan tujuan hiburan. Bahkan boleh juga mendengar
cerita-cerita yang sudah diketahui secara pasti kebohongannya, akan tetapi dengan syarat maksud dari membawakan
cerita tersebut untuk membuat permisalan, sebagai nasihat dan menanamkan sifat seperti
berani, baik tokoh dalam cerita tersebut manusia ataupun hewan”[6]
3.
Adapun menulis buku tentang humor,
apabila dengan kebohongan dan cerita palsu, maka menurut hemat kami termasuk dalam
katagori hadits huruf ”a” di atas, yakni
berdusta untuk membuat orang ketawa.
[1]
Abu Daud, Sunan
Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 297, No. 4990
[2] Al-Turmidzi, Sunan
al-Turmidzi, Maktabah Syamilah, Juz. IV, hal. 135, No. 2315
[3]
Abu Daud, Sunan
Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 298, No. 3691
[4] Al-Manawi, Faidhul
al- Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 377, No. 4991
[6] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir,
Juz. IX, Hal. 398
sangat bermanfaat
BalasHapusterimakasih tgk :)
assalamu'alaikum....
BalasHapusBagaimanakah dengan cerita2 rakyat seperti malim kundang,ahmat rahmanyang,malem dewa,hikayat2, seperti adnan pmtoh dll.apakah cerita2 tersebut masuk dalam katagori hadist di atas atau memang benar kejadiannya
wassalam
wah, kami bukan ahli sejarah , apalagi sejarah aceh. karena itu tidak dalam kafasitas kami menjawabnya. namun apabila hikayat2 itu mengandung nasehat2 yang baik dan tamsilan mengajak orang kpd akhlaq yg baik tentunya hikayat2 tsb boleh saja di sampaikan atau di dengar, tetapi sebagaimana di jelaskan di atas, harus ada penjelasan bahwa hikayat itu hanya khayalan belaka, kalau memang hikayat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Hapuswassalam
Sangat bermanfaat dan menambah ilmu sukron ya ustad
BalasHapus