B.
Dalil syara’ atas adanya
karamat para aulia
Setelah memafarkan dalil ‘aqliah
untuk menolak kemustahilan karamat pada akal menurut kaum Qadariah, Ibnu al-Subki
menyebutkan dalil-dalil syara’ yang membenarkan adanya karamat,[1] yakni
sebagai berikut :
1.
Berita mengenai berbagai
dan beragam karamat yang dialami oleh para ulama dan orang shaleh merupakan
sebuah berita yang sangat populer dan masyhur yang tidak mungkin diingkari
kecuali oleh orang-orang bodoh dan keras kepala. Berita tersebut sudah
menyerupai berita tentang keberanian Ali bin Abi Thalib dan kedermawanan Hatim
dikalangan orang Arab. Karena itu, pengingkaran adanya karamat merupakan suatu
yang sangat beresiko, karena sangat nyata dan populernya adanya kejadian
karamat itu, tidak mengingkarinya dengan
keras kecuali orang-orang yang sudah dibutakan Allah mata hatinya.
2.
Kisah Maryam a.s. hamil
tanpa suami, beliau mendapatkan buah kurma segar dari pohonnya yang kering dan
terhidang makananan untuk beliau tanpa diketahui asalnya, Allah berfirman :
كُلَّمَا
دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَا
مَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ
Artinya
: Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di
sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan)
ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah.”(Q.S. Ali
Imran :37)
dan firman-Nya
:
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ
عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Artinya
: Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan
menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. (Q.S. Maryam :25)
Padahal sudah
disepakati bahwa Maryam bukanlah seorang nabi, karena beliau adalah seorang
wanita. Seandainya ada yang bertanya, bukankah kejadian luar biasa itu bisa
jadi merupakan mu’jizat Nabi Zakaria a.s. atau merupakan irhash (kejadian
luar biasa sebagai petunjuk akan muncul seorang rasul) bagi kemunculan anaknya,
Isa a.s. sebagai rasul, maka jawabannya
:
1). Kejadian-kejadian
luar biasa ini bukanlah merupakan mu’jizat Nabi Zakaria a.s., karena mu’jizat
haruslah disaksikan oleh oleh khalayak ramai supaya menjadi dalil atas
kenabiannya, padahal kejadian mendapatkan buah kurma
segar dari pohonnya yang kering oleh Maryam tidak disaksikan oleh seorang manusiapun.
Dalilnya Allah Ta’ala berfirman dalam
ayat selanjutnya, berbunyi :
فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي
إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا
Artinya
: Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku
telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah,” (Q.S. Maryam :26)
Dalam hal terhidang
makananan untuk Maryam a.s., Nabi
Zakaria a.s. tidak mengetahui perihal asal-usul kehadiran makanan tersebut.
Karena itu, Nabi Zakaria a.s. Bertanya, "Hai Maryam dari mana kamu
memperoleh (makanan) ini?. sedangkan mu’jizat itu haruslah merupakan
permintaan seorang Rasul. Dengan demikian, kejadian terhidang makanan
untuk Maryam a.s. bukanlah mu’jizat bagi Nabi Zakaria a.s. Lagi pula konteks ayat ini untuk ta’dhim kepada Maryam,
maka tidak relevan pemahaman kejadian-kejadian luar biasa tersebut untuk
memuliakan orang lain.
2). Kejadian luar biasa ini juga bukanlah merupakan irhash bagi
kemunculan Nabi Isa a.s., karena irhash khusus terjadi pada tangan Rasul
itu sendiri sebelum muncul kerasulannya dalam bentuk kemulian-kemulian. Lagi
pula seandainya boleh kejadian luar biasa ini merupakan irhash bagi
kemunculan Nabi Isa a.s., maka sungguh dimungkinkan setiap mu’jizat yang
terjadi pada orang yang mendakwakan diri sebagai nabi merupakan irhash
bagi nabi lain yang akan muncul sesudahnya, bukan sebagai mu’jizat. Maka
kebolehan kemungkinan ini akan menyebabkan tertutup bab berdalil dengan
mu’jizat atas sebuah kenabian.
3). Mendekati pemahaman kisah Maryam ini dengan kisah ibu Musa
a.s., dimana Allah mengilhamnya menghanyutkan anaknya dalam sungai. Imam al-Haramain
mengatakan, tidak seorangpun dari ahli-ahli sejarah dan pengutip-pengutip kisah
yang menyebutkan bahwa ibu Musa a.s merupakan seorang nabi.
3.
Berpedoman kepada kisah
pemuda Ashabul Kahfi. Mereka tertidur selama tiga ratus tahun lebih dalam
keadaan hidup, tidak kekurangan apapun tanpa makan dan minum. Ini merupakan
kejadian luar biasa, tetapi ini bukan mu’jizat, karena mereka bukan nabi. Imam al-Haramain
mengatakan, disepakati semua umat Islam bahwa para pemuda Ashabul Kahfi itu bukanlah
nabi, mereka hanya beragama dengan agama raja zaman penyembah berhala, tetapi
kemudian Allah memberi hidayah kepada mereka sehingga terbuka hati mereka untuk
memeluk agama yang diredhai Allah Ta’ala. Hidayah mereka ini bukan datang
karena dakwah dari seorang pendakwah, tetapi dengan berpikir dan merenung
sehingga muncullah pemikiran dan keyakinan beriman kepada pencipta langit dan
bumi serta pencipta sekalian alam ini. Dan tidaklah mungkin dikatakan kejadian
luar biasa ini sebagai mu’jizat bagi nabi lain. Hal ini karena sebagai berikut
:
1). Mereka
menyembunyikan kejadian itu. Hal ini berdasarkan firman allah berbunyi :
وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Artinya : Janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada
seorangpun.(Q.S. al-Kahfi :19)
Sedangkan
mu’jizat tidak mungkin disembunyikannya.
2). Mu’jizat wajib diketahui oleh manusia lain. Keadaan
mereka yang menetap dalam keadaan tidur begitu lama tidak memungkinkan orang-orang
mengetahuinya, karena manusia selain mereka tidak melihatnya. Karena itu, para
manusia tidak mengetahuinya kecuali
dengan pemberitahuan dari mereka sendiri (ini seandainya shahih bahwa manusia-manusia
mengetahuinya). Sedangkan pemberitahuan dari mereka hanya berpaedah apabila
perkataan mereka dianggap benar oleh manusia-manusia ketika itu dengan datang
dalil lain, sedangkan dalil lain tidak ada ketika itu. Adapun menetapkan keadaan
mereka adalah benar dengan sebab kejadian lama tertidur itu sendiri, akan
menyebabkan duur (Duur adalah keadan dua hal yang saling
bergantung dalam hal pendalilian) yang mustahil pada akal. Karena kejadian lama
tertidur hanya bisa diterima kebenarannya
apabila telah diterima bahwa mereka benar. Dengan demikian, seandainya benar
mereka ini tergantung kepada kejadian lama tertidur mereka, maka akan terjadi duur.
3). Seandainya kejadian luar biasa ini sebagai mu’jizat bagi
nabi lain, sedangkan penyebutan nama nabi lain itu tidak ada dan juga tidak
dalil yang menunjukinya, maka penetapan ada mu’jizat bagi nabi itu tidak ada
paedahnya, karena faedah mu’jizat untuk membenarkan kenabian seseorang,
sedangkan membenarkan seseorang yang tidak jelas adalah mustahil.
4.
Berpedoman dengan
kisah-kisah kejadian luar biasa lainnya yang banyak sekali terjadi di dunia ini
dari zaman dahulu sampai dengan sekarang ini. Misalnya kisah Ashif bin Barqia bersama
Nabi Sulaiman, dimana Ashif bin Barqia mampu membawa istana Ratu Balqis kepada
Nabi Sulaiman dalam sekali kedipan
matanya berdasarkan penafsiran
kebanyakan ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan ‘orang yang di sisinya ada
ilmu tentang kitab” adalah Ashif bin Barqia. Demikian juga kisah-kisah kejadian
luar biasa yang terjadi pada Sahabat Nabi yang sudah terdahulu disebutkan,
serta kisah-kisah yang mutawatir periwayatannya, yakni kisah-kisah kejadian
luar biasa yang terjadi pada ulama-ulama shaleh yang hidup sesudah Sahabat
Nabi. Kisah-kisah kejadian ini tidak terhingga jumlahnya.
5. Anugerah ilmu kepada
para ulama ini ummat dan orang-orang shaleh, sehingga mereka mampu berkarya
mengarang kitab-kitab yang banyak, dimana selain mereka tidak mampu menyalinnya
sebanyak itu dalam jangka batas umur pengarangnya, sementara isi kitab tersebut
mengandung keajaiban-keajaiban yang tidak ada batasnya, istimbath-istimbath yang
digemari oleh orang-orang berakal dan makna-makna yang dikeluarkan dari al-Kitab
dan al-Sunnah, mentahqiqkan kebenaran dan membatalkan kebathilan serta
kesabaran-kesabaran dalam mujahadah, riyadhah, mengajak kepada kenaran dan juga
sabar dari segala rintangan-rintangan serta menjauhi dari segala kelazatan
dunia dan lain-lain yang menggambarkan
bahwa semua itu merupakan anugrah Allah yang tidak didapati oleh manusia pada
umumnya. Karena itu, kejadian-kejadian seperti ini tidak boleh tidak, tentu harus
diyakini sebagai karamat yang diberikan Allah kepada hamba pilihannya.
Bersambung ke bag.3
Karamat para aulia menurut Ibnu al-Subki (bag. 1)
Karamat para aulia menurut ibn al-Subki (Bag. 3)
[1]
Ibnu al-Subki, Thabaqat
al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal.
334-337
Tidak ada komentar:
Posting Komentar